Pengaruh penurunan RTH Kota terhadap Konsentrasi Carbon

ditanggung oleh pemerintah dan warga kota. Peningkatan Kualitas RTH kota dapat memperbaiki udara kota sehingga warga kota terhindar dari beban biaya eksternalitas yang tinggi karena sakit. Biaya ini merupakan kontribusi manfaat ekonomi RTH sebagai penjerap polutan udara kota. Analisis dengan CITYGreen ini mempunyai keunggulan dalam memberikan luaranoutput analisis, karena tampilannya yang sederhana, selain menampilkan peta tutupan lahan kota, juga melaporkan kemampuan prediksi penjerapan polutan yang kemudian dilengkapi dengan nilai nominal manfaat ekonomi yang diperoleh dari biaya eksternalitas wargakompensasi biaya berobat jika terserang penyakit yang terkait dengan polutan tertentu, misalnya asma, migren, jantung dll. Oleh karenanya perencanaan pengembangan kotaharus lebih memperhatikan bagaimana penataan zonasi ruang kota yang sesuai dengan kegiatan warga. Sebagai contoh, pada tepi jalan tidaklah sehat jika diperuntukkan bagi pemukiman, gedung sekolah atau rumah sakit, karena tingginya tingkat polusi di sekitar jalan raya.Dengan demikian maka sebaiknya membangun pemukiman warga agak jauh dari jalan raya yang padat arusnya, begitu juga sekolahanpusat pendidikan, lebih aman di tempat yang agak ke dalam. Mengacu pada sifat polutan yang mudah menyebar dengan jangkauan yang cukup jauh, maka alokasi RTH berupa tata hijau pada jalur pejalan kakitrotoar dan jalur hijau jalan terutama pada jalan protokol haruslah menjadi prioritas dalam pengembangan RTH kota. Selain itu juga jalur hijau sebagai screenbuffer antara kawasan pusat perdagangan, jasa dan pemukiman serta sekolah dan perkantoran merupakan upaya dalam menjaga kesehatan warga kota dari dampak negatif polusi udara kota.

5.5. Pengaruh penurunan RTH Kota terhadap Konsentrasi Carbon

Masalah lingkungan yang cukup serius sebagai dampak penurunan RTH kota adalah meningkatnya konsentrasi karbon di udara yang merupakan salah satu gas rumah kaca GRK pemicu global warming. Dalam beberapa tahun belakangan ini telah mulai terasa dampaknya terhadap menurunnya kenyamanan kotaberupa meningkatnya suhu udara kota. Emisi Carbon merupakan hasil dari berbagai kegiatan manusia dalam transportasi dan produksiindustri.Menurut Environmental Protection Agency EPA, 2010, pernafasan manusia mengeluarkan CO 2 sebesar 1 kg hari. setara 0,365 tonorangtahun. Oleh karenanya semakin meningkat jumlah penduduk maka emisi CO 2 juga akan semakin meningkat. Pengaruh pertambahan penduduk juga berdampak pada meningkatnya aktifitas penduduk dalam bidang transportasi. Bahan bakar minyak terutama berupa bensin dan solar banyak dipergunakan oleh kendaraan bermotor.Gas CO dihasilkan dari proses pembakaran tidak sempurna pada kendaraan bermotor. Semakin meningkatnya jumlah kendaraan akan mengakibatkan emisi gas CO 2 meningkat, dan emisi carbon terbesar dihasilkan oleh kendaraan bermotor Tabel 22. Selain itu juga emisi carbon yang dihasilkan oleh sampah kota. Produksi sampah per orang = 0,6 kghari = 214 kgthn, setara dengan 235 ltr methanekg sampah. Dengan kondisi sistem pengangkutan sampah yang ada diasumsikan 0,5 juta ton CH 4 mengemisikan 12,8 juta ton CO 2 . Konsep pengendalian emisi CO 2 melalui upaya minimalisasi limbah kota dan pembatasan jumlah kendaraan yang beroperasi telah mulai dilakukan pada beberapa kota, namun masih belum menunjukkan hasil yang berarti. Kecenderungan penurunan RTH kotadan meningkatnya lahan terbangun berpengaruh terhadap konsentrasi Carbon di udara karena kemampuan pohon sebagai rosotsink karbon melalui mekanisme fotosintesis yang juga menurun seiring berkurangnya luasan RTH kota. Menurunnya luasan RTH kotayang berfungsi sebagai penyimpan dan penjerab CO 2 dan peningkatan luasan area terbangun kota, yang merupakan sumber polutan dan emisi CO 2 telah berdampak pada menurunnya kualitas udara kota akibat semakin tingginya nilai carbon ambient pada atmosfer kota. Dalam PP N0 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota sudah ditentukan luas hutan kota minimal 10 dari luasan wilayah kota, namun belum ada pencapaian yang signifikan dari kota-kota di Indonesia. Kota Bogor teridentifikasi mempunyai hutan kota yang dikelola dengan baik oleh Pemerintah Kota hanya seluas 282,58 ha, setara 2,38 dari luas wilayah kota ICONOS 2004. Beberapa upaya yang telah dilakukan lebih terfokus pada taman kota, yang manfaatnya kurang efektif dibandingkan hutan kota yang didominasi pepohonan. Pohon dalam suatu kawasan RTH memiliki kemampuan untuk meyimpan dan menjerap carbon berdasarkan proses fisiologis pohon itu yaitu proses fotosintesis, atau dikenal juga sebagai proses asimilasi karbon. Melalui proses fotosintesis, CO 2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga, dan buah. Proses penimbunan Carbon C-storage dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi C-sequestration. Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup biomasa pada suatu lahandapat menggambarkan banyaknya CO 2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman Hairiah dan Rahayu, 2007. Hasil analisis CITYGreen®5.0 padaaspek kapasitas penyimpanan dan penyerapan carbonCarbon storage and sequestration disajikan dalam tiga bagian, yaitu statistik tapaksite statistics, manfaat ekologi ecological benefit dan manfaat ekonomi economic benefit. Statistik tapak mencakup: nama tapak, luas area, dan distribusi penutupan lahan. Manfaat ekologi mencakup kapasitas carbon dan penyerapannya, yang meliputi: distribusi umur pohon, kapasitas penyimpanan carbon ton dan penyerapan carbon tontahun. Manfaat ekonomi untuk aspek ini diperoleh dari hasil perhitungan jumlah carbon tersimpan ton dikalikan dengan harga carbon berdasar standar internasional berkisar 5,00-15,00 per ton. Tabel 22. Prediksi Jumlah Kendaraan Beserta Emisi CO2 yang Dihasilkan Berdasarkan Jenisnya Sumber : BPS Kota Bogor Data diolah Selain jumlah kendaraan, faktor yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya emisi CO 2 adalah pola jaringan jalan dan kemacetan.Kota Bogor mempunyai pola jaringan jalan yang cenderung berbentuk radial dengan pusat Istana Presiden dan Kebun Raya Bogor.Pola ini membawa akibat terpusatnya perjalanan dari dalam maupun ke luar kota, karena pergerakan kendaraan dalam perjalanan antar kawasan wilayah di Kota Bogor cenderung harus melewati pusat kota, sehingga pada hari-hari libur terjadi kemacetan yang luar biasa pada Jenis Kendaraan 2000 2005 2010 Jumlah Unit Emisi CO2 ton Jumlah Unit Emisi CO2 ton Jumlah Unit Emisi CO2 ton Sepeda Motor 20.009 1.248,84 73.145 4.539,34 128.281 10.049,69 Mobil Barang 6.846 8.545,70 8.943 11.099,96 11.040 17.297,74 Angkot 2.412 150,54 3.316 205,79 3.434 269,02 Mobil Pribadi 18.159 1.133,37 28.388 1.761,75 38.617 3.025,30 Bis 836 782,67 841 782,88 844 991,8 Total 48.262 11.861,12 114.633 18.389,72 182.216 31.633,55 jalan-jalan protokol seperti Jalan Raya Pajajaran maupun jalan lingkar Kebun Raya. Relatif lambatnya penambahan panjang jalan dan terbatasnya jalan alternatif yang dapat menghindarkan mengurangi kepadatan pengguna jalan menyebabkan tingginya potensi kemacetan, terutama di pusat kota, pada jam- jam sibuk pagi dan sore hari berangkat pulang kerja atau sekolah. Rerata jumlah kendaraan pada jam padat berkisar antara 45.401-47.433 kendaraanhari. Kepadatan tertinggi di BaranangSiang dan terendah di pertigaan Ekalokasari.Kemacetan dapat meningkatkan emisi Carbon, terkait dengan hubungan antara kecepatan kendaraan dan emisi yang dihasilkan.Pada saat kendaraan melaju kencang, emisi NOx meningkat sedangkan emisi karbon menurun, namun sebaliknya, jika laju kendaraan lambat, maka emisi NOx minimum sedangkan emisi Carbon meningkat. Kondisi ini yang membuat emisi Carbon pada hari Sabtu-Minggu melampaui ambang baku mutu Santosa, 2005. Kemacetan harus diatasi karena peningkatan emisi karbon nya dapat menimbulkan gangguan kesehatan warga kota. Kepadatan jalan dan kejadian macet mempengaruhi penggunaan bensin dan solar sebagai sumber emisi CO 2. Berdasarkan data tahun 2006, emisi gas CO 2 dari masing-masing bahan bakar, terbesar adalah bensin 48, minyak tanah 33, solar 14, minyak diesel 3 dan LPG 2. Dahlan 2007 memprediksikan jumlah emisi gas CO 2 Kota Bogor tahun 2010 sebesar 600.216 ton dan diprediksikan pada tahun 2100 akan meningkat hingga 848.175 ton.Hasil emisi gas CO 2 antropogenik khususnya berasal dari kendaraan ini besar pengaruhnya terhadap kondisi CO 2 ambient. Hasil pengukuran Keeling dan Whorf 2005, disitasi Dahlan, 2007 menyatakan bahwa hasil pengukuran di Hawaii menunjukkan konsentrasi gas CO 2 pada tahun 1959 sebesar 315,98 ppmv dan pada tahun 2004 telah meningkat hingga mencapai 377,38 ppmv. http:en.wikipedia.org wikicarbondioxide, 2006. Data tahun 1972 menunjukkan penggunaan lahan terbesar berupa lahan kanopi pohon, seluas 3673,5 ha dan terkecil adalah badan air, seluas 237ha. Luasan lahan kanopi pohon ini dari tahun ke tahun semakin menurun, sehingga pada tahun 2011 tinggal 1,659 ha.Hasil analisis model CITYGreen untuk pengaruh luas RTH terhadap kemampuannya dalam mereduksirosot dan menyimpan karbon dapat dilihat pada Lampiran 1. Besarnya kapasitas daya rosot dan simpanan karbon menurun seiring dengan menurunnya luasan RTH kota dari 2,050 tontahun dan 722,476 ton tahun 1972 menjadi 1,746 tontahun dan 615,500 ton tahun 1989 menurun lagi menjadi 1,337 tontahun dan 471,433 ton tahun 1996, 758 tontahun dan 267,220 ton tahun 2006 menurun terus hingga tinggal 717 tontahun dan 252,698 ton tahun 2011.Dengan potensi tanaman sebagai rosot carbon yang demikian, maka penurunan luasan RTH kota akan berdampak meningkatnya emisi karbon dan konsentrasi karbon ambient kota Bogor. Hasil analisis ini sejalan dengan penelitian Dahlan 2007 bahwa kadar CO 2 ambient Kota Bogor tahun 2006 adalah 389,89 ppmv. Namun hasil pengukuran pada lokasi yang potensial tercemar seperti Warung Jambu, Baranangsiang, Ekalokasari, Jembatan Merah dan Pasar Bogor, rerata konsentrasi mencapai 397,27 ppmv musim kemarau dan 395,11 ppmv musim hujan. Selanjutnya dari hasil pemodelan sistem dinamik, Dahlan 2007 memprediksikan bahwa emisi gas CO 2 Antropogenik tahun 2010 sebesar 600.216 ton dan akan terus meningkat menjadi 848.175 ton tahun 2100, dan apabila penurunan RTH berlangsung terus tanpa adanya intervensi kebijakan, maka akan mengakibatkan daya rosot karbon yang semula sebesar 546,46 ton tahun 2006 menurun terus hingga 26,71 ton tahun 2100. Oleh karenanya untuk terwujudnya Kota Hijau ada dua konsep yang harus dikembangkan, yaitu kapasitas RTH dalam menjerap karbon ditingkatkan, dan emisi carbon dari sumbernya juga harus dibatasi. Dengan demikian kondisi penurunan luasan RTH ini harus diatasi, agar kadar Carbon dalam bentuk Gas CO maupun CO 2 di udara tidak semakin meningkat. Fotosintesis tumbuhan adalah suatu proses alamiah yang terjadi di dalam daun-daun tumbuhan dimana terjadi proses penyerapan CO 2 dan dihasilkannya gas oksigen ke udara. Kapasitas penyimpanan carbon oleh pohon ditentukan dari fosintesis netto, yaitu selisih karbohidrat yang dihasilkan melalui fotosintesis dikurangi kebutuhan karbohidrat untuk proses respirasiGambar 17. Menurut Bernatzky 1978 melalui proses fotosintesis, 1 hektar areal bervegetasipohon, dengan semak dan rumput dapat menyerap 900 kg CO 2 dari udara dan melepaskan 600 kg O 2 hanya dalam waktu 2 jam. Dari persamaan kimia dapat dilihat bahwa karbohidrat yang dihasilkan dari fotosintesis digunakan kembali untuk proses respirasi.Pada persamaan kimia tersebut, secara sederhana dapat dilihat bahwa hasil dari fotosintesis tidak ada yang tersisa, namun pada kenyataannya dalam fisiologis pohon tidak demikian.Fotosintesis dihasilkan dari reaksi terang menggunakan cahaya tersebut merupakan nilai yang dapat diukur sebagai kemampuan RTH dalam menyimpan carbon dalam bentuk senyawa hidrocarbon.Dalam pendugaan mekanisme penjeraban carbon ini secara sederhana CityGreen 5.0.mengelompokkan tipe distribusi pohon pada area kajian menjadi 3 tipe distribusi pohon. Tipe satu mewakili kelompok pohon tua, tipe dua mewakili kelompok distribusi pohon muda dan tipe tiga mewakili suatu area kajian yang diisi dengan pohon dengan tipe seimbang.Tipe distribusi pepohonan tua dengan biomassa lebih diasumsikan dapat menyimpan lebih banyak carbon, sejalan dengan pertambahan umur pohon. Hasil penelitian Sulistyorini 2009 yang dilakukan dalam skala laboratorium dan lapangan menunjukkan bahwa tanaman dapat menyerap beberapa pencemar udara diantaranya SO 2 , NO 2 dan timah hitam Pb. Secara bersamaan dengan proses fotosintesis juga terjadi proses penyerapan gas NO 2 , sehingga peningkatan fotosintesis akan meningkatkan serapan gas NO 2 . Dengan potensi pohon dalam menjerap carbon dan polutan, maka diharapkan aplikasi konsep pembangunan RTH sebagai upaya penurunan polutan dapat diterapkan sebagai salah satu solusi dalam menurunkan emisi carbon ambient, dan juga menurunkan konsentrasi polutan udara kota. Program Pengembangan Kota Hijau P2KH yang telah dicanangkan Pemerintah diharapkan dapat mempercepat pencapaian 30 RTH kota, dan menigkatkan kualitas lingkungan kota. Hubungan antara luas RTH dan potensi serapan carbon ini memperkuat diperlukannya intervensi kebijakan pengelolaan RTH kota, karena apabila pembangunan yang berlangsung di kota-kota semakin dominan memperluas kawasan terbangun dan mengalahkan keberadaan lahan bervegetasi tidak segera mendapat perhatian, maka dikhawatirkan kondisi polusi udara kota akan semakin memburuk beberapa tahun ke depan. Hasil penelitian ini semakin memperkuat temuan penelitian sebelumnya bahwa pohon dalam RTH kota berpotensi memperbaiki kualitas udara dengan kapasitasnya sebagai penyerap carbon dan polutan. Penyerapan karbon merupakan pengikatan CO 2 di atmosfer oleh tanaman berkhlorofil melalui fotosintesis, kemudian tanaman menyimpannya dalam bentuk biomassa CIFOR, 2010.Penyerapan CO 2 secara terrestrial biologis ini menyimpan CO 2 sebagai carbon C dari CO 2 , bukan sebagai gas. Satu ton serapan karbon C setara dengan 3,66 ton serapan CO 2. Pohon di hutan RTH kota mampu menyerap karbon C secara maksimal pada saat umur pohon berkisar 20-30 tahun; setelah melewati umur tersebut kapasitas serapannya semakin menurun, dan pohon tidak lagi aktif menyerap karbon dari atmosfer, namun karbon yang telah ditangkap diserapnya akan disimpan sebagai biomassa pada berbagai bagian tanaman. Oleh karena itu harus diupayakan untuk meningkatkan keberadaan RTH kota yang mencukupi baik secara kualitas maupun kuantitasnya, agar dapat mewujudkan Kota Bogor sebagai Kota Hijau. Pada pembahasan berikut akan dikaji ketercukupan RTH kota dan scenario alokasi ruangnya yang paling baik diterapkan untuk mengatasi degradasi kualitas udara kota.

5.4. Proyeksi Kebutuhan Luas RTH Kota Bogor

Dalam perencanaan dan pengembangan fisik RTH kota, menurut Tim IPB 1993, untuk dapat mencapai fungsi dan tujuan yang diharapkan, maka ada empat hal utama yang harus diperhatikan, yaitu: 1 luas minimum RTH yang dibutuhkan, 2 lokasi lahan kota yang tersedia dan potensial untuk RTH, 3 bentuk RTH yang dikembangkan dan 4 distribusi RTH dalam kota. Berdasarkan pada potensi sumberdaya alamnya, serta sejarah perkembangan kotanya, Bogor diarahkan menjadi Kota Dalam Taman GardenCity , dengan pola tata ruang kotanya yang cenderung konsentris dengan Kebun Raya sebagai pusat kota, sekaligus induk dari sistem pertamanan kota. Menurut Bappeda Kota Bogor 1996, RTH Kota Bogor ditargetkan akan diperluas hingga mencapai 30 3.555 ha pada tahun 2005; dan pembangunan kota secara fisik diarahkan ke bagian Timur dan Utara kota, dengan pertimbangan bahwa bagian Barat dan Selatan yang dominan perbukitan tetap dipertahankan sebagai RTH konservasi. Namun karena keterbatasan lahan, kurang terkendalinya pengembangan fisik kota, dan masih lemahnya penegakan hukum, maka luas RTH semakin minim dan kurang memadai. Wilayah Kota Bogor memiliki luas 11.850 ha. Berdasar data Dinas Tata Kota Pertamanan dan Pemakaman Kota Bogor 2004 luasan RTH berbentuk hutan kota yang dikelola baik adalah seluas 282,58 ha. Sedangkan jika mengacu pada Peraturan Pemerintah RI No 63 tahun 2002 Pasal 8 maka prosentase luas hutan kota minimal sebesar 10 luas wilayah kota, dengan luas minimal 0,25 ha berupa hamparan kompak. Artinya minimal hutan kota yang harus ada untuk Kota Bogor adalah seluas 1.185 ha, sehingga kekurangannya adalah 902,42 ha. RTH berbentuk hutan kota ini sangat diperlukan karena fungsi tegakan pohonnya dalam mereduksi polutan dan carbon lebih efektif dibanding RTH dengan dominasi semak rumput. Pendugaan kebutuhan luas RTH kota secara cepat juga dapat dihitung dengan mengacu pada Inmendagri No 14 Tahun 1988, dimana ketentuannya adalah setiap kota harus menyediakan RTH dengan minimal luasan sebesar 40 dari total luas wilayah kota. Hasil perhitungan disajikan pada Tabel 23, atau juga dapat diperhitungkan berdasar ketentuan Permendagri No. 1 tahun 2007, dimana 20 luas wilayah kota harus dihijaukan; serta UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menetapkan luasan RTH sebesar 30 dari total luas wilayah kota. Hasil perhitungan disajikan pada Tabel24. Dengan kedudukan Bogor sebagai salah satu kota satelit yang bersama kota satelit lainnya di sub urban mengelilingi kota utama Jakarta, kondisi ini memicu pertumbuhan pemukiman dan property, yang berdampak perubahan tata guna lahan yang sangat cepat. . Tabel 23. Kebutuhan RTH Berdasarkan Inmendagri No. 14 Tahun 1988 Standar Luas RTH sebesar 40 luas wilayah kota Kecamatan Luas ha Standar Kebutuhan RTH Kebutuhan RTH ha Bogor Selatan 3.081,00 40 1.232,40 Bogor Timur 1.015,00 40 406,00 Bogor Utara 1.772,00 40 708,80 Bogor Tengah 813,00 40 325,20 Bogor Barat 3.285,00 40 1.314,00 Tanah Sareal 1.884,00 40 753,60 Jumlah 11.850,00 4.740,00 Berdasarkan hasil perhitungan dengan mengacu pada proporsi terhadap luas kota dalam beberapa ketentuan tersebut, maka Kota Bogor menuju Kota Hijau harus menyediakan ragam ekosistem yang bisa dipertahankan kelestariannya dengan rasio yang lebih baik. Untuk itu diperlukan lahan RTH seluas 4.740 ha 40 atau 3.555 ha 30 atau minimal 2.370 ha 20; atau jika berbentuk hutan kota minimal 10 luas kota 1.185 ha. Luasan RTH menurut perhitungan di atas menurut Mool 1997, jika ditargetkan RTH 40 luas kota, dapat dipenuhi dengan cara menanam 20 pohon besar setiap 4000m 2 .