13
menerima informasi yang bersifat auditori yang dapat menggangu aktivitas kehidupan sehari- hari.
Dampak yang dialami oleh siswa tunarungu tersebut menyebabkan siswa membutuhkan pelayanan pendidikan yang berbeda dengan siswa
normal lainnya. Sejalan dengan pendapat Suparno 2001:9 secara pedagogis tunarungu dapat diartikan sebagai suatu kondisi
ketidakmampuan seseorang dalam mendapatkan informasi secara lisan, sehingga membutuhkan bimbingan dan pelayanan khusus dalam
belajarnya di sekolah. Ketidakmampuan siswa tunarungu dalam memperoleh informasi secara lisan berpengaruh pada proses penyediaan
layanan bagi siswa di sekolah. Diperkuat oleh pendapat Smith Tyler 2010:336 Deafness means a hearing impairment that is so severe that the
child is impaired in processing linguistic imformation through hearing, with or without amplification, that adversely affects a child’s educational
performance. Pendapat Smith Tyler tersebut dapat dimaknai bahwa tuli merupakan gangguan pendengaran yang sangat berat sehingga siswa
terganggu dalam proses pemerolehan informasi dalam bentuk bahasa dan mempengaruhi proses pendidikan siswa.
2. Karakteristik Siswa Tunarungu
Orang yang mengalami gangguan pendengaran dapat dideteksi dengan mengamati ciri-ciri dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ciri-ciri
tersebut menurut Ahmad Wasita 2012: 24 adalah sebagai berikut.
14
a. Sering keluar cairan dari liang telinga.
b. Bentuk daun telinga tidak normal.
c. Sering mengeluh gatal atau sakit di liang telinga.
d. Jika bicara selalu melihat gerakan bibir lawan bicara.
e. Sering tidak bereaksi jika diajak bicara kurang keras.
f. Selalu minta diulang dalam pembicaraan.
Pendapat tersebut menekankan bahwa ciri siswa tunarungu dalam segi fisik seperti bentuk daun telinga yang abnormal, sering keluar cairan,
telinga merasa gatal, dan rasa sakit di liang telinga. Kemampuan berbahasa siswa ketika diajak berbicara selalu melihat lawan bicara, tidak
merespon lawan bicara apabila diajak berbicara kurang keras dan selalu meminta mengulangi pembicaraan karena siswa tunarungu sulit untuk
menangkap makna yang sedang dibicarakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suparno 2001:14 beberapa karakteristik yang umumnya
dimiliki oleh siswa tunarungu antara lain: a miskin kosa kata, b sulit mengungkapkan kata yang abstrak, c sulit memahami kalimat yang
kompleks atau panjang dan bentuk kiasan, dan d kurang menguasai irama dan gaya bahasa.
Hambatan dalam berbahasa tersebut yang membedakan karakteristik antara siswa normal dengan siswa tunarungu. Diperkuat oleh pendapat
yang dikemukakan oleh Van Uden dalam Edja Sadjaah, 2015: 97 siswa tunarungu menampakan suatu karakteristik yang khas dari siswa normal
yang meliputi: a memiliki sikap ego-centris yang lebih tinggi, b memiliki perasaan takut dan cemas, c memiliki perasaan lebih dependen atau
terbuka terhadap orang yang sudah dikenalnya, d perhatian sulit
15
dialihkan, e lebih terpusat pada sesuatu yang konkret, f sulit untuk diajak berangan-angan, g umumnya memiliki sifat polos, sederhana, dan tidak
banyak permasalahan yang dihadapi, h mudah tersinggung dan marah, dan i memiliki konsep tentang hubungan yang kurang.
Karakteristik siswa tunarungu seperti yang dikemukakan oleh Van Uden di atas merupakan karakteristik perilaku siswa dalam kegiatan
sehari-hari yang mencakup beberapa aspek kehidupan yaitu sosial, kepribadian, bahasa, dan inteleqensi. Sejalan dengan karakteristik siswa
tunarungu menurut Permanarian Somad Tati Hernawati 1995:35 yang meliputi: a inteleqensi siswa tunarungu umumnya normal, tetapi
perkembangan inteleqensinya tidak berkembang secepat anak normal karena keterbatasan kemampuan mendengar, b perkembangan bahasa dan
biacara siswa tunarungu yang mengalami hambatan hanya sampai pada masa meraban sehingga kemampuan berbahasa dan bicara berbeda serta
lebih rendah dari anak normal, dan c emosi siswa tunarungu yang sulit dikendalikan seperti mudah tersinggung, perasaan takut akan lingkungan
yang luas, egosentrisme yang tinggi, dan memiliki sikap ketergantungan pada orang lain dikarenakan adanya hambatan dalam pemerolehan
informasi. Berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa karakteristik
siswa tunarungu adalah keterlambatan dalam berbahasa yang mencakup minimnya kosa kata, sulitnya berfikir abstrak, dan sulit memahami kalimat
yang kompleks. Hambatan dalam berbahasa tersebut membawa dampak