Latar Belakang Masalah Imagologi Politik (Studi Deskriptif Tentang Opini Publik Terhadap Pencitraan Politik Dalam Meningkatkan Tingkat Elektabilitas Politik Pada Pemilu Presiden 2009 di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Demokrasi merupakan sebuah bentuk sistem politik yang merupakan respon terhadap sistem monarki-diktator pada Abad ke-5 SM. Namun pada perkembangannya demokrasi lebih jauh dianggap sebagai jawaban antitesa atas teokrasi dan monarki yang semakin jauh dari kesejahteraan rakyat. Konsep mengenai demokrasi berasal dari gagasan-gagasan beberapa tokoh yang sampai hari ini masih berpengaruh dalam dunia ilmu politik. Gagasan-gagasan seperti gagasan Nicolo Machievelli tentang sekularisme, Thomas Hobes tentang kontrak sosial, gagasan tentang negara dan pemisahan kekuasaan oleh John Locke yang selanjutnya dikembangkan oleh Montesqiue serta gagasan tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial oleh J.J Rousseau. 1 Dalam perjalanannya, demokrasi dianggap sebagai sistem politik yang paling sempurna. Hal itu dikarenakan demokrasi merupakan sistem yang dapat diterima secara luas baik sebagai teori maupun sebagai model bagi masyarakat. 2 1 Anthonius Sitepu, Sistem Politik Indonesia, Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, 2004, hal.5-6 2 Din Syamsudin, Kekuasaan dan Rakyat: Refleksi Pemikiran dan Praktek Politik Islam, Jakarta: Forum Indonesia Bersatu, 2001, hal. 132 Penelitian UNESCO pada tahun 1994 menyatakan bahwa demokrasi merupakan Universitas Sumatera Utara suatu sistem yang paling proporsional untuk semua sistem organisasi politik, sosial dan pemerintahan. 3 Perkembangan demokrasi berbanding lurus dengan perkembangan kehidupan budaya sosial politik masyarakatnya. Oleh karena itu, perkembangan budaya pada masyarakat akan juga diikuti oleh perkembangan demokrasi itu sendiri. Demokrasi sebagai sistem politik Indonesia telah digunakan sejak negara ini didirikan oleh para founding fathers hingga saat ini. Demokrasi sebagai sistem politik Indonesia termaktub dalam undang-undang sebagai landasan konstitusi Indonesia. Dalam perjalanannya, demokrasi Indonesia cukup dinamis. Indonesia pernah menggunakan demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila serta juga demokrasi langsung yang diinterprestasikan dengan pemilihan langsung oleh rakyat terhadap anggota legislatif dan eksekutif. Oleh karena dipilih langsung, setiap orang yang akan mewakili atau memimpin bangsa ini haruslah orang yang didukung oleh masyarakat atau setidaknya mayoritas masyarakat. 4 Budaya Indonesia hari ini dihadapkan pada dinamika yang luar biasa. Proses akulturasi tak terbendung dari budaya-budaya asing serta kemajuan teknologi menyebabkan gradasi terhadap batas-batas khas, baik itu batas-batas primordial maupun batas-batas geographis, sehingga budaya tinggi Indonesia tidak memiliki pilihan selain berasimilasi dengan budaya asing yang cenderung 3 Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal.50 4 Affan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal.17 Universitas Sumatera Utara diterima secara universal dan berlaku sebagai budaya semua orang atau budaya populer. Budaya populer sendiri adalah konsep yang “populer”. Kebanyakan orang membicarakan budaya populer bila berkaitan dengan sesuatu yang negatif, misalnya selera masyarakat kebanyakan yang rendah dan murahan, produk budaya yang didistribusikan hanya untuk kesenangan, juga efek budaya populer yang buruk pada anak muda hedonitas. Sejarah konsep budaya populer memang demikian, karena pada awalnya “budaya populer” adalah konsep yang digunakan sebagai lawan kata dari “budaya elite”. Konsep budaya populer digunakan untuk mengejek dan menyudutkan budaya masyarakat kebanyakan. Kemudian secara perlahan dalam perkembangannya, budaya populer tidak lagi bermakna negatif tetapi berubah menjadi sebuah konsep netral. Budaya populer kemudian diartikan sebagai budaya yang dimiliki dan disukai oleh sebagian besar orang dalam suatu masyarakat. 5 Pada titik inilah, budaya populer mempunyai makna yang demokratis bagi masyarakat. Budaya populer mengkritik dominasi kelompok elite dan budayanya. Budaya populer berusaha melakukan perlawanan pada kelompok masyarakat minoritas yang berstatus elit, yang dianggap memiliki budaya yang “tinggi”, adiluhung, dan memberikan pencerahan. Konsep budaya populer meruntuhkan itu semua, tidak penting sebuah budaya itu rendah atau tinggi, yang penting budaya bisa dinikmati dan disukai oleh banyak orang. Dirasakan dan disukai banyak 5 Wisnu Martha Adiputra, Jurnal Polysemia: Budaya Populer dan Demokrasi, Jakarta: Pusat Kajian Media dan Budaya Populer PKMBP, 2006, hal.17 Universitas Sumatera Utara orang inilah yang menunjukkan bahwa secara inheren budaya populer memiliki nilai demokrasi. Dalam mekanisme demokrasi langsung, popularitas adalah satu hal yang utama dan penting. Orang yang populer tentu saja merupakan orang yang disukai banyak orang yang cenderung mayoritas. Oleh karena itu upaya untuk menjadi populer berbondong-bondong dilakukan oleh para elit politik dengan tujuan mendapatkan legitimasi politik dari masyarakat. Para elit dituntut tidak hanya menguasai literatur-literatur ilmu politik dan penguasaan basis massa di masyarakat baik secara primordial maupun secara ideologis, namun para elit juga dituntut untuk bisa menjadi “icon populer” dimata publik. Untuk menjadi populer para elit politik mau tidak mau harus menjadi icon dari budaya yang populer itu atau setidaknya menjadi atau seolah-olah menjadi pengusung budaya yang populer tadi. Dalam wacana populer, tampilan-tampilan secara audio dan visual di era kedigdayaan media informasi dan komunikasi dipercaya sebagai strategi yang ampuh untuk menjadi populer yaitu dengan memenangkan hati rakyat dan mendapatkan legitimasi dari rakyat, khususnya terhadap pemilih pemula dan pemilih yang rasional swing voter yang cenderung tak terikat pada aliran-aliran tertentu secara politis. 6 Cerita-cerita tentang ketokohan, simbol-simbol, jargon-jargon hingga singkatan nama menjadi penting dalam proses pembentukan popularitas politik. Dalam wacana politik, kegiatan tersebut dinamakan sebagai politik pencitraan 6 Titi Nur Vidyarini, Politik dan Budaya Populer Dalam Kemasan Program Televisi, Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, Vol.2, No. 1, Pusat Penelitian Universitas Kristen Petra, Januari 2008, hal. 33 Universitas Sumatera Utara imagologi politik. Strategi politik Pencitraan merupakan salah satu strategi untuk memenangi kontes politik disamping strategi yang lebih klasik yaitu dengan strategi penggalangan suara melalui jejaring politik khususnya partai politik. Strategi politik pencitraan digunakan sebagai medium untuk publikasi akuntabilitas politik para kontestan politik. Karena merupakan medium publikasi, secara ideal politik pencitraan menjadi strategi lanjutan dalam sebuah proses marketing politik. Pendekatan- pendekatan konvensional seperti kultural dan ideologis harus dikedepankan. Namun sering kali pendekatan-pendekatan konvensional tersbuet dinafikan dan dijadikan sebagai strategi yang usang dan kurang efisien karena membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu Politik Pencitraan sering tidak berjalan secara ideal dan cenderung praktis. Hal tersebut sebenarnya bukan hal yang terlalu mengejutkan juga, karena pada masa-masa jauh sebelumnya sudah pernah diperkirakan. Plato dalam “Parabale of The Cave” seperti pernah dikutip Susan Bordo mengatakan bahwa politik demokratis modern adalah politik pencitraan, dimana persoalan penampilan lebih penting dari substansi serta kepribadian lebih penting daripada kebijakan. 7 Pemilihan Umum PEMILU 2004 dan 2009 dapat dikatakan sebagai era keemasan dari Politik Pencitraan. Pemilu Presiden 2004 yang dimenangkan Susilo Bambang Yudhoyono SBY menjelaskan hal tersebut. SBY yang berasal dari partai kecil dan dicalonkan oleh beberapa partai kecil waktu itu berhasil 7 Lihat Jon Simons, The Power Of Political Images, Bloomington: American Political Science Association, 2006, hal.1 Universitas Sumatera Utara mengalahkan 2 calon kuat dari partai yang memiliki basis masa kultural di tingkat akar rumput yaitu Wiranto yang merupakan calon dari partai Golkar yang merupakan partai pemenang pemilu 2004 dan calon dari partai besar lainnya yaitu Megawati Soekarno Putri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang memenangi pemilu pada 1999 dan memiliki suara cukup signifikan pada pemilu 2004 sebagai urutan kedua. . Proses pencitraan dengan menggunakan simbol-simbol, jargon-jargon dan lain sebagainya dilakukan untuk menciptakan citra tersendiri bagi masyarakat terhadap sosok elit. Masih hangat mungkin di telinga kita jargon-jargon seperti “Bersama Kita Bisa” yang pernah dilemparkan SBY pada pemilu 2004 yang pada akhirnya mengantarkan SBY ke kursi RI-1. Lalu di waktu yang belum lama juga ini ada jargon “Hidup adalah Perbuatan” yang dilempar oleh Sutrisno Bahir yang merupakan salah satu elit Partai Amanat Nasional, “Lebih Cepat Lebih Baik” yang dilemparkan oleh Muhammad Jusuf Kalla yang merupakan politisi Partai Golkar sekaligus juga menjadi Calon Presiden Partai Golkar Pada Pemilihan Presiden 2009, maupun jargon-jargon yang dilemparkan oleh tokoh-tokoh personal seperti “When There is a While There is Way” yang dilemparkan oleh Rizal Malarangeng dan “Indonesia Tanpa Hutang” yang dilemparkan oleh Rizal Ramli yang mengagas blok perubahan, belum lagi beratus-ratus photo ukuran berbagai jenis dari pada calon legislatif yang dipadukan dengan tulisan-tulisan dan jargon-jargon kecil pada pemilu legislatif yang lalu. Disamping jargon-jargon tersebut, beberapa waktu yang lalu kita juga dihadapkan pada tindakan-tindakan simbolis para elit yang dipertontonkan lewat Universitas Sumatera Utara media. Jendral TNI Purn Wiranto misalnya, yang merupakan politisi Partai Hati Nurani Rakyat HANURA yang pada pemilu presiden kali ini maju mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden mendampingi Jusuf Kalla dari Partai Golkar, Wiranto mempertontonkan kepada masyarakat adegan “dramatis”, “menyentuh”, “menggugah” ketika dia memakan nasi aking di tengah kerumunan orang di keluarga miskin di Serang, Banten. Ia merasakan sendiri betapa nasi aking tidak enak dan tak layak untuk dimakan. SBY juga pernah meneteskan air mata ketika berkunjung ke Aceh untuk melihat kondisi masyarakat Aceh pasca terjadinya bencana tsunami di Aceh, begitu juga dengan gempa di Jogja dan tsunami Pangandaran. Disamping itu, tindakan SBY membentak para walikota dan bupati yang tertidur saat pertemuan bupati dan walikota se-Indonesia maupun juga para menteri kabinetnya yang tidak konsentrasi saat rapat kabinet yang lalu dipertontonkan oleh media. Terlepas dari tujuannya, namun apa yang dilakukan Wiranto dan SBY bisa dikatakan sebagai proses pencitraan kepada publik tentang sosok keduanya dalam rangka kontestasi politik yang akan mereka jalani. Wiranto dan SBY secara tidak langsung membangun simulasi politik akan sosok masing-masing untuk menciptakan citra atau gambaran tersendiri di mata publik. Masing-masing ingin menunjukkan kepada publik bahwa mereka adalah calon pemimpin yang dekat dengan rakyat dan mengerti dengan apa yang menjadi kebutuhan dan apa yang dirasakan oleh rakyat. Dalam kajian antropologi politik, apa yang dilakukan oleh Wiranto dan SBY itu merupakan salah satu bentuk dari politik simbolisme politics of Universitas Sumatera Utara symbolism. Politik simbolisme adalah suatu tindakan untuk merepresentasikan sebuah gejala sosial di masyarakat, yang diwujudkan dalam simbol yang merefleksikan makna politik tertentu Geertz 1973; Gupta Ferguson 1992. 8 Pemilu legislatif 2009 telah berlalu, masing-masing partai politik kini telah mengantongi legitimasi politik dari masyarakat dalam wujud kursi di parlemen. Partai demokrat telah ditetapkan sebagai pemenang pemilu legislatif dengan suara yang cukup signifikan. Pemilihan presiden pun sudah dilakukan, dan SBY kembali mendapatkan dukungan rakyat secara dominan untuk menduduki kursi presiden 5 tahun berikutnya. Terlepas dari indikasi kecurangan yang dilakukan, banyak praktisi yang beranggapan bahwa SBY dan Partai Demokrat memenangi Saat ini masyarakat sedikit banyak telah belajar untuk menerjemahkan proses simbolisme dan pencitraan yang dilakukan para elit politik. Lima tahun masa kepemimpinan SBY dengan kabinet Indonesia Bersatu bisa dikatakan sebagai perang pencitraan antara elit politik, ditambah lagi dengan sentimen negatif yang diakomodasi dalam setiap pencitraan itu baik oleh oposisi maupun oleh penguasa. Seperti sentimen neoliberal, penjualan aset-aset nasional, pemberantasan korupsi yang tebang pilih, korupsi di DPR, pembalakan liar, krisis energi, hingga bantuan langsung tunai BLT. Meski memang masyarakat awam belum dapat menerjemahkan esensi dari perang pencitraan itu namun setidaknya masyarakat memiliki penilaian tersendiri terhadap pencitraan yang dilakukan oleh masing-masing elit. 8 Lihat Amich Alhumami, Politik Simbolisme, http:forumpolitisi.org, diakses pada 5 Mei 2009 Universitas Sumatera Utara kontes politik 5 tahunan tersebut dengan pencitraan sebagai senjata pamungkasnya. Namun persoalan pemilu presiden berbeda dengan persoalan dalam pemilu legislatif. Ada perbedaan mendasar dalam masyarakat ketika melihat sosok anggota legislatif dan calon presiden. Sentimen personal akan lebih besar dalam upaya menentukan pilihan pada pemilihan presiden dibandingkan dalam pemilu legislatif. Dan ranah sentimen personal adalah ranah politik pencitraan. Masyarakat akan lebih menggunakan sentimen personal persepsi politik dalam menilai para kandidat sebelum menjatuhkan pilihan. Oleh karena itu upaya pembentukan citra pada masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam rangka menggugah sentimen para calon pemilih. Tanpa menafikan kekuatan penggalangan suara secara konvensional lewat mekanisme kultural maupun ideologis, penelitian akan respon masyarakat terhadap politik pencitraan dalam hubungannya dengan tingkat elektabilitas politik menjadi sangat menarik untuk dilakukan. Di kota Medan yang sangat heterogen ini misalnya, strategi politik yang dilakukan oleh SBY sebagai pemenang pemilihan presiden terbukti berjalan dengan baik. SBY secara umum menang di seluruh kecamatan di kota ini dengan tingkat suara yang cukup signifikan dengan persentase yang tidak terlalu jauh perbedaannya dengan suara nasional. Meskipun secara infrastruktur politik di tingkat masyarakat, partai pendukung SBY tidak lebih mapan daripada partai pendukung Megawati dan Jusuf Kalla yang merupakan dua calon presiden lainnya. Universitas Sumatera Utara Beberapa media nasional merilis pendapat beberapa praktisi dan pengamat politik tentang kondisi tersebut. Antara misalnya, merilis pendapat Fadjroel Rachman, Direktur Eksekutif Pedoman Indonesia yang juga salah seorang yang digadang-gadangkan menjadi Capres Independen. Fadjroel mengatakan bahwa “SBY itu sudah lama dan lebih dahulu mencitrakan diri sebagai sosok yang gagah, berwibawa, baik hati,” 9

I.2. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Partai Politik Dan Pemilu (Suatu Studi Marketing Politik Terhadap Partai Demokrat dalam Pemilu Legislatif 2009)

0 56 96

Partisipasi Politik Dan Pemilihan Umum (Suatu Studi tentang Perilaku Politik Masyarakat di Kelurahan Dataran Tinggi Kecamatan Binjai Timur Pada Pemilihan Presiden tahun 2009)

1 46 105

Pengaruh Tingkat Status Sosial Ekonomi Masyarakat Terhadap Partisipasi Politik Pada Pemilu Presiden 2009 (Studi deskriptif: Kelurahan Sitirejo I, Medan, Sumatera Utara)

1 29 105

PENCITRAAN DAN KOMUNIKASI POLITIK PARTAI DEMOKRAT PADA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2009

0 19 24

Opini Publik Mengenai Kampanye Politik Dan Tingkat Elektabilitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Analisis Isi Deskriptif Kolom Komentar Kompas.com Pada Pemilu Legislatif 2014).

1 4 15

OPINI PUBLIK MENGENAI KAMPANYE POLITIK DAN TINGKAT ELEKTABILITAS PARTAI Opini Publik Mengenai Kampanye Politik Dan Tingkat Elektabilitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Analisis Isi Deskriptif Kolom Komentar Kompas.com Pada Pemilu Legislatif 2014)

0 4 13

PENDAHULUAN Opini Publik Mengenai Kampanye Politik Dan Tingkat Elektabilitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Analisis Isi Deskriptif Kolom Komentar Kompas.com Pada Pemilu Legislatif 2014).

0 21 42

DESKRIPSI OBJEK DAN WILAYAH PENELITIAN Opini Publik Mengenai Kampanye Politik Dan Tingkat Elektabilitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Analisis Isi Deskriptif Kolom Komentar Kompas.com Pada Pemilu Legislatif 2014).

0 6 13

PENUTUP Opini Publik Mengenai Kampanye Politik Dan Tingkat Elektabilitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Analisis Isi Deskriptif Kolom Komentar Kompas.com Pada Pemilu Legislatif 2014).

0 5 54

AKUNTABILITAS PARTAI POLITIK DAN ELEKTABILITAS PARTAI POLITIK: STUDI KASUS PADA PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU DI PROPINSI DIY TAHUN 2014

0 0 10