BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Demokrasi merupakan sebuah bentuk sistem politik yang merupakan respon terhadap sistem monarki-diktator pada Abad ke-5 SM. Namun pada
perkembangannya demokrasi lebih jauh dianggap sebagai jawaban antitesa atas teokrasi dan monarki yang semakin jauh dari kesejahteraan rakyat. Konsep
mengenai demokrasi berasal dari gagasan-gagasan beberapa tokoh yang sampai hari ini masih berpengaruh dalam dunia ilmu politik. Gagasan-gagasan seperti
gagasan Nicolo Machievelli tentang sekularisme, Thomas Hobes tentang kontrak sosial, gagasan tentang negara dan pemisahan kekuasaan oleh John Locke yang
selanjutnya dikembangkan oleh Montesqiue serta gagasan tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial oleh J.J Rousseau.
1
Dalam perjalanannya, demokrasi dianggap sebagai sistem politik yang paling sempurna. Hal itu dikarenakan demokrasi merupakan sistem yang dapat
diterima secara luas baik sebagai teori maupun sebagai model bagi masyarakat.
2
1
Anthonius Sitepu, Sistem Politik Indonesia, Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, 2004, hal.5-6
2
Din Syamsudin, Kekuasaan dan Rakyat: Refleksi Pemikiran dan Praktek Politik Islam, Jakarta: Forum Indonesia Bersatu, 2001, hal. 132
Penelitian UNESCO pada tahun 1994 menyatakan bahwa demokrasi merupakan
Universitas Sumatera Utara
suatu sistem yang paling proporsional untuk semua sistem organisasi politik, sosial dan pemerintahan.
3
Perkembangan demokrasi berbanding lurus dengan perkembangan kehidupan budaya sosial politik masyarakatnya. Oleh karena itu, perkembangan
budaya pada masyarakat akan juga diikuti oleh perkembangan demokrasi itu sendiri.
Demokrasi sebagai sistem politik Indonesia telah digunakan sejak negara ini didirikan oleh para founding fathers hingga saat ini. Demokrasi sebagai sistem
politik Indonesia termaktub dalam undang-undang sebagai landasan konstitusi Indonesia. Dalam perjalanannya, demokrasi Indonesia cukup dinamis. Indonesia
pernah menggunakan demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila serta juga demokrasi langsung yang diinterprestasikan dengan pemilihan
langsung oleh rakyat terhadap anggota legislatif dan eksekutif. Oleh karena dipilih langsung, setiap orang yang akan mewakili atau memimpin bangsa ini
haruslah orang yang didukung oleh masyarakat atau setidaknya mayoritas masyarakat.
4
Budaya Indonesia hari ini dihadapkan pada dinamika yang luar biasa. Proses akulturasi tak terbendung dari budaya-budaya asing serta kemajuan
teknologi menyebabkan gradasi terhadap batas-batas khas, baik itu batas-batas primordial maupun batas-batas geographis, sehingga budaya tinggi Indonesia
tidak memiliki pilihan selain berasimilasi dengan budaya asing yang cenderung
3
Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal.50
4
Affan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal.17
Universitas Sumatera Utara
diterima secara universal dan berlaku sebagai budaya semua orang atau budaya populer.
Budaya populer sendiri adalah konsep yang “populer”. Kebanyakan orang membicarakan budaya populer bila berkaitan dengan sesuatu yang negatif,
misalnya selera masyarakat kebanyakan yang rendah dan murahan, produk budaya yang didistribusikan hanya untuk kesenangan, juga efek budaya populer
yang buruk pada anak muda hedonitas. Sejarah konsep budaya populer memang demikian, karena pada awalnya
“budaya populer” adalah konsep yang digunakan sebagai lawan kata dari “budaya elite”. Konsep budaya populer digunakan untuk mengejek dan menyudutkan
budaya masyarakat kebanyakan. Kemudian secara perlahan dalam perkembangannya, budaya populer tidak lagi bermakna negatif tetapi berubah
menjadi sebuah konsep netral. Budaya populer kemudian diartikan sebagai budaya yang dimiliki dan disukai oleh sebagian besar orang dalam suatu
masyarakat.
5
Pada titik inilah, budaya populer mempunyai makna yang demokratis bagi masyarakat. Budaya populer mengkritik dominasi kelompok elite dan budayanya.
Budaya populer berusaha melakukan perlawanan pada kelompok masyarakat minoritas yang berstatus elit, yang dianggap memiliki budaya yang “tinggi”,
adiluhung, dan memberikan pencerahan. Konsep budaya populer meruntuhkan itu semua, tidak penting sebuah budaya itu rendah atau tinggi, yang penting budaya
bisa dinikmati dan disukai oleh banyak orang. Dirasakan dan disukai banyak
5
Wisnu Martha Adiputra, Jurnal Polysemia: Budaya Populer dan Demokrasi, Jakarta: Pusat Kajian Media dan Budaya Populer PKMBP, 2006, hal.17
Universitas Sumatera Utara
orang inilah yang menunjukkan bahwa secara inheren budaya populer memiliki nilai demokrasi.
Dalam mekanisme demokrasi langsung, popularitas adalah satu hal yang utama dan penting. Orang yang populer tentu saja merupakan orang yang disukai
banyak orang yang cenderung mayoritas. Oleh karena itu upaya untuk menjadi populer berbondong-bondong dilakukan oleh para elit politik dengan tujuan
mendapatkan legitimasi politik dari masyarakat. Para elit dituntut tidak hanya menguasai literatur-literatur ilmu politik dan penguasaan basis massa di
masyarakat baik secara primordial maupun secara ideologis, namun para elit juga dituntut untuk bisa menjadi “icon populer” dimata publik. Untuk menjadi populer
para elit politik mau tidak mau harus menjadi icon dari budaya yang populer itu atau setidaknya menjadi atau seolah-olah menjadi pengusung budaya yang
populer tadi. Dalam wacana populer, tampilan-tampilan secara audio dan visual di era
kedigdayaan media informasi dan komunikasi dipercaya sebagai strategi yang ampuh untuk menjadi populer yaitu dengan memenangkan hati rakyat dan
mendapatkan legitimasi dari rakyat, khususnya terhadap pemilih pemula dan pemilih yang rasional swing voter yang cenderung tak terikat pada aliran-aliran
tertentu secara politis.
6
Cerita-cerita tentang ketokohan, simbol-simbol, jargon-jargon hingga singkatan nama menjadi penting dalam proses pembentukan popularitas politik.
Dalam wacana politik, kegiatan tersebut dinamakan sebagai politik pencitraan
6
Titi Nur Vidyarini, Politik dan Budaya Populer Dalam Kemasan Program Televisi, Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, Vol.2, No. 1, Pusat Penelitian Universitas Kristen Petra, Januari 2008, hal. 33
Universitas Sumatera Utara
imagologi politik. Strategi politik Pencitraan merupakan salah satu strategi untuk memenangi kontes politik disamping strategi yang lebih klasik yaitu dengan
strategi penggalangan suara melalui jejaring politik khususnya partai politik. Strategi politik pencitraan digunakan sebagai medium untuk publikasi
akuntabilitas politik para kontestan politik. Karena merupakan medium publikasi, secara ideal politik pencitraan
menjadi strategi lanjutan dalam sebuah proses marketing politik. Pendekatan- pendekatan konvensional seperti kultural dan ideologis harus dikedepankan.
Namun sering kali pendekatan-pendekatan konvensional tersbuet dinafikan dan dijadikan sebagai strategi yang usang dan kurang efisien karena membutuhkan
waktu yang panjang. Oleh karena itu Politik Pencitraan sering tidak berjalan secara ideal dan cenderung praktis.
Hal tersebut sebenarnya bukan hal yang terlalu mengejutkan juga, karena pada masa-masa jauh sebelumnya sudah pernah diperkirakan. Plato dalam
“Parabale of The Cave” seperti pernah dikutip Susan Bordo mengatakan bahwa politik demokratis modern adalah politik pencitraan, dimana persoalan
penampilan lebih penting dari substansi serta kepribadian lebih penting daripada kebijakan.
7
Pemilihan Umum PEMILU 2004 dan 2009 dapat dikatakan sebagai era keemasan dari Politik Pencitraan. Pemilu Presiden 2004 yang dimenangkan Susilo
Bambang Yudhoyono SBY menjelaskan hal tersebut. SBY yang berasal dari partai kecil dan dicalonkan oleh beberapa partai kecil waktu itu berhasil
7
Lihat Jon Simons, The Power Of Political Images, Bloomington: American Political Science Association, 2006, hal.1
Universitas Sumatera Utara
mengalahkan 2 calon kuat dari partai yang memiliki basis masa kultural di tingkat akar rumput yaitu Wiranto yang merupakan calon dari partai Golkar yang
merupakan partai pemenang pemilu 2004 dan calon dari partai besar lainnya yaitu Megawati Soekarno Putri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang
memenangi pemilu pada 1999 dan memiliki suara cukup signifikan pada pemilu 2004 sebagai urutan kedua. .
Proses pencitraan dengan menggunakan simbol-simbol, jargon-jargon dan lain sebagainya dilakukan untuk menciptakan citra tersendiri bagi masyarakat
terhadap sosok elit. Masih hangat mungkin di telinga kita jargon-jargon seperti “Bersama Kita Bisa” yang pernah dilemparkan SBY pada pemilu 2004 yang pada
akhirnya mengantarkan SBY ke kursi RI-1. Lalu di waktu yang belum lama juga ini ada jargon “Hidup adalah Perbuatan” yang dilempar oleh Sutrisno Bahir yang
merupakan salah satu elit Partai Amanat Nasional, “Lebih Cepat Lebih Baik” yang dilemparkan oleh Muhammad Jusuf Kalla yang merupakan politisi Partai Golkar
sekaligus juga menjadi Calon Presiden Partai Golkar Pada Pemilihan Presiden 2009, maupun jargon-jargon yang dilemparkan oleh tokoh-tokoh personal seperti
“When There is a While There is Way” yang dilemparkan oleh Rizal Malarangeng dan “Indonesia Tanpa Hutang” yang dilemparkan oleh Rizal Ramli yang
mengagas blok perubahan, belum lagi beratus-ratus photo ukuran berbagai jenis dari pada calon legislatif yang dipadukan dengan tulisan-tulisan dan jargon-jargon
kecil pada pemilu legislatif yang lalu. Disamping jargon-jargon tersebut, beberapa waktu yang lalu kita juga
dihadapkan pada tindakan-tindakan simbolis para elit yang dipertontonkan lewat
Universitas Sumatera Utara
media. Jendral TNI Purn Wiranto misalnya, yang merupakan politisi Partai Hati Nurani Rakyat HANURA yang pada pemilu presiden kali ini maju mencalonkan
diri sebagai Wakil Presiden mendampingi Jusuf Kalla dari Partai Golkar, Wiranto mempertontonkan kepada masyarakat adegan “dramatis”, “menyentuh”,
“menggugah” ketika dia memakan nasi aking di tengah kerumunan orang di keluarga miskin di Serang, Banten. Ia merasakan sendiri betapa nasi aking tidak
enak dan tak layak untuk dimakan. SBY juga pernah meneteskan air mata ketika berkunjung ke Aceh untuk
melihat kondisi masyarakat Aceh pasca terjadinya bencana tsunami di Aceh, begitu juga dengan gempa di Jogja dan tsunami Pangandaran. Disamping itu,
tindakan SBY membentak para walikota dan bupati yang tertidur saat pertemuan bupati dan walikota se-Indonesia maupun juga para menteri kabinetnya yang tidak
konsentrasi saat rapat kabinet yang lalu dipertontonkan oleh media. Terlepas dari tujuannya, namun apa yang dilakukan Wiranto dan SBY bisa
dikatakan sebagai proses pencitraan kepada publik tentang sosok keduanya dalam rangka kontestasi politik yang akan mereka jalani. Wiranto dan SBY secara tidak
langsung membangun simulasi politik akan sosok masing-masing untuk menciptakan citra atau gambaran tersendiri di mata publik. Masing-masing ingin
menunjukkan kepada publik bahwa mereka adalah calon pemimpin yang dekat dengan rakyat dan mengerti dengan apa yang menjadi kebutuhan dan apa yang
dirasakan oleh rakyat. Dalam kajian antropologi politik, apa yang dilakukan oleh Wiranto dan
SBY itu merupakan salah satu bentuk dari politik simbolisme politics of
Universitas Sumatera Utara
symbolism. Politik simbolisme adalah suatu tindakan untuk merepresentasikan sebuah gejala sosial di masyarakat, yang diwujudkan dalam simbol yang
merefleksikan makna politik tertentu Geertz 1973; Gupta Ferguson 1992.
8
Pemilu legislatif 2009 telah berlalu, masing-masing partai politik kini telah mengantongi legitimasi politik dari masyarakat dalam wujud kursi di parlemen.
Partai demokrat telah ditetapkan sebagai pemenang pemilu legislatif dengan suara yang cukup signifikan. Pemilihan presiden pun sudah dilakukan, dan SBY
kembali mendapatkan dukungan rakyat secara dominan untuk menduduki kursi presiden 5 tahun berikutnya. Terlepas dari indikasi kecurangan yang dilakukan,
banyak praktisi yang beranggapan bahwa SBY dan Partai Demokrat memenangi Saat ini masyarakat sedikit banyak telah belajar untuk menerjemahkan
proses simbolisme dan pencitraan yang dilakukan para elit politik. Lima tahun masa kepemimpinan SBY dengan kabinet Indonesia Bersatu bisa dikatakan
sebagai perang pencitraan antara elit politik, ditambah lagi dengan sentimen negatif yang diakomodasi dalam setiap pencitraan itu baik oleh oposisi maupun
oleh penguasa. Seperti sentimen neoliberal, penjualan aset-aset nasional, pemberantasan korupsi yang tebang pilih, korupsi di DPR, pembalakan liar, krisis
energi, hingga bantuan langsung tunai BLT. Meski memang masyarakat awam belum dapat menerjemahkan esensi dari perang pencitraan itu namun setidaknya
masyarakat memiliki penilaian tersendiri terhadap pencitraan yang dilakukan oleh masing-masing elit.
8
Lihat Amich Alhumami, Politik Simbolisme, http:forumpolitisi.org, diakses pada 5 Mei 2009
Universitas Sumatera Utara
kontes politik 5 tahunan tersebut dengan pencitraan sebagai senjata pamungkasnya.
Namun persoalan pemilu presiden berbeda dengan persoalan dalam pemilu legislatif. Ada perbedaan mendasar dalam masyarakat ketika melihat sosok
anggota legislatif dan calon presiden. Sentimen personal akan lebih besar dalam upaya menentukan pilihan pada pemilihan presiden dibandingkan dalam pemilu
legislatif. Dan ranah sentimen personal adalah ranah politik pencitraan. Masyarakat akan lebih menggunakan sentimen personal persepsi politik dalam
menilai para kandidat sebelum menjatuhkan pilihan. Oleh karena itu upaya pembentukan citra pada masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam
rangka menggugah sentimen para calon pemilih. Tanpa menafikan kekuatan penggalangan suara secara konvensional lewat
mekanisme kultural maupun ideologis, penelitian akan respon masyarakat terhadap politik pencitraan dalam hubungannya dengan tingkat elektabilitas
politik menjadi sangat menarik untuk dilakukan. Di kota Medan yang sangat heterogen ini misalnya, strategi politik yang
dilakukan oleh SBY sebagai pemenang pemilihan presiden terbukti berjalan dengan baik. SBY secara umum menang di seluruh kecamatan di kota ini dengan
tingkat suara yang cukup signifikan dengan persentase yang tidak terlalu jauh perbedaannya dengan suara nasional. Meskipun secara infrastruktur politik di
tingkat masyarakat, partai pendukung SBY tidak lebih mapan daripada partai pendukung Megawati dan Jusuf Kalla yang merupakan dua calon presiden
lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa media nasional merilis pendapat beberapa praktisi dan pengamat politik tentang kondisi tersebut. Antara misalnya, merilis pendapat Fadjroel
Rachman, Direktur Eksekutif Pedoman Indonesia yang juga salah seorang yang digadang-gadangkan menjadi Capres Independen. Fadjroel mengatakan bahwa
“SBY itu sudah lama dan lebih dahulu mencitrakan diri sebagai sosok yang gagah, berwibawa, baik hati,”
9
I.2. Perumusan Masalah