Berdiskusi mengunakan bahasa isyarat

menguasai, membiarkan, dan masa bodoh yang semuanya harus ditafsir dalam konteks sosial budaya tertentu Liliweri, 2003:197.

4.2.5 Berdiskusi mengunakan bahasa isyarat

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang mendalam yang dilakukan dengan informan yakni enam pasangan suami istri yang dilakukan di Kota Kabanjahe, hasilnya adalah: Pasangan pertama: “Kami sering diskusi tentang macam-macam yah pakai tangan ini, kadang dibantu pakai internet juga bisa, tetap bisa bahas banyak hal” Pasangan kedua: “Kalau kami nya jarang kali diskusi, si abang ini suka dialah ambil keputusan, aku mau bicara apa lagi, dia keras orangnya, gak cocok sama dia mau kadang aku dipukul” Pasangan ketiga: “Persoalan keluarga selalu kami diskusikan sama-sama, apalagi mengenai anak. Karena kami berdua sama saja gak bisa bicara pakai suara, yah pakai tangan ini lah sebagai isyarat, enak juga, jadi bisa rahasia apa yang kami cakapkan, gak tau mertua” Pasangan keempat: “karena saya bersuamikan orang yang tidak mengalami masalah pendengaran dan berbicara seperti saya, maka saya pun berusaha untuk tetap menggunakan bahasa verbal dalam banyak hal, termasuk ketika berdiskusi mengenai berbagai hal. Gantian dong, masak suami terus yang harus belajar bahasa saya, tapi masih tetap lah pakai bahasa isyarat, karena kan saya gak begitu lancar untuk bicara” Pasangan kelima: “Mau itu berdiskusi, bercanda ataupun sedang serius, tetapi la pakai bahasa isyarat, karena kan memang kami gak bisa bicara selain itu.” Pasangan keenam: “Kami jarang sekali berdiskusi, karena memang kami pikir diskusi itu seperti mendengar membicarakan yang sulit-sulit, hidup kami tidaklah sesulit itu, jadi Universitas Sumatera Utara mau bicara apa pun, apakah itu jika kamu sebut itu diskusi, kami pakai bahasa isyarat, biar cepat pembicaraan selesai dibahas.” Dari hasil transkrip wawancara di atas diketahui bahwa keenam pasangan difabel tunawicara dalam penelitian ini tidak bisa melepaskan aktifitas berdiskusi mengenai berbagai hal dengan pasangan mereka.Tentunya keterbatasan bukan menjadi sebuah alasan untuk meniadakan kegiatan diskusi, karena kegiatan berdiskusi ini sangat penting dilakukan untuk membahas berbagai hal khususnya yang berkaitan dengan masalah keluarga. Dalam wawancara ini juga didapati sebuah pola diskusi yang agak sedikit berbeda, karena pada pasangan keempat, sang istri yang merupakan seorang difabel berusaha untuk berdiskusi dengan pasangannya menggunakan bahasa verbal walaupun sesekali masih menggunakan gerakan isyarat nonverbal karena keterbatasan dalam mengeluarkan suara.Dalam bukunya “Komunikasi Antarpribadi” 1991:12, Alo Liliweri mengemukakan bahwa pada hakikatnya komunikasi anatarpribadi adalah komunikasi antara komunikator dengan seorang komunikan.Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam hal mengubah sikap, pendapat, atau perilaku sesorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan dan arus balik bersifat langsung.Komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga, pada saat komunikasi dilancarkan.Komunikan mengetahui pasti apakah komunikasi itu positif atau negatif, berhasil atau tidak. Jika tidak, ia dapat memberikan kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya.

4.2.6 Saling meminta maaf dengan pasangan