Pasangan kelima: “Diusahakan pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar biarpun gak lancar,
tapi yah kebanyakan kami pakai bahasa isyaratlah.” Pasangan keenam:
“Sulit kali rasanya pakai bahasa bicara, tapi kami usahakan, tapi kalau beduaan aja, ya pakai bahasa kami ajalah”
Dari hasil transkrip wawancara di atas diketahui bahwa keenam pasangan difabel tunawicara ini memiliki cara yang berbeda dalam berkomunikasi dengan
pasangannya masing-masing. Pasangan pertama masih berusaha untuk menggunakan bahasa verbal untuk berkomunikasi satu sama lain, sedangkan
pasangan kedua lebih fokus berkomunikasi sehari-harinya dengan menggunakan gerakan isyarat atau komunikasi non verbal. Untuk pasangan ketiga, lebih intens
menggunakan bahasa isyarat ketika mereka saling berkomunikasi intens.Pasangan terakhir mengkombinasikan penggunaan kedua bahasa ini bahasa verbal dan juga
nonverbal, yang didasarkan pada perbedaan keterbatasan yang ada pada sang istri. Keempat pasangan ini memilih cara yang berbeda didasarkan pada tingkat
kenyamanan berkomunikasi dengan pasangannya. Namun mayoritas informan lebih memilih menggunakan bahasa nonverbal dalam berkomunikasi sehari-hari
dengan pasangan.Penggunaan bahasa isyarat dinilai lebih aman dan nyaman dalam mencegah kekeliruan makna yang diterima ketika menyampaikan
pesan.Sikap terbuka open mindness amat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi interpersonal yang efektif. Brooks dan Emmert
Rakhmat, 2004:136, mengkarakteristikkan orang bersikap terbuka sebagai orang yang menilai pesan objektif dengan data dan logika, serta membedakan dengan
mudah dengan melihat suasana.
4.2.2 Awal mempelajari pola komunikasi nonverbal berupa isyarat
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang mendalam yang dilakukan dengan informan yakniempat pasangan suami istri yang dilakukan di
Kota Kabanjahe, hasilnya adalah:
Universitas Sumatera Utara
Pasangan pertama: “Istri, Saya bersekolah sejak SD hingga SMA di Sekolah Bakti Luhur Jakarta,
Suam, Aku sekolah di SLB SD Medan di Karya Murni terus lanjut lagi di SMP 1 Kabanjahe”
Pasangan kedua: ”Suami, saya sekolah di SLB SD Karya Murni Medan. Istri, Aku belajarnya di
sekolah di SLB SD Pembinaan Negeri Medan, tapi lebih banyak lagi belajar dari lingkungan kawan-kawan yang serupa kayak aku ini”
Pasangan ketiga: “Kami belajar ngomong lewat gerakan tangan kami itu di sekolahan SLB dulu,
kami cuma sebatas tamat SD, susah keluarga dengan kondisi kami, tapi lebih banyak belajar dari lingkungan sesama kami Tunawicara.
Pasangan keempat: “Saya mulai mempelajari gerakan isyarat tangan ini sejak mulai tertarik menjalin
hubungan dengan istri.Saya belajar dengan teman yang mengalami tunawicara dan lebih intens lagi dengan istri, yang tujuan akhirnya agar kami bisa lancar
ketika akan berkomunikasi.” Pasangan kelima:
“Saya belajarnya ya waktu di SLBE Medan dululah, jadi disana saya dapat banyak ilmu tentang bicara khusus orang bisu dan tuli ini”
Pasangan keenam: “Belajarnya ya di sekolah formal khusus orang bisu, tapi banyak pengembangan
cara bicaranya dengan praktek bicara langsung dengan orang-orang di sekitar kami”
Dari hasil transkrip wawancara di atas diketahui bahwa keempat pasangan difabel tunawicara ini memiliki kemampuan dalam berkomunikasi menggunakan
isyarat, ada tiga pasangan yang mendapatkan kemampuan berkomunikasi menggunakan gerakan dari pendidikan formal di bangku sekolah yakni di
berbagai Sekolah Luar Biasa, namun ada juga satu orang dari pasangan tersebut bisa menggunakan simbol-simbol nonverbal. Mengenyam pendidikan sesuai
dengan kebutuhan para difabel tentunya sangat membantu mereka untuk dapat lebih mandiri kedepannya, seperti para informan dalam penelitian ini yang sejak
Universitas Sumatera Utara
kecil mereka sudah mempelajari bahasa isyarat untuk mempermudah mereka dalam berkomunikasi.Jadi, dengan adanya bahasa isyarat orang-orang yang
mempunyai kebutuhan khusus, misalnya orang-orang tunawicara, dapat berkomunikasi dengan baik dengan orang lain. Mereka dapat mengeluarkan
perasaannya, pendapatnya, dan sebagainya, dalam bahasa isyarat.
4.2.3 Hambatan dalam