Ekologi dan Agronomi Kelapa Sawit

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan atau manajemen merupakan perpaduan antara ilmu dan seni. Sebagai ilmu maka pengelolaan dapat dipelajari, dipahami, diteliti, dimodifikasi dan dibuktikan kebenarannya dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sebagai seni pengelolaan merupakan suatu tingkat keahlian yang diperoleh dari pengalaman dalam menerapkan suatu teknologi di berbagai bidang ilmu. Berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit, pengelolaan merupakan upaya pemanfaatan semua komponen perkebunan kelapa sawit seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi dan modal secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yaitu perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Lubis, 1994. Sesuai dengan perkembangan teknologi dan kondisi di lapangan, pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan seyogyanya mengacu kepada faktor-faktor kunci yaitu aspek sumberdaya lahan, aspek sumberdaya manusia, aspek modal, aspek sarana produksi, aspek teknologi dan aspek legalitas Pahan, 2006.

2.1. Ekologi dan Agronomi Kelapa Sawit

Kelapa sawit Elaeis guineensis termasuk golongan Famili Palmae penghasil minyak nabati. Pada dekade terakhir ini, budidaya kelapa sawit berkembang dengan sangat pesat terutama pada tanah mineral kering masam di luar Pulau Jawa. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan lahan untuk pengembangan komoditas perkebunan, kemampuan adaptasi yang relatif luas toleran terhadap sifat tanah kurus dan bereaksi masam, kemudahan yang diberikan oleh pemerintah, sarana produksi yang tersedia, serta prospek pemasaran hasil pengolahan pasca panen yang sangat cerah Lubis, 1994. Sampai tahun 2007, luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia 6,78 juta hektar dengan produksi minyak sawit 17,37 juta tontahun. Kondisi ini mampu mendorong ekspor untuk menambah devisa sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia Sekjen Deptan, 2008. Lahan yang tersedia untuk pengembangan perkebunan terhampar di luar Jawa berupa lahan kering masam dengan total luasan sekitar 48,5 juta hektar. Dari luasan ini, sekitar 16,2 juta hektar 33,4 didominasi oleh jenis tanah Oxisol dan Ultisol dengan tingkat kesuburan marginal dengan karakteristik kesuburan, bahan organik, kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa rendah. 15 Reaksi tanah masam dengan nilai pH 4,0-5,0 menyebabkan tanaman sangat berpeluang keracunan aluminium dan besi yang konsentrasinya tinggi. Di samping itu, rentan terhadap erosi yang berkaitan dengan kerusakan agregat, daya pegang air rendah serta padat Adiningsih, 1992. Namun demikian, kelapa sawit masih bisa tumbuh dan berproduksi pada lahan kering masam tersebut, asalkan pengelolaannya menerapkan teknologi yang tepat, baik aspek produksi maupun pengolahan pasca panen, sehingga dampak negatif terhadap lingkungan dan kondisi sosial masyarakat di sekitar perkebunan bisa diminimalkan. Berkaitan dengan sumberdaya lahan, pengembangan perkebunan kelapa sawit di luar Pulau Jawa sebagian besar pada tanah Ultisol dan Oxisol tersebut. Karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit adalah: 1 topografi, 2 drainase, dan karakteristik spesifik tanah yang meliputi: jerapan fosfor, jerapan kalium, tekstur, dan kedalaman efektif. Kendala yang diakibatkan oleh sifat-sifat fisik tanah lebih dominan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman dibandingkan dengan sifat-sifat kimia karena kendala fisika tanah relatif sukar untuk diatasi. Sementara itu, kendala kesuburan tanah masih bisa diatasi misalnya dengan pengelolaan pupuk untuk mengendalikan kekurangan unsur hara. Dalam kondisi alaminya, tanah Ultisol dan Oxisol memiliki produktivitas rendah dimana rata-rata tingkat produksi kelapa sawit pada tanah ini 18 tonhatahun Harahap et al., 2005. Selain tanah sebagai tempat tumbuhnya kelapa sawit, faktor iklim juga sangat menentukan pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Kelapa sawit peka terhadap suhu rata-rata harian dan curah hujan dimana suhu udara optimum untuk kelapa sawit sekitar 28 o -30 o C, ketinggian tempat 100-400 meter di atas permukaan laut serta curah hujan 1500- 3000 mmtahun Fairhust, 2002. Harahap et al. 2005 melaporkan bahwa komponen faktor iklim yang berpengaruh terhadap produksi kelapa sawit adalah: 1 radiasi surya, 2 suhu udara, 3 curah hujan, dan 4 kelembaban udara. Lama penyinaran 5,5-6 jamhari sudah cukup baik bagi kelapa sawit untuk berproduksi sehingga untuk daerah tropis seperti Indonesia, radiasi matahari bisa diabaikan. Suhu udara rata-rata 28 o C merupakan suhu yang optimal dan di bawah 22 o C sudah menghambat pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh pengaruh suhu rendah dapat meningkatkan keguguran bunga. Kelembaban 16 udara sangat berkaitan dengan membuka dan menutupnya stomata daun sebagai proses masuknya CO 2 untuk bahan dasar karbohidrat. Untuk kelapa sawit, kelembaban udara optimal adalah 75-80. Curah hujan merupakan komponen iklim yang paling dominan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit dimana curah hujan optimal yang dibutuhkan adalah 1700-3000 mmtahun Harahap et al., 2005. Kelapa sawit yang mengalami cekaman air tanah kekeringan menunjukkan penurunan produksi yang tajam karena meningkatnya jumlah tandan bunga jantan yang diproduksi selama periode cekaman air tanah tersebut. Fase-fase perkembangan organ generatif kelapa sawit yang peka terhadap cekaman air tanah adalah 1 inisiasi pembentukan bunga yang terjadi 44 bulan sebelum matang fisiologis, 2 pembentukan perhiasan bunga yang terjadi 36 bulan sebelum matang fisiologis, 3 diferensiasi seks bunga yang terjadi 17 bulan sebelum matang fisiologis, 4 peka aborsi bunga yang terjadi 12 bulan sebelum matang fisiologis, dan 5 antesis yang terjadi 6 bulan sebelum matang fisiologis. Sementara dari segi agronomi, kelapa sawit tidak memerlukan perawatan yang intensif sehingga tidak memerlukan curahan tenaga kerja yang intensif non intensive labor commodity. Beberapa kegiatan perawatannya antara lain: pemupukan, pembersihan pelepah tua, dan penyianganpenyemprotan gulma. Dari semua kegiatan tersebut, pemupukan merupakan kunci keberhasilan karena rendahnya kemampuan tanah mineral kering masam menyediakan hara serta tingginya serapan hara kelapa sawit dari dalam tanah sehingga perlu diimbangi dengan penambahan hara dari luar sistem tanah-tanaman. Hal ini tercermin dari tingginya kadar unsur hara pada tandan buah segar yang dianalisis secara kimia. Hasil analisis kimia yang dilakukan oleh Fairhust 2002 menunjukkan bahwa dalam 25 ton tandan buah segar TBS, mengandung sebanyak 74 kg N, 11 kg P, 93 kg K, 19 kg Ca, 20 kg Mg, 0,04 kg Mn, 0,06 kg Fe, 0,05 kg B, 0,12 kg Cu dan 0,12 kg Zn. Untuk mencapai hasil tersebut diperlukan masukan unsur hara berupa pupuk Dalam kaitan ini, Moody et al. 2002 melaporkan bahwa untuk menghasilkan TBS sebanyak 27,0 ton diperlukan masukan unsur hara dari luar sistem tanah-tanaman berupa pupuk sebesar 190 kg N, 26 kg P, 257 kg K, 43 kg Ca, 40 kg Mg, dan 60 kg S. Sebagaimana halnya tanaman lain, untuk kondisi agro-ekologi tropika basah seperti di Indonesia, produksi kelapa sawit mengalami fluktuasi yang 17 cukup tajam tergantung dari: 1 kondisi iklim, 2 sifat-sifat tanah, dan 3 dinamika unsur hara. Lebih jauh dilaporkan bahwa kondisi iklim yang berpengaruh terhadap produksi adalah curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara. Sifat-sifat tanah yang berpengaruh adalah sifat fisika tanah yaitu kapasitas lapang, titik layu permanen, dan evaporasi. Dinamika unsur hara dipengaruhi oleh dosis, jenis, waktu dan cara pemupukan. Selain itu, interaksi semua faktor-faktor tersebut ditentukan oleh kondisi awal di lapangan yaitu kadar air tanah dan nitrogen nitrat Handoko dan Koesmaryono, 2005. Walaupun belum ada laporan kegagalan panen akibat serangan hamapenyakit, pengendalian hama penyakit kelapa sawit sudah semestinya mendapat perhatian serius karena sudah diidentifikasi adanya ancaman penurunan produksi akibat serangan hama penyakit. Jenis hamapenyakit utama yang menyerang kelapa sawit adalah ulat api, kumbang penggerek pucuk, rayap tanah dan penyakit busuk pangkal batang. Selain itu, dikemukakan juga adanya serangan hama ulat kantong, penyakit bercak daun serta penyakit fisiologis. Kehati-hatian terhadap masuknya spesies asing yang kehadirannya dan penyebarannya dapat menimbulkan kerugian ekonomis atau kerusakan lingkungan IAS= Invasive Alien Species selayaknya dilakukan dengan penangkalan yang intensif. Hal ini dikarenakan oleh luasnya dampak yang ditimbulkan jika sampai terjangkit oleh IAS tersebut Ryaldi dan Lumbantobing, 2005. Selain pengelolaan, produktivitas kelapa sawit juga dipengaruhi oleh umur dimana secara umum produksi kelapa sawit di Indonesia mulai menurun pada kisaran umur 16-20 tahun dan diperlukan tindakan peremajaan replanting pada kisaran umur 25-30 tahun. Hal-hal yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan peremajaan kelapa sawit rakyat antara lain: 1 pola peremajaan, 2 pembinaan petani, 3 dana peremajaan, dan 4 kesenjangan pendapatan petani saat peremajaan dilakukan. Dalam aplikasi pola peremajaan, komponen yang memegang peranan penting untuk keberlangsungan peremajaan adalah a kepastian hukum mengenai investor dimana perusahaan inti pada siklus pertama diutamakan untuk menjadi investor pada siklus kedua, b kemitraan yang saling menguntungkan antara petani plasma dengan pihak perusahaan, koperasi dan investor dan c peremajaan dilakukan secara bertahap, minimal dalam 4 tahap 25 untuk mengantisipasi kekurangan tandan buah segar TBS bagi pabrik kelapa sawit Pahan, 2005. 18 Pendanaan merupakan kunci utama untuk bisa berlangsungnya peremajaan, tetapi di lain pihak masalah ini belum dipikirkan pada saat pengembangan dengan pola PIR-Trans. Usaha yang dirintis oleh Asuransi Jiwasraya melalui program Iuran Dana Peremajaan Tanaman Perkebunan IDAPERTABUN mampu menyediakan dana sekitar Rp. 8.000.000ha, masih jauh dari keperluan sekitar Rp. 25.000.000ha. Melihat kondisi ini alternatif pendanaan yang memungkinkan adalah memanfaatkan dana perbankan. Yang menjadi critical point adalah pola bentuk kemitraan dan aturan main antara pihak yang terlibat perbankan, perusahaan inti, koperasi desa dan petani plasma. Pola alternatif skim kredit perbankan yang sesuai dengan kondisi di beberapa lokasi perkebunan berbeda-beda dan masih perlu pengkajian. Keterampilan petani rata-rata masih belum memadai dalam pengelolaan perkebunan sehingga produktivitas kelapa sawit juga masih rendah. Hal ini mengindikasikan akan perlunya pembinaan pada saat peremajaan antara lain dengan pemberdayaan koperasi desa sebagai wadah untuk mengakumulasi modal yang dialokasikan selama peremajaan, penyuluhan teknis pengelolaan kebun kelapa sawit dan persiapan diri petani dalam mengantisipasi kesenjangan pendapatan selama peremajaan dengan melakukan penanaman sela pangan di antara barisan kelapa sawit atau menekuni kegiatan non-farm.

2.2. Aspek Kelembagaan Kelapa Sawit

Dokumen yang terkait

Studi Pemeliharaan Mesin Genset PTPN III Kebun Rambutan

4 47 64

Analisis biaya dan penerimaan produksi CPO di PTPN V SEI Pagar Kabupaten Kampar Propinsi Riau

0 6 118

Perneliharaan Tanarnan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Menghasilkan di Kebun lnti dan Plasma PIR Trans Sei Tungkal PT Agrowiyana, Jambi

0 11 89

Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan (Studi Kasus PIR Perkebunan Plasma Sei Pagar, PTP Nusantara V Kabupaten Kampar Provinsi Riau)

0 3 1

Pengembangan Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Lahan Kering Masam (Studi Kasus Kebun Plasma Sel Tapung PTPN V, Kabupaten Rokan Hulu, Riau

1 14 40

Pengembangan Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Lahan Kering Masam (Studi Kasus Kebun Plasma Sel Tepung PTPN V, Kabupaten Rokan Hulu, Riau)

0 11 40

Pengembangan Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Lahan Kering Masam (Studi Kasus Kebun Plasma Sei Tapung PTPN V, Kabupaten Rokan Hulu, Riau)

0 12 40

Aplikasi Limbah Pengolahan Kelapa Sawit sebagai Pupuk Organik di Kebun Sei Batang Ulak Kabupaten Kampar Provinsi Riau

0 4 40

Manajemen Pemanenan Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Kebun Sei Batang Ulak Pt Ciliandra Perkasa, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau

0 10 53

Desain Pengelolaan Kebun Plasma Kelapa Sawit Berkelanjutan : Studi Kasus pada PIR-Trans Kelapa Sawit P.T.P. Mitra Organ di Kabupaten Organ Komering Ulu, Propinsi Sumatera Selatan.

0 91 604