1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Amandemen konstitusi yang terjadi, setelah jatuhnya Orde Baru, merupakan salah satu wujud dari gerakan reformasi. Langkah tersebut dianggap
juga sebagai tindakan nyata reformasi kelembagaan yang dibutuhkan dalam praktek konsolidasi demokrasi setelah mengalami fase pemerintahan otoriter
Orde Baru. Sejak itu, bangsa Indonesia memasuki fase kehidupan politik yang lebih terbuka dan demokratis dan ditandai dengan pulihnya hak-hak sipil dan
politik. Perubahan mendasar yang terjadi dalam amandemen UUD 1945 diantaranya adalah rekrutmen pejabat negara, baik yang duduk di legislatif
maupun eksekutif, pusat maupun daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Pemilihan umum diakui sebagai sebuah arena untuk membentuk pemerintahan demokrasi perwakilan serta menggelar pergantian pemerintahan
secara berkala dan damai. Dalam sistem politik demokrasi, salah satu unsur pentingnya adalah penyelenggaraan pemilihan umum anggota legislatif dan
kepala eksekutif di tingkat nasional dan lokal harus dilakukan secara bebas dan adil. Pemilihan umum juga merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi
atau kontestasi antaraktor politik untuk meraih kekuasaan, partisipasi politik rakyat untuk menentukan liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara
1
. Urgensi pemilu dalam sistem politik demokrasi, setidaknya dilandasi atas
empat argumentasi. Pertama, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada penyelenggara
negara, baik yang duduk dalam lembaga legislatif maupun eksekutif di pusat dan daerah. Mereka ini bertindak atas nama rakyat dan mempertanggung-
jawabkannya kepada rakyat. Kedua, pemilihan umum merupaka prosedur dan
1
Pengertian ini dapat dilihat secara lebih detail dalam Robert A. Dahl. 1985. Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol. Jakarta: Rajawali Press. hal.8-10. Lihat juga dalam Larry
Diamond. 2003. Developing Democracy Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE. hal 4-7.
Universitas Sumatera Utara
2 mekanisme pemindahan perbedaan aspirasi dan pertentangan kepentingan dari
masyarakat ke dalam penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah, untuk kemudian dibicarakan dan diputuskan secara beradab. Ketiga, pemilihan
umum merupakan prosedur dan mekanisme perubahan politik secara teratur dan tertib, dilakukan secara periodik baik perubahan sirkulasi elit politik maupun
perubahan arah dan pola kebijakan publik. Keempat, pemilihan umum juga dapat digunakan sebagai prosedur dan mekanisme engineering untuk mewujudkan
tatanan politik dan pola prilaku politik yang disepakati.
2
Karena itu, pentingnya melihat pemilu sebagai bentuk perubahan kelembagaan politik yang diatur dalam UUD 1945, dan diberlakukan baik pada
tingkat nasional maupun lokal. Untuk perubahan pengaturan institusi politik di tingkat lokal dilakukan sebagai bentuk akomodasi tuntutan lokal agar dapat
menjamin pelaksanaan otonomi yang lebih luas dalam manajemen sumber- sumber daya lokal serta mengalokasikan pelaksanaan kekuasaan ekonomi dan
politik. Di dalam Pasal 18 UUD 1945 diatur tentang kewenangan daerah propinsi dan kabupatenkota dalam mengatur dan mengurus kepentingan sendiri otonomi
daerah bukan karena pemberian pemerintah pusat ataupun pendelegasian kewenangan pemerintahan dari presiden, melainkan merupakan pengakuan
negara. Berbagai urusan pemerintahan telah didesentralisasikan ke daerah- daerah diantaranya adalah pemilihan kepala daerah hukum di provinsi dan
kabupatenkota secara langsung. Dengan disahkannya UU No. 322004 tentang Pemerintahan Daerah,
maka sejak Juni 2005 pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat. Ini melengkapi pengalaman pemilu legislatif dan presiden yang
berlangsung tahun 2004 dengan UU No. 122003 dan UU No. 232003. Sejalan dengan semangat konstitusi yang menegaskan penggunaan sistem presidensil,
di tingkat nasional presiden dipilih langsung, maka di daerah pun sebagai sub sistem dalam memilih gubernurbupatiwalikota juga mengikuti pola tersebut,
dipilih langsung oleh rakyat. Politik desentralisasi yang didesain tersebut menegaskan tentang perubahan yang signifikan terhadap peran rakyat dalam
rekrutmen pejabat publik maupun dalam kebijakan publik. Karena kebijakan
2
Ramlan Surbakti. 2003. “Demokrasi Menurut Pendekatan Kelembagaan Baru”. Jurnal Ilmu Pemerintahan. Edisi 19 Tahun 2003. hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
3 desentralisasi sebelumnya di bawah UU No. 291999 menentukan kepala daerah
yang dipilih sepenuhnya oleh DPRD, bukan oleh rakyat secara langsung. Situasi politik pada saat itu memunculkan kekecewaan beberapa elemen masyarakat
karena tidak berjalannya fungsi DPRD sebagai wakil rakyat. Diantara fungsi yang tidak berjalan adalah menyerap aspirasi rakyat untuk menentukan siapa yang
bakal menjadi pemimpinnya. Karena itu, proses politik di daerah masih didominasi oleh DPRD. Posisi rakyat masih marjinal, yang ditandai dengan
tersumbatnya aspirasi rakyat dalam proses pemilihan kepala daerah. Akibat selanjutnya dari proses pemilihan kepala daerah dalam praktiknya sarat dengan
persoalan seperti money politics, konflik antara massa dan aparat, maupun konflik antara pendukung calon kepala daerah.
3
Atas dasar itu dan karena adanya perubahan sistem pemilu legislatif dan pemilihan langsung presiden
maka diikuti juga dengan pemilihan kepala daerah secara langsung pula. Praktiknya baru terwujud setelah dilakukannya revisi UU No. 221999 menjadi
UU No. 322004 tentang Pemerintah Daerah. Ketika awal diberlakukannya pemilihan kepala daerah pilkada langsung,
antusiasme masyarakat menyongsongnya tampak begitu tinggi. Situasi ini tidak saja karena adanya kesempatan bagi masyarakat untuk memilih dan
menentukan secara langsung kepala daerahnya, melainkan juga berkenaan dengan begitu besarnya harapan atau ekspektasi terhadap para kepala daerah
hasil pilkada langsung. Akumulasi kekecewaan terhadap praktik pemerintahan lokal selama sekitar lima tahun terakhir tampaknya menjadi faktor penting di balik
harapan besar masyarakat tersebut. Hasil jajak pendapat yang dilakukan Kompas, pada awal-awal
diberlakukannya pilkada langsung yakni Februari 2005, terhadap sekitar 1000 responden di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua menunjukkan
tingginya harapan masyarakat akan munculnya kepala daerah yang lebih berkualitas dalam pilkada langsung mendatang.
4
Tingginya angka harapan itu mencapai 90,9 persen di Kalimantan, 84,1 persen di Sumatera, 82,9 persen di
Sulawesi, 71,1 persen di Jawa, dan 64,3 persen di Papua. Namun, dalam waktu
3
Beberapa kasus pemilihan kepala daerah oleh DPRD tahun 2000 lihat “Evaluasi Otonomi Daerah”. dalam Kompas, 30 Desember 2001. hal 6.
4
Lihat “Pilkada di Bawah Bayangan Primordialisme”. dalam Kompas.14 Februari 2005. hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
4 dua bulan ke depan atau April 2005, jajak pendapat yang dilakukan di media
yang sama menunjukkan kecenderungan yang menurun bahkan dengan persentase yang cukup drastis. Tingka keyakinan masyarakat terhadap
kemampuan kepala daerah hasil pilkada langsung merosot tinggal 49,1 persen. Sebagian masyarakat lainnya, dalam persentasi hampir berimbang 43,4
persen, memberikan penilaian ”tidak yakin” bahwa kepala daerah hasil pilkada mendatang mampu memperbaiki kehidupan demokrasi di daerah.
5
Hasil jajak pendapat tersebut mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepala daerah hasil pilkada langsung. Hal ini
dimungkinkan karena berkaitan dengan kekecewaan banyak pihak terhadap format pilkada langsung. Terdapat beberapa asumsi yang menyebabkan
fenomena politik lokal ini terjadi. Pertama, pemilihan secara langsung ternyata tidak memutus mata rantai oligarki partai yang harus diakui cenderung mewarnai
kehidupan partai-partai di DPRD. Kepentingan partai-partai dan bahkan kepentingan segelintir elit partai acapkali dimanipulasi sebagai kepentingan
kolektif masyarakat.
6
Praktek-praktek seperti ini sebenarnya mengindikasikan adanya kepentingan lama yang cukup terbina pada masa Orde Baru, karena
semua keputusan dilakukan oleh elit-elit tertentu yang memiliki kekuasaan politik, perbedaannya hanya pada besaran ruang lingkupnya.
Kedua, pilkada langsung belum juga menurunkan praktik-praktik tentang fenomena korupsi, kolusi, dan politik uang antara para calon, partai politik, dan
DPRD di balik proses pemilihan kepala daerah.
7
Fenomena ini disinyalir terjadi karena adanya kepentingan tertentu dari kelompok dan pribadi sebagai akibat
dari kesepakatan yang dibangun pada saat proses pilkada berlangsung. Ketiga, pilkada langsung memunculkan indikasi kuat munculnya kepentingan-
kepentingan lama yang didasarkan atas pertarungan yang tajam, keras, dan
5
Lihat “Kualitas Calon Pemimpin Daerah Diragukan”, dalam Kompas. 9 April 2005. hal. 8.
6
Tentang kecenderungan munculnya oligarki partai dalam kehidupan politik lokal era reformasi, lihat misalnya, Moch. Nurhasim. ed. 2002. Kualitas Keterwakilan Politik: Kasus Sumbar, Jateng,
Jatim, dan Sulsel. Jakarta: Pusat Penelitian Politik. LIPI.
7
Dalam catatan Indonesian Corruption Watch ICW, DPRD dan Pemda merupakan salah satu aktor utama korupsi di Indonesia, Lihat, “DPRD dan Pemda Aktor Utama Korupsi di Indonesia”,
dalam Kompas, 18 Februari 2006.
Universitas Sumatera Utara
5 berkepanjangan diantara elit-elit lokal yang sejatinya berasal dari kekuatan lama
yang dipupuk pada masa Orde Baru.
8
Realitas tersebut kemudian menimbulkan persoalan baru bagi demokratisasi yang sedang dibangun di Indonesia terutama di tingkat lokal.
Format pilkada langsung yang diharapkan dapat memenuhi tuntutan praktik demokrasi yang lebih substansial sekaligus memastikan bahwa desentralisasi
serta otonomi daerah diselenggarakan secara lebih berkualitas masih menjadi pertanyaan besar.
Terdapat implikasi positif dan negatif atau setidaknya terdapat gejala anomali yang terjadi dalam praktek politik lokal di Indonesia. Implikasi positipnya
antara lain adalah munculnya partisipasi politik rakyat misalnya kebebasan pada pemilu. Sedangkan, implikasi negatif atau setidaknya anomali yang terjadi dalam
penyelenggaraan demokrasi adalah bahwa demokrasi yang dibangun di negeri ini hanya sebatas pada demokrasi formal yang dibangun sejak akhir 1990-an.
Namun, pengembangan unsur-unsur demokrasi yang lebih substantif – seperti aturan main, prosedur dan institusi demokratik perlu didukung oleh suatu budaya
demokrasi yang sering diperankan oleh kemampuan elit dalam menterjemahkan kebijakan-kebijakan politik – belum berjalan dengan baik. Akibatnya sering
terjadi kelumpuhan politik salah satu penyebabnya adalah karena munculnya kepentingan-kepentingan lama yang telah dipupuk di bawah patronase Orde
Baru. Gejala negatif atau anomali ini menjadi penting untuk dicermati dalam rangka membangun demokrasi yang lebih substantif.
Kelompok-kelompok yang berada di bawah patronase Orde Baru itu bisa berbentuk institusi atau perorangan yang berfungsi sebagai penjaga kepentingan
ekonomi dan politik mereka. Salah satu bentuk institusi tersebut adalah organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila, FKPPI, dan lain sebagainya,
sedangkan perorangan adalah pengusaha yang bergantung pada kontrak negara. Ketika terjadi perubahan politik di Indonesia tahun 1997, dengan tingkat
adaptasi yang sangat baik mereka masuk ke dalam sistem demokrasi prosedural yang baru itu. Proses adaptasi tersebut terjalin dari tingkat nasional sampai ke
8
Tentang fenomena ini lihat Lihat Vedi R, Hadiz. 2005. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. LP3ES, Jakarta.hal 235-253.
Universitas Sumatera Utara
6 tingkat lokal.
9
Meskipun di tingkat lokal terjadi perubahan desain desentralisasi, namun mereka dapat menjadi bagian dari desain tersebut. Perubahan itu juga
cenderung mengabaikan secara empiris tentang kepentingan yang melekat dalam lembaga-lembaga politik lokal itu dan pengaruhnya terhadap jalannya
pemerintahan lokal. Adanya indikasi mengenai pertarungan yang tajam, keras dan berkepanjangan di antara koalisi-koalisi kepentingan yang lebih luas
sehingga dapat menyebabkan proses perubahan desentralisasi memiliki masalah tersendiri dalam mengembangkan demokrasi yang substantif tersebut
10
. Diantara permasalahan itu adalah adanya kepentingan dari elit lama yang berperan.
Desain desentralisasi memiliki banyak hal yang sama dengan teori modernisasi gaya lama, yang sangat mengandalkan inisiatif elit-elit teknokrat-birokrat atau
golongan pengusaha dengan versi kontemporer yang berkedok sebagai teori pilihan rasional dan teori modal sosial
11
. Artinya, bahwa peran elit menjadi penting dalam politik desentralisasi di Indonesia.
Vedi R. Hadiz kemudian menyatakan bahwa politik desentralisasi banyak diperankan oleh mereka yang menduduki lapis bawah dari jaringan patronase
Orde Baru yang menggurita itu
12
. Terutama untuk kepentingan ekonomi seperti penguasaan pekerjaan di daerah yang bersumber dari APBD dan APBN,
sedangkan kepentingan politik seperti memenangkan pemilu DPRD dan pemilihan kepala daerah pilkada langsung. Masa Orde Baru jaringan ini
menyebar dari Istana Cendana hingga ke daerah-daerah, kota-kota dan desa- desa. Kendati sistem sentralisasi ini tidak ada lagi, namun elemen-elemennya
telah menata kembali diri mereka di dalam jaringan patronase baru yang bersifat desentralistik, lebih cair dan saling bersatu satu sama lain. Bahkan deretan
kepentingan yang sekarang memperebutkan kekuasaan di tingkat lokal tampak
9
Mengenai pandangan ini banyak kajian atau tulisan-tulisan tentang perkembangan politik lokal di Indonesia sejak 1998, terutama kajian mengenai hasil-hasil Pemilu legislatif 2004 dan Pilkada
yang dilaksanakan di beberapa tempat kabupaten dan kota di Indonesia. Lihat misalnya Pradjarta Dirdjosanjata dan Nico L Kana. eds. 2006, Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004, Pustaka
Pelajar, Yogyakartarta.
10
Dari evaluasi penyelenggaraan otonomi daerah, terdapat beberapa kasus yang lebih banyak disebabkan karena permainan kepentingan elit lokal misalnya konflik paska pilkada sebanyak
65, perburuan akses sumber daya ekonomi di daerah 22, serta isu-isu lainnya 13. Lihat Kompas, 3 Juli 2007, Evaluasi Otonomi Daerah.
11
Ben Fine. 2001. Social Capital Versus Social Theory: Political Economy and Social Science at the Turn of the Millennium. London; Routledge.
12
Vedi R, Hadiz. Op. Cit. hal 242.
Universitas Sumatera Utara
7 lebih bervariasi daripada masa Orde Baru
13
. Di dalamnya termasuk para pialang dan bandar politik yang ambisius, birokrat negara yang lihai, kelompok-kelompok
pebisnis baru yang berambisi tinggi, serta beraneka ragam gengster politik, kaum kriminal, dan barisan keamanan sipil
14
. Kebanyakan dari kelompok ini dibesarkan oleh rezim lama sebagai operator dan pelaksana di lapangan. Mereka ini
kemudian menjadi elit-elit yang berperan dalam proses keberhasilan dan kegagalan dari pembangunan demokrasi di tingkat lokal yang sedang dilakukan
di Indonesia. Di bawah Orde Baru, sudah menjadi rahasia umum bahwa kekuasaan elit
lokal, seperti yang disebutkan di atas, juga bersumber dari kedekatan mereka dengan komandan militer lokal. Hal ini memungkinkan mereka untuk
menjalankan aktivitas-aktivitas menguntungkan seperti perjudian dan jaringan perlindungan yang kebal hukum. Perubahan kedudukan militer sejak reformasi
tidak berarti putusnya keterkaitan ini. Dalam perjalanan sepuluh tahun reformasi dan gejala politik desentralisasi yang telah dilaksanakan dengan berbagai revisi
dari UU No. 221999 ke UU No. 322004 tentang pemerintahan daerah maka gejala politik lokal diwarnai dengan interaksi politik dan kepentingan lokal yang
lebih banyak diperankan oleh elit-elit yang tidak termasuk dalam kategori pembangunan demokrasi formal yang bersifat linier tersebut. Perkembangan dari
penataan institusi lokal kebanyakan tidak mencerminkan situasi politik yang menguntungkan bagi masyarakat lokal. Sulit untuk membayangkan bahwa elit-
elit dengan
kategori tersebut
ternyata mendapatkan
tempat yang
menguntungkan di bidang politik.
1.2. Perumusan Masalah