Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

42 masalah ini umumnya diatasi dengan pembayaran TBS buah pasir petani sebanyak 50 ke petani dengan alasan rendemen TBS rendah. Penentuan harga TBS kebun plasma dilakukan oleh perusahaan inti bersama pihak terkait lannya tanpa melibatkan petani plasma atau kadang- kadang hanya perwakilan petani jika diperlukan. Penentuan harga TBS berdasarkan umur tanaman dan rendemen CPO. Masalahnya adalah pada pengambilan sampel untuk penentuan rendemen CPO yang tidak representatif sehingga diperoleh tingkat rendemen yang rendah dengan harga TBS yang rendah pula. Pembayaran TBS petani plasma oleh perusahaan inti melalui KUD dilakukan 1 kali sebulan yaitu pada akhir bulan berjalan atau awal bulan berikutnya. Ada juga beberapa perusahaan inti melakukan pembayaran 2 kalibulan yaitu awal dan pertengahan bulan berikutnya. Kondisi ini menyuburkan timbulnya penjualan TBS petani plasma ke pihak lainnya seperti: PKS yang bukan tempat petani berhutang atau pedagang pengumpul yang membayar TBS secara kontan dan harga tidak jauh berbeda dengan KUD. Masalah sosial lain yang muncul adalah pencurian TBS, hutang petani tidak terbayar.

2.5. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

Mempertimbangkan peranan kelapa sawit bagi pembangunan perekonomian nasional, baik saat ini maupun saat mendatang, pengelolaan kelapa sawit yang tepat sesuai dengan kondisi biofisik, ekonomi dan sosial yang spesifik lokasi menjadi semakin penting agar komoditas sawit tetap menjadi komoditas strategis. Pemerintah Indonesia secara konsisten telah, sedang dan akan tetap mendukung pengembangan komoditas sawit berkaitan dengan peranannya dalam perekonomian nasional. Dukungan tersebut tercermin dari luasnya penyediaan lahan untuk pengembangan sawit sekitar 9,8 juta hektar, tersebar terutama di Sumatera dan Kalimantan. Sumberdaya manusia juga relatif tersedia di lokasi-lokasi yang dijadikan sentra pengembangan sawit, walaupun memerlukan peningkatan kapasitas capacity bulding agar mempunyai skill sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pengelolaan sawit Poeloengan, 2002. Demikian juga dengan kondisi infrastruktur yang umumnya masih memerlukan perbaikan agar proses produksi dan pengolahan pasca panen sawit lancar dan efisien. Oleh sebab itu, diperlukan strategi pengelolaan 43 yang tepat dalam pengembangan kelapa sawit mulai dari perencanaan sampai ke jaringan pemasaran. Untuk itu, Poeloengan 2002 menganjurkan strategi berbasis pada: 1. Memperbaiki proses produksi antara lain kesesuaian lahan, kualitas bibit, pemeliharaan yang tepat serta skala usaha, 2. Memperbaiki efisiensi antara lain efisiensi biaya produksi, 3. Menerapkan “Ecoplantation”, merupakan sistem perkebunan yang dikelola dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan pada saat bersamaan mampu mempertahankan kualitas lingkungan. Pada prakteknya, ecoplantation meliputi a tidak ada pembakaran sisa tanaman, b daur ulang bahan organik sebanyak mungkin, c penggunaan pupuk yang optimum, d pengendalian hamapenyakit secara biologi, e pola tanam intercropping atau campuran, f konservasi energi, g limbah dan emisi gas seminim mungkin, dan h pemanfaatan limbah kembali sebanyak mungkin, 4. Capacity building baik tenaga non skill maupun skill untuk meningkatkan kapasitas kerja dan menuju efisiensi kebutuhan tenaga kerja, dan 5. Pengembangan komunitas sebagai kontribusi ekonomi-sosial terhadap masyarakat sekitar perkebunan. Konsep tersebut sesuai dengan perkembangan strategi pengelolaan yang diacu dunia pertanian saat ini yaitu pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan, mengikuti irama strategi pembangunan pertanian berkelanjutan. Definisi dari pertanian berkelanjutan itu sendiri terus berubah dari waktu ke waktu, tetapi secara umum masih mengacu pada batasan yang dicetuskan oleh World Commission on Environment and Development WCED tahun 1990 yaitu pertanian yang bisa memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang Syahyuti, 2006. Oates 1999 mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai suatu sistem yang mampu memenuhi permintaan akan bahan pangan pada kisaran harga yang secara ekonomi, sosial dan lingkungan bisa diterima oleh masyarakat pada saat kini dan akan datang. Dumelin et al.2002 mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai pertanian dengan kondisi yang produktif, kompetitif dan efisien dan pada saat bersamaan memelihara dan memperbaiki lingkungan dan kondisi ekonomi-sosial masyarakat setempat. Lebih jauh, pertanian berkelanjutan harus mampu mendukung prinsip-prinsip: 44 1. Produksi optimal dan berkualitas gizi baik untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan mendatang dengan tingkat masukan serendah mungkin. 2. Dampak terhadap kesuburan tanah, kualitas air, udara dan biodiversitas serendah mungkin sedangkan dampak positif sebisa mungkin tetap dipertahankan. 3. Tetap optimis bisa memanfaatkan sumberdaya terbarui dan meminimumkan pemanfaatan sumberdaya tak terbarui. 4. Pertanian berkelanjutan harus bisa mempertahankan dan memperbaiki kondisi sosial-ekonomi dan lingkungan masyarakat setempat. Sesuai dengan definisi tersebut, aspek pertanian berkelanjutan dikelompokkan dalam 10 kelompok indikator yaitu kesuburan tanah, kehilangan tanah, unsur hara, pengelolaan hamapenyakit, biodiversitas, nilai produk, energi, air, sosial dan human capital, dan ekonomi lokal. Pada setiap kelompok indikator ada beberapa parameter indikator sebagai kisaran nilai yang menunjukkan keberlanjutan. Secara lebih rinci, konsep pertanian berkelanjutan dijabarkan sebagai berikut Dumelin et al., 2002: Kesuburan Tanah Parameter indikator: kadar bahan organik tanah, aktivitas mikrobiologi, kepadatan tanah, pH dan salinitas. Kadar bahan organik tanah: berkaitan erat dengan aktivitas mikrobiologi tanah, tekstur tanah, daya pegang air dan kapasitas tukar kation. Kadar bahan organik tanah meningkat pada pemeliharaan kebun sawit dimana semua residu tanaman dikembalikan ke dalam tanah dengan cara membenamkan. Dengan semakin seringnya penerapan mekanisasi dalam pngelolaan kebun sawit maka kepadatan tanah cenderung meningkat dan bisa merupakan masalah serius dimasa mendatang. Salinitas dan pH tanah berubah akibat penggunaan pupuk. Kehilangan Tanah Parameter indikator: erosi tanah, penutupan tanah, lapisan atas tanah hutan untuk pembibitan. Curah hujan berpengaruh signifikan terhadap erosi tanah karena sebagian besar kelapa sawit ditanam pada lingkungan dengan curah hujan tinggi, lereng curam dan vegetasi penutup tanah jarang. Pada kondisi normal, dengan penutupan tanah rapat maka kehilangan tanah umumnya relatif kecil dibandingkan dengan areal yang penutup tanahnya jarang karena dipakai untuk aktivitas panen kurang dari 10 persen areal kebun. 45 Kehilangan tanah akibat pemakaian lapisan atas tanah untuk pembibitan juga relatif kecil dan saat ini tidak dianjurkan penggunaan lapisan atas tanah hutan untuk pembibitan sawit. Unsur Hara Parameter indikator: efisiensi unsur hara dalam kerangka pengangkutan unsur hara melalui panen terhadap input unsur hara, kehilangan nitrogen, dan pengikatan nitrogen. Usahatani berkelanjutan harus memaksimalkan unsur hara yang didaur ulang dalam sistem tanah-tanaman dan meminimalkan unsur hara yang dimasukkan dari luar sistem. Penggunaan unsur hara yang tidak seimbang akan berakibat pencemaran badan air melalui eutrofikasi dan mengurangi keuntungan. Pengikatan nitrogen oleh tanaman leguminosa bisa diperoleh kembali dengan memanfaatkan tanaman yang toleran terhadap naungan dan pengelolaan pemupukan nitrogen untuk merangsang aktivitas rhizobium pengikat nitrogen. Pengelolaan Hamapenyakit Parameter indikator: aplikasi Integrated Pest Management IPM, penggunaan pestisida, keracunan, keselamatan operator. Hamapenyakit menurunkan hasil sawit secara nyata yang berarti penurunan pendapatan sehingga perlu pengendalian yang efektif. Untuk mengurangi dampaknya terhadap lingkungan maka IPM menjadi alternatif yang cukup baik, tetapi susah untuk dikuantitatifkan. Namun demikian, efektivitas IPM dilakukan dengan mengamati populasi hamapenyakit sebagai indikator perlutidaknya tindakan pengendalian hama dan penggunaan pestisida yang daya racunnya rendah. Biodiversitas Parameter indikator: pemeliharaan diversitas genetik tanaman, jumlah diversitas pada tanaman perkebunan, biodiversitas ”footprint” pada perkebunan. Biodiversitas dalam suatu ekosistem sulit diukur, sering tumpang tindih dengan kelompok indikator keberlanjutan lainnya seperti fiksasi nitrogen, musuh alami hamapenyakit dan aktivitas mikrobia dalam tanah. Biodiversitas ”footprint” didefinisikan sebagai pengaruh tanaman perkebunan terhadap keragaman biodiversitas di sekeliling areal perkebunan. Pemeliharaan reparian, jalur hijau dan tanaman pemecah angin akan mengurangi footprint. Perkebunan kelapa sawit sampai saat ini dikategorikan sebagai salah satu penyebab menurunnya keragaman biodiversitas sehingga masalah ini perlu diperhatikan lebih serius. 46 Energi Parameter indikator: efisiensi energi, proporsi energi terbarukan, produksi gas rumah kaca dan emisi gas-gas pencemar udara. Kelapa sawit termasuk kelas baik dalam energi terbarukan dengan pemanfaatan kembali limbah padat sisa tanaman. Metan merupakan gas rumah kaca yang menjadi masalah karena mempunyai potensi dampak negatif hampir 25 kali lipat dibandingkan dengan CO 2 karena CO 2 bisa diserap tanaman untuk fotosintesis dan juga diistirahatkan di dalam tanah. Selain CO 2 , pengolahan pasca panen juga menghasilkan nitrogen dan sulfur yang juga sebagai pencemar udara. Air Parameter indikator: pengelolaan air di lapangan irigasi dan drainase, efisiensi penggunaan air pada pabrik, persediaan air yang terbarui, oxygen demand limbah cair. Skor pengelolaan air ditentukan oleh efisiensi air irigasi dan sistem drainasi yang mampu memelihara muka air tanah. Skor yang rendah untuk air yang terbarui dihasilkan jika ada penggunaan air fossil atau air bekas dari saluran pabrik lainnya di daerah hulu. Nilai Produk Parameter indikator: kecenderungan keuntungan jangka panjang, residu dan kontaminasi minimal, kotoran pada hasil panenan rendah. Keberlanjutan ekonomi merupakan kondisi yang menentukan terhadap kecenderungan keuntungan yang berkaitan dengan fluktuasi harga produk. Kecenderungan jangka panjang dari inflasi yang disesuaikan dengan gross margin per hektar sering dipakai sebagai indikator dari keberlanjutan ekonomi. Nilai produk juga bisa diperbaiki jika harga bahan bakar bisa ditekan, sedangkan kontaminasi pada produk belum merupakan masalah serius bagi nilai produk kelapa sawit. Sosial dan Human Capital Sosial kapital dijelaskan sebagai hal yang berkaitan dengan kepercayaan di dalam dan di antara unit sosial dan keberhasilan dalam menanggung resiko serta keberhasilan dari kegiatan perkebunan secara kolektif. Unit sosial bisa berupa komunitas lokal, penduduk asli, pemerintah daerah dan nasional serta organisasi industri atau perdagangan. Human capital didefinisikan sebagai kapasitas individu yang berkelanjutan dalam aspek kesejahteraan, kesehatan, gizi, pendidikan serta keterampilan. Dari sini jelas bahwa perkebunan yang bertanggungjawab terhadap human capital memiliki skor tinggi. 47 Ekonomi Daerah Pertanian seharusnya berkontribusi positif terhadap perekonomian lokal dan nasional baik dalam kerangka keberlanjutan ekonomi maupun sosial. Uang yang dikontribusikan ke perekonomian nasional dari perkebunan dan nilai tambah pengolahan pasca panen seperti refining, packaging dan lain-lain sangat penting artinya bagi perekonomian nasional. Pada skala lokal, proporsi dari total input yang dibayar tunai termasuk tenaga kerja yang dikeluarkan di tingkat kabupaten di sekitar perkebunan sangat berarti bagi perekonomian lokal. Setyarso dan Wulandari 2002 membuat rumusan kriteria dan indikator berkelanjutan untuk perkebunan kelapa sawit yang terdiri dari tujuh kelompok kriteria dan indikator yaitu legalitas, penyiapan dan konservasi tanah, pengelolaan produksi, prosesing pasca panen dan pemasaran, sumberdaya manusia, pengembangan regional dan aksesibilitas informasi. Pendekatan yang digunakan untuk kriteria dan indikator berkelanjutan adalah sebagai berikut: 1. Setiap kriteria dan indikator berkelanjutan dikelompokkan ke dalam 3 aspek yaitu ekologilingkungan, sosial dan pengelolaan bisnis. 2. Setiap tahapan atau proses pengelolaan kelapa sawit mulai dari penguasaan lahan sampai ke pemasaran hasil pengolahan pasca panen harus memenuhi ketiga aspek tersebut. Rumusan kriteria dan indikator perkebunan kelapa sawit berkelanjutan ini disajikan pada Lampiran 1. Secara ringkas, kriteria dan indikator yang dibangun sudah menggambarkan kondisi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang komprehensip. Pada kriteria legalitas, indikator aspek lingkungan mengacu kepada kesesuaian lokasi dengan Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku dan konservasi hutan lindung. Indikator sosial dari kriteria ini mengacu kepada partisipasi masyarakat lokal dalam proses konsesi lahan dan penentuan sistem sewapenguasaan lahan. Sementara indikator pengelolaan bisnis mengacu kepada proporsi pemanfaatan lahan konsesi untuk tanaman pokok kelapa sawit dan pemeliharaan vegetasi tanaman pokok. Aspek lingkungan pada kriteria penyiapan dan konservasi tanah menyangkut mekanisme pembukaan lahan seperti peniadaan pembakaran tebangan tanaman dan konservasi lahan seperti rehabilitasi lahan terdegradasi serta pencegahan terjadinya degradasi lahan. Pada aspek sosial, indikator yang ditekankan adalah kewajiban pekebun untuk melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan penyiapan lahan dan konservasi tanah. Demikian juga dengan aspek 48 pengelolaan bisnis, kriteria ini mempunyai 1 indikator yaitu konservasi tanah berdampak positif terhadap lahan masyarakat. Kriteria pengelolaan produksi yang berkaitan dengan aspek ekologilingkungan meliputi penerapan pengelolaan hama terpadu PHT dan konservasi lahan untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Beberapa indikator tersebut adalah penerapan perlindungan terhadap spesies endemi, pengendalian penurunan permukaan tanah subsidence pada gambut, meminimalkan pencemaran terhadap tanah, air dan udara, penanaman tanaman penutup tanah cover crops, penerapan PHT. Berkaitan dengan aspek sosial, kriteria ini mempunyai 1 indikator dimana pekebun harus melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan produksi. Pada aspek pengelolaan bisnis, kriteria ini menekankan pada indikator evaluasi hasil analisa tanah dan tanaman minimal diulang dalam 5 tahun untuk menentukan jenis dan dosis pupuk yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan tata ruang kebun. Kriteria dan indikator prosesing produksi pasca panen dan pemasaran meliputi teknologi pengolahan pasca panen, pengelolaan limbah dan sistem pemasaran. Berkaitan dengan aspek ekologi, indikator dari kriteria ini antara lain pengelolaan limbah sesuai standar baku dan berwawasan lingkungan, dampak negatif limbah terhadap lingkungan seminimal mungkin. Aspek sosial kriteria ini mempunyai 1 indikator dimana pekebun harus melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan prosesing produksi pasca panen. Pada aspek pengelolaan bisnis, indikator dari kriteria ini antara lain produksi CPO mengandung asam amino tidak lebih dari 5, randemen TBS tergantung dari umur sawit dan efisiensinya 95, perkebunan harus mempunyai pabrik pengolahan TBS dan kapasitasnya disetujui oleh pemerintah daerah dan harga TBS berdasarkan pada formula tertentu. Kriteria dan indikator sumberdaya manusia meliputi semua aspek yang berhubungan dengan rekrutmen tenaga kerja, deskripsi jabatan dan promosi. Berkaitan dengan aspek ekologi, indikator kriteria ini antara lain: pekerja perkebunan tahu menyelamatkan diri dari bahan kimia berbahaya, dalam pengelolaan limbah harus merekrut tenaga kerja yang profesional. Pada aspek sosial, indikatornya antara lain: dalam merekrut tenaga kerja masyarakat lokal diprioritaskan, melakukan pelatihan tenaga kerja lokal, tidak ada diskriminasi jabatan dan upah antara tenaga lokal dengan non lokal dan masyarakat lokal harus dijadikan sebagai pekerja tetap. Pada aspek pengelolaan bisnis, 49 indikatornya seperti tingkat upah minimum pekerja lokal harus manusiawi, perkebunan harus memiliki jaminan sosial dan kesehatan, ada jaminan bagi pekerja untuk menjual aset perusahaan jika perkebunan bangkrut Kriteria pengembangan regional mempunyai beberapa indikator seperti perkebunan harus memperhatikan dengan serius terhadap flora dan fauna endemik dan habitatnya dari berbagai gangguan dan bertanggungjawab terhadap pengelolaan lahan pasca operasional. Pada aspek sosial, indikator kriteria ini antara lain: pemberdayakan masyarakat lokal agar kehidupannya lebih baik, pengembangan bangunan untuk peribadatan dan membina hubungan baik antara umat agama dan perkebunan mengembangkan sarana pendidikan minimal sampai tingkat SLTA. Pada aspek pengelolaan bisnis, indikator dari kriteria ini adalah Informasi sifatnya terbuka untuk masyarakat lokal dan kelembagaan ekonomi lokal tidak diganggu oleh perkebunan Kriteria dan indikator aksesibilitas informasi menyangkut komunikasi yang transparan dan efektif dalam menjalankan perkebunan dan antara staf dan masyarakat lokal. Berkaitan dengan aspek ekologi, kriteria ini mempunyai 1 indikator dimana pekebun harus menginformasikan pemantauan dan pengelolaan secara transparan. Berkaitan dengan aspek sosial, kriteria ini mempunyai 2 indikator yaitu keterkaitan komunikasi antara masyarakat lokal dan perkebunan berjalan baik dan masyarakat lokal dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Pada aspek pengelolaan bisnis, indikatornya antara lain: perkebunan diaudit oleh auditor independen paling tidak sakali setahun dan perkebunan didukung oleh sistem komputer dan bisa diakses setiap saat. Untuk perkebunan kelapa sawit, konsep berkelanjutan yang paling akhir yang dirumuskan oleh Ng 2005 dalam pertemuan internasional The 3 rd Roundtable on Sustainable Palm Oil RSPO di Singapura menyebutkan bahwa perkebunan berkelanjutan merupakan usaha yang mampu memenuhi pertumbuhan ekonomi profit, perlindungan terhadap lingkungan planet dan kesetaraan sosial people. Konsep perkebunan berkelanjutan tersebut terdiri dari 8 prinsip dan 39 kriteria yang harus dipenuhi pihak pengelola agar kondisi berkelanjutan bisa terwujud Lampiran 2. Jika dipaparkan lebih rinci maka semua kriteria tersebut didasarkan pada azas: 1. Legalitas, 50 2. Mampu memberikan kuntungan secara ekonomi bagi semua pihak berupa peningkatan pendapatan, 3. Secara sosial tidak mengganggu kondisi sosial yang sudah ada seperti kearipan lokal, adat istiadat dan budaya setempat, dan 4. Secara ekologi tidak menimbulkan kerusakan lingkungan hidup setempat berupa penurunan kualitas lahan, air dan udara, pengurangan biodiversitas dan plasma nutfah lokal. Secara fisik planet, terdapat 4 prinsip dan 22 kriteria. Kriteria pada prinsip penggunaan teknologi proses produksi dan pengolahan pasca panen terbaik antara lain: menerapkan pengendalian erosi dan degradasi tanah, memelihara kualitas dan ketersediaan air permukaan dan air dalam tanah, penerapan pengelolaan hama terpadu PHT, staf dan pekerja harus memperoleh pelatihan yang memadai dan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan harus didokumentasikan, dikomunikasikan serta diimplementasikan. Prinsip bertanggungjawab terhadap konservasi sumberdaya alam dan biodiversitas meliputi beberapa kriteria seperti pengelolaan produksi dan pasca panen yang berdampak terhadap lingkungan harus bisa dikendalikan mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif, spesies langka dan habitatnya yang bernilai tinggi harus dikonservasi, limbah dikurangi, didaur ulang, dimanfaatkan kembali dan dibuang sesuai dengan konsep ramah lingkungan, pengurangan polusi dan emisi, termasuk gas rumah kaca harus bisa diimplementasikan. Kriteria untuk prinsip bertanggungjawab pada penanaman baru antara lain: survei tanah dan topografi dimasukkan sebagai pertimbangan untuk penanaman baru, penanaman pada lereng terjal atau pada tanah marginal atau fragile dihindari, masyarakat lokal wajib memperoleh kompensasi untuk pemakaian lahan dan hak mereka. Kriteria komitmen untuk terus menerus melakukan perbaikan terdiri dari 1 kriteria dimana pengelolaan produksi dan pasca panen kelapa sawit harus melakukan pemantauan berkala serta mengimplimentasikan rencana aksi yang menunjukkan perbaikan secara terus menerus. Pada aspek ekonomi profit, terdapat 1 prinsip berupa komitmen viabilitas ekonomi dan keuangan jangka panjang, terdiri dari 1 kriteria dimana pengelolaan produksi dan pasca panen yang diaplikasikan mampu menjamin terciptanya kondisi viabilitas ekonomi dan keuangan jangka panjang. 51 Berkaitan dengan aspek sosial people, terdapat 3 prinsip dan 16 kriteria. Prinsip dimana semua aktivitas perkebunan sesuai dengan Undang- Undang dan Peraturan yang berlaku mempunyai beberapa kriteria antara lain: semua aktivitas sesuai dengan Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku baik pada tingkat lokal maupun nasional, penggunaan lahan sesuai dengan hak penguasaan yang berlaku dapat dilihat dari tidak adanya konflik. Prinsip bertanggungjawab terhadap pekerja, individu, dan komunitas terdiri dari beberapa kriteria seperti sistem persetujuan dan dokumentasi yang saling menguntungkan untuk mengatasi keberatan yang terjadi, negosiasi kompensasi kehilangan hak mengacu pada sistem memungkinkan bagi masyarakat lokal untuk mengekspresikan keinginan mereka melalui perwakilan yang layak, tingkat upah pekerja minimal sesuai dengan tingkat upah minimum idustri, tidak diperkenankan mempekerjakan anak-anak di bawah umur, pekerja tidak boleh mendukung diskriminasi berdasarkan ras, suku, agama, kasta, gender ataupun politik, ada kebijakan untuk mencegah kekerasan seksual terhadap wanita. Prinsip komitmen untuk transparan terus menerus merupakan konsep sosial lainnya yang terdiri dari 2 kriteria yaitu wajib menampilkan informasi tentang isu- isu lingkungan, sosial dan legalitas yang relevan terhadap stakeholders lainnya dan pengelolaan dokumen harus bisa diakses oleh publik. Dari semua konsep berkelanjutan tersebut nampak bahwa aspek pengelolaan pada proses produksi masih dominan dibandingkan dengan pengelolaan pasca panen. Hal ini disebabkan oleh kontribusi terhadap dampak kepada lingkungan, ekonomi dan sosial didominasi oleh proses produksi, yang sejalan dengan luasnya areal produksi, banyaknya petani dan tenaga kerja yang dioperasikan dibandingkan dengan pengolahan pasca panen. Dengan demikian, usaha peningkatan efisiensi penggunaan sarana produksi, tenaga kerja dan mitigasi polusi terhadap lingkungan pada proses produksi akan berimbas jauh lebih besar dibandingkan pengolahan pasca panen Ng, 2005. Untuk kasus di Indonesia, dimana kebun kelapa sawit sudah luas dan akan terus ditingkatkan untuk masa mendatang maka aspek produksi ini menjadi semakin penting untuk dikelola dengan lebih profesional sesuai dengan konsep dari RSPO tersebut. Interaksi semua kegiatan tersebut akan mampu mendukung tercapainya perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang menurut Reijntjes et al. 2005 dicirikan oleh: 52 1. Mantap secara ekologis: pola yang dianjurkan mampu memelihara kualitas lingkungan dan kemampuan agro-ekosistem secara keseluruhan, dari manusia, hewan, tanaman, sampai ke organisme tanah dan air bisa ditingkatkan. 2. Bisa berlanjut secara ekonomis: kebutuhan petani bisa tercukupi dari hasil usahatani kelapa sawit meliputi kebutuhan petani sendiri dan pengembalian tenaga dan biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan kelapa sawit. 3. Mantap secara sosial yang meliputi: a. Adil: bahwa semua sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga semua kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi serta hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal, bantuan teknis dan peluang pemasaran terjamin. b. Manusiawi: semua bentuk kehidupan dasar semua mahluk dihargai, dihormati, dan hubungan institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar seperti: kearifan lokal, kepercayaan, kejujuran, kerjasama dan lain-lain. c. Luwes: kondisi dimana masyarakat desa mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang terus berlangsung, misalnya: pertambahan penduduk, kebijakan pemerintah, permintaan pasar.

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Dokumen yang terkait

Studi Pemeliharaan Mesin Genset PTPN III Kebun Rambutan

4 47 64

Analisis biaya dan penerimaan produksi CPO di PTPN V SEI Pagar Kabupaten Kampar Propinsi Riau

0 6 118

Perneliharaan Tanarnan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Menghasilkan di Kebun lnti dan Plasma PIR Trans Sei Tungkal PT Agrowiyana, Jambi

0 11 89

Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan (Studi Kasus PIR Perkebunan Plasma Sei Pagar, PTP Nusantara V Kabupaten Kampar Provinsi Riau)

0 3 1

Pengembangan Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Lahan Kering Masam (Studi Kasus Kebun Plasma Sel Tapung PTPN V, Kabupaten Rokan Hulu, Riau

1 14 40

Pengembangan Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Lahan Kering Masam (Studi Kasus Kebun Plasma Sel Tepung PTPN V, Kabupaten Rokan Hulu, Riau)

0 11 40

Pengembangan Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Lahan Kering Masam (Studi Kasus Kebun Plasma Sei Tapung PTPN V, Kabupaten Rokan Hulu, Riau)

0 12 40

Aplikasi Limbah Pengolahan Kelapa Sawit sebagai Pupuk Organik di Kebun Sei Batang Ulak Kabupaten Kampar Provinsi Riau

0 4 40

Manajemen Pemanenan Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Kebun Sei Batang Ulak Pt Ciliandra Perkasa, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau

0 10 53

Desain Pengelolaan Kebun Plasma Kelapa Sawit Berkelanjutan : Studi Kasus pada PIR-Trans Kelapa Sawit P.T.P. Mitra Organ di Kabupaten Organ Komering Ulu, Propinsi Sumatera Selatan.

0 91 604