29
Pengelolaan limbah padat sudah berjalan relatif lancar dengan memanfaatkan limbah sebagai sumber pupuk organik untuk tanaman kelapa sawit di lapangan
setelah diberi perlakuan pengeringan dan penghalusan. Gangguan kesehatan karyawan juga relatif bisa diatasi dengan menempatkan lokasi PKS berjauhan
dari perumahan penduduk atau karyawan Risza, 2008. Pengelolaan limbah cair PKS mulai memberikan manfaat yang berarti
sejak ada pemikiran bahwa kandungan unsur hara yang terkandung dalam limbah berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik
dibandingkan dengan metode pengolahan penyaringan dan pengendapan. Pemanfaatan limbah cair PKS sebagai sumber pupuk organik dengan cara
mengalirkan limbah ke areal tanaman disebut sebagai sistem aplikasi lahan Land Application. Sistem ini berfungsi ganda yaitu mengurangi aliran limbah
cair ke badan sungai dan mengurangi kebutuhan pupuk bagi tanaman kelapa sawit Ginting, 2007. Secara rinci, kelebihan dan kekurangan sistem aplikasi
lahan adalah: Kelebihannya:
1. Mencegah pencemaran badan air permukaan terutama sungai. 2. Memberikan unsur hara kepada tanaman.
3. Dapat memperbaiki struktur tanah soil conditioner. 4. Dapat dimanfaatkan untuk lahan yang cukup luas.
Kekurangannya: 1. Kemungkinan adanya kontaminasi bahan kimia dari air limbah pada tanah
dan air tanah terutama pada kondisi limbah cair yang diberi perlakuan pendahuluan kurang sempurna.
2. Efektivitas pengaruh limbah cair dipengaruhi oleh musim dimana pada musim hujan biasanya kurang efektif karena tercampur dengan air hujan dan
mengalir bersama aliran permukaan.
2.4. Evaluasi Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Existing
Sejak mulai dibudidayakan secara luas di Indonesia, kelapa sawit telah menarik perhatian pemerintah dalam pengelolaannya karena melibatkan banyak
petani, lembaga, penguasaan lahan, permodalan, tenaga kerja serta teknologi yang spesifik lokasi. Interaksi semua pihak yang terlibat tersebut menimbulkan
masalah yang komplek berkaitan dengan kepentingan masing-masing dan menimbulkan dampak yang serius terhadap lingkungan. Hal ini mengisyaratkan
30
diperlukannya model pengelolaan yang mampu menciptakan kondisi kerjasama yang harmonis dan sinergis untuk memenuhi tuntutan pihak terlibat dan disaat
yang bersamaan bisa meminimalkan dampak terhadap lingkungan. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit dapat dikelompokkan dalam tiga
aspek yaitu aspek kelembagaan, aspek produksi dan aspek pengolahan hasil panen. Dari aspek kelembagaan, sejak tahun 1967 pemerintah merumuskan
pengelolaan perkebunan kelapa sawit sistem Unit Pelaksana Proyek UPT. Sistem ini direalisasikan dengan membangun Proyek Pengembangan
Perkebunan Rakyat Sumatera Utara P3RSU dimana setiap petani memperoleh kebun sawit seluas 2,0 hektar. Pada tahun 1977 dikembangkan pola
Perkebunan Inti Rakyat PIR yaitu PIR-Lokal, PIR-Khusus dan PIR- BerbantuanNES. Pola pengelolaan sistem ini agak fleksibel sehingga hampir
sesuai dengan kondisi di lapangan dengan indikator areal perkebunan bertambah dengan pesat. Sejak tahun 1986, pemerintah mengembangkan pola
PIR-Transmigrasi yang ditujukan terutama untuk petani transmigrasi yang berlokasi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian. Program ini
dikembangkan mengingat kondisi perekonomian transmigran sulit meningkat jika hanya bertumpu pada tanaman pangan saja karena faktor teknis seperti
kesesuaian lahan yang kurang mendukung pertumbuhan tanaman pangan dan tingginya gangguan hamapenyakit akibat perubahan ekosistem hutan yang
komplek dan stabil menjadi sistem pertanian yang monokultur Ditjenbun, 1992. Lebih jauh dijelaskan bahwa pola PIR merupakan proyek pemerintah
dibawah tanggungjawab Direktorat Jenderal Perkebunan dengan membentuk unit kerja khusus yaitu Tim Khusus Perkebunan Inti Rakyat TK-PIR untuk
tingkat pusat. Untuk tingkat propinsi, dibentuk Tim Pembina Proyek Perkebunan Daerah TK.I TP3DI dan TP3DII untuk Daerah Tingkat II. TK-PIR berperan
sebagai forum koordinasi antara instansi terkait tingkat pusat, sebagai contact point bagi semua lembaga keuangan yang mendanai proyek, memberikan
arahan dan kebijakan sarana dalam pelaksanaan anggaran proyek, membantu persiapan proyek mulai dari identifikasi sampai dengan negosiasi dengan pihak
pendanaan, membimbing pelaksanaan konversi, monitoring dan penyusunan laporan.
Dilihat dari fungsinya, TP3DI dan TP3DII bukan merupakan perpanjangan tangan dari TK-PIR pusat tetapi merupakan suatu tim yang berdiri
sendiri, diketuai oleh Gubernur untuk TP3DI dan Bupati untuk TP3DII. Tim ini
31
berperan sebagai forum komunikasi tingkat daerah untuk membantu GubernurBupati dalam hal menjaga kelancaran operasional proyek,
mengkoordinir semua instansi daerah yang terlibat dalam pelaksanaan proyek, seleksi calon petani plasma terutama petani lokal, merencanakan kelengkapan
fasilitas umum dan sosial yang menunjang operasional pengelolaan perkebunan kelapa sawit.
Pola PIR dilaksanakan dengan mengintegrasikan berbagai komponen ke dalam suatu sistem pengelolaan terpadu. Kelembagaan menyangkut aspek
hubungan kerja, sumber dana, sistem pembayaran, alokasi lahan dan keagrariaan, keorganisasian. Terdapat dua lembaga primer yang berperan
penting yaitu perusahaan inti dan petani plasma. Petani plasma dapat berupa usahatani individu, kelompok dan koperasi. Lembaga sekunder sebagai lembaga
pembantu dalam aplikasi pola PIR yaitu instansi terkait dari Pemerintah Daerah, perbankan, agraria, pekerjaan umum, pertanian, perkebunan, koperasi,
transmigrasi, perindustrian dan perdagangan, kehutanan. Dana untuk pembiayaan proyek PIR berasal dari dua sumber yaitu dana
pemerintah dan kredit bank. Dana pemerintah berasal dari bantuan lunak luar negeri dan anggaran dalam negeri APBN yang bisa digunakan untuk
komponen kredit maupun non kredit fasilitas umum dan sosial. Dana dari perbankan seluruhnya untuk membiayai komponen kredit. Realisasi pendanaan
untuk komponen kredit dan non kredit sangat bervariasi sesuai dengan kondisi di lapangan dan komitmen-komitmen antar pihak terlibat.
Dalam penggunaan jasa perbankan, fungsi bank ada dua macam yaitu bank berfungsi sebagai penyalur Channelling bank dimana bank bersangkutan
hanya menyalurkan dana pemerintah dan tidak menyediakan dana sendiri. Kedua, bank berfungsi sebagai pelaksana Executing bank jika sebagian dana
untuk komponen kredit disediakan oleh bank bersangkutan. Pada awalnya, fungsi bank dalam proyek PIR adalah sebagai penyalur dana dari pemerintah,
tetapi kemudian ada sebagian bank berubah fungsi sebagai pelaksana diantaranya NES kakao di Sultra, NES ADB II di Riau, NES ADB VII di Bengkulu.
Kondisi ini dimungkinkan oleh semakin baiknya prospek kelapa sawit. Terdapat dua periode organisasi dalam pelaksanaan pola PIR yaitu
periode pembangunan kebun dan periode pelunasan kredit. Pada periode pembangunan kebun, diawali dengan persetujuan Bappenas dengan
Departemen KeuanganBank Indonesia berdasarkan usulan dari Menteri
32
Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan. Berdasarkan hasil persetujuan tersebut, Menteri Pertanian menunjuk PTPNperusahaan swasta
nasional sebagai pelaksana dan sekaligus berfungsi sebagai perusahaan inti. Dana pemerintah disediakan melalui APBN dengan sistem Daftar Isian Proyek
Perkebunan DIPP yang dipimpin oleh seorang pimpinan proyek Pimpro yang berasal dari PTPN dan atau PNS Dinas Perkebunan dan bertanggungjawab
kepada Dirjenbun. Antara penanggungjawab proyek dengan pelaksana perusahaan inti diadakan perjanjian sebagai berikut Basdabella, 2001:
1. Perjanjian Pembangunan Kebun Plasma smallholder development agreement, SDA dengan jangka waktu perjanjian 20-22 tahun tergantung
pada komoditas yang dikembangkan. 2. Kontrak Kerja Tahunan KKT adalah kontrak penggunaan dana tahunan
yang disediakan oleh pemerintah, ditandatangani antara Pimpro atas nama Dirjenbun dengan direksi perusahaan inti.
Pada saat konversi kebun dilaksanakan maka sejumlah dana yang telah dikonversikan kepada petani plasma dikurangkan kepada kredit yang menjadi
tanggungan Dirjenbun karena kreditnya beralih menjadi tanggungan individu petani plasma. Peralihan hak dan tanggungjawab konversi kebun kelapa sawit
dilakukan setelah tim teknis Perusahaan Inti, bank pelaksana, instansi terkait dari Pemerintah Daerah melakukan evaluasi kelayakan apakah kebun bisa
dikonversi atau belum. Berdasarkan sumber dana dan kriteria kegiatan, pola PIR dikelompokkan menjadi empat jenis seperti pada Tabel 1.
Perusahaan inti mempunyai peran ganda yaitu sebagai pelaksana dan sebagai inti. Sebagai pelaksana mempunyai kewajiban membangun kebun
sampai siap konversi ke petani plasma, membuka lahan pangan berikut pekarangan, membangun rumah petani plasma, menyediakan sarana produksi
untuk penanaman tahun pertama, membangun infrastruktur baik di areal perkebunan maupun di lokasi perumahan petani plasma, menyeleksi dan
menetapkan petani plasma, membagi lahan untuk petani plasma, mengarahkan terlaksananya konversi kebun berikut penyiapan dokumen pendukungnya serta
bersama-sama dengan instansi terkait menyelesaikan masalah-masalah non teknis. Pada tahap pembangunan kebun sudah selesai, perusahaan inti juga
diharapkan terlibat dalam pembinaan teknis petani plasma sebagai salah satu bentuk ikatan dengan petani plasma dalam rangka meningkatkan penjualan TBS
petani ke PKS perusahaan inti.
33
Tabel 1. Karakteristik Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Sistem PIR
Sistem PIR No Kriteria
PIR-NES PIR-Lokal PIR-Khusus PIR-Trans
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
Petani plasma
Sumber dana Fungsi bank
Lokasi Tan. pokok
Tan. pangan Pekarangan
Rumah Penduduk
lokal Bank Dunia
Penyalur Sekitar kebun
2,0 hektar 0,0 hektar
0,0 hektar 36m
2
Penduduk lokal
Bank dalam negeri
Pelaksana Bukaan baru
2,0 hektar 0,75 hektar
0,25 hektar 36 m
2
Transmigran Bank dalam
negeri Pelaksana
Bukaan baru 2,0 hektar
0,75 hektar 0,25 hektar
36 m
2
Transmigran Kredit khusus
Pelaksana L.U II
transmigran 2,0 hektar
1,0 hektar 0,25 hektar
36 m
2
Sumber: Ditjenbun 1992.
Sebagai perusahaan inti, perusahaan tersebut menjadi mitra kerja petani plasma dengan kewajiban membantu petani plasma untuk pengadaan sarana
produksi sepanjang diperlukan, membeli dan mengolah semua produk petani plasma, menetapkan harga pembelian TBS menurut rumusan harga yang
ditetapkan pemerintah, membimbing petani plasma secara teknis dalam menanam dan merawat kebun kelapa sawit yang baik agar berproduksi optimal,
dan membantu bank dalam pengembalian kredit oleh petani plasma. Untuk menjamin pelaksanaan tugas-tugas yang dibebankan kepada
perusahaan inti berjalan dengan lancar, maka dibuat perjanjian antara perusahaan inti, petani plasma dan bank yang disebut sistem clearing. Dalam
perjanjian ini, perusahaan inti membuat perjanjian kerjasama produksi dengan petani plasma. Selain itu, juga membuat perjanjian kerjasama untuk
mendapatkan kredit pembelian dari bank dan pelunasan kredit petani plasma ke bank. Petani plasma membuat ikatan akad kredit dengan pihak bank dalam
rangka konversi. Hubungan keterkaitan antara petani plasma, perusahaan inti dan lembaga pendanaan dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit pola
PIR disajikan pada Gambar 3. Tingginya perkembangan perkebunan kelapa sawit dan adanya
perubahan kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat maka tahun 1988 mulai diperkenalkan kredit perkebunan kelapa sawit skim Kredit Koperasi
Primer untuk Anggota KKPA. Kredit ini difokuskan untuk membiayai kegiatan yang produktif dari anggota koperasi primer dalam rangka menunjang
34
peningkatan usaha dan pendapatan mereka sekaligus untuk mengembangkan kegiatan koperasi. Sejak diperkenalkannya, skim ini mampu tumbuh dengan
cukup pesat dengan rata-rata pertumbuhan 48,9tahun terutama pada sub sektor kegiatan perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan kondisi tersebut maka
tahun 1998 melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.3145KEPDIR tanggal 10 Juni 1998 tentang KKPA maka pemberian kredit oleh Bank Indonesia
dilakukan untuk modal investasi dan atau modal kerja bagi usaha-usaha produktif serta dinyatakan layak oleh Bank berdasarkan asas-asas perkreditan
yang sehat. Jangka waktu kredit adalah 12 tahun termasuk masa tenggang selama 4 tahun sejak akad kredit dengan KUD, dengan tingkat suku bunga 16
per tahun.
Perjanjian Perjanjian kerjasama
produksi modal dan pelunasan kredit petani plasma
Akad kredit Konversi kebun plasma
Gambar 3. Keterkaitan antara Petani Plasma, Perusahaan Inti dan Lembaga Pendana dalam Pola PIR Ditjenbun, 1992
Sebagai suatu paket pembangunan dan pengembangan wilayah, dalam KKPA perkebunan yang utuh terdiri dari:
1. Komponen utama:
a. Pembangunan kebun inti b. Pembangunan kebun plasma termasuk prasarana jalan yang dibiayai
dengan KKPA, c. Pembangunan
PKS 2. Komponen penunjang meliputi peningkatan pengelolaan koperasi dan
kualitas kelompok tani. Dari ketentuan yang ada terlihat peranan sentral pada skim KKPA pada
perusahaan inti karena bertanggungjawab dalam memberikan bantuan kepada petani plasma, membuka kebun inti serta membangun PKS. Secara rinci
peranan perusahaan inti adalah: 1. Melaksanakan survei pendahuluan dan studi kelayakan,
Perusahaan INTI
Petani plasma Lembaga
pendanabank
35
2. Membangun kebun inti dan PKS, 3. Membangun kebun plasma berdasarkan standar Dirjen bun,
4. Memperkuat plasma dan koperasi dalam usahanya agar mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik,
5. Memberikan bantuan teknis kepada anggota koperasi primer dalam memelihara kebun mereka sendiri,
6. Membeli seluruh hasil produksi kebun plasma dengan harga yang ditetapkan bersama-sama pemerintah,
7. Membantu administrasi pengembalian kredit para anggota koperasi primer, 8. Bertindak sebagai penjamin atas pengembalian kredit jika koperasi atau
anggota koperasi primer tidak mampu mengembalikan kredit sesuai perjanjian.
Instansi yang terlibat dalam KKPA terdiri dari unsur Pemda, KanwilDinas Perkebunan, KanwilDinas Koperasi dan Pembinaan UKM serta Badan
Pertanahan Nasional. Keterlibatannya terutama pada stadia awal program yaitu pada tahap sosialisasi program karena menyangkut aspek peruntukkan lahan,
pengalihan fungsi lahan dan sertifikasi lahan anggota koperasi primer. Hubungan interaksi antara perusahaan inti, petani plasma, KUD dan bank dapat
dilihat pada Gambar 4.
Keterangan: Jalur koordinasi dan konsultasi
Jalur supervisi
Gambar 4. Hubungan Interaksi antara Perusahaan Inti, Petani Plasma, KUD dan Bank dalam Skim KKPA IPB, 2000
Dari Gambar 4 terlihat bahwa petani plasma sebagai sasaran utama dan merupakan muara dari supervisi yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam
program KKPA yaitu perusahaan inti, KUD dan bank. Dalam interaksi tersebut,
BANK Penyandang Dana
KUD Penjamin
PERUSAHAAN INTI Sumber Iptek dan PKS
PETANI PLASMA Sumber TK dan Lahan
36
petani plasma sebagai sumber tenaga kerja dan penyedia lahan, perusahaan inti sebagai sumber ilmu pengetahuan dan teknologi dan penyedia fasilitas
pengolahan PKS. Sementara itu, KUD bertindak sebagai penjamin kepada pihak pendana bank dan perusahaan inti.
Mekanisme pengajuan kredit KKPA oleh petani relatif sederhana dimana petani diwajibkan menjadi anggota KUD dengan memenuhi kewajiban berupa
pembayaran simpanan pokok dan simpanan wajib. Setelah persyaratan terpenuhi, selanjutnya petani plasma menandatangani Surat Perjanjian
Kerjasama SPK antara anggota dengan KUD. Proposal pembangunan perkebunan kelapa sawit dibuat oleh KUD dengan rekomendasi oleh Dinas
Perkebunan dan Kanwil Koperasi. Dalam proses pengajuan kredit selanjutnya, ada 2 jalur yang dilakukan Gambar 5 yaitu:
1. Untuk KUD yang bermitra dengan perusahaan inti maka perusahaan inti berperan sebagai avalist dan sekaligus berperan sebagai pemberi
rekomendasi dalam pengajuan KKPA. 2. Untuk KUD yang tidak bermitra dengan perusahaan inti maka KUD berperan
sebagai penjamin pasar, pemberi rekomendasi dan pembimbing teknologi.
Keterangan: Untuk KUD yang bermitra dengan perusahaan inti
Untuk KUD yang tidak bermitra dengan perusahaan inti
Gambar 5. Skema Pengajuan Kredit dalam Skim KKPA
Kesesuaian lahan, jenis bibit dan intensitas perawatan dalam aspek produksi merupakan faktor yang berkontribusi nyata terhadap produktivitas
Bank Pelaksana
KUD
PERUSAHAAN INTI
KELOMPOK TANI
PETANI
37
kelapa sawit. Sebagian besar kelapa sawit dikembangkan pada tanah marginal dengan sifat-sifat bereaksi masam, miskin unsur hara, kejenuhan basa rendah,
daya pegang air rendah, topografi berlereng sehingga peka erosi. Lahan kelapa sawit didominasi oleh tanah Ultisols dan Oxisols yang memiliki kesesuaian lahan
antara S3-S2 dengan tingkat produktivitas potensial rata-rata dari umur 3-25 tahun sebesar 22 ton TBSha untuk S2 dan 20 ton TBSha untuk S3 Koedadiri
et al., 2005. Karakteristik kesesuaian lahan untuk kelapa sawit disajikan pada
Tabel. 2.
Tabel 2. Karakteristik Kesesuaian Lahan untuk Kelapa sawit Kelas kesesuaian
Variabel
S1 Sangat sesuai
S2 Sesuai sedang
S3 Sesuai terbatas
N Tidak sesusai
Zone agroklimat Oldeman
Ketinggian dpl. Bentuk daerah
Lereng Batuan permukaan
Kedalaman tanah Kedalaman air tanah
Tekstur tanah Struktur tanah
Konsistensi tanah Kelas drainase
Erodibilitas pH
Kesuburan tanah A: 92
B1: 7-92 25-200m
Datar-berombak 10
100 cm 100 cm
Lempung - berdebu Lempung -berpasir
Lempung-berliat Remah kuat
Gumpal sedang Sangat gembur
Tidak lekat Sedang
Sangat rendah 5,0-6,0
Tinggi B2: 7-92-3
C1: 5-62-3 200-300m
Berombak- bergelombang
10-22 10-25
50-100 cm 50-100 cm
Liat Liat - berlempung
Lempung -berpasir Lemah sedang
Gumpal sedang Gembur
Lekat Agak cepat
Agak lambat Rendahsedang
4,0-4,9 Sedang
D1: 3-42 C2: 5-62-3
300-400m Bergelombang-
berbukit 22-50
25-50 25-50 cm
25-50 cm Liat berat
Pasir - berliat Pasir - berdebu
Gumpal lemah Teguhkeras
Lekat Cepat
Lambat Agak tinggi
3,5-3,9 Rendah
D2:3-42-3 D3: 4-66
E1: 32 25m atau
400m Berbukit-
bergunung 50
50 25 cm
25 cm Liat sangat berat
Pasir – kasar Tidak berstruktur
Masif Sangat teguh
Sangat lekat Sangat cepat
Tergenang Sangat tinggi
3,5 Sangat rendah
Sumber: Pahan 2006 Kelas S1, potensi poduksi 25-32 ton TBShatahun;
Kelas S2, potensi poduksi 19-24 ton TBShatahun; Kelas S3, potensi poduksi 13-18 ton TBShatahun;
Kelas N, potensi poduksi 12 ton TBShatahun
Bibit kelapa sawit berpengaruh terhadap produktivitas tanaman dengan mempercepat dan memperpanjang umur tanaman menghasilkan TM,
meningkatkan rendemen dan meningkatkan kualitas minyak Basdabella, 2001. Hampir semua kebun kelapa sawit yang melakukan penanaman di bawah tahun
2000 menggunakan bibit varietas Tenera, Dura dan Psifera. Untuk perkebunan kelapa sawit rakyat, masih banyak memakai bibit yang tidak bersertifikat dimana
biji sawit yang tua yang berasal dari pohon di kebun sendiritetangga dibibitkan
38
dan ditanam. Seiring dengan kemajuan dibidang pembibitan, maka untuk penanaman di atas tahun 2000 perusahaan perkebunan sudah menggunakan
varietas unggul dengan spesifikasi seperti pada Tabel 3. Perawatan tanaman merupakan faktor dominan penentu produktivitas
kelapa sawit terutama aspek pemupukan yang berkaitan dengan tingginya penyerapan unsur hara oleh tanaman dengan keseimbangan hara di dalam
tanah. Dengan menerapkan jenis, dosis, waktu dan cara pemupukan yang dianjurkan oleh perusahaan inti, kontribusi biaya untuk pemupukan sekitar 60
terhadap total biaya pemeliharaan Adiwiganda, 2002. Tabel 3. Spesifikasi Bibit Unggul Kelapa Sawit yang Dibudidayakan Perusahaan
Perkebunan.
Potensi TBS tonhathn Varietas Umur
panen bln
Rata-rata Maksimal OER
SP1 SP2
Dolok Sinumban Bah Jambi
Marihat RISPA
LaMa Yangambi
SOCFIN Bah Was
LONDSUM DAMI
30 30
30 30
30 30
30 30
24 26-30
- 24
23-25 24-27
23-24 22-24
24-25 24-27
27-29 25-28
29 25-30
28 27
27 30
31 32
31 30
36 39
32 -
- -
23-26 23-25
23-25 23-26
23-25 23-26
23-26 23-26
28,7 23-26
24,1-24,3 25
OER = Oil Extraction Rate Sumber: PPKS 2000
Permasalahan yang berkaitan dengan perawatan mulai muncul setelah konversi kebun dimana kebun plasma sepenuhnya dikelola oleh petani plasma.
Kebun inti sepenuhnya dikelola oleh perusahaan inti dengan menerapkan paket anjuran sehingga produktivitas kelapa sawit relatif baik dan stabil. Sementara
untuk kebun plasma, perusahaan tidak punya power untuk memaksa penerapan perawatan anjuran perusahaan melainkan hanya sebatas menganjurkan. Kebun
plasma di Desa Tanjung Benuang, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi yang dikelola oleh PT. SMART COORPORATION
produktivitasnya merosot tajam setelah konversi. Hal ini diperparah oleh kondisi penyediaan pupuk yang tidak tepat waktu, jenis, dosis dan cara pemberian serta
39
petani jarang memupuk kelapa sawitnya 2 kalitahun. Pemupukan sering 1 kalitahun dengan dosis 50-75 dari anjuran dengan cara menyebar di
permukaan tanah. Dengan cara ini, sebagian besar pupuk hilang melalui erosi, run off dan penguapan yang tercermin dari munculnya gejala defisiensi hara baik
pada kelapa sawit muda maupun tua. Produksi rata-rata kelapa sawit umur 3 tahun berkisar 2-3 ton TBShatahun, sedangkan pada umur tanaman 13 tahun
berkisar antara 12-15 tonhatahun Puslittanak, 2004. Hampir semua perusahaan perkebunan baik PBN maupun PBSN
memiliki pabrik kelapa sawit PKS untuk melakukan pengolahan TBS dengan produksi crude palm oil CPO, minyak inti sawit dan limbah. Dalam proses ini,
setiap 1 ton TBS akan menghasilkan limbah cair sekitar 500 kg karena adanya proses pengenceran. Limbah cair dihasilkan pada proses perebusan, klarifikasi
dan pemisahan antara tempurung dengan daging buah. Selain limbah cair, PKS juga menghasilkan limbah padat sekitar 470 kg terdiri dari tandan buah kosong,
ampasserat kulit biji dan tempurung. Skema pengolahan TBS dan produk-
produknya serta limbah yang terbentuk disajikan pada Gambar 6 Widhiastuti,
2001. Limbah cair yang dihasilkan oleh PKS mempunyai sifat mencemari
badan air permukaan jika dibuang langsung tanpa perlakuan penetralan terhadap sifat fisika dan kimianya. Beberapa sifat kimia yang berpotensi
mencemari perairan adalah pH 4,0-4,6; BOD 20 000-60 000 mgltr; kadar minyak 6500-15 000 mgltr; COD 40 000-120 000 mgltr dan beberapa unsur
hara seperti N, P, K, Ca dan Mg. Sifat fisikanya antara lain total padatan 30 000-70 000 mgltr; total padatan tersuspensi 15 000-40 000 mgltr dan total
padatan terlarut 15 000-30 000 mgltr Loebis dan Tobing, 1989. Untuk meminimumkan pencemaran lingkungan, limbah cair diberi
perlakuan dengan memanfaatkan mikroba jenis bakteri aerobik dan anaerobik sebelum dibuang ke badan air permukaan, pada umumnya ke sungai. Ada 2
perlakuan yang diterapkan PKS sesuai dengan tujuannya yaitu 1 perlakuan penetralan sampai BOD limbah 100 mgltr kemudian dibuang ke sungai dengan
waktu penetralan 103 hari dan 2 perlakuan penetralan sampai BOD 3500-5000 mgltr dengan waktu penetralan 71 hari yang digunakan sebagai pupuk organik
cair bagi tanaman kelapa sawit di lapangan Naibaho, 1998. Dengan berkembangnya ilmu mikrobiologi, terdapat kecenderungan untuk menggalakkan
alternatif kedua karena alternatif ini memerlukan biaya lebih rendah dan limbah
40
yang dihasilkan masih bisa dimanfaatkan. Pemanfaatan limbah yang sudah diberi perlekuan terutama untuk pupuk organik yang diberikan secara langsung
ke tanaman di lapangan.
Limbah padat Limbah cair
kgton TBS kgton TBS
150 kg
250 kg
60 kg 350 kg
160 kg 100 kg
Gambar 6. Skema Pengolahan TBS dan Produk-Produknya Serta Limbah
yang Terbentuk
TBS
PEREBUSAN
BANTINGAN
PENGADUKAN
KEMPA
KLARIFIKASI
BIJI
AMPAS
PEMECAH BIJI
CPO
CANGKANG
INTI air
air
Air kondensat
Tandan buah kosong
Air lumpur
Air hidrosiklon
air
41
Hal yang sama juga dilakukan pada limbah padat terutama tandan buah kosong TKS dan serat kulit biji yang dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
TKS mengandung 42,8 C; 0,80 N; 0,22 P2O5; 2,90 K2O; 0,30 MgO dan unsur hara mikro seperti 10 ppm B, 23 ppm Cu dan 51 ppm Zn. Hasil
penelitian pemanfaatan TKS secara langsung sebagai mulsa dapat memperbaiki sifat-sifat tanah dengan meningkatkan kadar N, P, K, Ca, Mg, C-organik dan
KTK tanah Darmosarkoro dan Rahutomo, 2000.
Dari keragaan pengelolaan perkebunan kelapa sawit baik pada proses produksi maupun pengolahan pasca panen terlihat adanya sentra peranan dari
KUD dan perusahaan inti. Hal ini menimbulkan dikotomi antara perusahaan inti dengan petani plasma. KUD yang merupakan lembaga binaan pemerintah
dalam implementasinya lebih dominan membela kepentingan perusahaan inti dan kurang memperhatikan kepentingan petani plasma. Beberapa masalah yang
merugikan petani plasma antara lain: penyaluran sarana produksi pupuk dan obat-obatan, konversi kebun, penentuan harga TBS serta cara pembayaran
dalam pembelian TBS oleh perusahaan inti. Dalam pengadaan dan penyaluran sarana produksi terutama pupuk dan
obat-obatan untuk petani plasma sering tidak tepat waktu, tidak tepat jenis, dan tidak tepat cara pemberian pupuk. Pupuk diterima petani terlambat dari jadwal
pemupukan dan hanya 1 atau 2 jenis saja, seringnya hanya Urea saja atau Urea dengan SP-36. Padahal untuk memelihara produktivitas tanaman, minimal
diaplikasikan pupuk Urea, SP-36, KCl dan untuk tanah kering masam diberi Kiserit sebanyak 2 kalitahun. Akibatnya petani memupuk tanamannya 2-3 kali2
tahun. Pemanfaatan pupuk cair atau pupuk padat limbah PKS masih belum ada diaplikasikan ke kebun petani dengan alasan produksi pupuk ini masih sedikit
dan diaplikasikan di kebun inti. Kondisi ini mengganggu seimbangan unsur hara yang diserap tanaman dengan yang tersedia melalui tanah dan pemupukan dan
berujung pada penurunan produktivitas kelapa sawit. Sudah merupakan kondisi umum dimana produktivitas kelapa sawit petani plasma lebih rendah
dibandingkan dengan kebun inti. Konversi tanaman oleh perusahaan inti sering terlambat sekitar 6 bulan
dari jadwal penyerahan kebun dengan alasan kurang tepat. Beberapa kelompok tani yang merasa dirugikan dengan konversi melakukan demonstrasi ke kebun
inti dan pihak terkait lainnya untuk mengklarifikasi keterlambatan ini. Pemecahan
42
masalah ini umumnya diatasi dengan pembayaran TBS buah pasir petani sebanyak 50 ke petani dengan alasan rendemen TBS rendah.
Penentuan harga TBS kebun plasma dilakukan oleh perusahaan inti bersama pihak terkait lannya tanpa melibatkan petani plasma atau kadang-
kadang hanya perwakilan petani jika diperlukan. Penentuan harga TBS berdasarkan umur tanaman dan rendemen CPO. Masalahnya adalah pada
pengambilan sampel untuk penentuan rendemen CPO yang tidak representatif sehingga diperoleh tingkat rendemen yang rendah dengan harga TBS yang
rendah pula. Pembayaran TBS petani plasma oleh perusahaan inti melalui KUD
dilakukan 1 kali sebulan yaitu pada akhir bulan berjalan atau awal bulan berikutnya. Ada juga beberapa perusahaan inti melakukan pembayaran 2
kalibulan yaitu awal dan pertengahan bulan berikutnya. Kondisi ini menyuburkan timbulnya penjualan TBS petani plasma ke pihak lainnya seperti: PKS yang
bukan tempat petani berhutang atau pedagang pengumpul yang membayar TBS secara kontan dan harga tidak jauh berbeda dengan KUD. Masalah sosial lain
yang muncul adalah pencurian TBS, hutang petani tidak terbayar.
2.5. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan