Imagologi Politik (Studi Deskriptif Tentang Opini Publik Terhadap Pencitraan Politik Dalam Meningkatkan Tingkat Elektabilitas Politik Pada Pemilu Presiden 2009 di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan)
IMAGOLOGI POLITIK
(Studi Deskriptif Tentang Opini Publik Terhadap Pencitraan Politik Dalam Meningkatkan Tingkat Elektabilitas Politik Pada Pemilu Presiden 2009 di
Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan)
SKRIPSI
Oleh :
WAHYUDI AULIA SIREGAR NIM : 030906079
DOSEN PEMBIMBING : Drs. Ahmad Taufan Damanik, M.A DOSEN PEMBACA : Drs. P. Anthonius Sitepu, MSi
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2010
(2)
HALAMAN PERSETUJUAN
Nama : Wahyudi Aulia Siregar NIM : 030906079
Departemen : Ilmu Politik
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Judul : IMAGOLOGI POLITIK
(Studi Deskriptif Tentang Opini Publik Terhadap Pencitraan Politik Dalam Meningkatkan Tingkat Elektabilitas Politik Pada Pemilu Presiden 2009 di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan)
Ketua Departemen Ilmu Politik
Drs. Heri Kusmanto, MA
NIP. 196410061998031002
Pembimbing I ` Pembimbing II
Drs. Ahmad Taufan Damanik, MA Drs. P. Anthonius Sitepu, MSi
NIP. 196506291988031001 NIP. 195207011985111001
a.n Dekan FISIP USU Pembantu Dekan I
Drs. Humaizi, MA
(3)
ABSTRAKSI
Imagologi Politik atau yang lebih dikenal dengan nama politik pencitraan merupakan salah satu strategi politik yang kian populer di kalangan para elit politik untuk memperkuat citra diri mereka di mata publik. Namun pada kenyataannya, politik pencitraan juga menghadirkan kontroversi di masyarakat. Kontroversi muncul saat pencitraan dinilai tidak lagi diletakkan pada substansi pencitraan itu sendiri, namun lebih kepada tampilan-tampilan yang kehilangan substansi. Kontroversi semakin menjadi ketika pencitraan politik yang dilakukan dinilai hanya menjadi demagog politik belaka. Asumsi-asumsi di masyarakat tentang politik pencitraan yang melahirkan kontroversi tersebut mendorong keberadaan penelitian ini, khususnya pencitraan politik yang dilakukan oleh SBY. Penelitian ini menjadi penting untuk melihat sejauh opini publik dalam menanggapi pencitraan politik yang dilakukan SBY dalam rangka menjatuhkan pilihan politik pada pemilu 2009 sehingga bisa dilihat tingkat efisiensi dari politik pencitraan itu sendiri. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan. Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan kuantitatif dengan teknik analisa data berbentuk tabel tunggal dengan menghitung seberapa besar persentase masyarakat yang pro dan kontra terhadap pencitraan politik yang dilakukan oleh pasangan SBY-Budiono dalam kerangka meningkatkan tingkat elektabilitasnya pada pemilu presiden dan wakil presiden 2009 yang lalu. Sedangkan sampel yang digunakan berjumlah 99 orang dengan menggunakan langkah-langkah metode penarikan sampel yaitu Proporsional Stratified Random Sampling (sampling acak di stratifikasi secara proporsional), Sampling Purposive (sejumlah masyarakat yang menjadi objek penelitian harus memenuhi beberapa kriteria) dan Accidental Sampling (sampel yang didasarkan pada sifat kebetulan). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa opini masyarakat yang pro terhadap SBY karena mereka menilai bahwa cara-cara dan pendekatan pencitraan yang digunakan SBY lewat proyek-proyek pencitraannya dinilai baik oleh masyarakat, disamping itu SBY juga dinilai sebagai pemimpin yang relatif berhasil dengan program-program populernya di masyarakat. Disamping itu sosok SBY juga dinilai memenuhi kriteria pribadi masyarakat sebagai sosok seorang pemimpin. Sementara itu opini masyarakat yang kontra terhadap SBY karena mereka menilai banyaknya kebohongan-kebohongan dan realitas-realitas palsu yang disampaikan SBY lewat pencitraan-pencitraan politiknya.
Kata Kunci : Imagologi Politik, Politik Pencitraan, Citra Politik, Opini Publik, Pilpres 2009
(4)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... vii
BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belarang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 10
1.2.1. Pembatasan Masalah ... 11
1.2.2. Tujuan Penelitian ... 11
1.2.3. Manfaat Penelitian ... 11
1.3. Kerangka Teori ... 12
1.3.1. Citra ... 13
1.3.1.1. Pengertian Citra... 13
1.3.1.2. Jenis Citra ... 14
1.3.1.3. Citra Positif dan Citra Negatif ... 17
1.3.1.4. Citra dan Identitas ... 17
1.3.1.5. Proses Pembentukan Citra ... 18
1.3.2. Politik ... 21
1.3.3. Politik Pencitraan... 24
1.3.4. Opini Publik ... 26
1.3.4.1. Definisi Opini Publik... 26
1.3.4.2. Sifat Opini ... 28
1.3.4.3. Proses Terbentuknya Opini... 29
1.4. Definisi Konsep ... 31
1.4.1. Opini ... 31
1.4.2. Politik Pencitraan... 32
1.5. Definisi Operasional ... 32
1.6. Metodologi Penelitian ... 33
1.6.1. Bentuk Penelitian... 33
(5)
1.6.3. Hipotesa ... 34
1.6.4. Populasi dan Sampel ... 34
1.6.4.1. Populasi ... 34
1.6.4.2. Sampel ... 35
1.6.4.2.1. Teknik Sampling ... 37
1.6.5. Teknik Pengumpulan Data ... 37
1.6.5.1. Penelitian Lapangan ... 38
1.6.5.2. Penelitian Pustaka ... 38
1.6.6. Teknik Analisa Data ... 38
1.6.7. Sistematika Penulisan ... 39
BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 2.1. Gambaran Umum Kota Medan ... 41
2.1.1. Sejarah Kota Medan ... 41
2.1.2. Geografis Kota Medan ... 42
2.1.3. Demografi Kota Medan ... 43
2.2. Kecamatan Medan Perjuangan ... 44
2.3. Kelurahan Sidorame Timur ... 45
2.3.1. Demografi Kelurahan Sidorame Timur ... 45
2.3.1.1. Letak Daerah ... 46
2.3.1.2. Luas Daerah ... 47
2.3.1.3. Kependudukan ... 47
2.3.2. Kehidupan Sosial Politik Masyarakat Kelurahan Sidorame Timur ... 50
2.3.3. Kelurahan Sidorame Timur Dalam Pemilihan Umum ... 55
2.3.3.1. Kelurahan Sidorame Timur Pada Pilkada Kota Medan 2005 ... 55
2.3.3.2. Kelurahan Sidorame Timur Pada Pilgubsu 2008 ... 57
2.3.3.3. Kelurahan Sidorame Timur Pada Pemilu 2009 ... 58
2.3.3.3.1. Pileg DPR-RI ... 59
(6)
2.3.3.3.3. Pemilu Presiden ... 63
2.4. Masyarakat Majemuk dan Opini Publik ... 64
BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA 3.1. Distribusi Responden ... 69
3.1.1. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin ... 69
3.1.2. Distribusi Responden Menurut Usia... 69
3.1.3. Distribusi Responden Menurut Agama... 70
3.1.4. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan ... 70
3.1.5. Distribusi Responden Menurut Jenis Pekerjaan ... 71
3.2. Penyajian Data ... 71
3.2.1. Kriteria Responden ... 71
3.2.1.1. Pilihan Pada Pilpres 2009 ... 72
3.2.1.2. Pengetahuan Akan Pencitraan ... 74
3.2.1.3. Partisipasi Dalam Menyaksikan Proses Pencitraan SBY-Budiono ... 77
3.2.1.4. Durasi Menyaksikan Proses Pencitraan SBY-Budiono.. 79
3.2.1.5. Partisipasi Menyaksikan Pencitraan Pasangan Lain ... 81
3.2.2. Bagian Pencitraan ... 83
3.2.2.1. Pertanyaan Seputar Pencitraan Politik SBY ... 83
3.2.2.1.1. Jargon “LANJUTKAN” ... 83
3.2.2.1.2. Iklan “SBY-PresidenKu” ... 85
3.2.2.1.3. Iklan Penurunan Harga BBM 3x ... 88
3.2.2.1.4. Isu “Bantuan Langsung Tunai” ... 90
3.2.2.1.5. Isu “Perbaikan Ekonomi” ... 93
3.2.2.1.6. Isu “Pemberantasan Korupsi” ... 95
3.2.2.1.7. SBY “Menegur” Pejabat ... 98
3.2.2.1.8. SBY Menangis ... 100
3.2.2.1.9. SBY Dalam Debat Kandidat Capres ... 102
3.2.2.1.10.Tampilan Pencitraan SBY ... 104
(7)
3.2.2.2. Persepsi Terhadap Pencitraan SBY ... 108
3.2.2.2.1. Tampilan Fisik SBY ... 108
3.2.2.2.2. Kebijaksanaan SBY ... 110
3.2.2.2.3. Kejujuran SBY ... 113
3.2.2.2.4. Kedekatan SBY Dengan Masyarakat ... 115
3.2.2.3. Kognisi Terhadap Pencitraan SBY ... 118
3.2.2.3.1. Kepercayaan Kepada Pesan Pencitraan SBY ... 118
3.2.2.3.2. Kepercayaan Terhadap Realitas Dalam Pencitraan Politik SBY ... 120
3.2.2.3.3. Pengaruh Pencitraan Negatif Terhadap Kepercayaan Kepada Pencitraan SBY ... 123
3.2.2.3.4. Akumulasi Kepercayaan Terhadap SBY ... 125
3.2.2.4. Motivasi Terhadap Pencitraan SBY ... 127
3.2.2.4.1. Kriteria Pribadi Dan Sosok SBY ... 128
3.2.2.4.2. Kepentingan Pribadi Terhadap Janji Kampanye SBY ... 129
3.2.2.5. Sikap Terhadap Pencitraan SBY ... 132
3.2.2.5.1. Keyakinan Pribadi dan Pilihan Politik ... 132
3.2.2.5.2. Pengaruh Pencitraan Terhadap Keyakinan Pribadi ... 135
3.3. Analisis Data ... 136
3.3.1. Pro Kontra Tentang Isu Pencitraan SBY ... 140
3.3.1.1. Penyebab Masyarakat Pro Terhadap Pencitraan SBY ... 140
3.3.1.2. Penyebab Masyarakat Kontra Terhadap Pencitraan SBY ... 142
3.3.1.3. Analisis Mengenai Pro dan Kontra Pencitraan SBY-Budiono ... 143
3.3.2. Opini Publik Terhadap Pencitraan SBY ... 146
3.3.2.1.Persepsi Terhadap Pencitraan SBY ... 147
(8)
3.3.2.3.Motivasi Terhadap Pencitraan SBY ... 154 3.3.2.4.Sikap Terhadap Pencitraan SBY... 155
BAB IV : PENUTUP
4.1. Kesimpulan ... 158 4.2. Saran ... 164
(9)
Daftar Tabel
Tabel 1
Proporsi Sample Berdasarkan Proporsi Suara Pilpres 2009 ... 37 Tabel 2
Komposisi Penduduk Kelurahan Sidorame Timur Berdasarkan Suku ... 47 Tabel 3
Komposisi Penduduk Kelurahan Sidorame Timur Berdasarkan Usia... 48 Tabel 4
Komposisi Penduduk Kelurahan Sidorame Timur Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 48 Tabel 5
Komposisi Penduduk Kelurahan Sidorame Timur Berdasarkan Mata Pencaharian ... 49 Tabel 6
Komposisi Penduduk Kelurahan Sidorame Timur Berdasarkan Agama ... 49
Tabel 7
Tabulasi Hasil Suara Pemilihan Walikota Medan 2005 Kelurahan Sidorame Timur ... 56 Tabel 8
Tabulasi Hasil Pilgubsu 2008 Kelurahan Sidorame Timur ... 58 Tabel 9
Hasil Suara Pemilu Legislatif DPR-RI 2009 Kelurahan Sidorame Timur ... 59 Tabel 10
Hasil Suara Pemilu Legislatif DPR-RI 2009 Kelurahan Sidorame Timur ... 61 Tabel 11
Tabulasi Hasil Pemilu Presiden 2009 ... 63 Tabel 12
Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin ... 69 Tabel 13
Distribusi Responden Menurut Usia ... 69 Tabel 14
Distribusi Responden Menurut Agama ... 70 Tabel 15
Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan ... 71 Tabel 16
(10)
Tabel 17
Pilihan Politik Responden Pada Pilpres 2009... 72 Tabel 18
Klasifikasi Pilihan Politik Responden Menurut Jenis Kelamin ... 73 Tabel 19
Klasifikasi Pilihan Politik Responden Menurut Pekerjaan ... 73 Tabel 20
Klasifikasi Pilihan Politik Responden Menurut Agama ... 74 Tabel 21
Klasifikasi Pilihan Politik Responden Menurut Tingkat Pendidikan ... 74 Tabel 22
Tanggapan Responden Mengenai Pengetahuan Responden Tentang Bentuk Pencitraan Politik ... 75 Tabel 23
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Pengetahuan Responden Mengenai Bentuk Pencitraan Politik ... 75 Tabel 24
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Pengetahuan Responden Mengenai Bentuk Pencitraan Politik ... 75 Tabel 25
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Pengetahuan Responden Mengenai Bentuk Pencitraan Politik ... 76 Tabel 26
Klasifikasi Tanggapan Responden Tentang Pengetahuan Responden Mengenai Bentuk Pencitraan Politik ... 76 Tabel 27
Tanggapan Responden Tentang Kuantitas Waktu Dalam Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 77 Tabel 28
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Kuantitas Waktu Dalam Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 77 Tabel 29
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Kuantitas Waktu Dalam Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 78 Tabel 30
Klasifikasi Tanggapan Responden Budiono Menurut Agama Tentang Kuantitas Waktu Dalam Menyaksikan Pencitraan SBY ... 78 Tabel 31
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Kuantitas Waktu Dalam Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 78
(11)
Tabel 32
Tanggapan Responden Tentang Durasi Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 79 Tabel 33
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Durasi Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 79 Tabel 34
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Durasi Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 80 Tabel 35
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Durasi Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 80 Tabel 36
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Durasi Menyaksikan Pencitraan SBY – Budiono ... 80 Tabel 37
Tanggapan Responden Tentang Partisipasi Dalam Menyaksikan Pencitraan Pasangan Lainnya ... 81 Tabel 38
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Partisipasi Dalam Menyaksikan Pencitraan Pasangan Lainnya ... 81 Tabel 39
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Partisipasi Dalam Menyaksikan Pencitraan Pasangan Lainnya... 82 Tabel 40
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Partisipasi Dalam Menyaksikan Pencitraan Pasangan Lainnya ... 82 Tabel 41
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Partisipasi Dalam Menyaksikan Pencitraan Pasangan Lainnya ... 82 Tabel 42
Tanggapan Responden Tentang Jargon “LANJUTKAN” ... 83 Tabel 43
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Jargon “LANJUTKAN” ... 84 Tabel 44
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Jargon “LANJUTKAN” ... 84 Tabel 45
(12)
Tabel 46
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat PendidikanTentang Jargon “LANJUTKAN” ... 85 Tabel 47
Tanggapan Responden Tentang Iklan “SBY PresidenKu” ... 86 Tabel 48
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Iklan “SBY PresidenKu” ... 86 Tabel 49
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Iklan “SBY PresidenKu” ... 86 Tabel 50
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Iklan “SBY PresidenKu” ... 87 Tabel 51
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Iklan “SBY PresidenKu” ... 87 Tabel 52
Tanggapan Responden Tentang Pesan Pada Iklan “Penurunan Harga BBM 3x”... 88 Tabel 53
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Pesan Pada Iklan “Penurunan Harga BBM 3x” ... 88 Tabel 54
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Pesan Pada Iklan “Penurunan Harga BBM 3x” ... 89 Tabel 55
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Pesan Pada Iklan “Penurunan Harga BBM 3x” ... 89 Tabel 56
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Pesan Pada Iklan “Penurunan Harga BBM 3x” ... 89 Tabel 57
Tanggapan Responden Tentang Kebijakan Bantuan Langsung Tunai ... 91 Tabel 58
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Kebijakan Bantuan Langsung Tunai ... 91 Tabel 59
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Kebijakan Bantuan Langsung Tunai ... 91
(13)
Tabel 60
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Kebijakan Bantuan Langsung Tunai ... 91 Tabel 61
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat PendidikanTentang Kebijakan Bantuan Langsung Tunai ... 91 Tabel 62
Tanggapan Responden Tentang Setuju atau Tidaknya Respoden Dengan Klaim Perbaikan Ekonomi Pada Masa Pemerintahan SBY ... 93 Tabel 63
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Setuju atau Tidaknya Respoden Dengan Klaim Perbaikan Ekonomi Pada Masa Pemerintahan SBY ... 93 Tabel 64
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Setuju atau Tidaknya Respoden Dengan Klaim Perbaikan Ekonomi Pada Masa Pemerintahan SBY ... 94 Tabel 65
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Setuju atau Tidaknya Respoden Dengan Klaim Perbaikan Ekonomi Pada Masa Pemerintahan SBY ... 94 Tabel 66
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Setuju atau Tidaknya Respoden Dengan Klaim Perbaikan Ekonomi Pada Masa Pemerintahan SBY ... 94 Tabel 67
Tanggapan Responden Tentang Setuju atau Tidaknya Responden Dengan Klaim Keberhasilan Pemberantasan Korupsi... 96 Tabel 68
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Setuju atau Tidaknya Responden Dengan Klaim Keberhasilan Pemberantasan Korupsi ... 96 Tabel 69
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Setuju atau Tidaknya Responden Dengan Klaim Keberhasilan Pemberantasan Korupsi ... 96 Tabel 70
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Setuju atau Tidaknya Responden Dengan Klaim Keberhasilan Pemberantasan Korupsi ... 96 Tabel 71
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Setuju atau Tidaknya Responden Dengan Klaim Keberhasilan Pemberantasan Korupsi ... 97 Tabel 72
Tanggapan Responden Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap “SBY Menegur Walikota dan Menteri Kabinet... 98
(14)
Tabel 73
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap “SBY Menegur Walikota dan Menteri Kabinet ... 98 Tabel 74
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap “SBY Menegur Walikota dan Menteri Kabinet ... 99 Tabel 75
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap “SBY Menegur Walikota dan Menteri Kabinet ... 99 Tabel 76
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap “SBY Menegur Walikota dan Menteri Kabinet ... 100 Tabel 77
Tanggapan Responden Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap SBY Menangis ... 100 Tabel 78
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap SBY Menangis ... 100 Tabel 79
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap SBY Menangis ... 101 Tabel 80
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap SBY Menangis ... 101 Tabel 81
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Setuju atau Tidak Setujunya Responden Dengan Sikap SBY Menangis ... 101 Tabel 82
Tanggapan Responden Terhadap Performa SBY Dalam Debat Kandidat ... 102 Tabel 83.
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Performa SBY Dalam Debat Kandidat ... 103 Tabel 84
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pekerjaan Tentang Performa SBY Dalam Debat Kandidat ... 103 Tabel 85
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Performa SBY Dalam Debat Kandidat ... 103
(15)
Tabel 86
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Pendidikan Tentang Performa SBY Dalam Debat Kandidat ... 103 Tabel 87
Tanggapan Responden Tentang Tampilan Pencitraan SBY ... 104 Tabel 88
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Tampilan Pencitraan SBY ... 105 Tabel 89
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Tampilan Pencitraan SBY ... 105 Tabel 90
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Tampilan Pencitraan SBY ... 105 Tabel 91
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Tampilan Pencitraan SBY ... 105 Tabel 92
Tanggapan Responden Tentang Tema Pencitraan SBY ... 106 Tabel 93
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Tema Pencitraan SBY ... 106 Tabel 94
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Tema Pencitraan SBY ... 107 Tabel 95
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Tema Pencitraan SBY ... 107 Tabel 96
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Tema Pencitraan SBY ... 107 Tabel 97
Tanggapan Responden Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Memiliki Tampilan Fisik Terbaik ... 109 Tabel 98
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Memiliki Tampilan Fisik Terbaik ... 109 Tabel 99
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Memiliki Tampilan Fisik Terbaik ... 109
(16)
Tabel 100
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Memiliki Tampilan Fisik Terbaik ... 109 Tabel 101
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Memiliki Tampilan Fisik Terbaik ... 109 Tabel 102
Tanggapan Responden Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Paling Bijaksana Dibandingkan Pasangan Lainnya ... 111 Tabel 103
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Paling Bijaksana Dibandingkan Pasangan Lainnya... 111 Tabel 104
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Paling Bijaksana Dibandingkan Pasangan Lainnya... 111 Tabel 105
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Paling Bijaksana Dibandingkan Pasangan Lainnya ... 111 Tabel 106
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Paling Bijaksana Dibandingkan Pasangan Lainnya... 112 Tabel 107
Tanggapan Responden Tentang Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Jujur ... 113 Tabel 108
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Jujur ... 113 Tabel 109
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Jujur ... 113 Tabel 110
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Jujur... 114
Tabel 111
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Tentang Pernyataan Bahwa Pasangan SBY-Budiono Merupakan Sosok Yang Jujur ... 114 Tabel 112
(17)
Tabel 113
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Kedekatan SBY-Budiono Dengan Rakyat ... 116 Tabel 114
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Kedekatan SBY-Budiono Dengan Rakyat ... 116 Tabel 115
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Kedekatan SBY-Budiono Dengan Rakyat ... 116 Tabel 116
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan... 117 Tabel 117
Tanggapan Responden Tentang Kepercayaan Kepada Pesan Pencitraan SBY-Budiono ... 118 Tabel 118
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Kepercayaan Kepada Pesan Pencitraan SBY-Budiono ... 118 Tabel 119
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Pesan Pencitraan Kepercayaan Kepada SBY-Budiono ... 119 Tabel 120
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Kepercayaan Kepada Pesan Pencitraan SBY-Budiono ... 119 Tabel 121
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Kepercayaan Kepada Pesan Pencitraan SBY-Budiono ... 119 Tabel 122
Tanggapan Responden Tentang Kepercayaan Responden Terhadap Realitas Yang Dibangun Oleh Pasangan SBY-Budiono Lewat Pencitraan Politik ... 120 Tabel 123
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Kepercayaan Responden Terhadap Realitas Yang Dibangun Oleh Pasangan SBY-Budiono Lewat Pencitraan Politik ... 121 Tabel 124
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Kepercayaan Responden Terhadap Realitas Yang Dibangun Oleh Pasangan SBY-Budiono Lewat Pencitraan Politik ... 121 Tabel 125
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Kepercayaan Responden Terhadap Realitas Yang Dibangun Oleh Pasangan SBY-Budiono Lewat Pencitraan Politik ... 121
(18)
Tabel 126
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Kepercayaan Responden Terhadap Realitas Yang Dibangun Oleh Pasangan SBY-Budiono Lewat Pencitraan Politik ... 121 Tabel 127
Tanggapan Responden Tentang Kepercayaan Terhadap Pencitraan Negarif Kepada Pasangan SBY-Budiono ... 123 Tabel 128
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Kepercayaan Terhadap Pencitraan Negarif Kepada Pasangan SBY-Budiono ... 123 Tabel 129
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Kepercayaan Terhadap Pencitraan Negarif Kepada Pasangan SBY-Budiono ... 124 Tabel 130
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Kepercayaan Terhadap Pencitraan Negarif Kepada Pasangan SBY-Budiono ... 124 Tabel 131
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Kepercayaan Terhadap Pencitraan Negarif Kepada Pasangan SBY-Budiono ... 124 Tabel 132
Tanggapan Responden Tentang Akumulasi Kepercayaan Terhadap SBY-Budiono Dengan Keberadaan Pencitraan Negatif ... 126 Tabel 133
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Akumulasi Kepercayaan Terhadap SBY-Budiono Dengan Keberadaan Pencitraan Negatif ... 126 Tabel 134
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Akumulasi Kepercayaan Terhadap SBY-Budiono Dengan Keberadaan Pencitraan Negatif ... 126 Tabel 135
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Akumulasi Kepercayaan Terhadap SBY-Budiono Dengan Keberadaan Pencitraan Negatif ... 126 Tabel 136
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Akumulasi Kepercayaan Terhadap SBY-Budiono Dengan Keberadaan Pencitraan Negatif ... 126 Tabel 137
Tanggapan Responden Tentang Sesuai Tidaknya Sosok SBY-Budiono Dengan Kriteria Pribadi Responden ... 128 Tabel 138
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Sesuai Tidaknya Sosok SBY-Budiono Dengan Kriteria Pribadi Responden ... 128
(19)
Tabel 139
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Sesuai Tidaknya Sosok SBY-Budiono Dengan Kriteria Pribadi Responden ... 128 Tabel 140
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Sesuai Tidaknya Sosok SBY-Budiono Dengan Kriteria Pribadi Responden ... 128 Tabel 141
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Sesuai Tidaknya Sosok SBY-Budiono Dengan Kriteria Pribadi Responden ... 129 Tabel 142
Tanggapan Responden Tentang Sesuai Tidaknya Janji Kampanye SBY-Budiono Dengan Kepentingan Pribadi Responden ... 130 Tabel 143
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Sesuai Tidaknya Janji Kampanye SBY-Budiono Dengan Kepentingan Pribadi Responden ... 130 Tabel 144
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Sesuai Tidaknya Janji Kampanye SBY-Budiono Dengan Kepentingan Pribadi Responden ... 130 Tabel 145
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Sesuai Tidaknya Janji Kampanye SBY-Budiono Dengan Kepentingan Pribadi Responden... 130 Tabel 146
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Sesuai Tidaknya Janji Kampanye SBY-Budiono Dengan Kepentingan Pribadi Responden ... 131 Tabel 147
Tanggapan Responden Tentang Keterlibatan Keyakinan Pribadi Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Pilpres 2009 ... 133 Tabel 148
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Keterlibatan Keyakinan Pribadi Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Pilpres 2009 ... 133 Tabel 149
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Keterlibatan Keyakinan Pribadi Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Pilpres 2009 ... 133 Tabel 150
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Keterlibatan Keyakinan Pribadi Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Pilpres 2009 ... 134 Tabel 151
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Keterlibatan Keyakinan Pribadi Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Pilpres 200 ... 134 Tabel 152
Tanggapan Responden Tentang Pengaruh Pencitraan Terhadap Keyakinan Pribadi Responden ... 135
(20)
Tabel 153
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Kelamin Tentang Pengaruh Pencitraan Terhadap Keyakinan Pribadi Responden ... 135 Tabel 154
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tentang Pengaruh Pencitraan Terhadap Keyakinan Pribadi Responden ... 135 Tabel 155
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Agama Tentang Pengaruh Pencitraan Terhadap Keyakinan Pribadi Responden ... 136 Tabel 156
Klasifikasi Tanggapan Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tentang Pengaruh Pencitraan Terhadap Keyakinan Pribadi Responden ... 136
(21)
ABSTRAKSI
Imagologi Politik atau yang lebih dikenal dengan nama politik pencitraan merupakan salah satu strategi politik yang kian populer di kalangan para elit politik untuk memperkuat citra diri mereka di mata publik. Namun pada kenyataannya, politik pencitraan juga menghadirkan kontroversi di masyarakat. Kontroversi muncul saat pencitraan dinilai tidak lagi diletakkan pada substansi pencitraan itu sendiri, namun lebih kepada tampilan-tampilan yang kehilangan substansi. Kontroversi semakin menjadi ketika pencitraan politik yang dilakukan dinilai hanya menjadi demagog politik belaka. Asumsi-asumsi di masyarakat tentang politik pencitraan yang melahirkan kontroversi tersebut mendorong keberadaan penelitian ini, khususnya pencitraan politik yang dilakukan oleh SBY. Penelitian ini menjadi penting untuk melihat sejauh opini publik dalam menanggapi pencitraan politik yang dilakukan SBY dalam rangka menjatuhkan pilihan politik pada pemilu 2009 sehingga bisa dilihat tingkat efisiensi dari politik pencitraan itu sendiri. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan. Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan kuantitatif dengan teknik analisa data berbentuk tabel tunggal dengan menghitung seberapa besar persentase masyarakat yang pro dan kontra terhadap pencitraan politik yang dilakukan oleh pasangan SBY-Budiono dalam kerangka meningkatkan tingkat elektabilitasnya pada pemilu presiden dan wakil presiden 2009 yang lalu. Sedangkan sampel yang digunakan berjumlah 99 orang dengan menggunakan langkah-langkah metode penarikan sampel yaitu Proporsional Stratified Random Sampling (sampling acak di stratifikasi secara proporsional), Sampling Purposive (sejumlah masyarakat yang menjadi objek penelitian harus memenuhi beberapa kriteria) dan Accidental Sampling (sampel yang didasarkan pada sifat kebetulan). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa opini masyarakat yang pro terhadap SBY karena mereka menilai bahwa cara-cara dan pendekatan pencitraan yang digunakan SBY lewat proyek-proyek pencitraannya dinilai baik oleh masyarakat, disamping itu SBY juga dinilai sebagai pemimpin yang relatif berhasil dengan program-program populernya di masyarakat. Disamping itu sosok SBY juga dinilai memenuhi kriteria pribadi masyarakat sebagai sosok seorang pemimpin. Sementara itu opini masyarakat yang kontra terhadap SBY karena mereka menilai banyaknya kebohongan-kebohongan dan realitas-realitas palsu yang disampaikan SBY lewat pencitraan-pencitraan politiknya.
Kata Kunci : Imagologi Politik, Politik Pencitraan, Citra Politik, Opini Publik, Pilpres 2009
(22)
BAB I PENDAHULUAN
I.1.Latar Belakang Masalah
Demokrasi merupakan sebuah bentuk sistem politik yang merupakan respon terhadap sistem monarki-diktator pada Abad ke-5 SM. Namun pada perkembangannya demokrasi lebih jauh dianggap sebagai jawaban (antitesa) atas teokrasi dan monarki yang semakin jauh dari kesejahteraan rakyat. Konsep mengenai demokrasi berasal dari gagasan-gagasan beberapa tokoh yang sampai hari ini masih berpengaruh dalam dunia ilmu politik. Gagasan-gagasan seperti gagasan Nicolo Machievelli tentang sekularisme, Thomas Hobes tentang kontrak sosial, gagasan tentang negara dan pemisahan kekuasaan oleh John Locke yang selanjutnya dikembangkan oleh Montesqiue serta gagasan tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial oleh J.J Rousseau.1
Dalam perjalanannya, demokrasi dianggap sebagai sistem politik yang paling sempurna. Hal itu dikarenakan demokrasi merupakan sistem yang dapat diterima secara luas baik sebagai teori maupun sebagai model bagi masyarakat.
2
1
Anthonius Sitepu, Sistem Politik Indonesia, Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, 2004, hal.5-6
2
Din Syamsudin, Kekuasaan dan Rakyat: Refleksi Pemikiran dan Praktek Politik Islam, Jakarta: Forum Indonesia Bersatu, 2001, hal. 132
(23)
suatu sistem yang paling proporsional untuk semua sistem organisasi politik, sosial dan pemerintahan.3
Perkembangan demokrasi berbanding lurus dengan perkembangan kehidupan (budaya) sosial politik masyarakatnya. Oleh karena itu, perkembangan budaya pada masyarakat akan juga diikuti oleh perkembangan demokrasi itu sendiri.
Demokrasi sebagai sistem politik Indonesia telah digunakan sejak negara ini didirikan oleh para founding fathers hingga saat ini. Demokrasi sebagai sistem politik Indonesia termaktub dalam undang-undang sebagai landasan konstitusi Indonesia. Dalam perjalanannya, demokrasi Indonesia cukup dinamis. Indonesia pernah menggunakan demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila serta juga demokrasi langsung yang diinterprestasikan dengan pemilihan langsung oleh rakyat terhadap anggota legislatif dan eksekutif. Oleh karena dipilih langsung, setiap orang yang akan mewakili atau memimpin bangsa ini haruslah orang yang didukung oleh masyarakat atau setidaknya mayoritas masyarakat.
4
Budaya Indonesia hari ini dihadapkan pada dinamika yang luar biasa. Proses akulturasi tak terbendung dari budaya-budaya asing serta kemajuan teknologi menyebabkan gradasi terhadap batas-batas khas, baik itu batas-batas primordial maupun batas-batas geographis, sehingga budaya tinggi Indonesia tidak memiliki pilihan selain berasimilasi dengan budaya asing yang cenderung
3
Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal.50
4
Affan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal.17
(24)
diterima secara universal dan berlaku sebagai budaya semua orang atau budaya populer.
Budaya populer sendiri adalah konsep yang “populer”. Kebanyakan orang membicarakan budaya populer bila berkaitan dengan sesuatu yang negatif, misalnya selera masyarakat kebanyakan yang rendah dan murahan, produk budaya yang didistribusikan hanya untuk kesenangan, juga efek budaya populer yang buruk pada anak muda (hedonitas).
Sejarah konsep budaya populer memang demikian, karena pada awalnya “budaya populer” adalah konsep yang digunakan sebagai lawan kata dari “budaya elite”. Konsep budaya populer digunakan untuk mengejek dan menyudutkan budaya masyarakat kebanyakan. Kemudian secara perlahan dalam perkembangannya, budaya populer tidak lagi bermakna negatif tetapi berubah menjadi sebuah konsep netral. Budaya populer kemudian diartikan sebagai budaya yang dimiliki dan disukai oleh sebagian besar orang dalam suatu masyarakat. 5
Pada titik inilah, budaya populer mempunyai makna yang demokratis bagi masyarakat. Budaya populer mengkritik dominasi kelompok elite dan budayanya. Budaya populer berusaha melakukan perlawanan pada kelompok masyarakat minoritas yang berstatus elit, yang dianggap memiliki budaya yang “tinggi”, adiluhung, dan memberikan pencerahan. Konsep budaya populer meruntuhkan itu semua, tidak penting sebuah budaya itu rendah atau tinggi, yang penting budaya bisa dinikmati dan disukai oleh banyak orang. Dirasakan dan disukai banyak
5
Wisnu Martha Adiputra, Jurnal Polysemia: Budaya Populer dan Demokrasi, Jakarta: Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP), 2006, hal.17
(25)
orang inilah yang menunjukkan bahwa secara inheren budaya populer memiliki nilai demokrasi.
Dalam mekanisme demokrasi langsung, popularitas adalah satu hal yang utama dan penting. Orang yang populer tentu saja merupakan orang yang disukai banyak orang yang cenderung mayoritas. Oleh karena itu upaya untuk menjadi populer berbondong-bondong dilakukan oleh para elit politik dengan tujuan mendapatkan legitimasi politik dari masyarakat. Para elit dituntut tidak hanya menguasai literatur-literatur ilmu politik dan penguasaan basis massa di masyarakat baik secara primordial maupun secara ideologis, namun para elit juga dituntut untuk bisa menjadi “icon populer” dimata publik. Untuk menjadi populer para elit politik mau tidak mau harus menjadi icon dari budaya yang populer itu atau setidaknya menjadi atau seolah-olah menjadi pengusung budaya yang populer tadi.
Dalam wacana populer, tampilan-tampilan secara audio dan visual di era kedigdayaan media informasi dan komunikasi dipercaya sebagai strategi yang ampuh untuk menjadi populer yaitu dengan memenangkan hati rakyat dan mendapatkan legitimasi dari rakyat, khususnya terhadap pemilih pemula dan pemilih yang rasional (swing voter) yang cenderung tak terikat pada aliran-aliran tertentu secara politis.6
Cerita-cerita tentang ketokohan, simbol-simbol, jargon-jargon hingga singkatan nama menjadi penting dalam proses pembentukan popularitas politik. Dalam wacana politik, kegiatan tersebut dinamakan sebagai politik pencitraan
6
Titi Nur Vidyarini, Politik dan Budaya Populer Dalam Kemasan Program Televisi, Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, Vol.2, No. 1, Pusat Penelitian Universitas Kristen Petra, Januari 2008, hal. 33
(26)
(imagologi politik). Strategi politik Pencitraan merupakan salah satu strategi untuk memenangi kontes politik disamping strategi yang lebih klasik yaitu dengan strategi penggalangan suara melalui jejaring politik khususnya partai politik. Strategi politik pencitraan digunakan sebagai medium untuk publikasi akuntabilitas politik para kontestan politik.
Karena merupakan medium publikasi, secara ideal politik pencitraan menjadi strategi lanjutan dalam sebuah proses marketing politik. Pendekatan-pendekatan konvensional seperti kultural dan ideologis harus dikedepankan. Namun sering kali pendekatan-pendekatan konvensional tersbuet dinafikan dan dijadikan sebagai strategi yang usang dan kurang efisien karena membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu Politik Pencitraan sering tidak berjalan secara ideal dan cenderung praktis.
Hal tersebut sebenarnya bukan hal yang terlalu mengejutkan juga, karena pada masa-masa jauh sebelumnya sudah pernah diperkirakan. Plato dalam “Parabale of The Cave” seperti pernah dikutip Susan Bordo mengatakan bahwa politik demokratis modern adalah politik pencitraan, dimana persoalan penampilan lebih penting dari substansi serta kepribadian lebih penting daripada kebijakan.7
Pemilihan Umum (PEMILU) 2004 dan 2009 dapat dikatakan sebagai era keemasan dari Politik Pencitraan. Pemilu Presiden 2004 yang dimenangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjelaskan hal tersebut. SBY yang berasal dari partai kecil dan dicalonkan oleh beberapa partai kecil waktu itu berhasil
7
Lihat Jon Simons, The Power Of Political Images, Bloomington: American Political Science Association, 2006, hal.1
(27)
mengalahkan 2 calon kuat dari partai yang memiliki basis masa kultural di tingkat akar rumput yaitu Wiranto yang merupakan calon dari partai Golkar yang merupakan partai pemenang pemilu 2004 dan calon dari partai besar lainnya yaitu Megawati Soekarno Putri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang memenangi pemilu pada 1999 dan memiliki suara cukup signifikan pada pemilu 2004 sebagai urutan kedua. .
Proses pencitraan dengan menggunakan simbol-simbol, jargon-jargon dan lain sebagainya dilakukan untuk menciptakan citra tersendiri bagi masyarakat terhadap sosok elit. Masih hangat mungkin di telinga kita jargon-jargon seperti “Bersama Kita Bisa” yang pernah dilemparkan SBY pada pemilu 2004 yang pada akhirnya mengantarkan SBY ke kursi RI-1. Lalu di waktu yang belum lama juga ini ada jargon “Hidup adalah Perbuatan” yang dilempar oleh Sutrisno Bahir yang merupakan salah satu elit Partai Amanat Nasional, “Lebih Cepat Lebih Baik” yang dilemparkan oleh Muhammad Jusuf Kalla yang merupakan politisi Partai Golkar sekaligus juga menjadi Calon Presiden Partai Golkar Pada Pemilihan Presiden 2009, maupun jargon-jargon yang dilemparkan oleh tokoh-tokoh personal seperti “When There is a While There is Way” yang dilemparkan oleh Rizal Malarangeng dan “Indonesia Tanpa Hutang” yang dilemparkan oleh Rizal Ramli yang mengagas blok perubahan, belum lagi beratus-ratus photo ukuran berbagai jenis dari pada calon legislatif yang dipadukan dengan tulisan-tulisan dan jargon-jargon kecil pada pemilu legislatif yang lalu.
Disamping jargon-jargon tersebut, beberapa waktu yang lalu kita juga dihadapkan pada tindakan-tindakan simbolis para elit yang dipertontonkan lewat
(28)
media. Jendral TNI (Purn) Wiranto misalnya, yang merupakan politisi Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) yang pada pemilu presiden kali ini maju mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden mendampingi Jusuf Kalla dari Partai Golkar, Wiranto mempertontonkan kepada masyarakat adegan “dramatis”, “menyentuh”, “menggugah” ketika dia memakan nasi aking di tengah kerumunan orang di keluarga miskin di Serang, Banten. Ia merasakan sendiri betapa nasi aking tidak enak dan tak layak untuk dimakan.
SBY juga pernah meneteskan air mata ketika berkunjung ke Aceh untuk melihat kondisi masyarakat Aceh pasca terjadinya bencana tsunami di Aceh, begitu juga dengan gempa di Jogja dan tsunami Pangandaran. Disamping itu, tindakan SBY membentak para walikota dan bupati yang tertidur saat pertemuan bupati dan walikota se-Indonesia maupun juga para menteri kabinetnya yang tidak konsentrasi saat rapat kabinet yang lalu dipertontonkan oleh media.
Terlepas dari tujuannya, namun apa yang dilakukan Wiranto dan SBY bisa dikatakan sebagai proses pencitraan kepada publik tentang sosok keduanya dalam rangka kontestasi politik yang akan mereka jalani. Wiranto dan SBY secara tidak langsung membangun simulasi politik akan sosok masing-masing untuk menciptakan citra atau gambaran tersendiri di mata publik. Masing-masing ingin menunjukkan kepada publik bahwa mereka adalah calon pemimpin yang dekat dengan rakyat dan mengerti dengan apa yang menjadi kebutuhan dan apa yang dirasakan oleh rakyat.
Dalam kajian antropologi politik, apa yang dilakukan oleh Wiranto dan SBY itu merupakan salah satu bentuk dari politik simbolisme (politics of
(29)
symbolism). Politik simbolisme adalah suatu tindakan untuk merepresentasikan sebuah gejala sosial di masyarakat, yang diwujudkan dalam simbol yang merefleksikan makna politik tertentu (Geertz 1973; Gupta & Ferguson 1992).8
Pemilu legislatif 2009 telah berlalu, masing-masing partai politik kini telah mengantongi legitimasi politik dari masyarakat dalam wujud kursi di parlemen. Partai demokrat telah ditetapkan sebagai pemenang pemilu legislatif dengan suara yang cukup signifikan. Pemilihan presiden pun sudah dilakukan, dan SBY kembali mendapatkan dukungan rakyat secara dominan untuk menduduki kursi presiden 5 tahun berikutnya. Terlepas dari indikasi kecurangan yang dilakukan, banyak praktisi yang beranggapan bahwa SBY dan Partai Demokrat memenangi
Saat ini masyarakat sedikit banyak telah belajar untuk menerjemahkan proses simbolisme dan pencitraan yang dilakukan para elit politik. Lima tahun masa kepemimpinan SBY dengan kabinet Indonesia Bersatu bisa dikatakan sebagai perang pencitraan antara elit politik, ditambah lagi dengan sentimen negatif yang diakomodasi dalam setiap pencitraan itu baik oleh oposisi maupun oleh penguasa. Seperti sentimen neoliberal, penjualan aset-aset nasional, pemberantasan korupsi yang tebang pilih, korupsi di DPR, pembalakan liar, krisis energi, hingga bantuan langsung tunai (BLT). Meski memang masyarakat awam belum dapat menerjemahkan esensi dari perang pencitraan itu namun setidaknya masyarakat memiliki penilaian tersendiri terhadap pencitraan yang dilakukan oleh masing-masing elit.
8
(30)
kontes politik 5 tahunan tersebut dengan pencitraan sebagai senjata pamungkasnya.
Namun persoalan pemilu presiden berbeda dengan persoalan dalam pemilu legislatif. Ada perbedaan mendasar dalam masyarakat ketika melihat sosok anggota legislatif dan calon presiden. Sentimen personal akan lebih besar dalam upaya menentukan pilihan pada pemilihan presiden dibandingkan dalam pemilu legislatif. Dan ranah sentimen personal adalah ranah politik pencitraan. Masyarakat akan lebih menggunakan sentimen personal (persepsi politik) dalam menilai para kandidat sebelum menjatuhkan pilihan. Oleh karena itu upaya pembentukan citra pada masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam rangka menggugah sentimen para calon pemilih.
Tanpa menafikan kekuatan penggalangan suara secara konvensional lewat mekanisme kultural maupun ideologis, penelitian akan respon masyarakat terhadap politik pencitraan dalam hubungannya dengan tingkat elektabilitas politik menjadi sangat menarik untuk dilakukan.
Di kota Medan yang sangat heterogen ini misalnya, strategi politik yang dilakukan oleh SBY sebagai pemenang pemilihan presiden terbukti berjalan dengan baik. SBY secara umum menang di seluruh kecamatan di kota ini dengan tingkat suara yang cukup signifikan dengan persentase yang tidak terlalu jauh perbedaannya dengan suara nasional. Meskipun secara infrastruktur politik di tingkat masyarakat, partai pendukung SBY tidak lebih mapan daripada partai pendukung Megawati dan Jusuf Kalla yang merupakan dua calon presiden lainnya.
(31)
Beberapa media nasional merilis pendapat beberapa praktisi dan pengamat politik tentang kondisi tersebut. Antara misalnya, merilis pendapat Fadjroel Rachman, Direktur Eksekutif Pedoman Indonesia yang juga salah seorang yang
digadang-gadangkan menjadi Capres Independen. Fadjroel mengatakan bahwa “SBY itu sudah lama dan lebih dahulu mencitrakan diri sebagai sosok yang gagah, berwibawa, baik hati,”9
I.2.Perumusan Masalah
Disamping itu masih banyak rilis-rilis lainnya baik dalam bentuk survey maupun opini yang menyatakan pencitraan SBY merupakan yang terbaik selama periode kampanye berlangsung.
Namun apakah kondisi nasional tersebut juga identik dengan preferensi politik masyarakat ditingkat akar rumput, khususnya wilayah-wilayah di kota Medan? Penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjawab hal tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
“Bagaimana opini publik masyarakat Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan terhadap politik pencitraan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kerangka menjatuhkan preferensi politik pada Pemilu Presiden 2009?”
9
Lihat PemiluIndonesia.com, Mega dan JK Terkepung Politik Pencitraan SBY.,
(32)
I.2.1. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ini dibuat dengan tujuan untuk memperjelas ruang lingkup penelitian dan untuk menghasilkan uraian yang sistematis. Adapun batasan-batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bentuk pencitraan dibatasi kepada pencitraan yang dilakukan oleh SBY lewat kanal-kanal budaya pop seperti media massa, baik itu iklan politik, pidato politik maupun berita-berita politik.
2. Bentuk Opini dibatasi pada persepsi, kognisi, motivasi dan sikap publik yang diteliti.
3. Penelitian hanya akan dilakukan terhadap masyarakat Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan yang memberikan suaranya dalam pemilu presiden 2009.
I.2.2. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana efisiensi politik pencitraan sebagai strategi politik SBY dalam memenangkan kontestasi politik pada pemilu presiden 2009 di kelurahan Sidorame Timur.
I.2.3. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Bagi institusi, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi dibidang komunikasi politik khususnya dalam kajian politik pencitraan dan dapat memberikan informasi mengenai
(33)
respon masyarakat terhadap Politik Pencitraan yang dilakukan oleh kontestan politik
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pendidikan politik pada masyarakat agar dapat memahami makna komunikasi politik yang disampaikan oleh kontestan politik.
3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dibidang ilmu politik, khususnya mengenai komunikasi politik sebagai sarana marketing politik dan perilaku politik masyarakat.
I.3.Kerangka Teori
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah.10
Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara menghubungkan antar konsep.
Untuk itu diperlukan kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran atas penelitian yang akan dilakukan.
11
Sedangkan menurut F.N Karlinger, teori adalah suatu konsep atau konstruksi yang berhubungan satu dengan lainnya, suatu set dari proporsi yang mengandung suatu pandangan yang sistematis dari fenomena.12
10
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2001, hal.39
11
Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.37 12
(34)
I.3.1.Citra
I.3.1.1.Pengertian Citra
Citra (image) memiliki banyak arti, yang mungkin merupakan penyebab ia menjadi satu dari sekian banyak kata yang digunakan secara berlebihan. Banyak orang menganggap bahwa citra sebagai lawan dari kenyataan, persepsi dari realitas atau kenyataan juga bisa berbeda-beda, sehingga tak dapat diandalkan sepenuhnya. Pengertian citra itu sendiri abstrak (intangible), tetapi wujudnya bisa dirasakan dari hasil penilaian baik atau buruk, seperti penerimaan dan tanggapan baik positif maupun negatif yang khususnya datang dari publik (khalayak sasaran) dan masyarakat luas pada umumnya.
Menurut Webster, citra adalah gambaran mental atau konsep tentang sesuatu. Menurut Kotler secara lebih luas mendefinisikan citra sebagai jumlah dari keyakinan-keyakinan, gambaran-gambaran, dan kesan-kesan yang dimiliki seseorang pada suatu objek. Objek yang dimaksud bisa berupa orang, organisasi, kelompok atau yang lainnya yang dia ketahui.13 Sementara menurut Newsome, Citra adalah persepsi kolektif tentang sebuah organisasi atau individu dari semua publik yang didasarkan pada apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat.14 Dalam bukunya yang berjudul Kuliah Komunikasi, Dr. H. Sam Abede Pareno, MM menyatakan bahwa citra adalah abstrak tentang suatu pandangan, persepsi, opini, penilaian secara umum.15
13
Sutisna, Perilaku Konsumen & Komunikasi Pemasaran, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2003, hal.331
14
Doug Newsom, Turk, Judy, Vanslyke & Dean Kruckeber, This is PR, USA:Wadsworth/Thomson Learing, 2004, hal.63
15
Sam Abde Pareno, Kuliah Komunikasi : Pengantar dan Praktek, Jakarta: Papyrus, 2002, hal.73 Terakhir, Bill Sukatendel menjabarkan citra
(35)
sebagai kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap suatu objek. Atau kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu objek, orang atau organisasi.16
Citra untuk tujuan organisasional, bisa dijelaskan sebagai campuran persepsi dari suatu objek baik itu perorangan atau lembaga. Citra adalah hasil gabungan dari semua kesan yang didapat, baik itu dengan melihat simbol, mengamati perilaku, mendengar atau membaca aktifitas atau melalui bukti material lainnya. Citra terkinilah yang penting bagi kebanyakan organisasi, namun citra lain juga cukup penting, yaitu bagaimana objek ingin dilihat. Hal ini sama dengan citra diri individu, yang terbagi atas tiga kompenen yaitu, realitas, yang ideal dan harapan atau keinginan. Citra yang paling memuaskan muncul jika didasarkan pada kenyataan.17
I.3.1.2.Jenis Citra
Dengan demikian, citra dapat didefinisikan sebagai arti yang dimiliki seseorang bagi orang lain, suatu integrasi mental yang halus dan berbagai sifat yang diproyeksikan atau dicerminkan oleh seseorang dan yang dipersepsi yang diinterprestasikan orang lain menurut kepercayaan, nilai dan pengharapan mereka.
Menurut Anggoro ada lima jenis citra, yaitu :18
Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota organisasi mengenai anggapan pihak luar terhadap organisasinya. Dengan kata lain, citra
a. Citra Bayangan / Cermin (Mirror Image)
16
Soleh Soemirat & Elvinaro Ardianto, Dasar-Dasar Public Relation, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003, hal.111
17
Anthony Davis, OpCit, hal.11 18
(36)
bayangan adalah citra yang dianut oleh orang dalam mengenai pandangan luar terhadap organisasinya. Citra ini sering kali tidak tepat, bahkan hanya sekedar ilusi, sebagai akibat dari tidak memadainya informasi, pengetahuan maupun pemahaman yang dimiliki oleh kalangan dalam organisasi mengenai pendapat atau pandangan pihak luar. Citra ini cenderung positif, bahkan terlalu positif, karena kita bisa membayangkan hal yang serba hebat mengenai diri kita sendiri shingga kita pun percaya orang lain juga memiliki pemikiran yang serupa dengan kita
b. Citra Yang Berlaku / Kekinian (Current Image)
Citra ini adalah suatu citra atau pandangan yang melekat pada pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi. Namun sama halnya dengan citra bayangan, citra ini berlaku tidak selamanya, bahkan jarang, sesuai dengan kenyataan karena semata-mata terbentuk dari pengalaman atau pengetahuan orang-orang luar yang bersangkutan yang biasanya tidak memadai. Biasanya pula citra ini cenderung negatif. Citra ini amat ditentukan oleh banyak sedikitnya informasi yang dimiliki oleh penganut atau mereka yang mempercayainya.
c. Citra Harapan (Wish Image)
Citra harapan adalah suatu citra yang diharapkan oleh pihak pencitra. Citra ini juga tidak sama dengan citra yang sebenarnya. Biasanya citra harapan lebih baik atau lebih menyenangkan daripada citra yang ada, walaupun dalam kondisi tertentu, citra yang terlalu baik juga bisa merepotkan. Namun secara umum yang disebut sebagai citra harapan itu memang merupakan sesuatu yang berkonotasi lebih baik. Citra harapan ini biasanya dirumuskan dan diperjuangkan untuk
(37)
menyambut sesuatu yang relatif baru, yakni ketika khalayak belum mempunyai informasi yang memadai.
d. Citra Perusahaan / Kelembagaan (Corporate Image)
Citra perusahaan adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan citra atas produk dan pelayanan saja. Citra perusahaan terbentuk oleh banyak hal. Hal-hal positif yang dapat meningkatkan citra suatu perusahaan antara lain adalah sejarah atau riwayat hidup perusahaan yang gemilang, keberhasilan-keberhasilan di bidang keuangan yang pernah diraih, sukses ekspor, hubungan industri yang baik, reputasi yang baik sebagai pencipta lapangan kerja dalam jumlah besar, kesediaan turut memikul tanggungjawab sosial, komitmen mengadakan riset dan sebagainya. Marks and Spencer memiliki suatu citra perusahaan yang cemerlang dan sudah mendapat pengakuan internasional.
e. Citra Majemuk (Multiple Image)
Setiap perusahaan atau organisasi pasti memiliki banyak unit dan pegawai (anggota). Masing-masing unit dan individu tersebut memiliki perilaku tersendiri, sehingga secara sengaja ataupun tidak mereka pasti memunculkan suatu citra yang belum tentu sama dengan jumlah pegawai yang dimilikinya. Untuk menghindari berbagai hal yang tidak diinginkan, variasi citra itu harus ditegakkan. Banyak cara yang dapat ditempuh. Antara lain dengan mewajibkan semua karyawan untuk mengenakan seragam, menyamakan jenis dan warna mobil dinas, bentuk toko yang khas dan simbol-simbol tertentu serta hal-hal lainnya. Contoh perusahaan yang sering memakai metode ini misalnya adalah maskapai penerbangan.
(38)
I.3.1.3.Citra Positif dan Citra Negatif
Anggoro menyatakan bahwa citra yang positif dan ideal adalah kesan yang benar, yakni sepenuhnya berdasarkan pengalaman, pengetahuan, serta pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya. Itu berarti citra tidak seyogyanya "dipoles agar lebih indah dari warna aslinya", karena hal itu justru dapat mengacaukan. Suatu citra yang sesungguhnya bisa dimunculkan kapan saja, termasuk di tengah terjadinya musibah atau sesuatu yang buruk. Caranya adalah dengan menjelaskan secara jujur apa yang menjadi penyebabnya, baik itu informasi yang salah atau suatu perilaku yang keliru.19
I.3.1.4.Citra dan Identitas
Banyak orang mencampur adukkan citra dengan identitas. Padahal walaupun memiliki kaitan erat, citra tidaklah sama dengan identitas. Hal ini dikarenakan citra adalah hasil persepsi. Ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Jallaludin Rahkmat dalam bukunya, Psikologi Komunikasi bahwa citra adalah penggambaran tentang realitas yang tidak harus sesuai dengan realitas sebenarnya. Identitas adalah apa yang sebenarnya ada pada atau ditampilkan. Identitas menempatkan jati diri, sedangkan citra adalah persepsi masyarakat terhadap jadi diri itu. Identitas bukan citra. Tetapi identitas dapat membantu untuk mengingatkan masyarakat tentang citra mereka.
Dalam kerangka lebih kompleks, Jean Baudrillard mengatakan bahwa citra dipersepsikan untuk 4 hal, yaitu; sebagai refleksi dari realitas dasar, citra sebagai
19
(39)
alat untuk menutupi dan menyesatkan realitas dasar, citra sebagai alat untuk menutupi ketidakhadiran realitas dasar dan citra sebagai hasil dari realitas yang tidak memiliki relasi dengan realitas manapun (hyperealitas).
I.3.1.5.Proses Pembentukan Citra / Pencitraan (Imagology)
Citra adalah kesan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengetahuan dan pengertian tentang fakta-fakta atau kenyataan.20 Pencitraan (imagology) merupakan satu upaya untuk menciptakan karya kreatif yang dibalut dengan berbagai teknik persuasi baik itu dalam bentuk audio, visual maupun narasi yang hasilnya menampilkan sesuatu gambaran (realitas) yang lebih menarik dan meyakinkan.21
Kata imagologi (imagology) pertama kali diungkapkan oleh Milan Kundera dalam salah satu novelnya yang berjudul “Immortality”. Imagologi merupakan penggabungan kata imago dan logos yang berarti logika imajinasi. Imagologi merupakan manifestasi dari imaginasi yang berisi kata, tanda dan citra atau gambar. Imagologi tidak membedakan mana yang realitas aktual dan mana yang merupakan realitas hasil representasi (virtual). Hal tersebut karena imagologi berada sekaligus dalam dunia yang bergerak maju secara dialektis dimana terdapat aktualisasi dan virtualisasi. Virtualisasi yang dimaksud dalam proses imagologi dapat dijelaskan dalam permainan, keindahan dan normatifitas yang dilogiskan menjadi citra atau gambaran (imagi). Dalam proses selanjutnya,
20
Soleh Sumirat & Elvinaro Ardianto, OpCit, hal.115 21
Lihat Bachtiar Aly, Kompetisi Pencitraan,
http://news.okezone.com/SKS/index.php/ReadStory/2009/06/01/274/224900/kompetisi-pencitraan, diakses pada 1 juli 2009
(40)
virtualisasi menjadi bagian dari aktualisasi yang terimitasi dimana imagi-imagi
dalam proses virtualiasi menjadi rujukan dalam memahami suatu realitas.22
Untuk mengetahui citra seseorang terhadap suatu objek dapat diketahui dari sikapnya terhadap objek tersebut. Semua sikap bersumber pada organisasi kognitif, pada informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Tidak akan ada teori sikap atau aksi sosial yang tidak didasarkan pada penyeledikan tentang dasar-dasar kognitif. Efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi proses pembentukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang
Proses pembentukan citra dalam struktur kognitif yang sesuai dengan pengertian sistem komunikasi dijelaskan oleh ohn S. Nimpoeno dalam laporan penelitian tentang tingkah laku konsumen, seperti yang dikutip, sebagai berikut :
Gambar 1. Model Pembentukan Citra23
Hubungan digambarkan sebagai input-output, proses intern dalam model ini adalah pembentukan citra, sedangkan input adalah stimulus yang diberikan dan
22
Lihat Budi Hartanto, Virtual Revolution, http://www.bloxster.net/buzzart/, diakses pada 19 Maret 2009
23
Soleh Sumirat & Elvinaro Ardianto, OpCit, hal.115 Kognisi
Motivasi
Sikap
Persepsi Respon
Perilaku Stimulus
(41)
output adalah tanggapan atau perilaku tertentu. Citra itu sendiri digambarkan melalui persepsi-kognisi-motivasi-sikap.
Model pembentukan citra ini menunjukkan bagaimana stimulus yang berasal dari luar diorganisasikan dan mempengaruhi respons. Stimulus (rangsangan) yang diberikan pada individu diterima atau ditolak.
Jika rangsangan ditolak proses selanjutnya tidak dapat berjalan, hal ini menunjukkan bahwa rangsangan tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi individu karena tidak ada perhatian dari individu tersebut. Sebaliknya, jika rangsangan itu diterima oleh individu, berarti terdapat komunikasi dan terdapat perhatian organisme, dengan demikian proses selanjutnya dapat berjalan.
Empat komponen persepsi-kognisi-motivasi-sikap diartikan sebagai citra individu terhadap rangsangan. Jika stimulus mendapat perhatian, individu akan berusaha untuk mengerti tentang rangsangan tersebut.
a. Persepsi
Diartikan sebagai hasil pengamatan unsur lingkungan yang dikaitkan dengan suatu proses pemaknaan. Dengan kata lain, individu akan memberikan makna terhadap rangsangan berdasarkan pengalaman mengenai rangsangan. Kemampuan mempersepsi itulah yang dapat melanjutkan proses pembentukan citra. Persepsi pandangan individu akan positif bila informasi yang diberikan oleh rangsangan dapat memenuhi kognisi individu.
b. Kognisi
Yaitu suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus. Keyakinan akan timbul apabila individu telah mengerti rangsangan tersebut, sehingga
(42)
individu harus diberikan informasi-informasi yang cukup yang dapat mempengaruhi perkembangan kognisinya.
c. Motivasi
Motif adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan.
d. Sikap
Adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi ataupun nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan dan diinginkan. Sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan (like) atau tidak menyenangkan (dislike). Sikap ini juga dapat diperteguh atau diubah.24
I.3.2.Politik
Asal mula politik itu sendiri menurut Robert Dahl, berasal dari kata “polis” yang berarti “negara kota”, dengan demikian politik memiliki hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan ini timbul aturan, kewenangan, dan pada akhirnya kekuasaan. Tetapi menurut Hoogerwerf, politik
24
(43)
bisa saja dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan, kekuasaan, pemerintahan, konflik dan pembagian atau kata-kata serumpun.25
Tetapi dalam kehidupan nyata, penguasa-penguasa bijak tidak mesti selalu bersikap bijak. Artinya, negara dari hakim atau raja yang bajik tidaklah permanent. Stabilitas terjadi bila semua kelas rakyat berlainan dapat
Secara esensial politik merupakan aspek kehidupan manusia yang mempunyai nilai luhur dan fundamental. Hal ini karena politik adalah ruang publik. ia merupakan pola managemen kolektif, lokus bertemunya beragam kepentingan dan aspirasi manusia. Pada prinsipnya, karakter manusia adalah keinginan untuk hidup bersama. Manusia manapun tidak mungkin hidup sendiri tanpa bersinggungan dan ditopang oleh manusia lain. Seseorang bisa eksis karena terkait dengan teman, saudara, sanak famili, ketua RT, tukang becak, penjual sayur, guru, mahasiswa, supir bus, tukang sapu, petugas pom bensin, tukang bakso dan sebagainya. Dan inilah sebenarnya esensi dan fungsi substantif entitas politik yakni berbagi kerja untuk kemaslahatan bersama. Dari masing-masing komponen itu, tidak ada yang tidak penting, semuanya penting. Karena apabila salah satunya macet, maka akan memacetkan komponen yang lain
Politik merupakan suatu fungsi hubungan antara penguasa dan yang dikuasai. Pemerintahan mungkin dijalankan oleh satu orang (raja, diktator, otokrat, tiran), beberapa orang (oligarki, yunta, elit), atau banyak orang (electorates).
25
(44)
berpartisipasi; tetapi, demokrasi absolute menimbulkan anarki. Kompromi terbaik adalah Negara yang mencerminkan kekuasaan kelas.26
Politik berkaitan dengan kekuasaan, begitulah yang dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau dalam tulisannya yang berjudul Politics Among Nation yang mendominasi kegiatan terisolasi realis sesudah Perang Dunia II, menegaskan proposisi bahwa kekuasaan adalah fokus utama studi dan praktek hubungan internasional. Pemikirannya tentang realisme politik dan tentang kekuasaan tercermin dalam kutipan berikut ini.27
Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu
Politik internasional, seperti halnya semua politik, adalah perjuangan memperoleh kekuasaan. Adapun tujuan akhir dari politik internasional, tujuan menengahnya adalah kekuasaan. Negarawan-negarawan dan bangsa-bangsa mungkin mengejar tujuan akhir berupa kebebasan, keamanan, kemakmuran atau kekuasaan itu sendiri. Mereka mungkin mendefinisikan tujuan-tujuan merka itu dalam pengertian tujuan yang religius, filosofis, ekonomis atau sosial. Mereka mungkin berharap bahwa tujuan ini akan terwujud melalui perkembangan alamiah urusan kemanusiaan. Tetapi begitu mereka berusaha mencapai tujuan-tujuan mereka dengan menggunakan politik internasional, mereka melakukannya dengan berupaya memperoleh kekuasaan.
26
David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Jakarta : LP3ES, hal.68 27
Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional (Disiplin dan Metodologi), Jakarta: LP3ES, 1990, hal 20
(45)
menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagipula politik menyangkut kegiatan berbagai-berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang seorang (individu).28
I.3.3.Politik Pencitraan
Politik Pencitraan (imagology politic) dapat didefinisikan sebagai representasi visual dan naratif yang mengedepankan citra atau gambaran dengan menggunakan medium tertentu yang sifatnya umum (masiv) dengan beberapa proses yang melibatkan simbol-simbol dan entitas-entitas sosial dan politik dengan tujuan kekuasaan..
Politik pencitraan pada dasarnya adalah merupakan simbiosis antara strategi politik dengan teknik pencitraan yang di dalamnya ada pengemasan terhadap sesuatu objek pelaku politik baik itu perorangan (tokoh politik) maupun kelompok (partai politik). Politik Pencitraan digunakan dalam rangka mempengaruhi persepsi, perasaan, kesadaran, dan opini publik sehingga mereka dapat digiring ke suatu preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.29
Menurut RW Pollay pendekatan pencitraan dalam politik memiliki fungsi komunikasi, yaitu informasional dan transformasional seperti upaya meyakinkan
28
Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 2000 hal.8 29
Lihat Yasraf Amir Piliag, Simulakra Politik, http://www.unisosdem.org, diakses pada 14 Maret 2009
(46)
khalayak agar memperkuat dan mengukuhkan sikap atas sesuatu objek dan entitas yang selama ini masih menjadi tanda tanya atau diperlukan perubahan sikap.30
Simulakra politik adalah penggunaan tanda dan citra dalam politik, sedemikian rupa, yang di dalamnya citra telah terputus dari realitas yang direpresentasikan sehingga di dalamnya bercampur aduk antara yang asli/palsu,
Pendekatan politik pencitraan secara esensial digunakan untuk menciptakan ketersambungan atau kontinuitas antara realitas dan citra politik. Namun dalam imagologi politik, pendekatan pencitraan juga bisa digunakan untuk hal sebaliknya, dimana bila terjadi diskontiunitas antara citra politik dan realitas politik. Dalam hal ini pencitraan digunakan untuk menciptakan realitas kedua (second reality) yang didalamnya terdapat kebenaran yang dimanipulasi. Sehingga realitas yang digambarkan lewat pencitraan (realitas virtual) seolah-olah merupakan realitas sebenarnya (realitas aktual). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Politik Pencitraan merupakan interprestasi dari simulasi realitas (simulakra).
Jean Baudrillard dalam Simulations (1981) mengatakan bahwa simulakra adalah strategi penyamaran tanda dan citra (disguising), sebuah proses penjungkirbalikan tanda yang menciptakan kekacauan, turbulensi, dan indeterminasi dalam dunia representasi dan pertandaan. Ia semacam mesin (simulacra machine) yang memproduksi segala yang palsu (false), menyimpang dari rujukan (referent) dengan menciptakan tanda sebagai topeng (mask), tabir, kamuflase, atau fatamorgana.
30
(47)
realitas/fantasi, kenyataan/fatamorgana, citra/realitas yang menggiring dunia politik ke arah penopengan realitas (masquerade of reality).31
I.3.4. Opini Publik
I.3.4.1. Definisi Opini Publik
Opini publik terdiri dari dua kata yaitu Publik dan Opini. Menurut Gabriel Tarde, Publik adalah satuan individu orang banyak yang terwujud karena masing-masing orang berkeinginan untuk menjadi salah satu di antara orang-orang yang mempunyai obyek perhatian yang sama dan sama pula dalam cita dan tujuannya. Soerjono Soekanto mendefinisikan publik sebagai kelompok yang tidak merupakan kesatuan, yang berinteraksi secara tidak langsung melalui media komunikasi pribadi dan massa. Mayor Polak mendefinisikan publik sebagai sejumlah orang yang berminat dan merasa tertarik terhadap suatu masalah dan berhasrat mencari jalan keluar dan dengan mewujudkan tindakan konkret.
Menurut Herbert Blumer, Opini Publik adalah suatu produk kolektif yang merupakan pendapat anonim yang disetujui oleh setiap orang dari publik, dan juga tidah harus selalu pendapat mayoritas. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa opini publik adalah sikap yang dinyatakan secara verbal oleh sejumlah orang yang tidak tergantung kepada tempat, yang mempunyai reaksi psikis terhadap suatu isu yang dapat menimbulkan kesatuan jiwa32
Publik sederhananya adalah sejumlah individu yang tidak harus saling mengenal secara pribadi namun terikat kepada satu isu atau masalah yang sama,
31
Yasraf Amir Pilinag, OpCit 32
(48)
berkeinginan untuk menjadi bagian dari pemecahan masalah tersebut, secara rasional, dimana dalam proses tersebut terjadi diskusi publik yang rasional melalui media komunikasi massa dan pribadi.
Publik adalah sejumlah orang banyak yang terikat pada satu keharusan mengambil bagian dalam kelompok-kelompok orang yang mempunyai sasaran perhatian dan tujuan yang sama. Opini adalah pendapat, yaitu suatu keputusan yang diungkapkan melalui kata-kata, baik lisan maupun yang tertulis, pendapat adalah sikap yang dinaytakan secara verbal.
Di dalam publik kurang ada sugesti dan mengekor tanpa berpikir. Tetapi sebaliknya ada diskusi sosial secara rasional atau sekurang-kurangnya ada kecenderungan berfikir rasional. Herbert Blumer mendefinisikan pulik sebagai sekelompok manusia yang berkumpul secara spontan dengan syarat-syarat dihadapkan oleh sebuah masalah, terdapat perbedaan pendapat dalam menyelesaikan masalah, adanya diskusi untuk mencari jalan keluar.
Emory S Bogardus mendefinisikan publik sebagai sejumlah orang yang tidak saling mengenal namun mempunyai pandangan yang sama mengenai suatu masalah, atau setidak-tidaknya mempunyai kepentingan bersama dalam suatu hal. Hugo Samkalden mendefinisikan publik sebagai kelompok orang yang terikat pada tempat, namun yang lebih pen ting adalah terjadinya reaksi psikis yang mewujudkan kesatuan jiwa.
(49)
I.3.4.2. Sifat Opini
Kompetensi opini publik mempunyai dua sifat yang paradoksal; tidak terbatas dan terbatas. Yang pertama kali menjadi keterbasan opini publik adalah masalah waktu. Opini publik mempunyai batas waktu untuk bertahan sebagai opini sebelum kemudian opini tersebut dilupakan dari agenda publik yang sering kali individu maupun kelompok menciptakan berbagai isu politiik dengan tujuan untuk mematikan suatu opini publik yang ada agar segera berganti dengan opini publik yang baru yang disebut dengan Counter Opinion.
Yang menjadi keterbatasan kedua opini publik adalah opini publik berada pada tataran moral dan etika. Dengan demikian opini publik jarang mampu untuk memberikan opini yang bersifat teknis. Individu maupun kelompok yang diserang oleh opini publik yang menentang sering kali berkilah dengan membawa opini publik tersebut ke ranah teknis sehingga opini publik kehilangan kekuatannya.
Paradoks kedua adalah bahwa opini publik mempunyai ketidakterbatasan. Pertama, ketidakterbatasan dalam jumlah anggota. Jika di masa lalu kita hanya memahami bahwa opini publik hanya dapat terbentuk pada individu dari berbagai negara, baik dalam konteks menanggapi isu pada satu negara atau isu dari beberapa negara. Sebagai contoh adalah isu lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang menciptakan gerakan dari masyarakat dunia bahwa setiap negara harus melaksanakan pembangunan yang berkesinambungan atau melindungi alam, dan juga harus tidak melanggar hak-hak asasi manusia.33
33
(50)
Opini publik juga mengalami ketidakterbatasan dalam hal ruang. Opini publik terbentuk dalam ruang lokal, nasional, regional maupun global. Ini sekaligus menunjukkan bahwa globalisasi meniadakan batas-batas pembentukan opini. Tidak ada satu negara totalitarian pun yang hari ini dapat mengabaikan opini publik, karena opini publik yang ada tidak saja berasal dari dalam, yang dengan mudah dapat dibungkam namun juga dari dunia internasional yang dapat menghasilkan kebijakan baru baik antar negara global mulai pengucilan maupun perang.
Ada juga kekhasan opini publik, bahwa dalam opini publik selalu terjadi polarisasi opini antara opini yang mendukung (pro) dan opini yang melawan (kontra). Dapat dikatakan, tidak ada “pendapat antara” di antara keduanya. Dalam konteks ini, kita melihat bahwa sebenarnya opini piblik adalah bentuk kompetisi paling terbuka dan frontal akan suatu isu dan pemecahannya.34
I.3.4.3. Proses Terbentuknya Opini
Proses pembentukan opini publik dilakukan melalui berbagai cara, misalnya melalui media massa baik itu elektronik atau cetak. Opini publik yang dibangun di tengah masyarakat misalnya dalam permasalahan Politik Pencitraan adalah dalam proses pembentukan akuntabilitas politik seorang kontestan politik. Akuntabilitas seorang kontestan politik menentukan tingkat popularitas kontestan politik tersebut dan juga tingkat elektabilitasnya. Oleh karena itu ada upaya penggiringan opini untuk menciptakan citra yang baik di masyarakat tentang
34
Riant.N.Dwijiwijoto, Komunikasi Pemerintahan : Sebuah Agenda Bagi Pemimpin Pemerintahan Indonesia, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2004, hal. 123
(51)
sosok kontestan politik agar kiranya kontestan politik tersebut bisa mendapatkan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaanya.
Sedangkan di sisi lain, adanya pembangunan opini publik bahwa ada hal yang lebih penting dari sekedar pencitraan saja. Tetapi lebih kepada pendekatan-pendekatan lain yang lebih nyata daripada pendekatan-pendekatan pencitraan yang rentan dengan manipulasi dan klaim. Apalagi menurut pelempar opini tersebut, pencitraan yang dilakukan sangat kental dengan aroma manipulasi dan modifikasi isu, sehingga tidak benar-bernar dirasakan oleh masyakat sebagai obyek dari opini tersebut.
Pembentukan opini publik di tengah masyarakat ini adalah salah satu proses pendidikan politik dan pendewasaan politik di tengah masyarakat. Inilah yang disebut sebagai pembentukan opini secara kognitif.
Selain proses pembentukan opini secara kognitif, ada juga satu proses lagi dalam pembentukan opini publik, yakni proses pembentukan opini publik secara afektif. Yang dimaksud dengan pembentukan opini publik secara afektif adalah selama proses pembentukan opini, masyarakat ataupun konstituen tidak diposisikan sebagai obyek, akan tetapi ditempatkan atau diposisikan sebagai subyek. Proses pembentukan opini publik dalam hal ini melibatkan masyarakat secara langsung sehingga masyarakat bukan hanya mendengat tetapi juga sekaligus menjadi pelaku.
Proses ini dalam orientasi politik pencitraan diharapkan akan membuat tingkat partisipasi masyarakat menjadi tinggi. Misalnya dalam masalah aspirasi masyarakat tentang program-program politik para kontestan politik. Diharapkan
(52)
dengan adanya pembangunan opini publik seperti tersebut masyarakat menjadi lebih peka terhadap isu-isu politik yang menyangkut kehidupan orang banyak.
Apabila nantinya masyarakat menjatuhkan pilihan terhadap kontestan politik, pilihan tersebut disertai dengan kesadaran dan pengetahuan yang luas tentang Politik Pencitraan yang dilakukan oleh kontestan politik yang pada akhirnya akan membawa kesadaran politik dan pengawasan politik terhadap kontestan politik terpilih berdasarkan Politik Pencitraan yang dilakukannya.
I.4.Definisi Konsep I.4.1.Opini
Opini adalah suatu produk kolektif yang bukan merupakan pendapat anonim yang disetujui oleh setiap orang dari publik, dan juga tidak harus selalu merupakan pendapat mayoritas. Sederhananya pendapat publik adalah sikap yang dinyatakan secara verbal oleh sejumlah orang yang tidak tergantung kepada tempat, yang mempunyai reaksi psikis terhadap suatu isu yang menimbulkan kesatuan jiwa.
Dalam Penelitian ini, opini yang akan diteliti adalah bagaimana pendapat masyarakat kota Medan, khususnya masyarakat Kecamatan Medan Perjuangan Kelurahan Sidorame Timur dalam melihat politik pencitraan yang dilakukan SBY dalam menjatuhkan preferensi politik pada pemilu presiden 2009.
(53)
I.4.2. Politik Pencitraan
Politik Pencitraan adalah serangkaian kegiatan dan upaya yang dilakukan oleh kontestan politik dan kelompoknya untuk menciptakan opini di masyarakat tentang gambaran sosok kontestan politik dalam rangka mempengaruhi popularitas politiknya yang merupakan cikal bakal elektabilitas politik kontestan tersebut dalam pemilihan umum.
Dalam penelitian ini, pencitraan yang dimaksud adalah pencitraaan positif SBY lewat media masa sebagai kanal budaya populer baik berbentuk iklan politik, pidato politik maupun berita-berita politik yang menciptakan persepsi baik terhadap sosok SBY.
I.5.Definisi Operasional
Menurut Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, definisi operasional adalah penjelasan tentang bagaimana suatu variabel-variabel akan diukur. Konkritnya definisi operasional merupakan rincian dari indikator-indikator pengukur suatu variabel. Definisi operasional mempermudah peneliti mengoperasionalkan dengan cara memberikan parameter atau indikator-indikator dari variabel yang akan diteliti. 35
1. Indikator Politik Pencitraan
Adapun indikator-indikator penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Publikasi-publikasi positif yang dilakukan dan dikeluarkan oleh SBY dan team pemenangan serta pihak diluar dalam kerangka
35
(1)
informasi-informasi terhadap suatu permasalahan atau isu-isu yang dibahas, sehingga tercipta suatu opini yang baik, berkualitas dan berguna bagi siapa saja yang mendengar opini tersebut.
Oleh karena itu dalam menyelesaikan proses penelitian ini ada beberapa saran yang menjadi harapan peneliti kedepannya, yaitu :
1.Faktor-faktor yang mempengaruhi opini masyarakat dalam partisipasi mereka untuk menjatuhkan pilihan politik di latarbelakangi oleh pilihan secara rasional. Namun terbatasnya informasi dan pemahaman akan informasi yang di dapat melahirkan rasionalitas yang tidak substansial dalam masyarakat. Oleh karena itu diharapkan pemerintah memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat agar kiranya tercipta pemahaman yang baik dalam melihat isu-isu atau fenomena-fenomena politik yang berkembang dalam kerangka mengambil sikap politik terhadap isu dan fenomena politik tersebut.
2.Disamping pemerintah, kontestan politik yang melakukan pencitraan politik diharapkan juga memberikan pendidikan politik kemasyarakat dengan cara meletakkan titik tekan pencitraan politik kepada substansi dari pencitraan politik itu sendiri. Sehingga penilaian masyarakat dalam upaya pengambilan sikap politik benar-benar di dasari pada azas efisiensi, bukan pada tampilan-tampilan luar saja.
3.Agar para kontestan politik yang melakukan pencitraan diri lebih menghadirkan realitas sebenarnya daripada realitas-realitas yang tidak
(2)
hadir pada kehidupan sebenarnya. Sehingga tak terjadi percampuran realitas antara realitas palsu dengan realitas sebenarnya.
4.Keterlibatan masyarakat dalam menentukan sikap dalam menghadapi pencitraan politik diharapkan tidak hanya terjadi saat terjadi kontestasi politik saja. Namun juga pada waktu seterusnya, agar pengawasan oleh masyarakat terhadap apa yang dicitrakan oleh kontestan politik juga tetap terjaga. Disamping itu akan ada tanggungjawab yang besar bagi kontestan politik sehingga pencitraan politik yang dilakukan akan semakin substansial sesuai dengan kedewasaan berpolitik masyarakat.
(3)
Daftar Pustaka Buku :
Anggoro, M. Linggar, Teori dan Profesi Kehumasan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001
Apter, David E., Pengantar Analisa Politik, Jakarta : LP3ES
Baudrillard, Jean, Simulacra And Simulation – Ebook Version, University Of Michigan, 1944
Budihardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992
--- Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000
Dwijiwijoto, Riant. N, Komunikasi Pemerintahan : Sebuah Agenda Bagi Pemimpin Pemerintahan Indonesia, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2004
Gaffar, Affan, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983
Kuncoro, Mudrajad, Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi, Jakarta : Erlangga, 2003
Mas’oed, Mohtar, Ilmu Hubungan Internasional (Disiplin dan Metodologi), Jakarta: LP3ES, 1990
Matulada, Demokrasi Dalam Tradisi Masyarakat Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1986
(4)
Mahfud MD, Moh, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta:Rineka Cipta, 2000
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2001
Newsom, Doug & Friends, This is PR, USA:Wadsworth/Thomson Learing, 2004, Pareno, Sam Abde, Kuliah Komunikasi : Pengantar dan Praktek, Jakarta: Papyrus, 2002
Simons, Jon, The Power Of Political Images, Bloomington: American Political Science Association, 2006
Singarimbun, Masri, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989
--- & Effendi, Sofyan, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1995
Sitepu, Anthonius, Sistem Politik Indonesia, Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, 2004
Soemirat, Soleh & Ardianto, Elvinaro, Dasar-Dasar Public Relation, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003
Subagyo, Joko, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta:Reineka Cipta, 1997
Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Bandung: CV Alfabeta, 2006
Sutisna, Perilaku Konsumen & Komunikasi Pemasaran, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2003
(5)
Syamsudin, Din, Kekuasaan dan Rakyat: Refleksi Pemikiran dan Praktek Politik Islam, Jakarta: Forum Indonesia Bersatu, 2001
Umar, Husein, Metode Riset Bisnis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003
Jurnal :
Jurnal Polysemia: Budaya Populer dan Demokrasi, Jakarta: Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP), 2006, hal.17
Titi Nur Vidyarini, Politik dan Budaya Populer Dalam Kemasan Program Televisi, Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, Vol.2, No. 1, Pusat Penelitian Universitas Kristen Petra, Januari 2008, hal. 33
Dokumen :
Badan Pusat Statistik, Data Perkembangan Kota Medan 2006
Kantor Kelurahan Sidorame Timur, Profil Kelurahan Sidorame Timur 2009 PPK Kecamatan Medan Perjuangan, Data Tabulasi Hasil Pemilu 2004 PPK Kecamatan Medan Perjuangan, Data Tabulasi Hasil Pemilu 2009
Internet :
Ali Nurdin, Strategi Pencitraan Politik Penyebab Kemenangan SBY, www.news.id.finroll.com
Bachtiar Aly, Kompetisi Pencitraan,
http://news.okezone.com/SKS/index.php/ReadStory/2009/06/01/27 4/224900/kompetisi-pencitraan
(6)
LSI, Kiprah SBY, Menghapus Anggapan Presiden Persepsi,
http://www.lsi.or.id/liputan/247/kiprah-sby-menghapus-anggapan-presiden-persepsi
PemiluIndonesia.com, Mega dan JK Terkepung Politik Pencitraan SBY., http://www.pemiluindonesia.com/opini-pemilu/mega-dan-jk-terkepung-politik-pencitraan-sby.html
Sebastian Salang, SBY Menang Karena Fakor Incumbent, dimuat di okezone.com pada 9 Juli 2009
Yasraf Amir Piliang, Simulakra Politik,
http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=3121&coi d=3&caid=31
www.pemkomedan.go.id