Uji Sensitivitas Model Validasi Model

166 belakang pendidikan agronomi, tenaga mekanik pengolahan TBS dengan latar belakang pendidikan teknik mesin, tenaga pengontrolan mutu minyak sawit mentah crude palm oil, CPO dengan latar belakang pendidikan industri kimia serta tenaga pengelolaan limbah padat dan cair PKS dengan latar belakang pendidikan kimiabiologi.

4.6.2.4. Uji Sensitivitas Model

Uji sensitivitas dilakukan untuk melihat respon model yang dibangun terhadap suatu stimulus. Hal ini berkaitan dengan selalu terjadinya perubahan dari variabel-variabel model akibat adanya intervensi eksternal seperti perubahan harga TBS, luas areal tanam karena pertambahan penduduk, perubahan harga sarana produksi dan lain-lain. Respon tersebut ditunjukkan dengan perubahan perilaku danatau kinerja model. Stimulus dilakukan dengan memberikan intervensi tertentu pada unsur atau struktur model. Hasil uji sensitivitas model terlihat dalam bentuk perubahan perilaku dan atau kinerja model sehingga dapat diketahui efek intervensi yang diberikan terhadap satu atau lebih unsur dari model yang dibangun Muhammadi et al., 2001. Hartrisari 2007 menyatakan bahwa analisis sensitivitas secara umum menyatakan sejauh mana kesimpulan hasil model dapat berubah bila variabel model dirubah. Terdapat tiga jenis pengujian sensitivitas yaitu 1 sensitivitas numerik, 2 sensitivitas perilaku model dan 3 sensitivitas kebijakan. Dalam penelitian ini, uji sensitivitas yang dilakukan adalah uji sensitivitas numerik dengan cara mengubah input yang yaitu luas lahan petani yang cenderung menurun di masa mendatang akibat bertambahnya penduduk. Perubahan numerik tersebut berupa luas lahan 6000 hektar menjadi 4500 hektar dan 3000 hektar. Pada luasan lahan kebun kelapa sawit 6000 hektar pendapatan petani menujukkan pola peningkatan pendapatan yang cepat pada awal pertumbuhan diikuti peningkatan lambat dan akhirnya menurun pada akhir periode pertumbuhan Gambar 41. Pada kondisi tersebut, menunjukkan bahwa setiap kepala keluarga petani plasma memiliki luasan kebun 2,0 hektar sesuai dengan pembagian lahan pada saat penempatan sebagai transmigrasi. Produksi TBS petani rata-rata sebanyak 25,83 ton TBShatahun dan rata-rata pendapatan Rp. 22 859 950tahun. 167 -10000000 10000000 20000000 30000000 40000000 2010 2015 2020 2025 2030 2035 Tahun P end apat an pet ani R p h a thn Gambar 41. Prediksi Pendapatan Petani Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Luas Lahan 6000 Hektar Jika dilakukan uji sensitivitas dengan merubah luas lahan menjadi lebih sempit yaitu 4500 hektar pola pendapatan petani masih menunjukkan pola sama dengan luas lahan 6000 hektar Gambar 42. Pola pendapatan petani terlihat masih mengikuti pola luasan lahan 6000 hektar dimana cepat pada awal pertumbuhan diikuti peningkatan lambat dan akhirnya menurun pada akhir periode pertumbuhan. Produksi TBS dan pendapatan petani pada luas lahan 4500 hektar menurun mengikuti penurunan luas lahan dimana rata-rata produksi adalah sebesar 18,75 ton TBShatahun dan rata-rata pendapatan petani Rp. 17 257 000hatahun. Uji sensitivitas dengan luas lahan 3000 hektar yang berarti setiap kepala keluarga memiliki kebun kelapa sawit seluas 1,0 hektar akibat pertambahan penduduk. Hasil uji sensitivitas juga menunjukkan pola pendapatan yang sama dengan luas lahan 6000 hektar Gambar 43. Pola pendapatan petani terlihat cepat pada awal pertumbuhan diikuti peningkatan lambat dan akhirnya menurun pada akhir periode pertumbuhan. Produksi TBS dan pendapatan petani juga menurun seperti halnya pada luas lahan 4500 hektar dimana rata-rata produksi sebesar 12,6 ton TBShatahun dan rata-rata pendapatan petani sebesar Rp. 9 947 560hatahun. 168 -10000000 10000000 20000000 30000000 2010 2015 2020 2025 2030 2035 Tahun P e nd ap at an p et a ni R p h a thn Gambar 42. Prediksi Pendapatan Petani Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Luas Lahan 4500 Hektar -10000000 10000000 20000000 2010 2015 2020 2025 2030 2035 Tahun P end apat an pet a ni R p ha thn Gambar 43. Prediksi Pendapatan Petani Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Luas Lahan 3000 Hektar Hasil uji sensitivitas menunjukkan model pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan respon terhadap perubahan numerik input yaitu luas lahan akibat pertambahan penduduk. Pendapatan petani sebagai variabel numerik output model memperlihatkan pola yang sama pada luas lahan 6000 hektar, 4500 hektar dan luas lahan 3000 hektar. Pola pendapatan tersebut mengikuti pola produksi TBS yaitu meningkat cepat di awal periode pertumbuhan tanaman diikuti dengan peningkatan lambat dan akhirnya menurun 169 pada akhir periode pertumbuhan tanaman. Hasil uji ini mengindikasikan bahwa model pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan yang dibangun termasuk kategori baik. Berdasarkan hasil simulasi, pola pada ketiga sub model yang dibangun, menunjukkan kemiripan yang menonjol yaitu pola berbentuk s-curve limit to growth. Pola seperti ini merupakan kondisi umum dari pemanfaatan lahan, hutan ataupun lainnya dimana pada periode awal pertumbuhannya cepat, diikuti pertumbuhan lambat dan periode pertumbuhan tetap atau bahkan cenderung menurun terutama pada variabel produksi TBS dan pendapatan petani. Hal ini disebabkan oleh faktor internal tanaman kelapa sawit yaitu umur tanaman yang berkaitan dengan penurunan fungsi sel tanaman dan berpengaruh langsung terhadap produktivitas tanaman. Berbeda dengan tanaman semusim yang berumur pendek, penanaman dan panen dilakukan hanya sekali dan sesudahnya dilakukan pengulangan pada periode berikutnya, tanaman tahunan sekali tanam tetapi panen berulang kali sampai tanaman mati ataupun diremajakan. Dari pola tersebut memberikan petunjuk akan perlunya kehati- hatian dalam pengelolaan sumberdaya lahan, agar tujuan dari kondisi berkelanjutan bisa dicapai yaitu memenuhi aspek biofisik, ekonomi dan sosial yang selaras. Hal ini menjadi semakin penting mengingat Indonesia telah menerima konsep Roundtable on Sustainable Palm Oil RSPO dimana setiap perusahaan perkebunan harus menerapkan best management practice BMP agar kondisi berkelanjutan bisa dicapai Deptan, 2008. Dari aspek biofisik, produktivitas lahan sampai akhir periode siklus tanaman relatif masih baik dengan tingkat kesesuaian lahan termasuk kelas S2 cukup sesuai. Hal ini diperkuat dengan laju kerusakan lingkungan akibat degradasi lahan yang rendah berkaitan dengan topografi dan kemampuan kelapa sawit sebagai tanaman korservasi melalui sistem perakaran yang baik Harahap, 2007. Selain itu, penutupan permukaan tanah oleh kanopi kelapa sawit memberikan perlindungan permukaan tanah dari kerusakan oleh butiran air hujan. Variabel lainnya yang mendukung tingkat kesesuaian lahan adalah rendahnya laju kerusakan lingkungan akibat penggunaan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida. Untuk limbah pabrik pengolahan kelapa sawit, kontribusinya terhadap kerusakan lingkungan relatif rendah karena sudah menerapkan sistem Land Application LA dari limbah cair untuk sumber pupuk organik. Limbah padat tandan kosong dan batok kelapa diolah lagi untuk 170 pupuk, walaupun masih dengan teknologi sederhana. Sistem LA diterapkan dengan metode Flatbed yaitu mengalirkan limbah cair melalui pipa ke bak-bak distribusi dan selanjutnya ke parit primer dan sekunder. Metode ini berpotensi meningkatkan produksi TBS dengan kisaran 16-60 Deptan, 2006. Namun demikian, teknologi pengelolaan yang tepat, sesuai dengan kondisi biofisik, sosial dan ekonomi petani menjadi masih diperlukan untuk masa mendatang. Penggunaan bibit berkualitas dan berproduksi tinggi disertai dengan applikasi pupuk dan pestisida yang tepat jenis, dosis, waktu dan cara pemberian serta teknik panen yang tepat merupakan paket teknologi yang sampai saat ini menjadi acuan yang harus dilaksanakan dalam rangka memenuhi tujuan biofisik perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Adiwiganda, 2002; Fairhust, 2007. Applikasi pupuk yang disebar rata di permukaan tanah berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan sehingga perlu dirubah dengan pembenaman ke dalam tanah ataupun pemanfaatan pupuk majemuk padat slow release. Penelitian Wigena et al. 2006 menunjukkan bahwa pemanfaatan pupuk majemuk padat slow release pada tanaman kelapa sawit di tanah kering masam mampu mengurangi kebutuhan pupuk sampai 50 dibandingkan penggunaan pupuk tunggal tetapi produksi tetap baik. Dari validasi kinerja model diketahui simulasi laju pertambahan penduduk setinggi 1,7, lebih rendah dari laju pertambahan penduduk di lapangan setinggi 1,9. Hal ini menunjukkan perlunya usaha yang lebih giat dalam pengendalian pertumbuhan penduduk untuk mencapai laju pertumbuhannya setinggi yang diasumsikan pada model. Peningkatan pendidikan dan adopsi dari kegiatan sosialisasi Keluarga Berencana KB dan perencanaan keluarga kecil, sehat dan sejahtera merupakan salah satu solusi untuk pengendalian pertumbuhan penduduk. Pentingnya laju pertumbuhan penduduk berkaitan dengan penguasaan lahan yang memenuhi skala ekonomi rumah tangga yang laju pertumbuhannya 0,5. Sementara peluang perluasan kebun kelapa sawit petani masih terkendala dengan penguasaan lahan di sekitar kebun sawit oleh penduduk setempat yang berstatus girik. Secara sosial, lahan ini masih beresiko jika diambil alih oleh petani melalui proses jual beli yang berujung menjadi lahan sengketa. Produksi TBS seperti yang disimulasikan akan berdampak positif terhadap aspek ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari jumlah pendapatan petani yang secara nominal melebihi tingkat Upah Minimum Regional UMR untuk Provinsi 171 Riau sekitar 1.000.000bulan maupun pendapatan rumahtangga petani visi Pemerintah Provinsi Riau Tahun 2020 sebesar US 2000kk. Dampak positif juga dinikmati oleh masyarakat sekitar kebun dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp. 16 845 025tahun. Lebih jauh lagi, diharapkan adanya perubahan persepsi masyarakat terhadap perkebunan yang saat ini sudah relatif baik. Saat ini, hasil survey yang dilakukan oleh PTPN V menunjukkan bahwa sebanyak 85 masyarakat senang dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit, sebanyak 86 menyata bahwa kehadiran kebun menguntungkan, 98 meningkatkan kesempatan kerja. Sedangkan penerimaan masyarakat sangat baik dimana sebesar 95 menerima dan berbaur dengan petani plasma. Demikian juga dengan konflik, hanya 40 menyatakan bahwa konflik sosial agak meningkat dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit PTPN V, 2007. Penguatan kelembagaan merupakan faktor lainnya yang berperan penting dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Dari analisis kelembagaan dengan Analytical Hierarchy Process AHP diketahui bahwa sumberdaya manusia terutama petani plasma, berkontribusi dominan terhadap keberlanjutan perkebunan kelapa sawit. Untuk itu, peningkatan kualitas sumberdaya manusia masih diperlukan agar memiliki keterampilan yang memadai dalam mengelola usahataninya. Selain itu, kemampuan dalam mengorganisir kelompok tani juga ditingkatkan sehingga kelompok tani ataupun Gabungan Kelompok Tani GAPOKTAN menjadi lebih kompetitif dalam merekayasa jalur pemasaran produksi TBS dan pengadaan sarana produksi. Peningkatan kapasitas kelompok tani dan pemerintah daerah dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan tersebut digambarkan dalam skim kelembagaan PRITAMA Perintisan Kemandirian Petani Plasma. Dalam skema ini difokuskan pada penguatan GAPOKTAN dan bimbingan pemerintah daerah dalam menyalurkan modal kerja sehingga diharapkan lebih efisien dan tepat sasaran. Sementara penggunaan modal kerja, mekanisme kinerja keterkaitan kelompok tani dan perusahaan Inti perlu diawasi oleh Badan Pengawas yang anggotanya berasal dari perusahaan Inti dan petani plasma. Hasil analisis ini menunjukkan kesamaan arah dengan skema penyaluran modal peremajaan kelapa sawit oleh pemerintah dalam program Revitalisasi Perkebunan Ditjenbun, 2007. Memperhatikan fungsi GAPOKTAN yang relatif banyak tersebut maka tiap GAPOKTAN akan didukung dari program penyuluhan dan penguatan kelompok dari Badan Pengembangan SDM Pertanian, penguatan akses 172 teknologi tepat guna dari Badan Litbang Pertanian, dukungan infrastruktur pertanian dari Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, bantuan dan pembinaan usaha pengolahan dan pemasaran dari Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian serta dukungan permodalan dari program Dana Penjaminan dimana pada tahun 2007 perkebunan menerima skitar 35,22 Syahyuti, 2007.

4.7. Analisis Prospektif

Dokumen yang terkait

Studi Pemeliharaan Mesin Genset PTPN III Kebun Rambutan

4 47 64

Analisis biaya dan penerimaan produksi CPO di PTPN V SEI Pagar Kabupaten Kampar Propinsi Riau

0 6 118

Perneliharaan Tanarnan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Menghasilkan di Kebun lnti dan Plasma PIR Trans Sei Tungkal PT Agrowiyana, Jambi

0 11 89

Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan (Studi Kasus PIR Perkebunan Plasma Sei Pagar, PTP Nusantara V Kabupaten Kampar Provinsi Riau)

0 3 1

Pengembangan Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Lahan Kering Masam (Studi Kasus Kebun Plasma Sel Tapung PTPN V, Kabupaten Rokan Hulu, Riau

1 14 40

Pengembangan Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Lahan Kering Masam (Studi Kasus Kebun Plasma Sel Tepung PTPN V, Kabupaten Rokan Hulu, Riau)

0 11 40

Pengembangan Model Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Lahan Kering Masam (Studi Kasus Kebun Plasma Sei Tapung PTPN V, Kabupaten Rokan Hulu, Riau)

0 12 40

Aplikasi Limbah Pengolahan Kelapa Sawit sebagai Pupuk Organik di Kebun Sei Batang Ulak Kabupaten Kampar Provinsi Riau

0 4 40

Manajemen Pemanenan Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Kebun Sei Batang Ulak Pt Ciliandra Perkasa, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau

0 10 53

Desain Pengelolaan Kebun Plasma Kelapa Sawit Berkelanjutan : Studi Kasus pada PIR-Trans Kelapa Sawit P.T.P. Mitra Organ di Kabupaten Organ Komering Ulu, Propinsi Sumatera Selatan.

0 91 604