150
4.6.2.3. Uji Kestabilan Model
Uji ini dilakukan untuk mengetahui kestabilan model dari dimensi waktu dengan cara membandingkan hasil simulasi main model dengan co modelnya
Muhammadi et al., 2001. Jika hasil simulasi dari variabel yang dibandingkan menunjukkan kemiripan pola maka model yang dikembangkan termasuk
kategori stabil. Dalam penelitian ini, uji kestabilan model dilakukan dengan cara membandingkan hasil simulasi produktivitas lahan, kerusakan lingkungan
karena degradasi lahan, pendapatan petani dan kualitas sumberdaya manusia
akibat pemanfaatan untuk perkebunan kelapa sawit.
Secara umum, hasil simulasi memperlihatkan semua variabel yang dibandingkan memiliki pola yang mirip mengikuti pola s-curve. Hal ini merupakan
pola umum dari pemanfaatan sumberdaya lahan untuk kegiatan pertanianperkebunan Meadows,1987. Namun demikian, curve variabel
produktivitas lahan, kerusakan lingkungan akibat degradasi lahan dan kualitas sumberdaya manusia SDM memperlihatkan pola yang mirip. Variabel
produktivitas lahan meningkat cepat pada periode awal, diikuti peningkatan yang lambat dan pada periode akhir produktivitas lahan cenderung menurun Gambar
29. Sementara curve variabel pendapatan petani terlihat adanya penurunan pendapatan yang lebih tajam pada periode umur tanaman melewati 20 tahun.
Produktivitas Lahan
Tahun
P roduktivitas T
on T B
S H
aT hn
2010 2015
2020 2025
2030 2035
10 20
30 40
50 60
Gambar 29. Prediksi Pola Produktivitas Lahan pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
151
Pada kasus ini, pola produktivitas lahan merupakan kombinasi faktor eksternal manajemen yang diterapkan dengan faktor internal sifat-sifat tanah
dan iklim. Aplikasi manajemen yang tepat terutama pemupukan yang sesuai dengan konsep 5T tepat jenis, tepat dosis, tepat waktu pemberian, tepat cara
pemberian dan tepat frekuensi pemberian akan bisa mempertahankan tingkat produktivitas lahan. Hal ini erat kaitannya dengan keseimbangan dinamika unsur
hara di dalam tanah antara unsur yang masuk ke dalam tanah dan unsur yang keluar dari dalam tanah. Sifat-sifat tanah sebagai media pertumbuhan kelapa
sawit yang umum merupakan lahan marginal dengan ketersediaan unsur hara rendah dan banyaknya kebutuhan unsur kelapa sawit menyebabkan tambahan
unsur hara dari luar sistem tanah-tanaman menjadi vital untuk menjaga produktivitas lahan
Kerusakan Lingkungan Karena Degradasi Lahan
0.01 0.02
0.03 0.04
0.05 0.06
0.07 0.08
0.09
2010 2015
2020 2025
2030 2035
Tahun
D e
gr a
da s
i La h
a n
Gambar 30. Prediksi Kerusakan Lingkungan Karena Degradasi Lahan pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan
di Sei Pagar Terpeliharanya produktivitas lahan diperkuat oleh pola kerusakan
lingkungan akibat degradasi lahan Gambar 30. Dari kurva terlihat adanya peningkatan degradasi lahan rendah sekitar 0,03-0,08 yang disebabkan oleh
kondisi topografi dan penerapan teknologi pengelolaan tanaman. Topografi lokasi sebagian besar datar dengan lereng 0-5 dan hanya sebagian kecil
berombak dengan lereng antara 5-8. Kondisi topografi ini dan sistem perakan tanaman kelapa sawit yang rapat sampai ke permukaan tanah mampu menahan
152
laju aliran permukaan pada waktu musim hujan maupun banjir. Pada kondisi seperti di lokasi penelitian, tanaman kelapa sawit memenuhi syarat sebagai
tanaman konservasi karena memiliki kemampuan merehabilitasi tanah dan memperbaiki tata air Harahap, 2007. Dengan demikian, aplikasi pemupukan
konsep 5T akan efektif menjaga produktivitas lahan dan meningkatkan produksi kelapa sawit. Pada kondisi topografi yang berlereng lebih terjal bergelombang
sampai berbukit maka produktivitas lahan cenderung menurun lebih cepat karena tingginya erosi dan aliran permukaan. Laju erosi yang tinggi ini
merupakan faktor utama dari penurunan kualitas lahan selain pencemaran air dan tanah akibat penggunaan sarana produksi pupuk dan pestisida. Hal ini
seperti dilaporkan oleh Wigena et al. 2006 yang melakukan penelitian pada kebun kelapa sawit di Desa Tanjung Benuang, Jambi, bahwa kerusakan
lingkungan akibat degradasi lahan terjadi lebih intensif dan menurunkan produktivitas lahan secara nyata. Penurunan produktivitas lahan yang kecil
tersebut juga berkaitan dengan pola penurunan daya dukung lingkungan yang rendah Gambar 31.
Tahun Daya Dukung Lingkungan
2010 2015
2020 2025
2030 2035
0.9980 0.9985
0.9990 0.9995
Gambar 31. Prediksi Pola Daya Dukung Lingkungan pada Pengelolaan
Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
Dengan asumsi nilai daya dukung lingkungan sebesar 1,0 sebagai nilai yang menunjukkan daya dukung lingkungan yang terbaik 100 maka daya
dukung lingkungan di kebun plasma kelapa sawit Sei Pagar masih tergolong baik. Penurunan daya dukung lingkungan berkisar antara 0,002 – 0,01 atau
153
relatif tidak menurun selama pemanfaatan lahan untuk kebun kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh kualitas lahan, air tanah permukaan dan udara yang masih
mampu mendukung pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Hasil analisis fisika dan kimia tanah Lampiran 17 dan Lampiran 18
adalah faktor lainnya yang mendukung kondisi produktivitas lahan tersebut. Terlihat adanya beberapa parameter yang kurang sesuai untuk kebutuhan hidup
tanaman kelapa sawit yaitu pH yang masam 4,5, kejenuhan basa rendah 24 dan KTK rendah 16 me100 grmDjaenudin et al., 2003. Selama
penelitian, dilakukan wawancara dengan petani di lokasi penelitian dimana hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar 80 petani menyatakan
kualitas lahan agaksedikit menurun dengan berjalannya waktu akibat pemanfaatan untuk kegiatan perkebunan, sebagian kecil 15 menyatakan
menurun dan 5 menyatakan kualitas lahan tetap Gambar 32.
Status Kualitas Lahan
10 20
30 40
50 60
70 80
90
1
Kualitas lahan P
er s
ent as
e pe ta
ni
Tetap Agak menurun
Menurun
Gambar 32. Pendapat Petani terhadap Perubahan Kualitas Lahan yang Dimanfaatkan untuk Perkebunan Kelapa Sawit Di Kebun
Plasma Sei Pagar
Beragamnya jawaban petani ini erat kaitannya dengan tingkat penerapan teknologi pengelolaan. Penerapan teknologi pengelolaan yang baik umumnya
bisa menjaga kualitas lahan dan sebaliknya aplikasi teknologi yang kurang baik menyebabkan penurunan kualitas lahan. Hasil wawancara ini juga
mengindikasikan pemahaman petani terhadap pentingnya peranan pemeliharaan tanaman yang sesuai standar anjuran terutama pemupukan masih
154
bervariasi. Dikaitkan dengan kelestarian sumberdaya alam dan target produksi, perilaku petani masih memerlukan bimbingan dan pembinaan yang lebih intensif
agar pemahaman tersebut semakin meningkat. Keharmonisan kinerja antara instansi terkait menjadi penting dalam rangka membina petani menyangkut
aspek teknis, ekonomi dan sosial. Lebih lanjut, infrastruktur dan sistem pengadaan sarana produksi agar tepat waktu dan jenis pupuk yang dibutuhkan
oleh kelapa sawit perlu diperbaiki untuk mencapai kondisi berkelanjutan. Selain hasil analisa tanah, hasil analisis kimia air tanah permukaan
menunjukkan adanya perubahan yang tidak nyata terhadap kebutuhan tanaman Lampiran 17. Nilai pH masih baik 4,7, kadar kation K, Ca, Mg,Na masing-
masing 0,01-0,02 meltr air, 0,02-0,07 meltr air 0,01-0,02 meltr air dan 0,02- 0,08 meltr air. Kadar anion SO
4
, HCO
3
, NO
3
juga memperlihatkan konsentrasi yang mirip yaitu 0,01-0,02 meltr air, 0,02-0,07 meltr air dan 0,01-0,02 meltr air.
Hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa semua petani menilai
kualitas air dan udara tetap Gambar 33.
Status Kualitas Air dan Udara
20 40
60 80
100 120
1 P
ers ent
a s
e pet a
ni Air
Udara
Gambar 33. Pendapat Petani terhadap Perubahan Kualitas Air Permukaan
dan Udara yang Dimanfaatkan untuk Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Di Sei Pagar.
Respon petani terhadap kualitas air ini kemungkinan berkaitan dengan pemanfaatan air permukaan hanya untuk tanaman, sedangkan untuk kegiatan
rumahtangga petani memakai air tanah dengan membuat sumur bor. Sementara itu, terhadap kualitas udara mungkin berkaitan dengan kondisi penutupan lahan
155
yang sudah rapat oleh kanopi kelapa sawit dan jauhnya tempat tinggal petani dari lokasi pabrik pengolahan kelapa sawit sehingga tidak kena pengaruh
aktivitas pabrik kelapa sawit. Berkaitan dengan daya dukung lingkungan, limbah cair pabrik kelapa
sawit PKS bisa memberikan kontribusi nyata terhadap penurunan produktivitas lahan, lebih-lebih limbah cair PKS di lokasi penelitian dipakai sebagai sumber
bahan pembaik tanah ataupun pupuk organik yaitu system Land Application LA. Untuk melihat hal tersebut, dilakukan analisis kimia dan biologi contoh
limbah cair PKS dengan mengambil contoh pada kolam input LA Lampiran 19,
Tabel 32.
Tabel 32. Sifat-Sifat Kimia dan Biologi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar
Nilai No Parameter
Bakumutu Pengukuran contoh
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
9. BOD mgl
Fe mgl Al mgl
Cu mgl Pb mgl
Cd mgl Co mgl
Hg ppb Minyak dan lemak mgl
3500 0,3
0,2 1,0
3,0
0,005 0,1
0,05 3000
2348 0.10
Td 0,00
1,12 0,00
0,04
Ttd 770
Keterangan: ttd = tidak terukur
Beberapa parameter yang diukur nilainya di bawah NAB seperti BOD sebesar 2348 mgltr, minyak dan lemak 770 mgltr. Demikian juga dengan
konsentrasi logam seperti Fe, Al, Cu, Pb, Cd, Co dan Hg nilainya di bawah NAB. Ini menunjukkan bahwa limbah cair PKS yang diaplikasikan sebagai bahan
pembaik tanahpupuk organik sudah memenuhi standar kualitas, baik secara kimia maupun biologi. Pemanfaatan limbah cair sebagai pupuk organik
memberikan peluang untuk mengurangi kebutuhan pupuk anorganik baik pupuk tunggal Urea, SP-36, KCl, dolomit maupun pupuk majemuk NPK. Hal ini juga
membantu petani dalam meminimalkan biaya produksi untuk pembelian pupuk anorganik yang harganya semakin mahal. Di pihak lain, terbatasnya produksi
limbah cair dan lamanya waktu yang diperlukan untuk fermentasi limbah cair segar sampai siap diaplikasikan ke tanaman menjadi kendala dalam
memproduksi pupuk organik limbah cair. Sampai saat ini, pupuk organik limbah
156
cair baru bisa diaplikasikan pada luasan pertanaman terbatas terutama pada areal kebun inti saja.
Dilihat dari variabel-variabel yang berkaitan dengan lahan, produktivitas lahan untuk tanaman kelapa sawit di lokasi penelitian masih tergolong baik.
Tingkat kesesuaian lahan termasuk kelas S2 cukup sesuai dengan tingkat produksi rata-rata sebesar 22,04 ton TBShatahun. Selain itu, analisis contoh
daun juga menunjukkan kadar unsur hara di dalam tanah yang sebagian besar
masih mampu memenuhi kebutuhan tanaman Lampiran 20, Tabel 33.
Tabel 33. Kadar Beberapa Unsur Hara Contoh Daun Kelapa Sawit Plasma Di Kebun Sei Pagar
Nilai No Jenis
unsur hara
Bakumutu Pengukuran Status
1. 2.
3. 4.
5. 6.
Nitrogen Phosphor
Kalium Magnesium
Kalsium Sulfur
2,50 0,15
1,00 0,24
0,60 0,22
2,51-2,73 0,15
0,5 0,22-0,28
0,77-0,99 0,13-0,15
Baik Baik
Defisien Baik
Baik Defisien
Keterangan: Sumber: Fairhurst 2002
Kadar unsur hara makro N, P, Ca, dan Mg masih dalam konsentrasi yang memenuhi kebutuhan tanaman, sementara itu K dan S dibawah kebutuhan
tanaman. Hal ini berkaitan dengan tingkat kebutuhan tanaman terhadap kalium yang melebihi unsur hara lainnya sehingga kekurangan unsur kalium merupakan
gejala umum dari tanaman kelapa sawit. Melihat gejala ini, usaha yang banyak dilakukan saat ini adalah dengan mengembalikan tandan buah kosong ke areal
kebun sebagai sumber utama kalium Fairhust, 2002. Sementara itu, kadar unsur hara mikro kelihatannya masih memenuhi kebutuhan tanaman.
Secara ekonomi penerimaan dan pendapatan petani kelapa sawit plasma menujukkan pola yang mirip dengan pola variabel produksi tandan buah segar
tanaman yang meningkat cepat di awal periode, diikuti dengan peningkatan melambat dan menurun di akhir periode Gambar 34. Hal ini memang logis
karena penerimaan petani diperoleh dari jumlah panen TBS dikalikan dengan harga satuan TBS. Pendapatan petani diperoleh dengan cara mengurangi
penerimaan biaya produksi, biaya pemasaran dan biaya-biaya lainnya biaya perbaikan jalan, iuran peribadatan, biaya timbangan dan biaya keamanan.
157
Biaya Produksi BYPROD, Penerimaan PNRMN dan Pendapatan PDPT Petani
Tahun RpHaTahun
PDPT_PETANI 1
PNRMN_PETANI 2
BYPROD 3
2,010 2,015
2,020 2,025
2,030 2,035
-10,000,000 10,000,000
20,000,000 30,000,000
40,000,000 50,000,000
1 2
3 1
2
3 1
2
3 1
2
3 1
2
3 1
2
3
Gambar 34. Prediksi Pola Biaya Produksi, Penerimaan dan Pendapatan Petani pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma
Berkelanjutan Di Sei Pagar Hal yang menarik adalah adanya sedikit perbedaan antara pola produksi
TBS dengan produktivitas lahan disebabkan oleh tidak adanya dominasi alamiah faktor internal pada variabel produktivitas lahan. Jadi sifat-sifat bawaan tanah
inherent soil properties sudah berinteraksi dengan faktor lainnya seperti iklim dan manajemen membentuk pola produktivitas lahan yang agak menurun pada
periode akhir siklus tanaman kelapa sawit. Produksi TBS merupakan fungsi dari interkasi faktor eksternal pengelolaan dan sifat-sifat lahan dengan sifat genetik
tanaman. Kelapa sawit termasuk tanaman tahunan dimana produksinya sangat dipengaruhi oleh umur tanaman yang polanya meningkat pada umur tanaman
muda, diikuti dengan peningkatan produksi lambat dan kemudian menurun pada umur tanaman tua karena faktor usia. Secara ekonomis, umur kelapa sawit yang
sudah tua melebihi 25 tahun sudah tidak layak dan perlu diremajakan . Kelapa sawit merupakan komoditas global sehingga pengelolaannya
dilakukan dengan penerapan agribisnis dengan skala ekonomi minimal 5000- 6000 hektarunit usaha. Hal ini memerlukan biaya produksi yang besar terutama
158
pada awal periode dimana petani tidak mungkin untuk membiayai sendiri. Solusinya adalah pinjaman berjangka dari bank negaraswasta nasional dengan
tingkat suku bunga tertentu. Adanya pengaruh tingkat inflasi dan faktor ekonomi lainnya menyebabkan meningkatnya modal kerja yang dibutuhkan untuk
pengelolaan kebun kelapa sawit yang memenuhi standar yang ditetapkan. Modal kerja dipakai untuk biaya produksi terutama di periode awal tanam sampai
tanaman mulai menghasilkan sekitar 3 tahun. Dengan asumsi rata-rata tingkat produksi TBS yang ingin dicapai sebesar 25,83 ton TBShatahun, kebutuhan
modal kerja untuk operasional 3 tahun tersebut sekitar Rp. 22 833 500ha. Jumlah biaya ini sedikit lebih tinggi dari pola Program Revitalisasi Perkebunan
Kelapa Sawit yang dirancang oleh Departemen Pertanian Tahun 2007 sebesar Rp. 22 000 000ha Ditjenbun, 2007. Hal ini dimungkinkan oleh perkembangan
inflasi dan harga produk kelapa sawit terutama TBS yang cenderung meningkat akhir-akhir ini.
Setelah periode awal tersebut, biaya produksi memperlihatkan peningkatan dengan meningkatnya umur kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya upah buruh yang menyangkut upah pemeliharaan tanaman pemangkasan pelepah daun, pengendalian gulma dan hamapenyakit dan
pemupukan, upah panen dan biaya transportasi dari kebun ke PKS. Sampai umur kelapa sawit 25 tahun, biaya produksi terus meningkat terutama upah
panen karena panen semakin sulit dilakukan. Pada beberapa kasus, kelapa sawit perlu diremajakan walaupun masih produktif karena biaya produksi tinggi
dan secara teknis panen sulit dilakukan. Dari pola pendapatan, diperoleh rata-rata pendapatan petani sebesar Rp.
22 859 950hatahun atau sebesar Rp. 1 904 995habulan dengan laju pertumbuhan pendapatan rata-rata sebesar 3,35 Tabel 34. Dengan
kepemilikan lahan seluas 2,0 hektarkk maka pendapatan petani menjadi Rp. 45 719 900tahun. Pendapatan masyarakat di sekitar kebun rata-rata sebesar Rp.
16 845 025tahun. Tingkat pendapatan ini kemungkinan besar melebihi tingkat pendapatan yang bersumber dari Upah Minimum Regional UMR Provinsi Riau
yang saat ini besarannya sekitar Rp. 1 000 000bulan. Perbandingan lainnya adalah kondisi dimana pendapatan petani mampu
memenuhi tingkat Kebutuhan Hidup Layak KHL, yang mencakup pemenuhan kebutuhan dasar petani, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial dan sedikit
menabung. Konsep KHL terdapat pada petani padi dimana dengan asumsi
159
jumlah anggota rumahtangga petani 3-4 orangkepala keluarga, produksi beras minimal 5000 kgtahun. Dengan tingkat harga beras Rp. 4000kg maka
pendapatan petani pada konsep KHL sebanyak Rp. 20 000 000tahun Sinukaban, 2007. Tingkat pendapatan hasil simulasi tersebut juga sudah
memenuhi target Pemerintah Daerah Provinsi Riau melalui pengembangan sektor perkebunan. Dengan visi “Mewujudkan kebun untuk kesejahteraan
masyarakat Riau tahun 2020”, target pendapatan petani kebun kelapa sawit diharapkan rata-rata sebesar US 2000kktahun Husien dan Hanafi, 2005.
Tabel 34. Rata-Rata Pendapatan Petani Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar
No Tahun
Pendapatan petani RpHaThn
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
13 14
15 16
17 18
19 20
21 22
23 24
25 2010
2011 2012
2013 2014
2015 2016
2017 2018
2019 2020
2021 2022
2023 2024
2025 2026
2027 2028
2029 2030
2031 2032
2033 2034
2035 -9 900 000
-4 638 400 -3 728 450
14 210 200 19 499 470
23 248 980 26 661 375
29 500 780 31 914 925
33 807 730 35 346 670
36 522 300 36 875 255
36 344 950 35 505 510
33 760 550 32 431 490
30 222 975 27 846 980
26 015 190 24 117 580
22 165 125 19 477 830
16 704 840 13 868 100
13 716 775
Rata-rata 22 859 950
Laju pertumbuhan rata-rata 3,35
160
Hal yang menarik pada pola pendapatan petani adalah adanya pendapatan negatif selama 3 tahun pertama. Hal ini menunjukkan bahwa petani
pada periode awal tersebut tidak memperoleh pendapatan melainkan mengeluarkan dana untuk membiayai produksi seperti biaya bibit, pembukaan
lahan, tenaga kerja tanam dan lain-lain. Modal kerja yang berupa hutang ke bank sebagaian besar diinvestasikan selama periode tersebut. Sementara itu,
untuk pendapatan, petani melakukan beberara kiat antara lain dengan menanam tanaman pangan di sela barisan kelapa sawit, berburuh tani di kebun tetangga
ataupun perusahaan inti dan melakukan pekerjaan di luar usaha perkebunan tukang ojek, jasa pertukangan dan jasa lainnya. Pada kasus di lokasi penelitian,
selain usaha tersebut, petani juga memiliki kebun kelapa sawit di luar kebun plasmanya yaitu di lahan pangan dan pekarangan dengan luasan sekitar 1,0
hektar. Pada saat penelitian dilakukan, umur kelapa sawit di lahan pangan dan pekarangan antara 10-12 tahun.
Pendapatan yang diterima petani dialokasikan untuk biaya rumahtangga, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial dan tabungan untuk perbaikan rumah,
peremajaan kebun dan keperluan lainnya. Meningkatnya pendapatan petani berimbas kepada perbaikan kondisi sosial terutama kualitas sumberdaya
manusia seperti pendidikan Gambar 35. Pola curve peningkatan kualitas sumberdaya manusia mirip dengan pola produktivitas lahan dimana meningkat
cepat pada priode awal, melambat pada priode pertengahan umur tanaman dan kemudian relatif mendatar bahkan cenderung menurun pada akhir umur
tanaman. Hal ini berkaitan dengan pola pendapatan petani sebagai sumber pembiayaan dalam mengakses jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dalam kaitannya dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit, kualitas sumberdaya manusia disetarakan dengan peningkatan produktivitas
tenaga kerja sebagai dampak dari tingkat pendidikan yang dicapai. Produktivitas ini kemudian berhubungan dengan kemampuan untuk memperoleh dan
mengaplikasikan teknologi pengelolaan kebun kelapa sawit yang tepat sesuai kondisi biofisik, sosial dan ekonomi petani. Tersedianya fasilitas pendidikan yang
bisa diakses petani dari tingkat Sekolah Dasar, SLTP, SLTA dan bahkan sampai ke jenjang Perguruan Tinggi sangat membantu dalam meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia di lokasi penelitian. Dengan kondisi tersebut, diharapkan kualitas sumberdaya manusia meningkat di sektor perkebunan kelapa sawit
sampai mencapai pendapatan sekitar Rp. 55 000 000tahun sumbu Y.
161
Pendidikan Masyarakat
Tahun
T ingk
at pendi
di k
an
2010 2015
2020 2025
2030 2035
10 20
30 40
50 60
Gambar 35. Prediksi Pola Peningkatan Pendidikan Petani pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei
Pagar
Selain simulasi, untuk mengetahui kondisi pendidikan juga dilakukan
wawancara dengan petani plasma. Hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa kehadiran kebun kelapa sawit meningkatkan pendidikan
petani secara nyata. Hanya 5 persen petani yang menyatakan pendidikan agak meningkat, 80 persen menyatakan pendidikan meningkat dan 15 persen
menyatakan pendidikan meningkat dengan nyata Gambar 36. Yang menarik disini adalah proporsi persentase pendidikan tersebut juga sebagai cerminan
jenjang pendidikan yang diharapkan bisa dicapai. Jadi nantinya hanya sekitar 5 saja petani yang mencapai pendidikan rendah Tamat SD, 80 petani
sudah menyelesaikan pendidikan SMPSMA dan skitar 16 bisa mencapai jenjang Perguruan Tinggi. Jenjang pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama umumnya ditempuh di desa-desa lokasi penelitian. Untuk jenjang Sekolah Menengah Atas ditempuh di kota Pekanbaru, sedangkan
untuk jenjang Perguruan Tinggi ditempuh di Pekanbaru atau kota lainnya seperti Padang, Yogyakarta, Bogor dan Bandung.
162
STATUS PENDIDIKAN PETANI
10 20
30 40
50 60
70 80
90
1
Status Pendidikan P
e rsen
tas e
P e
ta n
i
Agak meningkat Meningkat
Meningkat nyata
Gambar 36. Pendapat Petani terhadap Perubahan Status Pendidikan Petani
pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
Meningkatnya kualitas sumberdaya manusia berdampak positif terhadap perilaku masyarakat terutama yang berkaitan dengan kepedulian terhadap
lingkungan dan pengelolaan kebun kelapa sawit. Beberapa indikator yang dapat dilihat antara lain konflik sosial, perbaikan fasilitas umum, kesehatan masyarakat
dan penyerapan tenaga kerja. Wawancara dengan petani menunjukkan bahwa sekitar 10 menyatakan konflik sosial tetap dan 90 menyatakan agak
meningkat Gambar 37. Walaupun demikian, secara kuantitatif, konflik antara petani dengan masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit termasuk jarang dan
timbul akibat keterkaitan petani plasma dengan perusahaan Inti bukan dari masalah kelompok petani sendiri. Sumber konflik yang dominan adalah masalah
penguasaan lahan, kecemburuan sosial masyarakat lokal karena perhatian pemerintah daerah lebih fokus kepada kelompok tani plasma dalam aplikasi
program-program pemberdayaan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh tingkat kepercayaan pemerintah daerah kepada kelompok tani plasma lebih tinggi,
lebih-lebih jika program tersebut ada sarana bantuan yang harus digulirkan kepada kelompok lainnya.
163
Status Konflik Sos ial
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
1 Konf lik
P er
s e
nt as
e pet ani
Tetap Agak meningkat
Gambar 37. Pendapat Petani terhadap Perubahan Konflik Sosial Masyarakat pada
Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
Melihat kondisi tersebut, solusi yang diambil oleh pemerintah daerah adalah memperbaiki strategi pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan
masyarakat lokal lebih intensif. Dalam aplikasinya, strategi dilakukan bekerjasama dengan Perusahaan Inti dengan merealisasikan program
Pemberdayaan Masyarakat Community Empowerment yang menyangkut aspek pendidikan, kesehatan, infrastruktur, peribadatan dan kesehatan. Program
ini dilaksanakan berdasarkan acuan dari Surat keputusan Menteri Pertanian yaitu Permen No. 05MBU2007 tanggal 24 April 2007 tentang Pemberdayaan
Masyarakat dengan menyisihkan keuntungan dari Perusahaan Inti sebesar 2,5. Kegiatan yang dilakukan berupa Program Usaha Kecil dan Koperasi
PKUK yang bisa diakses oleh koperasi maupun kelompok tani. Dengan program tersebut, fasilitas umum memperlihatkan perbaikan baik
dari segi kuantitas maupun kualitas. Wawancara dengan petani menunjukkan bahwa 75 petani menyatakan kondisi fasilitas umum membaik dan sekitar 25
menyatakan membaik secara nyata Gambar 38. Sejalan dengan itu, kesehatan masyarakat juga membaik dimana sebanyak 60 petani menyatakan kesehatan
masyarakat membaik dan 40 menyatakan membaik secara nyata Gambar 39. Indikator kesehatan masyarakat dan kondisi fasilitas umum ini
mengindikasikan adanya dampak yang positif terhadap produktivitas masyarakat dalam mengelola perkebunankelapa sawit. Produktivitas petani meningkat
164
berdampak terhadap produktivitas tanaman dan peningkatan daya serap tenaga kerja dalam memproduksi dan pengolahan hasil perkebunan.
Status Fasilitas Umum
10 20
30 40
50 60
70 80
1 Fasilitas umu
P e
rs e
n ta
se p
e ta
n i
Membaik Membaik nyata
Gambar 38. Pendapat Petani terhadap Perubahan Status Fasilitas Umum pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma
Berkelanjutan Di Sei Pagar
Status Kesehatan Masyarakat
10 20
30 40
50 60
70
1 Kesehatan masyarakat
P e
rs e
n ta
s e
pe ta
ni Membaik
Membaik nyata
Gambar 39. Pendapat Petani terhadap Perubahan Status Kesehatan Masyarakat pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit
Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
165
Penyerapan tenaga kerja perkebunan kelapa sawit terjadi pada proses produksi TBS dan pengolahan hasil TBS pada pabrik pengolahan kelapa sawit
PKS yang memproses TBS menjadi crude palm oil CPOGambar 40. Wawancara dengan petani dan pekerja PKS memperlihatkan bahwa sebanyak
20 menyatakan adanya penyerapan tenaga kerja yang agak meningkat dan sebanyak 80 menyatakan penyerapan tenaga kerja yang meningkat akibat
adanya perkebunan kelapa sawit. Peningkatan serapan tenaga kerja dimungkinkan oleh penerapan teknologi pengelolaan kebun yang semakin
intensif pada proses produksi TBS dan penerapan sistem Land Application LA pada PKS.
Status Penyerapan Tenaga Kerja
10 20
30 40
50 60
70 80
90
1
Penyerapan tenaga kerja P
e rs
e n
ta se
p e
ta n
i
Agak meningkat Meningkat
Gambar 40. Pendapat Petani terhadap Perubahan Status Penyerapan Tenaga Kerja pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit
Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar Pengelolaan yang intensif secara langsung membutuhkan tenaga kerja
lebih banyak dan memberikan hasil TBS yang lebih tinggi. Untuk tenaga kerja di kebun, tidak banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh pekerja. Umumnya
petani sudah mau memakai tenaga kerja yang tergolong masih usia produktif umur 15-60 tahun dan sehat jasmani. Sementara itu, untuk tenaga kerja di
PKS, perekrutannya mengacu kepada Surat Keputusan Direktur Utama PT. Perkebunan Nusantara V Tahun 2002 No 85-SKEP05.D105.09XI2002.
Berdasarkan ketermapilannya, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pengelolaan PKS dapat dikelompokkan menjadi tenaga penyeleksi TBS dengan latar
166
belakang pendidikan agronomi, tenaga mekanik pengolahan TBS dengan latar belakang pendidikan teknik mesin, tenaga pengontrolan mutu minyak sawit
mentah crude palm oil, CPO dengan latar belakang pendidikan industri kimia serta tenaga pengelolaan limbah padat dan cair PKS dengan latar belakang
pendidikan kimiabiologi.
4.6.2.4. Uji Sensitivitas Model