18
Pendanaan merupakan kunci utama untuk bisa berlangsungnya peremajaan, tetapi di lain pihak masalah ini belum dipikirkan pada saat
pengembangan dengan pola PIR-Trans. Usaha yang dirintis oleh Asuransi Jiwasraya melalui program Iuran Dana Peremajaan Tanaman Perkebunan
IDAPERTABUN mampu menyediakan dana sekitar Rp. 8.000.000ha, masih jauh dari keperluan sekitar Rp. 25.000.000ha. Melihat kondisi ini alternatif
pendanaan yang memungkinkan adalah memanfaatkan dana perbankan. Yang menjadi critical point adalah pola bentuk kemitraan dan aturan main antara pihak
yang terlibat perbankan, perusahaan inti, koperasi desa dan petani plasma. Pola alternatif skim kredit perbankan yang sesuai dengan kondisi di beberapa
lokasi perkebunan berbeda-beda dan masih perlu pengkajian. Keterampilan petani rata-rata masih belum memadai dalam pengelolaan perkebunan sehingga
produktivitas kelapa sawit juga masih rendah. Hal ini mengindikasikan akan perlunya pembinaan pada saat peremajaan antara lain dengan pemberdayaan
koperasi desa sebagai wadah untuk mengakumulasi modal yang dialokasikan selama peremajaan, penyuluhan teknis pengelolaan kebun kelapa sawit dan
persiapan diri petani dalam mengantisipasi kesenjangan pendapatan selama peremajaan dengan melakukan penanaman sela pangan di antara barisan
kelapa sawit atau menekuni kegiatan non-farm.
2.2. Aspek Kelembagaan Kelapa Sawit
Kelembagaan merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam melakukan analisis yang berkaitan dengan pembangunan pertanian,
termasuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Hal ini dimulai dengan diluncurkannya suatu model yang disebut Induced Innovation Model yang
memaparkan adanya keterkaitan antara empat faktor yaitu: 1 resource endowments, 2 cultural endowments, 3 technology, dan 4 institutions. Dari
pemaparan ini diperoleh hipotesis bahwa kelembagaan yang mengatur penggunaan teknologi dalam proses produksi dapat diubah untuk
memungkinkan masyarakat maupun anggota masyarakat memanfaatkan peluang produksi dan peluang pasar sebaik-baiknya. Dalam kasus ini
dicontohkan perubahan kelembagaan dalam pembangunan pertanian adalah perubahan penguasaan lahan komunal menjadi lahan individual serta
modernisasi hubungan-hubungan yang ada dalam sistem penguasaan lahan Taryoto, 1995.
19
Dengan semakin majunya sistem pertanian yang diterapkan oleh masyarakat maka permasalahan yang dihadapi juga semakin komplek yang
menuntut adanya penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini, analisis kelembagaan bisa membantu untuk menjawab permasalahan
yang ada karena analisis kelembagaan bertujuan untuk memperoleh deskripsi mengenai suatu fenomena sosial ekonomi pertanian yang berkaitan dengan
hubungan antara 2 atau lebih pelaku interaksi sosial ekonomi, mencakup dinamika aturan-aturan yang berlaku yang disepakati bersama oleh para pelaku
tersebut. Secara lebih detil, Pakpahan 1989 menyebutkan adanya lima pokok bahasan dalam analisis kelembagaan yaitu: 1 pembagian kerja dan
spesialisasi jenis pekerjaan, 2 sistem pemilikan, 3 tipe-tipe ekonomi dan perubahan struktural yang menyertainya, 4 struktur perusahaan dari badan-
badan usaha yang ada, dan 5 hubungan kerja industrial. Berkaitan dengan kelembagaan, otonomi daerah yang tertuang dalam
UU No 22 Tahun 1999, UU No 32 Tahun 2004 sangat mewarnai peranan lembaga-lembaga ekonomi baik dari tingkat pusat maupun daerah. Dalam
perkembangan kelapa sawit terdapat empat faktor kunci sebagai penentu keberhasilan yaitu:
1. Kemauan politik Pemerintah Pusat dan Daerah, 2. Koordinasi dan sinkronisasi antar instansi Pemerintah,
3. Keprofesionalan para pelaku di lapangan, 4. Komitmen dari bank untuk pendanaan pengembangan kelapa sawit.
Dari faktor-faktor tersebut maka untuk masa mendatang sistem perkebunan kelapa sawit diusulkan agar memperhatikan hal-hal: 1 pendidikan bagi petani
untuk meningkatkan kapasitas kerja, 2 dukungan ke empat faktor kunci tersebut, 3 memanfaatkan otonomi daerah untuk kepentingan petani
Kartasasmita, 2005. Hasibuan 2005 mengusulkan paradigma pengembangan kelapa sawit
di masa mendatang sebagai Paradigma Pembangunan Kemandirian Lokal dengan ciri-ciri: 1 pembangunan yang berorientasi terhadap pemenuhan
kebutuhan nyata masyarakat setempat community oriented, 2 pembangunan yang didasarkan pada keadaan sumberdaya masyarakat setempat community
based, 3 pengelolaan pembangunan oleh masyarakat setempat community managed, dan 4 pendekatan pembangunan manusia: pemberdayaan
empower, keadilan equity, produktivitas productivity, dan berkesinambungan
20
sustainable. Lebih lanjut, konsep ini dituangkan kedalam pola PIR Plus Peranan Koperasi dimana fungsi dari setiap pihak jelas yaitu:
Fungsi pihak Perusahaan Inti: a. pengurusan pinjaman kredit investasi,
b. membangun dan mengelola kebun estate management, c. penalangan dana bridging financing, dan
d. membeli TBS membangun PKS Fungsi Koperasi:
a. wadah tunggal petani peserta, b. membuat perjanjian kredit dengan Bank,
c. pengurus koperasi bertindak sebagai Dewan Pengawas, dan d. membuat kontrak manajemen dengan perusahaan inti.
Fungsi petani peserta: a. sebagai pemilik mendapat pembagian laba SHU, dan
b. sebagai karyawan mendapat gaji tetap Berkaitan dengan pemanfaatan otonomi daerah untuk kepentingan
rakyat, Pemerintah Daerah Propinsi Riau sudah memperoleh keberhasilan dalam pengembangan kelapa sawit rakyat dengan menyediakan lahan dan
modal dengan insentif bunga rendah. Dari sekitar 9,1 juta hektar luas daratan Propinsi Riau, sekitar 3,1 juta hektar dicadangkan untuk perkebunan yang
didominasi oleh kelapa sawit. Modal kerja dikucurkan melalui Program Bantuan Pinjaman Modal Ekonomi Kerakyatan PEK untuk membantu petani sebanyak
3960 kepala keluarga Husien dan Hanafi, 2005. Iswati 2004 mengusulkan agar peranan Kelompok Tani POKTAN dan
Koperasi Unit Desa KUD lebih diintensifkan lagi dalam mendukung pengembangan perkebunan kelapa sawit. Dalam usulannya, peranan lembaga
tersebut adalah: 1. Peranan langsung dengan aspek pengelolaan usahatani meliputi
pengadaan dan penyaluran sarana produksi, pengumpulan hasil, pengangkutan hasil dan pemasaran.
2. Peranan yang tidak berkaitan langsung dengan pengelolaan produksi meliputi pengadaan barang konsumsi dan usaha simpan pinjam.
Sementara itu, Lubis et al. 1990 melaporkan bahwa peranan dan tanggungjawab petani plasma dan perangkat perusahaan inti, pemerintah desa
21
serta perbankan sangat menentukan dalam pencapaian masyarakat pekebun yang berwiraswasta, sejahtera dan selaras dengan lingkungannya.
2.3. Dampak Lingkungan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit