Analisis Kelembagaan HASIL DAN PEMBAHASAN

118 kering masam ataupun lahan gambut. Dalam kondisi seperti ini, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi, konsep pemupukan 5T lima tepat yaitu tepat jenis pupuk, dosis pupuk, waktu pemberian pupuk, cara pemberian pupuk dan frekuensi pemberian pupuk masih menjadi acuan dalam aplikasi pemupukan Koedadiri et al., 2005.

4.5. Analisis Kelembagaan

Analisis kelembagaan dalam pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan diestimasi dengan model Analytical Hierarchy Process AHP. Peranan dan keterkaitan lembaga dalam pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan menjadi fokus analisis. Terdapat 5 faktor yang menjadi pertimbangan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu sumberdaya alam SDA, sumberdaya manusia SDM, kearifan lokal, modal kerja dan kebijakan pemerintah. Teridentifikasi 6 aktor yang berperan yaitu kelompok tani POKTAN, pemerintah daerah PEMDA, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, Perusahaan Inti, lembaga keuangan formal dan lembaga keuangan non formal. Terumuskan 5 tujuan yang ingin dicapai yaitu peningkatan pendapatan petani, peningkatan Pendapatan Asli Daerah PAD, kelestarian sumberdaya alam, keharmonisan kearifan lokal dan penciptaan lapangan kerja. Pada hirarki terakhir yang berupa alternatif pengelolaan, terdapat 3 alternatif sebagai solusi untuk mencapai tujuan yaitu pengelolaan oleh perusahaan inti dalam hal ini PTPN V, pengelolaan kerjasama antara perusahaan inti dengan masyarakat petani plasma dan pengelolaan oleh masyarakat dengan memperkuat kelompoktani melalui pembentukan gabungan kelompoktani GAPOKTAN. Penilaian dari setiap level hirarki dilakukan melalui Focus Group Discussion FGD dari 14 orang pakar perkebunan yang terdiri dari staf PT Perkebunan Nusantara V di Sei Pagar, staf PT. Perkebunan V Pekanbaru, Pemerintah Daerah melalui Dinas Terkait Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Badan Pertanahan Nasional Tingkat Kabupaten Kampar dan Dinas Koperasi Kabupaten Kampar serta LSM sebagai pewakil dari organisasi masyarakat lokal. Pelaksanaan FGD mengikuti prosedur standar pelaksanaan FGD, dimulai dari penentuan partisipan untuk memperoleh partisipan yang memiliki pemahaman sama terhadap model yang dibangun, pengantar pelaksanaan, pelaksanaan dan pemantauan interaksi partisipan. Hasil analisis Program 119 Criterium Decision Plus CDP terhadap hirarki yang sudah ditetapkan disajikan pada Gambar 14. Fokus Faktor Aktor Tujuan Alternatif Pengelolaan Gambar 14. Alternatif Pengelolaan, Tujuan dan Kontribusi Faktor dan Aktor Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar. Analisis yang lebih rinci pada level faktor, menunjukkan bahwa sumberdaya alam SDA memegang peranan yang paling dominan untuk mencapai kondisi perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan dengan kontribusi sebesar 38, diikuti oleh sumberdaya manusia SDM dengan kontribusi sebesar 23, bobot modal kerja dan kebijakan pemerintah hampir sama masing-masing sekitar 14. Faktor kearifan lokal menunjukkan nilai bobot terendah sebesar 10. Gambar 15. Peran dan keterkaitan lembaga dalam pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan 1,000 Sumber- daya alam 0,380 Sumber daya manusia 0,227 Kearifan Lokal 0.101 Modal kerja 0,144 Kelompok tani 0,268 Pemda 0,267 LSM 0,194 INTI 0,147 Lbg. keua- ngan formal 0,082 Meningkatkan pendapatan petani 0,303 Kebijakan pemerintah 0,147 Meningkat kan PAD 0,291 Kelestari an SDA 0,108 Keharmoni san kearifan lokal 0,100 Mencipta- kan lapang- an kerja 0,198 Lbg. keua- ngan non formal 0,043 Perusahaan INTI 0,128 Kerjasama INTI-Masyarakat 0,359 Masyarakat dgn penguatan GAPOKTAN 0,513 120 Gambar 15. Kontribusi Faktor dalam Kelembagaan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar. Hasil ini mengindikasikan bahwa produktivitas dan kelestarian sumberdaya alam harus menjadi pertimbangan utama untuk mencapai kondisi kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan. Berkaitan dengan produktivitas dan kelestarian sumberdaya alam, pemerintah merumuskan paket kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu hasil . Salah satu komponen dari paket tersebut adalah pengembangan teknologi yang disesuaikan dengan kondisi wilayah, budaya dan sosial ekonomi masyarakat serta keamanan lingkungan untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam Ditjenbun, 2006b. Kondisi tersebut memang masuk akal karena sifat kelapa sawit mampu memproduksi TBS dalam jumlah yang banyak tetapi juga memerlukan unsur hara yang banyak. Sementara itu, lokasi pengembangan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar pada tanah-tanah lahan marginal yaitu pada tanah kering masam sekitar 66 dan sisanya tanah gambut dengan potensi termasuk kategori kesesuaian lahan kelas S2 cukup sesuai atau S3 sesuai terbatas Koedadiri et al., 2005. Memperhatikan sifat tanaman kelapa sawit tersebut maka teknologi pengelolaan lahan terutama teknologi pemupukan menjadi penting dalam rangka 121 memelihara kelestarian sumber daya alam. Ini disebabkan oleh ketidak seimbangan penyediaan unsur hara oleh tanah dengan yang diperlukan oleh tanaman. Kemampuan tanah menyediakan unsur hara jauh di bawah kebutuhan tanaman, maka pemberian unsur hara dari luar sistem tanah-tanaman berupa pemupukan menjadi vital. Dalam paket pemeliharaan tanaman, alokasi dana pemeliharaan untuk pupuk menempati tempat tertinggi yaitu sebesar 60 dari kebutuhan dana pemeliharaan total Adiwiganda, 2002. Dengan ketersediaan unsur hara di dalam lebih kecil dari yang diperlukan maka terjadi ketidak seimbangan antara unsur hara yang diserap dengan yang tersedia sehingga terjadi pengurasan hara. Ketidak seimbangan ini menyebabkan penurunan kualitas tanah degradasi tanah secara kimia yang secara langsung menurunkan kelas kesesuaian lahan. Sumberdaya manusia menempati urutan kedua diikuti oleh kebijakan pemerintah. Hal ini juga masuk akal karena dalam era globalisasi, manusia penduduk memegang peranan penting dalam aplikasi pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Keberhasilan inovasi dan adopsi teknologi pengelolaan perkebunan yang terus berkembang melalui arus perubahan informasi teknologi. Sumberdaya manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan memadai akan merespon dengan cepat inovasi teknologi yang berujung pada peningkatan produktivitas tanaman dan kualitas produksi. Hal ini senada dengan sasaran pembangunan Daerah Provinsi Riau melalui Lima Pilar Utama dimana Pilar Kedua adalah pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia Syahza, 2008. Pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia sangat relevan dengan pengembangan kelapa sawit yang merupakan komoditas global dengan sasaran konsumen lebih banyak di pasar internasional. Pada level pasar internasional maka kualitas barang yang dipasarkan dalam hal ini CPO memegang peranan penting agar memperoleh harga tinggi sehingga aspek ekonomi dari kondisi berkelanjutan bisa dicapai. Kualitas CPO yang tinggi tidak lepas dari kemampuan sumberdaya manusia dalam mengaplikasi teknologi pengelolaan tanaman selama proses produksi TBS disertai prosesing pasca panennya. Di lain pihak, kebijakan pemerintah yang mendukung penerapan teknologi pengelolaan tanaman dan pengolahan TBS yang tepat serta mata rantai pemasaran CPO yang efisien sangat membantu dalam mencapai kondisi berkelanjutan. 122 Rendahnya kontribusi modal kerja menjadi menarik karena kenyataannya pengembangan kelapa sawit membutuhkan modal yang besar berkaitan dengan skala usaha ekonomi yang dicapai pada areal tanam yang luas. Hal ini disebabkan oleh akses petani untuk memperoleh modal kerja sudah dijamin oleh lembaga keuangan formal seperti bank pemerintah ataupun bank swasta nasional. Masalahnya adalah penyaluran modal kerja tersebut harus didukung oleh kebijakan pemerintah agar tercapai kondisi yang efisien dalam penyaluran modal kerja dan memberikan manfaat semaksimal mungkin. Tingginya kontribusi pendanaan dari lembaga keuangan merupakan salah satu kunci sukses yang menentukan dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di masa yang lalu Kartasasmita, 2005. Salah satu paket pemerintah dalam penyediaan modal bagi petani kelapa sawit adalah penyediaan kredit dengan subsidi bunga untuk revitalisasi perkebunan sehingga petani hanya membayar 10tahun sejak tahun 2006 sisa bunganya ditanggung pemerintah Ditjenbun, 2006a. Hasil analisis dalam penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Kurniawan 2004 yang memperoleh bahwa untuk mencapai produksi bersih pada industri pengolahan kelapa sawit, faktor biofisik terutama sumberdaya alam menempati prioritas utama dengan bobot 27. Aspek ekonomi menempati prioritas kedua dengan bobot 21, diikuti oleh aspek teknologi dan kebijakan pemerintah masing-masing dengan bobot 18 dan 13. Aktor yang terlibat dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan relatif kompleks dan masing-masing mempunyai kepentingan tersendiri. Pada kondisi umum, keterlibatan aktor akan membela kepentingannya masing-masing sehingga merangsang terjadinya konflik. Oleh karena itu, diperlukan peranan salah satu aktor yang memiliki kewenangan mengatur peranan aktor lainnya yang terlibat dalam bentuk perundang-undangan agar keterkaitan semua lembaga tersebut menjadi sinergis dan saling mendukung. Hasil analisis pada level aktor memperlihatkan adanya dukungan aktor terhadap kontribusi faktor dimana kelompok tani dan Pemerintah Daerah mendominasi masing-masing sebesar 27, diikuti oleh LSM sebesar 19 serta Perusahaan Inti 15 Gambar 16. Perilaku petani dalam mengelola lahan perkebunan kelapa sawit sangat menentukan dalam mencapai kondisi berkelanjutan. Kebijakan pemerintah harus mampu menggalakkan petani dalam mengelolaan kebunnya agar produktivitas lahan terjaga. Paket kebijakan pemerintah dalam pengadaan dan penyaluran 123 sarana produksi, penyuluhan perkebunan, adopsi teknologi anjuran seyogyanya dikemas dalam rumusan yang sederhana dan berpihak kepada petani. Hal ini tersirat dari wawancara di lapangan dimana selama ini petani masih mengeluhkan kebijakan yang kesannya memberatkan petani pekebun sawit. Harga pupuk ”subsidi” sangat jarang bisa diakses petani, harga pupuk mahal dan susah diperoleh tepat waktu. Gambar 16. Kontribusi Aktor dalam Kelembagaan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di sei Pagar Pemerintah Daerah semakin memegang peranan penting dalam pengembangan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit juga berkaitan dengan nuansa otonomi daerah. Dalam pengembangan kelembagaan pedesaan termasuk Gapoktan sedikitnya ada 3 aspek yang perlu diperhatikan yaitu 1 konteks otonomi daerah, 2 pengembangan kelembagaan sebagai sebuah bentuk pemberdayaan dan 3 kelembagaan sebagai jalan untuk mencapai kemandirian lokal. Peranan pemerintah daerah menjadi semakin penting dilihat dari aspek otonomi daerah karena sedikitnya ada 3 tiga peranan yaitu a untuk memaksimumkan nilai, b sebagai lembaga yang memberi peluang kepada 124 akses masyarakat terhadap pemerintah dan c sebagai kompetitor terhadap lembaga lain sehingga kondisi efisien dapat dicapai Syahyuti, 2007. Selama ini, instansi yang banyak terlibat dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma adalah Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan, Badan Pengelola dan Pengendalian Dampak Lingkungan, Dinas Pertanian, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Dinas Koperasi. Mekanisme saat ini, semua instansi ini dibawah koordinasi Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah merumuskan kebijakan pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara terpadu menyangkut aspek teknis, ekonomi dan sosial. Implementasi kebijakan yang sudah dirumuskan disalurkan melalui Perusahaan Inti, seterusnya ke KUD dan kelompok tani. Adanya kekurangan harmonisan hubungan antara Perusahaan Inti dengan petani plasma berakibat kurang efektifnya kebijakan yang sudah dirumuskan bagi petani plasma. Merespon kondisi tersebut dan kaitannya dengan era otonomi daerah, perlu dipertimbangkan lagi model keterkaitan antara instansi terkait dengan stakeholders lainnya agar petani memperoleh bimbingan yang lebih intensif. Hal ini dimungkinkan oleh semakin besarnya peranan Pemerintah Daerah dalam membangun daerahnya masing-masing, dimana sektor perkebunan kelapa sawit mempunyai kontribusi besar terhadap sumbangan PAD. Beberapa pemikiran yang menjabarkan otonomi daerah agar sektor perkebunan berkembang baik antara lain a perlu dilakukan pendidikan bagi petani plasma, b community investment, c koordinasi dan sinkronisasi antar instansi terkait, d dorongan bagi perusahaan besar dan professional dalam membina petani, e penyediaan fasilitas kredit dari lembaga keuangan negara atau swasta dan f teknologi yang efisien dan terjangkau bagi petani Kartasasmita, 2005. Husien dan Hanafi 2005 menyebutkan peranan Pemerintah Daerah Provinsi Riau dalam pengembangan kelapa sawit adalah a penyediaan lahan yang sudah melalui penataan ruang yang berlaku untuk mengurangi konflik, b memberikan bantuan modal kerja dan c memfasilitasi pendirian pabrik kelapa sawit untuk menampung produksi TBS petani. Lembaga Sosial Masyarakat LSM memberikan kontribusi cukup tinggi dan melebihi perusahaan Inti. Hal ini berhubungan dengan nuansa otonomi daerah dimana pemerintah memberikan kewenangan yang lebih luas terhadap lembaga-lembaga daerah dalam mengelola sumberdaya alam termasuk LSM. Selain itu, belajar dari masa lalu, perusahaan Inti yang memiliki kewenangan 125 luas dalam mengelola sumberdaya alam masih terkendala dengan belum terakumulasinya kepentingan-kepentingan petani dan masyarakat lokal secara proporsional. Dengan semakin terakumulasinya kepentingan petani pekebun dan masyarakat lokal diharapkan menurunnya konflik sosial dan terjaganya kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan kebun sawit. Untuk mencapai kondisi perkebunan berkelanjutan, pada level tujuan terlihat peningkatan pendapatan petani dan Pendapatan Asli Daerah PAD menjadi penting karena kontribusi keduanya dominan sebesar 30 dan 29; diikuti oleh penciptaan lapangan kerja sebesar 20 Gambar 17. Hasil ini didukung oleh semakin meningkatnya peranan dan kontribusi petani maupun Pemerintah Daerah dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Merebaknya nuansa otonomi daerah, memberikan peluang lebih besar bagi Pemda dalam mengelola sumberdaya alam. Gambar 17. Kontribusi Tujuan dalam Kelembagaan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan di Sei Pagar Namun demikian, dengan status penguasaan lahan milik sendiri, persaingan pemasaran TBS petani makin ketat antara PKS Inti dan non Inti serta keterampilan petani yang semakin meningkat dalam pengelolaan kebun kelapa sawit maka orientasi peningkatan pendapatan petani nampaknya menjadi 126 pertimbangan yang utama untuk dipenuhi. Pengembangan kelapa sawit telah terbukti mampu meningkatkan pendapatan petani di Provinsi Riau lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya Syahza, 2008. Dengan semakin meningkatnya pendapatan petani maka PAD juga akan meningkat dari kontribusi petani melalui Pajak Bumi dan Bangunan PBB, pajak motor maupun barang mewah lainnya dan pajak produksi TBS. Kegiatan perkebunan kelapa sawit juga mampu memberikan peluang peningkatan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar kebun yang terlihat dari kontribusinya sebesar 20. Ini penting karena masyarakat sekitar kebun akan ikut merasa dilibatkan dan diperhatikan jika mereka memperoleh kesempatan kerja baik pada pengelolaan kebun maupun sebagai buruh industri di PKS. Selain itu, kehadiran perkebunan kelapa sawit juga membuka peluang berusaha di bidang jasa transportasi, dagang kebutuhan rumahtangga dan jasa servise motor. Kesemuanya itu merupakan efek domino dari perkebunan kelapa sawit. Permasalahan yang sering muncul di lapangan adalah ketidak sesuaian keterampilan masyarakat lokal dengan kebutuhan tenaga kerja terutama untuk pengolahan TBS di unit PKS karena rendahnya tingkat pendidikan. Untuk mengatasi masalah tersebut, jika memungkinkan, pihak Perusahaan Inti melakukan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan calon tenaga kerja dari masyarakat lokal agar siap pakai. Pada kasus Perkebunan Nusantara V, tahap awalnya hanya bisa memenuhi sekitar 0,6 tenaga kerja lokal dari total kebutuhan tenaga terutama untuk PKS. Dengan program pelatihan, pada tahun-tahun berikutnya proporsi tenaga kerja lokal meningkat sampai mendekati 20 PTPN V, 1992. Tenaga kerja untuk pengelolaan kebun biasanya bisa direkrut langsung karena tidak memerlukan keterampilan khusus. Kedua hal ini jika tidak dilakukan secara transparan bisa merangsang kecemburuan yang meningkat menjadi konflik sosial. Dengan memperhatikan kontribusi faktor dan aktor serta tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan, alternatif pengelolaan yang paling memungkinkan adalah pengelolaan perkebunan oleh petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani GAPOKTAN dengan kontribusi sebesar 51. Alternatif yang kedua adalah pengelolaan perkebunan sawit sistem kemitraan petani dengan perusahaan Inti dengan kontribusi 36, dan terkecil kontribusinya adalah pengelolaan kebun sawit oleh perusahaan Inti dengan kontribusi sebesar 13. 127 Alternatif pengelolaan kemitraan petani dengan perusahaan Inti memberi kontribusi cukup tinggi yaitu 36, sedangkan pengelolaan oleh perusahaan Inti kontribusinya paling kecil. Hal ini berkaitan dengan benturan kepentingan perusahaan Inti dengan kepentingan petani yang selama ini lebih memihak kepada kepentingan perusahaan Inti baik dari aspek teknis maupun ekonomi. Aspek teknis antara lain konversi kebun yang kurang lancar dengan alasan kebun belum memenuhi persyaratan teknis. Aspek ekonomi yang menonjol adalah penentuan harga TBS yang didominasi oleh perusahaan Inti, walaupun sudah terbentuk tim penentu harga TBS. Isu rendemen TBS sebagai komponen penentu harga TBS dimonopoli oleh perusahaan Inti sehingga petani menerima harga rendah. Kondisi ini memicu petani untuk merubah pengelolaan kebun sawit menuju ke penguatan kelompok tani melalui pembentukan Gabungan Kelompok Tani GAPOKTAN. Kondisi di lapangan tersebut diperkuat oleh sasaran pembangunan Daerah Provinsi Riau melalui Lima Pilar Utama dimana pembangunan ekonomi berbasiskan kerakyatan. Untuk pembangunan ekonomi pedesaan, pemerintah daerah mengembangkan sektor perkebunan dengan arah kebijakan melaksanakan perluasan areal dengan sistem Perkebunan Inti Rakyat Syahza, 2008. Secara nasional, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memperkuat lembaga petani di pedesaan yaitu Gabungan Kelompok Tani GAPOKTAN yang tertuang dalam dalam Program Revitalisasi Pertanian. Penguatan ini sangat berkaitan dengan peranan GAPOKTAN tidak hanya terpaut pada peningkatan produksi komoditas namun diharapkan dapat menjadi agent of education bagi petani untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan dalam berusaha dan bermasyarakat. Selain itu, gerakan ini juga diharapkan sebagai gerakan untuk membangun modal sosial social capital yang sangat dipentingkan untuk memulihkan kohesivitas sosial bangsa Baga, 2005. GAPOKTAN adalah gabungan dari beberapa kelompok tani yang melakukan usaha agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan kemitraan sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usahatani bagi anggotanya. Tujuan penguatan GAPOKTAN adalah untuk memperkuat kelembagaan petani yang ada dalam rangka meningkatkan posisi daya tawar petani berhadapan dengan pihak luar. Penguatan dalam hal ini merupakan bentuk pemberdayaan petani dengan 2 prinsip dasar yaitu 1 menciptakan peluang bagi petani untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut 128 cara yang dipilihnya sendiri dan 2 mengupayakan agar petani memiliki kemampuan untuk memanfaatkan peluang tersebut misalnya peningkatan aksesibilitas petani terhadap faktor-faktor produksi, modal dan pasar. Dengan strategis tersebut setidaknya ada 3 peran pokok GAPOKTAN yaitu 1 sebagai lembaga sentral dalam sistem yang dibangun misalnya terlibat dalam pengadaan dan penyaluran saprodi, pemasaran hasil pertanian, pencairan dan pembayaran kredit dan lain-lain, 2 memperkuat ketahanan pangan di tingkat desa dan 3 mulai tahun 2007 GAPOKTAN dianggap sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan LUEP sehingga bisa menerima dana penguatan modal Syahyuti, 2007. Alternatif model pengelolaan oleh koperasi petani diperkuat oleh kenyataan bahwa petani sudah memiliki pengalaman mengelola kebun sawit lebih dari 20 tahun. Selama itu, petani mendapat bimbingan dalam pengelolaan kebun menyangkut aspek pemupukan, pengendalian hamapenyakit dan gulma, pemanenan sampai pemasaran TBS. Faktor lainnya adalah pelajaran dari pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat di masa lalu. Beberapa kelemahan yang menonjol antara lain a Petani tidak pernah diberi pelatihan untuk menjadi petani mandiri dan memiliki jiwa wiraswasta, b para pengambil kebijakan tidak pernah mempertimbangkan untuk menggalakkan agar petani bisa memupuk modal demi keperluan peremajaan ataupun pengadaan sarana produksi dan c tidak ada upaya serius untuk menghimpun petani kelapa sawit dalam satu wadah organisasi yang mapan Kartasasmita, 2005. Hal-hal tersebut menimbulkan pemikiran untuk mencari solusi pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma yang lebih baik. Paradigma yang berkembang adalah pembangunan kemandirian lokal dalam bentuk pemberdayaan petani plasma melalui wadah koperasi kelompok tani. Lebih lanjut, paradigma kemandirian lokal memiliki ciri-ciri: a pembangunan berorientasi ke pemenuhan kebutuhan nyata masyarakat setempat community oriented, b pembangunan yang berlandaskan kepada kondisi sumberdaya masyarakat lokal community based, c pengelolaan pembangunan oleh masyarakat lokal community managed dan d pendekatan pembangunan dengan pemberdayaan sumberdaya manusia empower; keadilan equity; produktivitas productivity serta berkesinambungan sustainability Hasibuan, 2005. 129 Memperhatikan hasil analisis AHP, perkembangan kondisi lapang saat ini dan program pemerintah yang dituangkan dalam Revitalisasi Perkebunan 2007, kelembagaan pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma skim Perintisan Kemandirian Petani Plasma PRITAMA merupakan alternatif yang paling sesuai Gambar 18. Gambar 18. Alur Kelembagaan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Skim PRITAMA Skim kelembagaan kelapa sawit PRITAMA tersebut didorong oleh keluarnya kebijakan pembangunan perkebunan yang teridiri dari kebijakan umum dan kebijakan teknis. Kebijakan umum meliputi pemberdayaan agribisnis perkebunan di hulu dan memperkuat di hilir guna meningkatkan nilai tambah dan daya saing usaha perkebunan dengan pemberian insentif, penciptaan iklim PETANI PESERTA GAPOKTAN MITRAPTPN V BANK PELAKSANA DEWAN PENGAWAS DEP.KEUANGAN DEPTANDIRJENBUN PERSETU JUAN MITRA USULAN MITRA PENUNJU KAN MITRA PERMOHO NAN MITRA SUBSIDI BUNGA USULAN SUB SIDI BUNGA PERJANJIAN KERJASAMA PERJANJIAN KERJASAMA PERJANJIAN KERJASAMA AKAD KREDIT AKAD KREDIT PERMOHON AN PESERTA PERMOHON AN MITRA DISBUN KABKOTA DISBUN PROVINSI PERMOHON AN PESERTA PERMOHON AN PESERTA PERMOHONAN PESERTA DISBUN KABKOTA DISBUN PROVINSI PERMOHO NAN MITRA 130 usaha yang kondusif dan peningkatan partisipasi masyarakat perkebunan serta penerapan organisasi modern yang berlandaskan pada penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi Hadi et al., 2007. Lebih jauh diuraikan bahwa kebijakan teknis merupakan penjabaran dari kebijakan umum meliputi kebijakan pengembangan komoditas, investasi usaha perkebunan serta pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha. Kebijakan pengembangan komoditas antara lain mencakup a penerapan teknologi budidaya yang baik good agriculture practice, GAP, b mendorong pengembangan komoditas unggulan nasional dan lokal, c optimasi pemanfaatan sumberdaya lahan, d mendorong pengembangan aneka produk dan peningkatan mutu hasil, e peningkatan penyediaan sarana dan prasarana pendukung pengembangan perkebunan dan f meningkatkan upaya pengembangan sistem informasi mengenai teknologi, peluang pasar, mamajemen dan permodalan. Kebijakan pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha mencakup a mendorong peningkatan kemampuan dan kemandirian kelembagaan petani untuk menjalin kerjasama usaha dengan mitra terkait serta mengakses berbagai peluang usaha dan sumberdaya yang tersedia, b mendorong terbentuknya kelembagaan komoditas yang tumbuh dari bawah, c mendorong pertumbuhan kelembagaan keuangan pedesaan, d mendorong lebih berfungsinya lembaga penyuluhan dan e mendorong kemitraan saling menguntungkan dan saling memperkuat antara petani, pengusaha, karyawan dan masyarakat di sekitar kebun. Dari Gambar 18 menunjukkan adanya 5 pihak yang terkait dalam alur kelembagaan pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma yang mencakup petani, mitra usaha, lembaga keuangan, pemerintah yang diwakili oleh Departemen Pertanian dan Departemen Keuangan. Diawali dengan minat petani plasma menjadi petani peserta kebun kelapa sawit melalui pembentukan lembaga pertanian di tingkat perdesaan yaitu Gabungan Kelompok Tani GAPOKTAN, mengajukan permohonan sebagai petani peserta skim PRITAMA ke BupatiWalikota melalui Dinas Perkebunan Kabupatenkota. Selanjutnya permohonan tersebut diteruskan ke Gubernur melalui Dinas Perkebunan Provinsi dan akhirnya disampaikan ke Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan. Permohonan itu ditembuskan kepada Bank Pelaksana. Proses ini diakhiri dengan persetujuan petani plasma sebagai petani peserta 131 skim PRITAMA oleh Bapak BupatiWalikota setelah mendapat persetujuan dari Dirjenbun. Paralel dengan GAPOKTAN, calon Mitra dalam hal ini PTPN V mengajukan permohonan sebagai calon mitra usaha kepada Bapak BupatiWalikota melalui Dinas Perkebunan Kabupaten, yang diteruskan kepada Gubernur melalui Dinas Perkebunan Provinsi dan akhirnya disampaikan ke Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan. Permohonan calon Mitra usaha ditembuskan kepada Bank Pelaksana. Dirjenbun membuat daftar usulan calon mitra usaha pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma dan diusulkan kepada Bank Pelaksana. Proses ini diakhiri dengan penunjukkan mitra usaha oleh Dirjenbun setelah mendapat persetujuan mitra usaha oleh Bank Pelaksana. Terdapat 3 masalah yang harus disepakati oleh Bank Pelaksana yaitu persetujuan mitra usaha dengan Direktorat Jenderal Perkebunan dan mengajukan usulan subsidi bunga ke Departemen Keuangan sebagai jasa dalam ikut membantu perekonomian rakyat. Setelah mendapat persetujuan subsidi bunga dari Departemen Keuangan, kemudian melakukan akad kredit dengan mitra usaha dan koperasi petani diikuti dengan realisasi kredit untuk peremajaan kelapa sawit petani plasma. Pada pihak petani plasma, GAPOKTAN dan mitra usaha dilakukan perjanjian kerjasama terutama mekanisme pelaksanaan kegiatan perkebunan kelapa sawit sebagai ikatan kerjasama. Kerjasama ini dibuat sedemikan rupa sehingga implementasinya mampu memenuhi hasil analisis kelembagaan dengan pendekatan proses analisis hirarki. Dari faktor yang menjadi pertimbangan utama, kelestarian sumberdaya alam harus bisa dipertahankan karena perannya dominan untuk mencapai kondisi perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan yaitu sekitar 38. Pada level hirarki berikutnya, peranan petani plasma dan pemerintah daerah harus lebih diintesifkan melalui peningkatan kapasitas kinerja kelompok tani dan pembinaan yang terpadu dan sinergis dinas terkait mengingat berkaitan dengan peranan keduanya yang dominan masing-masing sebesar 27. Terpenuhinya peranan faktor dan aktor tersebut diharapkan kondisi perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan mampu memenuhi tujuan yang telah ditetapkan yaitu meningkatkan pendapatan petani dan pendapatan asli daerah PAD. 132 Agar masing-masing pihak memiliki tanggungjawab maka petani peserta dan mitra usaha mempunyai kewajiban dan hak yang harus dipenuhi selama kerjasama berlangsung. Kewajiban petani peserta antara lain a melaksanakan pengelolaan kebun kelapa sawit sesuai standar teknis dengan bimbingan dari mitra usaha dan atau instansi terkait, b membayar biaya pengembangan dan management fee sebesar 5 termasuk bunganya setelah tanaman berproduksi, dan c menjual semua hasil kebun TBS kepada pihak mitra dengan harga sesuai ketentuan yang berlaku dan atau kesepakatan bersama antara mitra usaha dengan petani peserta selama satu periode siklus tanaman. Hak petani peserta antara lain a memperoleh bimbingan teknis dan non teknis dari mitra usaha dan atau dinas terkait, b memperoleh kredit investasi untuk pengelolaan kebun kelapa sawit maksimal seluas 2 hektar, c memperoleh subsidi bunga dari pemerintah, dan d memperoleh upah sebagai tenaga kerja saat melaksanakan kegiatan di kebun sandiri dari mitra usaha. Mitra usaha dalam hal ini PTPN V sebagai badan usaha komersial harus memiliki beberapa persyaratan sehingga layak diberi hak dan kewajiban serta tanggungjawab dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma. Salah satu tanggungjawab yang dibebankab kepada mitra usaha adalah sebagai penjamin atau avalist dari kridit yang diberikan oleh Bank Pelaksana. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh dari mitra usaha antara lain memiliki 5 M yaitu a Money, memiliki modalasset yang cukup, b Man, memiliki sumberdaya manusia yang andal, c Method, telah berpengalaman dan mempunyai beragam metodelogi yang secara teknis bisa diaplikasikan dan diterima petani peserta, d Material, memiliki perangkat lunak dan keras yang andal untuk melaksanakan kegiatan di perkebunan, dan e Market, mempunyai akses pemasaran TBS yang luas baik jaringan pemasaran domestik maupun internasional Hersuroso, 2005. Mitra usaha juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi antara lain a melaksanakan pembangunan kebun kelapa sawit sesuai standar yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian cq. Dirjenbun, b mengikut sertakan petani peserta dalam membangun kebun, c membina secara teknis petani peserta agar mampu melaksanakan kegiatan pengelolaan kebun, d membeli TBS petani peserta dengan tingkat harga yang berlaku dan atau kesepakatan antara kedua belah pihak, dan e sebagai avalist, melaksanakan proses penjaminan dan pengembalian kridit kepada Bank Pelaksana. Sementara itu, 133 hak mitra usaha antara lain a memperoleh management fee, dan b memperoleh jaminan bahan baku PKS berupa tandan buah segar TBS sepenuhnya dari petani peserta selama siklus tanaman menghasilkan. Disamping kesepakatan perjanjian kerjasama, pihak koperasi petani dan mitra usaha juga membentuk Dewan Pengawas DP yang ketua dan anggotanya berasal dari perwakilan GAPOKTAN dan mitra usaha. Dewan ini bertugas mengawasi jalannya pembangunan dan pengelolaan kebun kelapa sawit untuk meminimalkan bias dalam pelaksanaan kegiatan. Hal ini penting karena adanya masalah krusial dan sekaligus tantangan dimana pola pikir dan perilaku petani dalam mengalokasikan modal dan sarana produksi lainnya sering tidak sesuai dengan anjuran pihak pembina. Dengan semakin meningkatnya pendapatan petani, mereka berusaha memenuhi kebutuhan rumahtangga petani yang semakin beragam dari pola makan, pakaian dan transportasi. Kondisi ini didorong oleh mudahnya petani mengakses kebutuhan tersebut. Hampir semua rumahtangga petani memiliki sepeda motor, bahkan banyak rumahtangga petani yang memiliki sepeda motor lebih dari 1 unit. Jadi masalah alat transportasi bukan lagi hanya sebagai alat, tetapi sebagai status sosial. Semua kebutuhan tersebut masih mengandalkan hasil sawit sehingga banyak petani yang terjerat hutang, terutama sepeda motor. Kondisi ini merubah alokasi penghasilan rumahtangga dari investasi ke kebun menuju ke pemenuhan pola hidup konsumtif. Skim PRIMATAMA merupakan modifikasi dari skim PIR-TRANS dan Revitalisasi Pertanian Tabel 29. Perbedaan Skim PIR-TRANS dengan skim PRITAMA antara lain pada fungsi lembaga pendana bank, pada perjanjian kerjasama antara petani plasma dengan mitra, adanya Dewan Pengawas dan subsidi bunga bagi bank pelaksana. Fungsi bank pelaksana pada skim PIR- TRANS adalah sebagai bank penyalur Channeling yang hanya menyalurkan kredit dari bank pusat untuk perusahaan inti dan petani. Pada skim PRITAMA fungsi bank sebagai pelaksana Executing yaitu memberikan kredit dari dana bank bersangkutan untuk perusahaan inti dan petani plasma. Perjanjian kerjasama antara perusahaan inti dalam hal ini PT. Perkebunan Nusantara V dengan petani plasma pada skim PRITAMA mengikuti hasil proses analisis hirarki. Perjanjian kerjasama ini lebih memfokuskan pada kelestarian sumberdaya alam, memberdayakan petani, mengutamakan peningkatan pendapatan petani sesuai konsep perkebunan kelapa sawit plasma 134 berkelanjutan. Keterikatan kedua belah pihak dibuat dalam bentuk hak dan kewajiban disertai dengan adanya sanksi jika ada pelanggaran. Sanksi yang dikenakan bagi pihak pelanggar masih dalam pembicaraan, tetapi pada prinsipnya sanksi tersebut tidak merugikan kedua belah pihak melainkan tidak memberi peluang bagi pihak ketiga untuk berpartisipasi dalam kerjasama yang telah dibuat antara perusahaan inti dan petani plasma. Contohnya: pelanggaran yang paling umum adalah penjualan TBS ke PKS non inti, maka sanksinya adalah pihak PKS non inti tidak boleh melewati infrstruktur jalan yang ada di kebun plasma karena dibangun oleh perusahaan inti. Tabel 29. Karakteristik Kerjasama Pihak Terkait Pada Skim PIR-TRANS, Revitalisasi Pertanian dan PRITAMA Jenis skim Variabel PIR-TRANS Revitalisasi Pertanian PRITAMA Fungsi bank Kerjasama petani-mitra - Penyalur Channeling - Konversi kebun - KUD sebagai wadah organisasi kelompok tani dan menjembatani antara mitra dengan petani - Sertifikat diambil petani setelah cicilan lunas - Mitra sebagai pembina teknis petani plasma - Tidak ada sanksi bagi petani yang tidak memenuhi kewajiban menjual TBS ke PKS mitra, jual kebun ke pihak lain atau sebagai agunan - Pelaksana Executing - Konversi kebun - KUD sebagai wadah organisasi kelompok tani dan menjembatani antara mitra dengan petani - Sertifikat tidak diambil petani setelah cicilan lunas - Mitra sebagai pembina teknis petani plasma - Sanksi bagi petani yang tidak memenuhi kewajiban menjual TBS ke PKS mitra, menjual kebun ke pihak lain atau sebagai agunan pinjaman. - Pelaksana Executing - Konversi kebun - KUD sebagai wadah organisasi kelompok tani dan menjembatani antara mitra dengan petani - Sertifikat tidak diambil petani setelah cicilan lunas - Mitra sebagai pembina teknis petani plasma - Sanksi bagi petani yang tidak memenuhi kewajiban menjual TBS ke PKS mitra, menjual kebun ke pihak lain atau sebagai agunan pinjaman. Dewan Pengawas - Tidak ada Dewan Pengawas pelaksanaan binaan teknis dari mitra - Tidak ada Dewan Pengawas pelaksanaan binaan teknis dari mitra - Terdapat Dewan Pengawas pelaksanaan binaan teknis dari mitra Subsidi bunga - Tidak ada subsidi bunga bagi bank pelaksana - Ada subsidi bunga bagi bank pelaksana - Ada subsidi bunga bagi bank pelaksana Dewan Pengawas merupakan komponen organisasi dalam skim PRITAMA yang tidak ada pada skim PIR-TRANS. Anggota Dewan Pengawas teridiri dari perwakilan petani plasma dan perusahaan inti dengan fungsi utama melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian kerjasama antara perusahaan inti dan petani plasma yang telah disepakati. Dewan inilah yang membuat kriteria sebagai acuan dalam menentukan pelanggaran yang dilakukan baik oleh perusahaan inti maupun petani plasma. Hal ini bercermin dari 135 pengalaman selama satu periode dimana pelanggaran terhadap perjanjian kerjasama dapat dilakukan baik oleh perusahaan inti maupun petani plasma, tetapi tidak ada sanksi yang dikenakan. Kondisi ini memicu pelanggaran yang lebih serius dan berujung pada keretakan hubungan antara perusahaan inti dan petani plasma. Masih terkait dengan perjanjian kerjasama, pada skim PRITAMA sertipikat petani ditahan terus oleh pihak bank untuk meneguhkan keterikatan kedua belah pihak dan juga sebagai jaminan bagi perusahaan inti agar petani menjadi lebih mentaati perjanjian yang telah disepakati. Kebijakan baru dalam penyaluran kredit pada skim PRITAMA adalah adanya subsidi bunga bagi bank pelaksana dan petani plasma sebagai insentif pemerintah dalam memberdayakan masyarakat pedesaan dan perusahaan inti karena telah berjasa dalam membangun kebun kelapa sawit untuk petani. Dengan insentif ini diharapkan adanya peningkatan partisipasi pihak swasta nasional dalam memberdayakan masyarakat pedesaan dalam usaha mengentaskan kemiskinan. 4.6. Analisis Sistem Dinamis 4.6.1. Simulasi Model

Dokumen yang terkait

Studi Pemeliharaan Mesin Genset PTPN III Kebun Rambutan

4 47 64

Analisis biaya dan penerimaan produksi CPO di PTPN V SEI Pagar Kabupaten Kampar Propinsi Riau

0 6 118

Perneliharaan Tanarnan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Menghasilkan di Kebun lnti dan Plasma PIR Trans Sei Tungkal PT Agrowiyana, Jambi

0 11 89

Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan (Studi Kasus PIR Perkebunan Plasma Sei Pagar, PTP Nusantara V Kabupaten Kampar Provinsi Riau)

0 3 1

Pengembangan Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Lahan Kering Masam (Studi Kasus Kebun Plasma Sel Tapung PTPN V, Kabupaten Rokan Hulu, Riau

1 14 40

Pengembangan Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Lahan Kering Masam (Studi Kasus Kebun Plasma Sel Tepung PTPN V, Kabupaten Rokan Hulu, Riau)

0 11 40

Pengembangan Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Lahan Kering Masam (Studi Kasus Kebun Plasma Sei Tapung PTPN V, Kabupaten Rokan Hulu, Riau)

0 12 40

Aplikasi Limbah Pengolahan Kelapa Sawit sebagai Pupuk Organik di Kebun Sei Batang Ulak Kabupaten Kampar Provinsi Riau

0 4 40

Manajemen Pemanenan Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Kebun Sei Batang Ulak Pt Ciliandra Perkasa, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau

0 10 53

Desain Pengelolaan Kebun Plasma Kelapa Sawit Berkelanjutan : Studi Kasus pada PIR-Trans Kelapa Sawit P.T.P. Mitra Organ di Kabupaten Organ Komering Ulu, Propinsi Sumatera Selatan.

0 91 604