Ruang Terbuka Hijau sebagai Daerah Resapan

Negara Malaysia sebesar 1,9m 2 kapita; Jepang 5,0m 2 kapita;. Ketentuan ini sangat kondisional, terkait keterbatasan luas lahan masing-masing negara. Pendekatan lainnya adalah berdasarkan KDB Koefisien Dasar Bangunan misalnya KDB=40, artinya maksimal 40 luas lahan yang bisa dibangun, sedangkan sisanya yang 60 seharusnya berupa tutupan vegetasi. Ketentuan ini sudah diberlakukan sejak lama, tetapi masih sedikit yang mematuhi, sehingga porsi 60 cenderung diisi tutupan non vegetasi. Untuk mengatasi hal ini, kemudian dibuat peraturan yang lebih tegas menyatakan aturan KDH Koefisien Dasar Hijau, KDH= 60 atau KDH=40 tergantung situasi, diserahkan pada kebijakan pemerintah setempat. 3. Pendekatan Berdasarkan Issue Penting Perhitungan luasan RTH suatu kota dapat juga didasarkan pada Issue penting suatu kota. Contoh issue penting yang dapat dijadikan kriteria untuk menetapkan luasan pada suatu kota atau kabupaten antara lain adalah RTH untuk pemenuhan kebutuhan air, RTH untuk penyediaan oksigen, penyerap gas CO 2, serta penyerap dan penjerap polutan udara, ataupun RTH untuk mitigasi bencana banjir.

2.3. Manfaat Ekologi RTH pada Kawasan Perkotaan

. Dalam penelitian ini akan difokuskan pada tiga manfaat utama, yaitu RTH sebagai daerah resapan, penjerap polutan, dan rosot karbon.

2.3.1. Ruang Terbuka Hijau sebagai Daerah Resapan

Keberadaan RTH dapat berperan dalam mengatasi permasalahan limpasan air hujan. Bagian permukaan tanah yang ditutupi oleh vegetasi mempunyai kapasitas infiltrasi yang lebih besar dibandingkan dengan jenis penutup permukaan tanah lainnya, sehingga RTH dapat berfungsi sebagai daerah resapan air, dengan kapasitas yang dipengaruhi oleh sifat dan intensitas hujan, jenis penutup permukaan tanah dan pengelolaannya. Alih fungsi lahan di perkotaan cenderung meningkatkan luas permukaan dengan penutupan semen, aspal, dan kawasan kedap air impervious, yang berdampak pada terganggunya siklus hidrologi. Urbanos 1992 menyatakan bahwa dominasi permukaan kedap air membuat air hujan tidak dapat meresap ke dalam tanah dan menjadi limpasan permukaan. Fenomena inilah yang memicu meningkatnya potensi banjir di perkotaan, karena pada umumnya 30 permukaan lahan kota terbuat dari bahan kedap air jalan raya, atap bangunan, jembatan dan jenis perkerasan lainnya. Ada 3 faktor yang berpengaruh besar terhadap kejadian banjir, yaitu: faktor hujan curah hujan, sebaran serta waktu turunnya hujan, faktor perubahan tata guna atau lahan land use penebangan hutan, pembangunan kawasan permukiman, dan perdagangan, pembukaan areal perkebunan dsb. Faktor penutup lahan, dalam hal ini pohon vegetasi cukup signifikan dalam terjadinya pengurangan limpasan permukaan. Lahan bervegetasi mempunyai tingkat tutupan lahan yang tinggi, sehingga pada saat kejadian hujan, tutupan kanopi pohon berpotensi memperlambat laju limpasan permukaan, sehingga bagian yang dapat diresapkan ke dalam tanah menjadi lebih besar, dan sisanya yang menjadi limpasan permukaan semakin kecil. Kodoatie 2008 juga mengemukakan bahwa dari total potensi sumberdaya air sebesar 65.733,75 juta m 3 100, yang termanfaatkan sebesar 25.282.16 juta m 3 38,46, dan yang tidak termanfaatkan terbuang ke laut, banjir sebesar 37.628,67 juta m 3 57,24, terdegradasi 0,78 dan menjadi aliran mantap 3,51. Kodoatie 2008 menyatakan bahwa perubahan tata guna lahan kota merupakan penyebab utama banjir dibandingkan dengan faktor lainnya. Pada kondisi dimana hutan diubah menjadi permukiman, maka debit puncak sungai akan mengalami peningkatan sebesar 6 hingga 20 kali. Gambar 3. Angka 6 dan 20 ini tergantung pada jenis hutan awalnya dan jenis permukiman yang menggantikannya. Demikian pula untuk perubahan tutupan lahan lainnya, akan berdampak pada peningkatan debit puncak secara signifikans. Pengaruh perubahan tutupan lahan secara kuantitatif disajikan pada Gambar 4. Gambar 3. Perubahan kapasitas resapan tanah sebagai akibat perubahan tutupan lahan alami hutan dsb menjadi kawasan terbangun Kodoatie, 1996 naik 2 – 2,5 kali naik 1,7 – 5,0 kali naik 2,5 – 9,0 kali naik 5,0 – 20,0 kali naik 6,0 – 25 kali Daerah Aliran Sungai Peningkatan debit puncak akibat perubahan tata guna lahan, hutan sebagai acuan Gambar 4. Peningkatan debit akibat perubahan tata guna lahan, dengan hutan sebagai referensi Upaya pengendalian banjir pada prinsipnya mempunyai tujuan untuk mengurangi volume aliranlimpasan permukaan, agar dapat dikendalikan daya rusak aliran serta kualitasnya. Dengan demikian maka dalam upaya tersebut harus diperhatikan sifat alamiah dari aliran permukaan, agar dapat dilakukan upaya yang bermanfaat dalam menahan dan meresapkan aliran permukaan. Skema aliran permukaan ditunjukkan pada Gambar 5 berikut ini. Gambar 5. Sifat alamiah aliran permukaan, melaju ke tempat yang lebih rendah, sambil meresap ke dalam tanah Berdasarkan pada sifat alamiah aliran permukaan tersebut, maka semakin minim kapasitas resapan tanah akan memperbesar volume dan laju aliran permukaan. Untuk menjaga keberlanjutan siklus hidrologi, maka diperlukan upaya untuk pemanenan air hujan, dengan peningkatan daya serap tanah dan pengendalian mengalirnya air. Konsep ini yang dikembangkan sebagai upaya pengendalian banjir dengan peningkatan kuantitas RTH kota. Kemampuan tanah dalam menyerap air ini selain ditentukan oleh tipe penutupan lahannya, juga dipengaruhi oleh jenis vegetasi yang ada di atasnya. RTH mampu menyimpan air tanah sebesar 900m 3 hatahun Dinas Pertamanan, 2003 yang akan sangat bermanfaat dalam mengisi air tanah untuk keperluan domestik. Menahan air hujan selama mungkin untuk memberikan waktu kesempatan bagi air hujan untuk meresap ke dalam tanah merupakan upaya penanganan banjir, yaitu dalam bentuk menanam pohon, membuat sumur resapan, lubang biopori atau rorak dan guludan. Disamping itu juga dengan menahan air pada badan air, dengan membuat waduk, dam penahan maupun dam pengendali, serta situ buatan embung.

2.3.2. Manfaat RTH Kota Sebagai penjerap dan penyimpan karbon