115
pendapatan petani yang mengalokasikan pendapatannya untuk perawatan kebun agar produktivitasnya meningkat. Respon perlakuan pemupukan kelapa
sawit memerlukan waktu yang lama sekitar 2 tahun terhitung sejak pemupukan dilakukan Adiwiganda, 2002. Dengan demikian, produktivitas kebun 1 tahun
sebelumnya berkontribusi nyata terhadap pruduktivitas saat ini. Parameter dugaan harga TBS tidak berpengaruh nyata terhadap
produktivitas pada taraf nyata 20. Hal ini dimungkinkan oleh lambatnya perubahan harga TBS yang terjadi sehingga memerlukan waktu relatif lama
untuk penyesuaian terhadap perubahan perilaku petani dalam mengelola kelapa sawit. Parameter dugaan harga pupuk Urea mempunyai nilai sebesar -0,08 tidak
berpengaruh nyata terhadap produktivitas kelapa sawit pada taraf uji 20. Hal ini berkaitan dengan sifat tanaman kelapa sawit yang termasuk tanaman
tahunan tidak memerlukan nitrogen terlalu banyak untuk pertumbuhan dan produksi TBS. Parameter dugaan harga pupuk majemuk memperlihatkan
perilaku yang sama dengan harga pupuk Urea. Parameter harga pupuk majemuk mempunyai nilai sebesar -0,36, tidak berpengaruh nyata terhadap
produktivitas kelapa sawit pada taraf uji 20. Hal ini disebabkan oleh sifat pupuk majemuk sebagai substitusi pupuk lainnya pupuk Urea, SP-36 dan KCl.
4.4.3. Respon Produksi Kelapa Sawit
Respon produksi kelapa sawit dihitung berdasarkan elastisitas areal tanam dan produktivitas terhadap peubah harga TBS, upah tenaga kerja, harga
pupuk Urea, harga pupuk SP-36, harga pupuk KCl dan harga pupuk majemuk Tabel 28. Produksi TBS kelapa sawit lebih respon dalam jangka panjang
dibandingkan dengan jangka pendek yang tercermin dari elastisitas jangka panjang lebih tinggi dari elastisitas jangka pendek pada semua peubah yang
diteliti. Jika dilihat lebih rinci terlihat bahwa jika terjadi peningkatan harga TBS
sebesar 1 diikuti oleh peningkatan produksi kelapa sawit plasma sebesar 0,92 dalam jangka pendek dan sebesar 3,88 dalam jangka panjang. Respon
TBS terhadap luas areal tanam kelapa sawit baru kelihatan dalam jangka panjang karena insentif harga TBS memerlukan waktu lama dalam merubah
perilaku petani dalam meningkatkan luas tanam. Hal ini masuk akal karena kelapa sawit termasuk komoditas tanaman tahunan dimana perubahan perilaku
petani memerlukan waktu yang lama dalam memutuskan apakah mereka mengelola kebun lebih baik atau tetap saja seperti tahun sebelumnya.
116
Peningkatan upah tenaga kerja dan harga karet tidak mempengaruhi perilaku petani dalam meningkatkan produksi tandan buah segar kelapa sawit plasma.
Tabel 28. Elastisitas Luas Areal Tanam dan Produktivitas Lahan Kelapa Sawit Plasma Jangka Pendek dan Jangka Panjang Di Sei Pagar, 2007
Elastisitas Peubah
Areal Produktivitas Produksi
Pendek 0,297
0,618 0,915
Harga TBS Panjang
0,385 3,492
3,877 Pendek
- 0,008 -
- 0,008 Upah Tenaga Kerja
Panjang - 0,014
- - 0,014
Pendek - 0,003
- - 0,003
Harga Karet Panjang
- 0,004 -
- 0,004 Pendek
- - 0,104
- 0,104 Harga Pupuk Urea
Panjang -
- 0,588 - 0,588
Pendek -
- 0,132 - 0,132
Harga Pupuk SP-36 Panjang
- - 0,748
- 0,748 Pendek
- - 0,196
- 0,196 Harga Pupuk KCl
Panjang -
- 1,109 - 1,109
Pendek -
- 0,126 - 0,126
Harga Pupuk Majemuk Panjang
- - 0,719
- 0,719 Produksi kelapa sawit tidak respon terhadap peubah harga pupuk Urea
dan pupuk majemuk dimana jika terjadi peningkatan harga pupuk Urea dan pupuk majemuk produktivitas kelapa sawit tidak menurun secara nyata. Pada
kasus pupuk Urea, hal ini berkaitan dengan sifat genetik kelapa sawit yang tidak memerlukan nitrogen dalam jumlah banyak dibandingkan dengan keperluan
fosfat dan kalium. Peningkatan harga pupuk Urea menyebabkan petani mengurangi penggunaan pupuk Urea tetapi masih dalam dosis yang dibutuhkan
tanaman. Pupuk majemuk sifatnya sebagai substitusi dari pupuk Urea, SP-36 dan KCl karena kandungan unsur hara pupuk majemuk sama dengan pupuk
Urea, SP-36 dan KCl yaitu sebagai sumber unsur hara nitrogen, fosfat dan kalium. Jika harga pupuk majemuk meningkat maka petani mengalihkan
dananya untuk pembelian pupuk Urea, SP-36 dan KCl. Produksi kelapa sawit menunjukkan respon terhadap harga pupuk SP-36
dan pupuk KCl. Peningkatan harga pupuk SP-36 sebesar 1 akan menurunkan produktivitas sebesar 0,13 dalam jangka pendek dan 0,75 dalam jangka
panjang. Demikian juga jika harga pupuk KCl meningkat sebesar 1 akan berakibat menurunnya produktivitas kelapa sawit sebesar 0,20 dalam jangka
pendek dan sebesar 1,11 dalam jangka panjang. Hal ini berkaitan dengan sifat
117
kelapa sawit yang memerlukan unsur fosfat yang terkandung dalam pupuk SP- 36 dan kalium dalam pupuk KCl lebih banyak dibandingkan dengan keperluan
nitrogen. Dari kondisi tersebut kuat mengindikasikan diperlukannya kebijakan
subsidi harga pupuk terutama untuk pupuk KCl agar produksi kelapa sawit tetap tinggi dan lestari. Pupuk SP-36 masih bisa disubstitusi dengan pupuk P-Alam
yang harganya lebih murah dari SP-36 tetapi efektivitasnya pada lahan kering masam maupun lahan masam seperti lahan gambut tidak kalah dibandingkan
dengan pupuk SP-36. Sementara pupuk KCl tidak bisa disubstitusi oleh pupuk lainnya sehingga diperlukan campur tangan pemerintah berupa subsidi harga
agar terjangkau oleh petani. Dengan kemajuan teknologi, sisa panen dan limbah pabrik kelapa sawit bisa dijadikan sumber pupuk kalium tetapi belum mampu
memenuhi kebutuhan tanaman sehingga masih perlu masukkan dari luar sistem tanah-tanaman.
Hasil penelitian perilaku petani kelapa sawit ini mirip dengan hasil penelitian Bafadal 2000 pada tanaman kakao dimana produktivitas kakao tidak
respon terhadap harga kakao tetapi respon terhadap pupuk, sedangkan luas areal tanam respon terhadap harga kakao. Yang lebih menarik adalah nilai
elastisitas jangka panjang lebih besar dari nilai elastisitas jangka pendek pada semua peubah penjelas yang diteliti. Peneliti lain melaporkan bahwa perilaku
penawaran produksi kelapa sawit swasta nasional dipengaruhi oleh variabel harga kelapa sawit TBS, upah tenaga kerja dan perubahan teknologi,
sedangkan harga karet alam pengaruhnya sangat kecil Sukiyono, 1995. Hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa pemberian pupuk dari luar
sistem tanah-tanaman menjadi kunci dari peningkatan produktivitas kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh perilaku dari kelapa sawit yang termasuk tanaman
menyerap unsur hara dalam jumlah banyak untuk memproduksi hasil yang tinggi. Sebagai gambaran, dalam 1 ton TBS setara dengan 6,3 kg Urea, 2,1 kg
TSP, 7,3 kg KCL dan 4,9 kg Kiserit Moody et al., 2003. Bagian vegetatif tanaman batang, daun, akar juga memerlukan unsur hara yang banyak setara
dengan keperluan bagian tanaman generatif TBS tersebut. Secara kuantitatif, biaya pemupukan pada kelapa sawit tergolong tinggi yaitu sebesar 30 dari
total biaya produksi atau sebesar 60 dari total biaya pemeliharaan Poeloengan et al, 2005. Faktor lainnya adalah kondisi lahan perkebunan
kelapa sawit hampir semuanya berupa lahan miskin unsur hara yakni lahan
118
kering masam ataupun lahan gambut. Dalam kondisi seperti ini, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi, konsep pemupukan 5T lima tepat yaitu
tepat jenis pupuk, dosis pupuk, waktu pemberian pupuk, cara pemberian pupuk dan frekuensi pemberian pupuk masih menjadi acuan dalam aplikasi
pemupukan Koedadiri et al., 2005.
4.5. Analisis Kelembagaan