respon masyarakat terhadap Politik Pencitraan yang dilakukan oleh kontestan politik
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan mampu
memberikan pendidikan politik pada masyarakat agar dapat memahami makna komunikasi politik yang disampaikan oleh
kontestan politik. 3.
Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dibidang ilmu politik, khususnya mengenai
komunikasi politik sebagai sarana marketing politik dan perilaku politik masyarakat.
I.3. Kerangka Teori
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah.
10
Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara
menghubungkan antar konsep. Untuk itu diperlukan kerangka
teori yang memuat pokok-pokok pikiran atas penelitian yang akan dilakukan.
11
Sedangkan menurut F.N Karlinger, teori adalah suatu konsep atau konstruksi yang berhubungan satu dengan lainnya, suatu set
dari proporsi yang mengandung suatu pandangan yang sistematis dari fenomena.
12
10
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2001, hal.39
11
Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.37
12
Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta:Reineka Cipta, 1997, hal.20
Universitas Sumatera Utara
I.3.1. Citra I.3.1.1. Pengertian Citra
Citra image memiliki banyak arti, yang mungkin merupakan penyebab ia menjadi satu dari sekian banyak kata yang digunakan secara berlebihan. Banyak
orang menganggap bahwa citra sebagai lawan dari kenyataan, persepsi dari realitas atau kenyataan juga bisa berbeda-beda, sehingga tak dapat diandalkan
sepenuhnya. Pengertian citra itu sendiri abstrak intangible, tetapi wujudnya bisa dirasakan dari hasil penilaian baik atau buruk, seperti penerimaan dan tanggapan
baik positif maupun negatif yang khususnya datang dari publik khalayak sasaran dan masyarakat luas pada umumnya.
Menurut Webster, citra adalah gambaran mental atau konsep tentang sesuatu. Menurut Kotler secara lebih luas mendefinisikan citra sebagai jumlah dari
keyakinan-keyakinan, gambaran-gambaran, dan kesan-kesan yang dimiliki seseorang pada suatu objek. Objek yang dimaksud bisa berupa orang, organisasi,
kelompok atau yang lainnya yang dia ketahui.
13
Sementara menurut Newsome, Citra adalah persepsi kolektif tentang sebuah organisasi atau individu dari semua
publik yang didasarkan pada apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat.
14
Dalam bukunya yang berjudul Kuliah Komunikasi, Dr. H. Sam Abede Pareno, MM menyatakan bahwa citra adalah abstrak tentang suatu pandangan, persepsi,
opini, penilaian secara umum.
15
13
Sutisna, Perilaku Konsumen Komunikasi Pemasaran, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2003, hal.331
14
Doug Newsom, Turk, Judy, Vanslyke Dean Kruckeber, This is PR,
USA:WadsworthThomson Learing, 2004, hal.63
15
Sam Abde Pareno, Kuliah Komunikasi : Pengantar dan Praktek, Jakarta: Papyrus, 2002, hal.73
Terakhir, Bill Sukatendel menjabarkan citra
Universitas Sumatera Utara
sebagai kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap suatu objek. Atau kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu objek, orang atau organisasi.
16
Citra untuk tujuan organisasional, bisa dijelaskan sebagai campuran persepsi dari suatu objek baik itu perorangan atau lembaga. Citra adalah hasil
gabungan dari semua kesan yang didapat, baik itu dengan melihat simbol, mengamati perilaku, mendengar atau membaca aktifitas atau melalui bukti
material lainnya. Citra terkinilah yang penting bagi kebanyakan organisasi, namun citra lain juga cukup penting, yaitu bagaimana objek ingin dilihat. Hal ini sama
dengan citra diri individu, yang terbagi atas tiga kompenen yaitu, realitas, yang ideal dan harapan atau keinginan. Citra yang paling memuaskan muncul jika
didasarkan pada kenyataan.
17
I.3.1.2. Jenis Citra
Dengan demikian, citra dapat didefinisikan sebagai arti yang dimiliki seseorang bagi orang lain, suatu integrasi mental yang halus dan berbagai sifat
yang diproyeksikan atau dicerminkan oleh seseorang dan yang dipersepsi yang diinterprestasikan orang lain menurut kepercayaan, nilai dan pengharapan mereka.
Menurut Anggoro ada lima jenis citra, yaitu :
18
Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota organisasi mengenai anggapan pihak luar terhadap organisasinya. Dengan kata lain, citra
a. Citra Bayangan Cermin Mirror Image
16
Soleh Soemirat Elvinaro Ardianto, Dasar-Dasar Public Relation, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003, hal.111
17
Anthony Davis, OpCit, hal.11
18
M. Linggar Anggoro, Teori dan Profesi Kehumasan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001 hal.74
Universitas Sumatera Utara
bayangan adalah citra yang dianut oleh orang dalam mengenai pandangan luar terhadap organisasinya. Citra ini sering kali tidak tepat, bahkan hanya sekedar
ilusi, sebagai akibat dari tidak memadainya informasi, pengetahuan maupun pemahaman yang dimiliki oleh kalangan dalam organisasi mengenai pendapat
atau pandangan pihak luar. Citra ini cenderung positif, bahkan terlalu positif, karena kita bisa membayangkan hal yang serba hebat mengenai diri kita sendiri
shingga kita pun percaya orang lain juga memiliki pemikiran yang serupa dengan kita
b. Citra Yang Berlaku Kekinian Current Image Citra ini adalah suatu citra atau pandangan yang melekat pada pihak-pihak
luar mengenai suatu organisasi. Namun sama halnya dengan citra bayangan, citra ini berlaku tidak selamanya, bahkan jarang, sesuai dengan kenyataan karena
semata-mata terbentuk dari pengalaman atau pengetahuan orang-orang luar yang bersangkutan yang biasanya tidak memadai. Biasanya pula citra ini cenderung
negatif. Citra ini amat ditentukan oleh banyak sedikitnya informasi yang dimiliki oleh penganut atau mereka yang mempercayainya.
c. Citra Harapan Wish Image Citra harapan adalah suatu citra yang diharapkan oleh pihak pencitra. Citra
ini juga tidak sama dengan citra yang sebenarnya. Biasanya citra harapan lebih baik atau lebih menyenangkan daripada citra yang ada, walaupun dalam kondisi
tertentu, citra yang terlalu baik juga bisa merepotkan. Namun secara umum yang disebut sebagai citra harapan itu memang merupakan sesuatu yang berkonotasi
lebih baik. Citra harapan ini biasanya dirumuskan dan diperjuangkan untuk
Universitas Sumatera Utara
menyambut sesuatu yang relatif baru, yakni ketika khalayak belum mempunyai informasi yang memadai.
d. Citra Perusahaan Kelembagaan Corporate Image Citra perusahaan adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi
bukan citra atas produk dan pelayanan saja. Citra perusahaan terbentuk oleh banyak hal. Hal-hal positif yang dapat meningkatkan citra suatu perusahaan
antara lain adalah sejarah atau riwayat hidup perusahaan yang gemilang, keberhasilan-keberhasilan di bidang keuangan yang pernah diraih, sukses ekspor,
hubungan industri yang baik, reputasi yang baik sebagai pencipta lapangan kerja dalam jumlah besar, kesediaan turut memikul tanggungjawab sosial, komitmen
mengadakan riset dan sebagainya. Marks and Spencer memiliki suatu citra perusahaan yang cemerlang dan sudah mendapat pengakuan internasional.
e. Citra Majemuk Multiple Image Setiap perusahaan atau organisasi pasti memiliki banyak unit dan pegawai
anggota. Masing-masing unit dan individu tersebut memiliki perilaku tersendiri, sehingga secara sengaja ataupun tidak mereka pasti memunculkan suatu citra yang
belum tentu sama dengan jumlah pegawai yang dimilikinya. Untuk menghindari berbagai hal yang tidak diinginkan, variasi citra itu harus ditegakkan. Banyak cara
yang dapat ditempuh. Antara lain dengan mewajibkan semua karyawan untuk mengenakan seragam, menyamakan jenis dan warna mobil dinas, bentuk toko
yang khas dan simbol-simbol tertentu serta hal-hal lainnya. Contoh perusahaan yang sering memakai metode ini misalnya adalah maskapai penerbangan.
Universitas Sumatera Utara
I.3.1.3. Citra Positif dan Citra Negatif
Anggoro menyatakan bahwa citra yang positif dan ideal adalah kesan yang benar, yakni sepenuhnya berdasarkan pengalaman, pengetahuan, serta
pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya. Itu berarti citra tidak seyogyanya dipoles agar lebih indah dari warna aslinya, karena hal itu justru dapat
mengacaukan. Suatu citra yang sesungguhnya bisa dimunculkan kapan saja, termasuk di tengah terjadinya musibah atau sesuatu yang buruk. Caranya adalah
dengan menjelaskan secara jujur apa yang menjadi penyebabnya, baik itu informasi yang salah atau suatu perilaku yang keliru.
19
I.3.1.4. Citra dan Identitas
Banyak orang mencampur adukkan citra dengan identitas. Padahal walaupun memiliki kaitan erat, citra tidaklah sama dengan identitas. Hal ini
dikarenakan citra adalah hasil persepsi. Ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Jallaludin Rahkmat dalam bukunya, Psikologi Komunikasi bahwa citra adalah
penggambaran tentang realitas yang tidak harus sesuai dengan realitas sebenarnya. Identitas adalah apa yang sebenarnya ada pada atau ditampilkan. Identitas
menempatkan jati diri, sedangkan citra adalah persepsi masyarakat terhadap jadi diri itu. Identitas bukan citra. Tetapi identitas dapat membantu untuk
mengingatkan masyarakat tentang citra mereka. Dalam kerangka lebih kompleks, Jean Baudrillard mengatakan bahwa citra
dipersepsikan untuk 4 hal, yaitu; sebagai refleksi dari realitas dasar, citra sebagai
19
Ibid, hal. 83
Universitas Sumatera Utara
alat untuk menutupi dan menyesatkan realitas dasar, citra sebagai alat untuk menutupi ketidakhadiran realitas dasar dan citra sebagai hasil dari realitas yang
tidak memiliki relasi dengan realitas manapun hyperealitas.
I.3.1.5. Proses Pembentukan Citra Pencitraan Imagology
Citra adalah kesan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengetahuan dan pengertian tentang fakta-fakta atau kenyataan.
20
Pencitraan imagology merupakan satu upaya untuk menciptakan karya kreatif yang dibalut dengan
berbagai teknik persuasi baik itu dalam bentuk audio, visual maupun narasi yang hasilnya menampilkan sesuatu gambaran realitas yang lebih menarik dan
meyakinkan.
21
Kata imagologi imagology pertama kali diungkapkan oleh Milan Kundera dalam salah satu novelnya yang berjudul “Immortality”. Imagologi
merupakan penggabungan kata imago dan logos yang berarti logika imajinasi. Imagologi merupakan manifestasi dari imaginasi yang berisi kata, tanda dan citra
atau gambar. Imagologi tidak membedakan mana yang realitas aktual dan mana yang merupakan realitas hasil representasi virtual. Hal tersebut karena
imagologi berada sekaligus dalam dunia yang bergerak maju secara dialektis dimana terdapat aktualisasi dan virtualisasi. Virtualisasi yang dimaksud dalam
proses imagologi dapat dijelaskan dalam permainan, keindahan dan normatifitas yang dilogiskan menjadi citra atau gambaran imagi. Dalam proses selanjutnya,
20
Soleh Sumirat Elvinaro Ardianto, OpCit, hal.115
21
Lihat Bachtiar Aly, Kompetisi Pencitraan, http:news.okezone.comSKSindex.phpReadStory20090601274224900kompetisi-
pencitraan, diakses pada 1 juli 2009
Universitas Sumatera Utara
virtualisasi menjadi bagian dari aktualisasi yang terimitasi dimana imagi-imagi dalam proses virtualiasi menjadi rujukan dalam memahami suatu realitas.
22
Untuk mengetahui citra seseorang terhadap suatu objek dapat diketahui dari sikapnya terhadap objek tersebut. Semua sikap bersumber pada organisasi
kognitif, pada informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Tidak akan ada teori sikap atau aksi sosial yang tidak didasarkan pada penyeledikan tentang dasar-
dasar kognitif. Efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi proses pembentukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan
informasi-informasi yang diterima seseorang Proses pembentukan citra dalam struktur kognitif yang sesuai dengan
pengertian sistem komunikasi dijelaskan oleh ohn S. Nimpoeno dalam laporan penelitian tentang tingkah laku konsumen, seperti yang dikutip, sebagai berikut :
Gambar 1. Model Pembentukan Citra
23
Hubungan digambarkan sebagai input-output, proses intern dalam model ini adalah pembentukan citra, sedangkan input adalah stimulus yang diberikan dan
22
Lihat Budi Hartanto, Virtual Revolution, http:www.bloxster.netbuzzart, diakses pada 19 Maret 2009
23
Soleh Sumirat Elvinaro Ardianto, OpCit, hal.115
Kognisi
Motivasi Sikap
Persepsi Respon
Perilaku Stimulus
Rangsangan
Universitas Sumatera Utara
output adalah tanggapan atau perilaku tertentu. Citra itu sendiri digambarkan melalui persepsi-kognisi-motivasi-sikap.
Model pembentukan citra ini menunjukkan bagaimana stimulus yang berasal dari luar diorganisasikan dan mempengaruhi respons. Stimulus
rangsangan yang diberikan pada individu diterima atau ditolak. Jika rangsangan ditolak proses selanjutnya tidak dapat berjalan, hal ini
menunjukkan bahwa rangsangan tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi individu karena tidak ada perhatian dari individu tersebut. Sebaliknya, jika
rangsangan itu diterima oleh individu, berarti terdapat komunikasi dan terdapat perhatian organisme, dengan demikian proses selanjutnya dapat berjalan.
Empat komponen persepsi-kognisi-motivasi-sikap diartikan sebagai citra individu terhadap rangsangan. Jika stimulus mendapat perhatian, individu akan
berusaha untuk mengerti tentang rangsangan tersebut. a. Persepsi
Diartikan sebagai hasil pengamatan unsur lingkungan yang dikaitkan dengan suatu proses pemaknaan. Dengan kata lain, individu akan memberikan
makna terhadap rangsangan berdasarkan pengalaman mengenai rangsangan. Kemampuan mempersepsi itulah yang dapat melanjutkan proses pembentukan
citra. Persepsi pandangan individu akan positif bila informasi yang diberikan oleh rangsangan dapat memenuhi kognisi individu.
b. Kognisi Yaitu suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus. Keyakinan
akan timbul apabila individu telah mengerti rangsangan tersebut, sehingga
Universitas Sumatera Utara
individu harus diberikan informasi-informasi yang cukup yang dapat mempengaruhi perkembangan kognisinya.
c. Motivasi Motif adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan
individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. d. Sikap
Adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi ataupun nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi
merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap menentukan apakah orang
harus pro atau kontra terhadap sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan dan diinginkan. Sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai
menyenangkan like atau tidak menyenangkan dislike. Sikap ini juga dapat diperteguh atau diubah.
24
I.3.2. Politik
Asal mula politik itu sendiri menurut Robert Dahl, berasal dari kata “polis” yang berarti “negara kota”, dengan demikian politik memiliki hubungan
khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan ini timbul aturan, kewenangan, dan pada akhirnya kekuasaan. Tetapi menurut Hoogerwerf, politik
24
Ibid, hal.116
Universitas Sumatera Utara
bisa saja dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan, kekuasaan, pemerintahan, konflik dan pembagian atau kata-kata serumpun.
25
Tetapi dalam kehidupan nyata, penguasa-penguasa bijak tidak mesti selalu bersikap bijak. Artinya, negara dari hakim atau raja yang bajik tidaklah
permanent. Stabilitas terjadi bila semua kelas rakyat berlainan dapat Secara esensial politik merupakan aspek kehidupan manusia yang
mempunyai nilai luhur dan fundamental. Hal ini karena politik adalah ruang publik. ia merupakan pola managemen kolektif, lokus bertemunya beragam
kepentingan dan aspirasi manusia. Pada prinsipnya, karakter manusia adalah keinginan untuk hidup bersama. Manusia manapun tidak mungkin hidup sendiri
tanpa bersinggungan dan ditopang oleh manusia lain. Seseorang bisa eksis karena terkait dengan teman, saudara, sanak famili, ketua RT, tukang becak, penjual
sayur, guru, mahasiswa, supir bus, tukang sapu, petugas pom bensin, tukang bakso dan sebagainya. Dan inilah sebenarnya esensi dan fungsi substantif entitas
politik yakni berbagi kerja untuk kemaslahatan bersama. Dari masing-masing komponen itu, tidak ada yang tidak penting, semuanya penting. Karena apabila
salah satunya macet, maka akan memacetkan komponen yang lain Politik merupakan suatu fungsi hubungan antara penguasa dan yang
dikuasai. Pemerintahan mungkin dijalankan oleh satu orang raja, diktator, otokrat, tiran, beberapa orang oligarki, yunta, elit, atau banyak orang
electorates.
25
Drs. Inu Kencana Syafi`ie, Ilmu Politik, Jakarta:Rineka Cipta, 1997, hal.8
Universitas Sumatera Utara
berpartisipasi; tetapi, demokrasi absolute menimbulkan anarki. Kompromi terbaik adalah Negara yang mencerminkan kekuasaan kelas.
26
Politik berkaitan dengan kekuasaan, begitulah yang dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau dalam tulisannya yang berjudul Politics Among Nation yang
mendominasi kegiatan terisolasi realis sesudah Perang Dunia II, menegaskan proposisi bahwa kekuasaan adalah fokus utama studi dan praktek hubungan
internasional. Pemikirannya tentang realisme politik dan tentang kekuasaan tercermin dalam kutipan berikut ini.
27
Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik negara yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu
Politik internasional, seperti halnya semua politik, adalah perjuangan memperoleh kekuasaan. Adapun tujuan akhir dari politik internasional, tujuan
menengahnya adalah kekuasaan. Negarawan-negarawan dan bangsa-bangsa mungkin mengejar tujuan akhir berupa kebebasan, keamanan, kemakmuran atau
kekuasaan itu sendiri. Mereka mungkin mendefinisikan tujuan-tujuan merka itu dalam pengertian tujuan yang religius, filosofis, ekonomis atau sosial. Mereka
mungkin berharap bahwa tujuan ini akan terwujud melalui perkembangan alamiah urusan kemanusiaan. Tetapi begitu mereka berusaha mencapai tujuan-tujuan
mereka dengan menggunakan politik internasional, mereka melakukannya dengan berupaya memperoleh kekuasaan.
26
David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Jakarta : LP3ES, hal.68
27
Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES, 1990, hal 20
Universitas Sumatera Utara
menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari
seluruh masyarakat public goals, dan bukan tujuan pribadi seseorang private goals. Lagipula politik menyangkut kegiatan berbagai-berbagai kelompok
termasuk partai politik dan kegiatan orang seorang individu.
28
I.3.3. Politik Pencitraan
Politik Pencitraan imagology politic dapat didefinisikan sebagai representasi visual dan naratif yang mengedepankan citra atau gambaran dengan
menggunakan medium tertentu yang sifatnya umum masiv dengan beberapa proses yang melibatkan simbol-simbol dan entitas-entitas sosial dan politik
dengan tujuan kekuasaan.. Politik pencitraan pada dasarnya adalah merupakan simbiosis antara
strategi politik dengan teknik pencitraan yang di dalamnya ada pengemasan terhadap sesuatu objek pelaku politik baik itu perorangan tokoh politik maupun
kelompok partai politik. Politik Pencitraan digunakan dalam rangka mempengaruhi persepsi, perasaan, kesadaran, dan opini publik sehingga mereka
dapat digiring ke suatu preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.
29
Menurut RW Pollay pendekatan pencitraan dalam politik memiliki fungsi komunikasi, yaitu informasional dan transformasional seperti upaya meyakinkan
28
Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 2000 hal.8
29
Lihat Yasraf Amir Piliag, Simulakra Politik, http:www.unisosdem.org, diakses pada 14 Maret 2009
Universitas Sumatera Utara
khalayak agar memperkuat dan mengukuhkan sikap atas sesuatu objek dan entitas yang selama ini masih menjadi tanda tanya atau diperlukan perubahan sikap.
30
Simulakra politik adalah penggunaan tanda dan citra dalam politik, sedemikian rupa, yang di dalamnya citra telah terputus dari realitas yang
direpresentasikan sehingga di dalamnya bercampur aduk antara yang aslipalsu, Pendekatan politik pencitraan secara esensial digunakan untuk
menciptakan ketersambungan atau kontinuitas antara realitas dan citra politik. Namun dalam imagologi politik, pendekatan pencitraan juga bisa digunakan untuk
hal sebaliknya, dimana bila terjadi diskontiunitas antara citra politik dan realitas politik. Dalam hal ini pencitraan digunakan untuk menciptakan realitas kedua
second reality yang didalamnya terdapat kebenaran yang dimanipulasi. Sehingga realitas yang digambarkan lewat pencitraan realitas virtual seolah-olah
merupakan realitas sebenarnya realitas aktual. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Politik Pencitraan merupakan interprestasi dari simulasi realitas
simulakra. Jean Baudrillard dalam Simulations 1981 mengatakan bahwa simulakra
adalah strategi penyamaran tanda dan citra disguising, sebuah proses penjungkirbalikan tanda yang menciptakan kekacauan, turbulensi, dan
indeterminasi dalam dunia representasi dan pertandaan. Ia semacam mesin simulacra machine yang memproduksi segala yang palsu false, menyimpang
dari rujukan referent dengan menciptakan tanda sebagai topeng mask, tabir, kamuflase, atau fatamorgana.
30
Bachtiar Aly, OpCit
Universitas Sumatera Utara
realitasfantasi, kenyataanfatamorgana, citrarealitas yang menggiring dunia politik ke arah penopengan realitas masquerade of reality.
31
I.3.4. Opini Publik I.3.4.1. Definisi Opini Publik
Opini publik terdiri dari dua kata yaitu Publik dan Opini. Menurut Gabriel Tarde, Publik adalah satuan individu orang banyak yang terwujud karena masing-
masing orang berkeinginan untuk menjadi salah satu di antara orang-orang yang mempunyai obyek perhatian yang sama dan sama pula dalam cita dan tujuannya.
Soerjono Soekanto mendefinisikan publik sebagai kelompok yang tidak merupakan kesatuan, yang berinteraksi secara tidak langsung melalui media
komunikasi pribadi dan massa. Mayor Polak mendefinisikan publik sebagai sejumlah orang yang berminat dan merasa tertarik terhadap suatu masalah dan
berhasrat mencari jalan keluar dan dengan mewujudkan tindakan konkret. Menurut Herbert Blumer, Opini Publik adalah suatu produk kolektif yang
merupakan pendapat anonim yang disetujui oleh setiap orang dari publik, dan juga tidah harus selalu pendapat mayoritas. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
opini publik adalah sikap yang dinyatakan secara verbal oleh sejumlah orang yang tidak tergantung kepada tempat, yang mempunyai reaksi psikis terhadap suatu isu
yang dapat menimbulkan kesatuan jiwa
32
Publik sederhananya adalah sejumlah individu yang tidak harus saling mengenal secara pribadi namun terikat kepada satu isu atau masalah yang sama,
31
Yasraf Amir Pilinag, OpCit
32
Matulada, Demokrasi Dalam Tradisi Masyarakat Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1986, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
berkeinginan untuk menjadi bagian dari pemecahan masalah tersebut, secara rasional, dimana dalam proses tersebut terjadi diskusi publik yang rasional
melalui media komunikasi massa dan pribadi. Publik adalah sejumlah orang banyak yang terikat pada satu keharusan
mengambil bagian dalam kelompok-kelompok orang yang mempunyai sasaran perhatian dan tujuan yang sama. Opini adalah pendapat, yaitu suatu keputusan
yang diungkapkan melalui kata-kata, baik lisan maupun yang tertulis, pendapat adalah sikap yang dinaytakan secara verbal.
Di dalam publik kurang ada sugesti dan mengekor tanpa berpikir. Tetapi sebaliknya ada diskusi sosial secara rasional atau sekurang-kurangnya ada
kecenderungan berfikir rasional. Herbert Blumer mendefinisikan pulik sebagai sekelompok manusia yang berkumpul secara spontan dengan syarat-syarat
dihadapkan oleh sebuah masalah, terdapat perbedaan pendapat dalam menyelesaikan masalah, adanya diskusi untuk mencari jalan keluar.
Emory S Bogardus mendefinisikan publik sebagai sejumlah orang yang tidak saling mengenal namun mempunyai pandangan yang sama mengenai suatu
masalah, atau setidak-tidaknya mempunyai kepentingan bersama dalam suatu hal. Hugo Samkalden mendefinisikan publik sebagai kelompok orang yang terikat
pada tempat, namun yang lebih pen ting adalah terjadinya reaksi psikis yang mewujudkan kesatuan jiwa.
Universitas Sumatera Utara
I.3.4.2. Sifat Opini
Kompetensi opini publik mempunyai dua sifat yang paradoksal; tidak terbatas dan terbatas. Yang pertama kali menjadi keterbasan opini publik adalah
masalah waktu. Opini publik mempunyai batas waktu untuk bertahan sebagai opini sebelum kemudian opini tersebut dilupakan dari agenda publik yang sering
kali individu maupun kelompok menciptakan berbagai isu politiik dengan tujuan untuk mematikan suatu opini publik yang ada agar segera berganti dengan opini
publik yang baru yang disebut dengan Counter Opinion. Yang menjadi keterbatasan kedua opini publik adalah opini publik berada
pada tataran moral dan etika. Dengan demikian opini publik jarang mampu untuk memberikan opini yang bersifat teknis. Individu maupun kelompok yang diserang
oleh opini publik yang menentang sering kali berkilah dengan membawa opini publik tersebut ke ranah teknis sehingga opini publik kehilangan kekuatannya.
Paradoks kedua adalah bahwa opini publik mempunyai ketidakterbatasan. Pertama, ketidakterbatasan dalam jumlah anggota. Jika di masa lalu kita hanya
memahami bahwa opini publik hanya dapat terbentuk pada individu dari berbagai negara, baik dalam konteks menanggapi isu pada satu negara atau isu dari
beberapa negara. Sebagai contoh adalah isu lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang menciptakan gerakan dari masyarakat dunia bahwa setiap negara
harus melaksanakan pembangunan yang berkesinambungan atau melindungi alam, dan juga harus tidak melanggar hak-hak asasi manusia.
33
33
Ibid, hal. 131
Universitas Sumatera Utara
Opini publik juga mengalami ketidakterbatasan dalam hal ruang. Opini publik terbentuk dalam ruang lokal, nasional, regional maupun global. Ini
sekaligus menunjukkan bahwa globalisasi meniadakan batas-batas pembentukan opini. Tidak ada satu negara totalitarian pun yang hari ini dapat mengabaikan
opini publik, karena opini publik yang ada tidak saja berasal dari dalam, yang dengan mudah dapat dibungkam namun juga dari dunia internasional yang dapat
menghasilkan kebijakan baru baik antar negara global mulai pengucilan maupun perang.
Ada juga kekhasan opini publik, bahwa dalam opini publik selalu terjadi polarisasi opini antara opini yang mendukung pro dan opini yang melawan
kontra. Dapat dikatakan, tidak ada “pendapat antara” di antara keduanya. Dalam konteks ini, kita melihat bahwa sebenarnya opini piblik adalah bentuk kompetisi
paling terbuka dan frontal akan suatu isu dan pemecahannya.
34
I.3.4.3. Proses Terbentuknya Opini
Proses pembentukan opini publik dilakukan melalui berbagai cara, misalnya melalui media massa baik itu elektronik atau cetak. Opini publik yang
dibangun di tengah masyarakat misalnya dalam permasalahan Politik Pencitraan adalah dalam proses pembentukan akuntabilitas politik seorang kontestan politik.
Akuntabilitas seorang kontestan politik menentukan tingkat popularitas kontestan politik tersebut dan juga tingkat elektabilitasnya. Oleh karena itu ada upaya
penggiringan opini untuk menciptakan citra yang baik di masyarakat tentang
34
Riant.N.Dwijiwijoto, Komunikasi Pemerintahan : Sebuah Agenda Bagi Pemimpin Pemerintahan Indonesia, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2004, hal. 123
Universitas Sumatera Utara
sosok kontestan politik agar kiranya kontestan politik tersebut bisa mendapatkan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaanya.
Sedangkan di sisi lain, adanya pembangunan opini publik bahwa ada hal yang lebih penting dari sekedar pencitraan saja. Tetapi lebih kepada pendekatan-
pendekatan lain yang lebih nyata daripada pendekatan pencitraan yang rentan dengan manipulasi dan klaim. Apalagi menurut pelempar opini tersebut,
pencitraan yang dilakukan sangat kental dengan aroma manipulasi dan modifikasi isu, sehingga tidak benar-bernar dirasakan oleh masyakat sebagai obyek dari opini
tersebut. Pembentukan opini publik di tengah masyarakat ini adalah salah satu
proses pendidikan politik dan pendewasaan politik di tengah masyarakat. Inilah yang disebut sebagai pembentukan opini secara kognitif.
Selain proses pembentukan opini secara kognitif, ada juga satu proses lagi dalam pembentukan opini publik, yakni proses pembentukan opini publik secara
afektif. Yang dimaksud dengan pembentukan opini publik secara afektif adalah selama proses pembentukan opini, masyarakat ataupun konstituen tidak
diposisikan sebagai obyek, akan tetapi ditempatkan atau diposisikan sebagai subyek. Proses pembentukan opini publik dalam hal ini melibatkan masyarakat
secara langsung sehingga masyarakat bukan hanya mendengat tetapi juga sekaligus menjadi pelaku.
Proses ini dalam orientasi politik pencitraan diharapkan akan membuat tingkat partisipasi masyarakat menjadi tinggi. Misalnya dalam masalah aspirasi
masyarakat tentang program-program politik para kontestan politik. Diharapkan
Universitas Sumatera Utara
dengan adanya pembangunan opini publik seperti tersebut masyarakat menjadi lebih peka terhadap isu-isu politik yang menyangkut kehidupan orang banyak.
Apabila nantinya masyarakat menjatuhkan pilihan terhadap kontestan politik, pilihan tersebut disertai dengan kesadaran dan pengetahuan yang luas
tentang Politik Pencitraan yang dilakukan oleh kontestan politik yang pada akhirnya akan membawa kesadaran politik dan pengawasan politik terhadap
kontestan politik terpilih berdasarkan Politik Pencitraan yang dilakukannya.
I.4. Definisi Konsep I.4.1. Opini