Tujuan Penelitian Skema Analisis Keterbatasan Penelitian

12 Kelima, pengerahan massa dan penggunaan kekerasan. Pengerahan massa berkaitan tentang besarnya jumlah massa yang diorganisir dengan identitas fisik yang selalu digunakan oleh organisasi pemudapreman seperti baju seragam atau atribut lain dalam kegiatan pilkada langsung di kota Medan. Sedangkan penggunaan kekerasan dilihat dari adanya ancaman fisik seperti penculikan, pembunuhan, dan lain-lain atau non fisik seperti intimidasi, pelecehan, dan lain-lain yang dilakukan terhadap lawan-lawan politik baik pada tingkat elit dan masyarakat bawah. Keenam, melakukan penguasaan opini media dengan cara melakukan kontrol langsung terhadap pemberitaan media. Ini dilakukan agar segala peristiwa yang berkaitan dengan pemilihan walikota dapat dikendalikan. Suara pers yang kritis diharapkan dapat dikontrol dengan cara ”membeli” tulisan para wartawan atau pimpinan media massa. Untuk memudahkan peneliti melihat enam indikator yang diuraikan di atas dalam menjelaskan keterlibatan organisasi pemuda dalam arena pilkada langsung di kota Medan tahun 2005. Maka pertanyaan penelitian yang hendak dijawab dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dari keenam indikator yang diuraikan di atas, bentuk keterlibatan manakah yang sering dilakukan oleh organisasi pemuda dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan? 2. Siapa tokoh dan organisasi pemuda mana yang berpengaruh pada saat Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan? 3. Mengapa organisasi pemuda terlibat dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan fakta-fakta tentang keterlibatan organisasi pemudapreman PP, IPK, dan FKPPI di kota Medan Universitas Sumatera Utara 13 dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjelaskan argumentasi yang mendasari keterlibatan organisasi pemudapreman dalam kasus Pemilihan Kepala Daerah Langsung tahun 2004 kota Medan dengan menggunakan desain studi kasus. Dari informasi itu, maka akan didapat cara-cara atau model yang digunakan. Kemudian akan didapat juga informasi bahwa organisasi pemudapreman yang sangat eksis pada masa Orde Baru itu ternyata mengalami atau tidak mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri pada saat terjadi perubahan politik yaitu ketika mekanisme pemilihan kepala daerah diubah secara langsung pada tahun 2005 di kota Medan.

1.4. Kerangka Teori

Untuk mengkaji keterlibatan politik yang dilakukan organisasi pemuda dalam penelitian ini maka akan dibahas beberapa teori yang berkaitan dengan politik lokal dan sumber kekuasaan, kelompok elit dalam politik, demokratisasi, partai politik dan kelompok kepentingan dalam pilkada serta penjelasan tentang organisasi preman.

1.4.1. Politik Lokal dan Sumber-Sumber Kekuasaan

Politik lokal bukan hanya berurusan pada soal-soal administrasi publik atau menekankan pada hubungan legal-formal pemerintahan semata. Selama ini, diskusi mengenai politik lokal penekanannya hanya pada pemerintahan lokal hasil dari suatu pemilihan umum saja atau pemilihan kepala daerah saja. Meskipun memiliki keterkaitan, namun pandangan legal-formal seperti itu memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk memahami politik lokal secara lebih utuh. Politik lokal mencakup soal yang luas, misalnya aspek ekonomi, politik, dan sosial 22 . Garry Stoker. 1991. The Politics of Local Government. Second Edition. London: The MacMillan Press Ltd Houndmills. Besing Stoke. Hampshir. hal. 230. Universitas Sumatera Utara 14 Teori dan pendekatan atas politik lokal tergantung pada latar belakang akademik dan ”mazhab” yang dianut. Paling tidak terdapat dua perspektif untuk menjelaskan politik lokal yaitu pendekatan pluralisme dan pendekatan marxist. Pendekatan pluralisme menjelaskan bahwa negara dijadikan sebagai tempat untuk memahami dan menjelaskan beragam kegiatan kelompok yang menuntut adanya pembagian kekuasaan seperti misalnya melalui pemilihan umum. Sedangkan pendekatan marxist melihat bahwa kekuasaan berada pada satu kelompok tertentu yang sangat dominan dan tidak menyebar serta memandang bahwa negara dipandang sebagai institusi yang tidak netral. Dari dua pendekatan itu, studi ini ingin menggunakan pendekatan pluralisme untuk melihat kekuasaan yang ada di masyarakat lokal. Dari perspektif pluralisme, pilkada langsung diharapkan dapat mendukung tumbuhnya demokrasi dan berjalannya pemerintahan lokal yang dekat dengan rakyat, karena partisipasi masyarakat lokal dilibatkan secara luas. John Steward menyatakan bahwa memperkuat demokrasi lokal sangat penting untuk mengatasi masalah-masalah yang disebabkan karena kuatnya sentralisasi negara. 23 Agar demokrasi lokal memiliki kualitas maka pejabat lokal harus dipilih dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat lokal secara luas begitu juga ketika mengambil keputusan. Stewart juga menjelaskan cara-cara yang harus dilakukan oleh pejabat lokal tersebut adalah dengan membuat pendidikan politik bagi rakyat kelas bawah, membuat keputusan yang bersifat lokal, dan melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Karena itu, peran local leader dan informal leader menjadi penting untuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal. 24 Kepala daerah, dengan demikian, harus mengenali masyarakatnya sendiri yang plural dan multikultural serta selalu menyediakan media untuk memfasilitasi perbedaan- perbedaan tersebut. Pilkada langsung dalam konteks politik lokal, diharapkan dapat memperkuat kedudukan kepala daerah sekaligus mengurangi intervensi DPRD agar ”transaksi politik” yang melahirkan ”money politics” dapat dimimalisir. Namun, yang terjadi di berberapa negara-negara berkembang, praktek pemilihan 23 John Stewart. 1996. “Democracy and Local Government”. dalam Paul Hirst and Sunil Khilnani eds. 1996. Reinventing Democracy, Oxford: Blackwell Publisher. hal. 39. 24 Ibid. Universitas Sumatera Utara 15 kepala daerah secara langsung justru menjadi penyebab kasus-kasus korupsi dan ketidakefektifan pemerintahan daerah. Secara teoritik, hal tersebut dapat dijelaskan dari karakteristik elit politik lokal di negara-negara berkembang. Oleh Manor dan Crook, elit politik lokal dicerminkan dengan apa yang disebut sebagai ”close knit power”, yaitu kekuasaan yang cenderung tertutup dan didominasi oleh sekelompok elit. 25 Tidak adanya oposisi yang kuat menyebabkan distribusi kekuasaan selalu didominasi oleh kelompok-kelompok yang sudah tertentu. Itu sebabnya, terjadi kooptasi kekuasaan oleh segelintir penguasa. Di sinilah pendekatan pluralisme menjadi penting yaitu bahwa negara dijadikan sebagai tempat untuk memahami dan menjelaskan beragam kegiatan kelompok yang menuntut adanya pembagian kekuasaan seperti misalnya melalui pemilihan umum. Atas dasar itu, studi ini hendak menggunakan pendekatan pluralisme dengan melihat kekuasaan sebagai titik sentralnya. Untuk membahas tentang kekuasaan tersebut, maka akan dilihat sumber-sumber kekuasaan dan cara-cara untuk memperoleh serta mempertahankan kekuasaan. Perjalanan kekuasaan yang efektif bergantung pada tipe-tipe sumber kekuasaan yang tersedia. Untuk memperoleh kepatuhan, para pemimpin politik biasanya memperluas persediaan sumber daya mereka dan menggunakan secara lebih efisien sumber daya yang telah mereka miliki. Sumber-sumber kekuasaan harus dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang agar dapat menggunakan kekuasaan itu. Sumber-sumber kekuasaan itu dapat berupa kedudukan, kekayaan, kepandaian atau keterampilan, dan kepercayaan atau agama. 26 Sementara Charles F. Andrain membedakan lima tipe sumber daya kekuasaan yaitu sumber daya fisik, ekonomi, keahlian dan personal. Dengan menggunakan sumber-sumber kekuasaan itu, seseorang atau sekelompok orang dapat mempengaruhi orang lain untuk mengikuti kehendak atau keinginannya. Andrain juga menjelaskan perbedaan motif kepatuhan dalam masing-masing tipe sumber daya kekuasaan. 25 Dikutip dari Eko Prasojo. “Otonomi Daerah, Pilkada Langsung dan Democratic Decentralization. dalam M. Zaki Mubarak, M. Agus Susilo, Agung Pribadi. eds. 2006 Blue Print Otonomi Dareah Indonesia. Jakarta: The YHB Center. 26 Miriam Budiardjo. 1984. “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Pustaka”. dalam Budiardjo. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Gramedia. hal. 13. Universitas Sumatera Utara 16 Tipe-tipe sumber kekuasaan dan motif kepatuhan tersebut, dijelaskan Andrain, dapat dilihat dalam tabel 1.1. di bawah ini. Tabel 1.1: Tipe-Tipe Sumber Kekuasaan 27 Tipe Sumber Daya Contoh Sumber Daya Motivasi untuk Mematuhi Fisik Senjata: senapan, bom, rudal B “berusaha menghindari cedera fisik” yang disebabkan oleh A Ekonomi Kekayaan, pendapatan, kontrol atas barang dan jasa B “berusaha memperoleh kekayaan” dari A Normatif Moralitas, kebenaran, tradisi, relijius, legitimasi, wewenang B “mengakui bahwa A mempunyai hak moral untuk mengatur” prilaku B Personal Karisma pribadi, daya tarik, persahabatan, popularitas B “mengidentifikasi diri merasa tertarik” dengan A Ahli Informasi, pengetahuan, intelejensi, keahlian teknis B “merasa bahwa A mempunyai pengetahuan dan keahlian yang lebih” Keterangan: A adalah pemegang kekuasaan, B merupakan objek kekuasaan. Dari sumber-sumber kekuasaan yang dikemukakan oleh Andrain, maka sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi pemuda itu PP, IPK, dan FKPPI berasal dari fisik dan ekonomi. Aspek fisik karena para pimpinan organisasi pemuda itu sering sekali menggunakan senjata sebagai kekuatan ancaman terhadap orang lain premanisme. Dari sisi ekonomi, kekuasaan diperoleh dengan memberikan pekerjaan kepada para pemuda yang tidak memiliki pekerjaan sebagai penjaga keamanan, petugas parkir atau sebagai penjual lotre perjudian seperti KIM, togel dan lain sebagainya. Fenomena tersebut hampir mirip dengan teori local strongmen yang dikemukakan oleh Migdal serta teori John T. Sidel tentang bossism. Jika merujuk pada Migdal tentang kemunculan local strongmen, salah satu sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi pemudapreman diantaranya adalah dari kekayaan yang dimiliki oleh pimpinannya sebagai tuan tanah atau orang kaya. 28 Migdal mencoba menerangkan tentang orang kuat lokal yang berhasil melakukan kontrol sosial. Dalam konteks ini, Migdal mengatakan: ”... Mereka berhasil menempatkan diri atau menaruh anggota keluarga mereka pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber- sumber daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang 27 Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Tiara Wacana. Yogya. hal. 132. 28 Lihat Joel S. Migdal. 1988. Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World. New Jersey: Princenton University Press. hal. 13. Universitas Sumatera Utara 17 menurut aturan-aturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibu kota atau dikeluarkan oleh pelaksana peraturan yang kuat”. 29 Mengenai fenomena orang kuat lokal tersebut, Migdal memiliki tiga argumentasi yang saling berkaitan. Pertama, orang kuat lokal tumbuh subur di dalam masyarakat ”mirip jaringan” yang digambarkan sebagai ”sekumpulan campuran melange organisasi-organisasi sosial nyaris mandiri” dengan kontrol sosial yang efektif ”terpecah-pecah”. Pola kontrol sosial khusus terpecah-pecah ini, menurut dugaan, acapkali diakui melebur dalam pemerintahan kolonial dan penyatuannya di dalam perkuburan kelas-kelas pemilik tanah besar. Singkat kata, berkat struktur masyarakat mirip jaringan, orang kuat lokal memperoleh pengaruh signifikan jauh melampaui pengaruh para pemimpin negara dan para birokrat lokal yang digambarkan Migdal sebagai ”segitiga penyesuaian”. 30 Kedua, orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan menyertakan beberapa komponen penting yang dinamakan ”strategi bertahan hidup” penduduk setempat. Dengan kondisi seperti itu, orang kuat bukan saja memiliki legitimasi dan memperoleh banyak dukungan di antara penduduk lokal, tetapi juga hadir untuk memenuhi kebutuhan pokok dan tuntutan para pemilih atas jasa yang diberikan. Para penulis yang diilhami Migdal cenderung membingkai diskusi mereka dengan istilah ”personalisme”, ”klientisme”, dan ”hubungan patron-klien”. Pola ini kemudian juga terjadi karena orang kuat lokal ditempatkan sebagai patron yang memberi kebaikan personal bagi klien yang melarat dan para pengikut di daerah kekuasaan mereka. Ketiga, berhasilnya orang kuat lokal ”menangkap” lembaga-lembaga dan sumber daya negara merintangi atau menyetujui upaya pemimpin negara dalam melaksanakan pelbagai kebijakan. Orang kuat lokal membatasi otonomi dan kapasitas negara, penyebab kelemahan negara ”dalam menjalankan tujuan berorientasi perubahan sosial, serta memperbesar ketakterkendalian dan kekacauan. Sepanjang keberhasilan strategi industrialisasi dan pertumbuhan amat tergantung pada penyusunan dan pelaksanaan kebijakan negara yang saling bertautan efektif. 29 John T Sidel, “Bosisme …… op. cit. hal. 256. 30 Migdal. Op. Cit., hal. 238-258. Universitas Sumatera Utara 18 Berbeda dengan Migdal, Sidel melihat bahwa fenomena yang disebutnya sebagai Bosisme merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Ia melihat bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman. 31 Tabel 1.2: Perbandingan Kerangka Teori Migdal dan Sidel tentang Kemunculan Local Strongmen dan Bossism 32 VariabelIndikator Migdal Sidel Terminologi Local Strongmen Bossism Keadaan Sosio Kultural Negara-negara yang baru merdeka Semua negara dan semua tempat di mana sesuatu yang sangat dibutuhkan masyarakat langka Sumber legitimasi Figuritas dan Mistis Memfigurkan dan memistikan seseorang dengan jalan memberikan hal-hal yang dibutuhkan masyarakat seperti: 1. tempat tinggal 2. makanan 3. hubungan sosial, 4. perlindungan Figuritas dan Kewibawaan Memfigurkan kewibawaan dan figuritas dilakukan dengan cara: 1. menguasai modal 2. tekanan 3. kejahatan Posisi negara Lemah Kuat Alasan terbentuk Struktur masyarakat yang fragmentasi Sengaja diciptakan dilindungi oleh negara Peranan Kebanyakan sebagai musuh pemerintah pusat karena kepentingannya selalu berseberangan dengan para local strongmen Kebanyakan sebagai broker pemerintah pusat. Kepentingan keduanya selalu bertemu dan saling mengambil keuntungan. Aktor Tuan tanah, orang kaya, pemimpin tradisional Birokrat, tentara, pengusaha, orang kaya, dan semua orang yang 31 Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme …..” Op. Cit. hal. 72-74. 32 Kerangka tabel tersebut dikutip dari Lili Romli. 2007. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten 2001-2006”. Disertasi. Departemen Ilmu Politik Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok. hal. 26-27. Universitas Sumatera Utara 19 menguasai sebuah arena di dalam masyarakat itu sendiri. Industrialisasi Menghambat Mempercepat Hasil keberadaan local strongmenbossism 1. legitimasi 2. dukungan 3. kebutuhan ketergantungan 4. hubungan patron- klien 1. legitimasi 2. dukungan 3. ketergantungan 4. ketakutan 5. hubungan patron-klien Sumber: Migdal, 1998. Strong Societies and Weak States: State Society Relations and State Capabilities in the Third World. New Jersey: Princenton University Pres; dan Sidel. 1999. Capital, Coercion, and Crime: Bossism in the Phillipines. Stanford California: Stanford University Press. Tentang perkembangan bossism di Indonesia, Sidel melihat bahwa itu terjadi seiring dengan melemahnya kontrol Pusat terhadap daerah paska jatuhnya Orde Baru. Kebijakan desentralisasi telah mengakhiri kontrol efektif pusat yang mencegah pejabat-pejabat sipil dan perwira-perwira menengah militer untuk membangun wilayah kekuasaan lokal tersendiri yang mandiri. Ini telah memberikan ruang yang sangat leluasa bagi para pialang politik ini untuk memperoleh dan mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan. 33 Dalam kasus di Banten misalnya, pola hubungan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, dan aparat dalam mengusai politik lokalnya didasarkan atas dua, yaitu hubungan patron klien dan berdasarkan hubungan simbiosis mutualisme. Kontrol yang dilakukan oleh tokoh Jawara di Banten dilakukan terhadap pejabat publik dan civil society. 34 Berkembangnya bossism lokal tersebut di sisi lain menunjukkan ketiadaan salah satu nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai dengan penerapan kebijakan desentralisasi, yaitu political equality. Konsep ini menyangkut tiga macam hubungan yaitu antarpemerintah intergovernmental relation, antara negara dan masyarakat state society relation; dan antara masyarakat dan masyarakat society-society relation. Hubungan antarpemerintah meliputi kesetaraan antarlevel pemerintahan, baik secara vertikal maupun horizontal, dalam kewenangan mengatur dan mengurus. 33 T. Sidel. “Bosisme.....” Op. Cit. hal. 85. 34 Lili Romli. “Jawara ......” Op. Cit. hal. 254-257. Universitas Sumatera Utara 20 Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan semakin kuat jika ada kesetaraan antara kewenangan dengan sumber keuangan yang dimiliki, kejelasan kewenangan antarberbagai tingkat pemerintahan, dan sebagainya. Hubungan antarnegara dan masyarakat merupakan refleksi dari daya tawar masyarakat terhadap berbagai keputusan yang diambil lembaga pemerintahan. Saat ini, untuk melihat fenomena local strongmen atau bossim di beberapa daerah di Indonesia sangat beragam. Di Banten disebut jawara, di Betawi disebut jagoan, di Madura disebut Blater, di Medan disebut Preman, dan lain sebagainya. Praktek-praktek premanisme banyak dilakukan oleh organisasi pemuda di Medan, terutama ketika ingin merrbut satu kedudukan. Dalam menganalisa keterlibatan organisasi pemudapreman di Medan, teori Sidel tentang local bossism dapat membantu merumuskan kerangka berpikir yang akan digunakan dalam penelitian ini, terutama terkait dengan sumber kekuasaan dan cara penggunaan kekuassaan yang dilakukan oleh kelompok pemudapreman. Di kota Medan pada masa desentralisasi sekarang ini, para anggota DPRD kota Medan didominasi oleh kelompok-kelompok preman yang saling bersaing. Beberapa diantara mereka memiliki hubungan erat dengan para pensiunan perwira angkatan bersenjata dan kepolisian dan tidak sedikit dari mereka yang berasal dari organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila PP, Ikatan Pemuda Karya IPK dan lain sebagainya. Fenomena munculnya preman di kota Medan tidak terkait dengan lemahnya negara, tetapi terkait dengan, dalam bahasa Sidel, beroperasinya dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman. Mereka ini memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumberdaya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka. Agar eksistensi kekuasaan para pimpinan organisasi pemudapreman itu tetap berlangsung, ada beberapa teori yang menjelaskan tentang bagaimana kekuasaan tersebut dilakukan dan dipertahankan. Untuk menjelaskannya akan dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Charles F. Andrain, Maswadi Rauf, dan Antonio Gramschi. Ketiganya menjelaskan bahwa penggunaan kekuasaan Universitas Sumatera Utara 21 dibedakan atas dua yaitu dengan cara paksaanpenindasankoersif atau konsensuspersuasif. Andrain menyatakan bahwa dari untuk menyelesaikan sebuah pergulatan dominasi atau konflik dari sumber kekuasaan tersebut, maka digunakanlah kekuasaan paksaan atau kekuasaan berdasarkan konsensus. Andrain menjelaskan, Mereka yang menekankan aspek-aspek pemaksaan dari kekuasaan biasanya memandang politik dalam kerangka pergulatan dominasi dan konflik. Mereka milihat para pelaku politik mengenjar tujuan-tujuan yang tidak diminati oleh keseluruhan komunitasnya. Satu pihak memperoleh keuntungan, sedangkan pihak lain merugi. Sebaliknya, para analis yang menekankan aspek-aspek konsensus lebih banyak mengaitkan kekuasaan dengan usaha mengatasi perlawan bukannya dengan kegiatan-kegiatan koordinasi. Mereka melihat para pelaku politik mengusahakan pencapaian tujuan-tujuan bersama. Penggunaan kekuasaan paksaan atau konsensusual sangat ditentukan dari sumber kekuasaan yang dimiliki. Karena sumber kekuasaan yang dimiliki itu maka dapat digunakan untuk memberi sanksi atau memberi penghargaan. Di samping itu, sumber daya kekuasaan digunakan untuk menjamin kepatuhan orang atau kelompok lain terhadap orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan tersebut. Tabel 1.3: Kekuasaan Paksaan dan Konsensual Tipe Kekuasaan Paksaan Konsensus Fisik Cidera fisik, pemenjaraan, kematian Memberi jalan memperoleh persenjataan Ekonomi Tidak diberi pekerjaan, penerapan denda, kehilangan kontrak Memberi jalan memperoleh kekayaan Normatif Pengucilan, larangan memangku jabatan Memberi jalan memperoleh wewenang dan simbol-simbol kebenaran moral Personal Hilangnya dukungan kelompok, persahabatan dan popularitas Pemberian dukungan kelompok Ahli Pemberian informasi yang Penyediaan ilmu Universitas Sumatera Utara 22 menguntungkan orang lain, penyebaran informasi yang merugikan orang lain pengetahuan dan keterampilan Sumber: Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. hal. 140. Kekuasaan paksaan, menurut Andrain biasanya memandang politik dalam kerangka pergulatan dominasi dan konflik. Sering sekali tujuan itu diperoleh dengan cara yang tidak diinginkan oleh komunitasnya. Satu pihak memperoleh keuntungan sedangkan pihak lain merasa dirugikan. 35 Untuk melihat penyelesaian konflik, Maswadi Rauf menjelaskan bahwa penyelesaian konflik dapat digunakan dengan cara persuasif dan koersif. Penyelesaian konflik yang dilakukan dengan cara koersif adalah melalui penggunaan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik. Berkaitan dengan kekerasan fisik ini, Maswadi Rauf mengatakan, “Kekerasan fisik mencakup penggunaan benda-benda fisik untuk merugikan secara fisik, menyakiti, melukai, atau membunuh fihak lain. Penggunaan kekerasan fisik atau ancaman penggunaannya menimbulkan rasa takut pihak yang akan dikenali yang berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Pengaruh itu adalah berupa diikutinya keinginan pihak yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.” 36 Hal yang hampir serupa juga dikemukakan oleh Gramsci yang menyatakan bahwa cara dominasi atau penindasan merupakan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan kekuasaan. Seorang individu, kelompok, atau negara jika ingin memperoleh dan mempertahankan kekuasaan maka ia harus mempunyai atau memiliki akses terhadap instrumen kekerasan. 37 Merujuk pada teori di atas, tentunya, dapat disebutkan bahwa model penyelesaian koersif lah yang sering dilakukan oleh organisasi pemuda Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI tersebut dalam menyelesaikan konflik. Cara-cara seperti kekerasan, ancaman, menyakiti dan bahkan membunuh, juga dilakukan oleh organisasi pemudapreman untuk memperoleh dan mempertahankan 35 Ibid. hal. 137. 36 Maswadi Rauf. 2001. Konsensus dan Konflik Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. hal. 11-12. 37 Dikutip dari Roger Simon. 2000. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist Pelajar. hal. 15. Universitas Sumatera Utara 23 kekuasaannya. Mereka melakukan intimidasi, ancaman, perkelahian kepada orang-orang yang dianggap menjadi lawannya. Praktek-praktek kekerasan lebih sering ditemukan dalam segala aktivitas organisasi pemuda di kota Medan. Dalam politik lokal perspektif pluralisme, organisai pemuda yang keras ini kemudian terlibat dalam institusi politik yang berusaha merebut kekuasaan pada jabatan-jabatan publik.

1.4.2. Oganisasi PemudaPreman dalam Politik

Organisasi pemudapreman yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sebagai suatu organisasi pemuda besar yang umumnya merupakan wadah bagi aktivitas preman 38 . Sedangkan preman adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan tindakan kriminil 39 . Kata preman berasal dari bahasa Belanda vrije man dan istilah ini melekat pada kaum lelaki yang menolak bekerja di perkebunan Belanda. Makna kata tersebut adalah lelaki bebas yang tidak dapat diatur. Namun, sejalan dengan perkembangan jaman pengertian preman mengalami perubahan. Kunarto menyebut Preman sebagai orang atau individu atau kelompok orang yang tidak berpenghasilan tetap, tidak mempunyai pekerjaan yang pasti, mereka hidup atas dukungan orang-orang yang terkena pengaruh orang-orang yang takut secara fisik maupun psikis. Mereka memiliki wilayah kekuasaan dan tidak terikat pada norma dan nilai yang ada dalam masyarakat serta memiliki kecenderungan melakukan tindakan- tindakan kriminal. Sikap, tindakan, dan prilaku para preman itulah yang disebut sebagai premanisme. 40 Lyron Ryter, seorang pengajar dari Cornell University, meneliti tentang kehidupan preman dan politik yang disebutnya sebagai politik gangster di kota Medan dan Jakarta pada tahun 1998-2004. 41 Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa setelah jatuhnya rezim Orde Baru, perilaku premanisme masuk ke wilayah politik formal. Perilaku ini bisa terjadi karena adanya hubungan yang erat 38 Pengertian ini sebagaimana yang ditulis oleh Vedi R. Hadiz, Op. Cit. hal. 249. 39 Burhani MS – Hasbi Lawrens. 1999. Referensi Ilmiah Politik, Kamus Ilmiah Populer. Jakarta: Lintas Media. hal. 560. 40 Maruli CC Simanjuntak. 2007. Preman-Preman Jakarta. Jakarta: Grafika Indah. hal. 40-41. 41 L. Ryter. Reformasi Gangsters, Inside Indonesia 82, April-June 2005, p22-23; Universitas Sumatera Utara 24 antara militer dengan organisasi pemuda, yang melakukan tindakan kriminal, untuk memegang posisi penting di partai politik dan lembaga parlemen. Kekuatan preman di Indonesia bukan terletak pada bentuk fisik sebagai orang yang kuat dan selalu melakukan tindakan kekerasan. Justru kelebihan preman adalah selalu terlepas dari sangsi hukum karena memberikan dukungan kepada jaringan politik yang ada. Karena itu, paska jatuhnya pemerintahan Soeharto, mereka tidak lagi hanya mendukung Golkar tetapi dibebaskan untuk masuk ke partai politik manapun. Seiring dengan perjalanan waktu mereka kemudian menduduki posisi penting di partai politik seperti PDI-P, PAN, dan parpol lainnya. Mereka kemudian terdaftar sebagai calon anggota legislatif baik di tingkat nasional dan lokal karena jaringan politik yang terbentuk. Ketika Pemilu 1999 dan 2004 para preman itu diharapkan oleh pimpinan parpol agar dapat mengumpulkan massa sebagai bentuk show of force pada kegiatan-kegiatan partai seperti kampanye dan bertugas di tempat pemungutan suara ketika pemilu berlangsung. 42 Penelitian Ryter di kota Medan tentang gengster politik ini juga melihat bahwa ketika jatuhnya Orde Baru, kekuatan organisasi pemuda yang melakukan aktivitas preman seperti Pemuda Pancasila, IPK dan lain sebagainya, tidak serta merta juga melemah. Mereka justru masuk ke wilayah-wilayah lembaga politik formal seperti partai politik dan legislatif di kota Medan. Mereka digunakan oleh pimpinan parpol karena dianggap mampu untuk memobilisasi massa, menggunakan kekerasan, intimidasi yang juga digunakan oleh militer untuk mengontrol daerah kekuasaan selama Orde Baru. Tidak ada yang baru dalam praktek demokrasi lokal di Indonesia. Yang terjadi adalah lembaga-lembaga politik yang baru muncul namun lebih banyak dikuasai oleh pemain-pemain lama dari jaringan Orde Baru itu. Dari penelitian Ryter tersebut dapat dikatakan bahwa aktivitas para preman yang berpolitik tersebut memiliki beberapa karakteristik yang terorganisir atau aktivitas preman yang diorganisasikan. Pertama, kegiatan yang dilakukan oleh preman itu bukan atas dasar kepentingan ideologis, melainkan lebih didasarkan pada kekuatan uang dan kekerasan. Kedua, organisasi preman itu mengikutsertakan sejumlah orang untuk kegiatan-kegiatan sosial dan politik. 42 Ibid Universitas Sumatera Utara 25 Ketiga, mengorganisir satu basis massa yang sifatnya perintah untuk kepentingan keuntungan baik yang bersifat legal dan illegal. 43 Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Vedi R. Hadiz pada tahun 1999 khususnya pada kasus pemilihan walikota Medan tahun 1999 oleh DPRD kota Medan. Hadiz melihat bahwa kekuatan preman secara khusus mendapat tempat yang baik dalam sebuah sistem kekuasaan. Aktivitas preman ini terorganisasi pada pemuda yang ketika Orde Baru menjalankan fungsi-fungsi sebagai operator politik. Tindakan organisasi pemudapreman ini memiliki kemampuan untuk melakukan, atau paling tidak mengancam, tindak kejahatan dan memiliki kendali keamanan bagi aparatur negara tingkat lokal. Karena alasan itu juga, mereka kemudian memiliki kepentingan untuk menguasai politik lokal dengan ikut terlibat dalam pemilihan walikota Medan tahun 1999. Bentuk keterlibatan yang mereka lakukan adalah melakukan intimidasi para anggota legislatif dan para pendukung calon pesaing dengan cara kekerasan, penculikan, dan bahkan mengancam untuk membunuh. 44 Apa yang diungkapkan oleh Ryter tersebut hampir sama dengan penelitian Howard Abadinsky, yang meneliti tentang organized crime di beberapa kota di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Asia dari tahun 1940–1980-an. Abadinsky kemudian menuliskan karakteristik organized crime sebagai berikut: “.... organized crime is a nonideological enterprise involving a number of persons in close social interaction, organized on a hierarchical basis, has a limited or exclusive membership, perpetuitous, uses illegal violence and bribery, demonstates specializationdivition labour, monopolistic, and governed by explicit rules and regulations”. 45 Yang menarik dari karakteristik tersebut adalah nonideological. Abadinsky menjelaskannya sebagai berikut: “.... an organized crime group does not have political goals nor is it motivated by ideological concern; it goals are money and power. While political involvement may be part of the group’s activities, its purpose is to 43 Ryter tidak membuat secara rinci tentang poin-poin dari karakteristik itu. Karakteristik ini penulis susun dari hasil penelitian Ryter untuk memudahkan melihat indikator dari organisasi preman. 44 Vedi R. Hadiz. Op. Cit. hal 246-247. 45 Howard Abadinsky. 1990. Organized Crime. Third Edition. Chicago, Illinois: North Canal Street. hal. 5. Universitas Sumatera Utara 26 gain protection or immunity for its illegal activities. This distinguishes groups of persons who may be organined and violating the law to further their political from organized crime.” 46 Uang dan kekuasaan dalam organized crime merupakan tujuan dari kelompok ini. Meskipun mereka terlibat dalam aktivitas politik, namun tujuannya hanya untuk memperoleh perlindungan dari semua aktivitas organisasi yang mereka lakukan. Karakteristik demikian setidaknya dapat membedakan organisasi kejahatan seperti ini dengan organisasi lainnya dalam melakukan aktivitas sosial. Di Indonesia kekerasan dan kriminalitas tampaknya erat kaitannya dengan perkembangan suatu wilayah. Beragam sebab dan latar belakang menjadi alasan munculnya berbagai kejahatan yang diorganisir. Birokrasi yang belum berjalan efektif dan normal, minimnya lapangan pekerjaan, ketidakmampuan kepolisian menangani masalah keamanan, adalah beberapa sebab tidak tuntasnya masalah kekerasan dan kriminalitas. Belum lagi, pertarungan politik antar elit juga sering terjadi dan menyeret masyarakat ke dalam konflik diantara mereka, termasuk para preman yang memiliki pengaruh dan jumlah massa yang tidak sedikit. Kekerasan dan kriminalitas tampaknya bukan sekadar masalah sosial- ekonomi, tetapi di dalamnya juga menyangkut aspek-aspek politik. Sekalipun wilayah para preman berbeda dari kaum politisi, namun terdapat hubungan antara kriminalitas dan politik, dan juga dengan militer 47 , seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Pemimpin organisasi pemudapreman memainkan peran sebagai operator politik selama masa Orde Baru, melaksanakan fungsi intimidasi tidak resmi untuk rezim dan para pejabatnya yang dilakukan bersama-sama dengan aparat keamanan terkait. Di bawah Orde Baru, sudah menjadi rahasia umum bahwa kekuasaan organisasi pemuda berakar dari kedekatan mereka dengan komandan militer lokal. Hal ini memungkinkan mereka menjalankan aktivitas-aktivitas menguntungkan seperti perjudian dan jaringan perlindungan 46 Ibid 47 Pembahasan tentang militer dan organisasi milisi sipil atau paramiliter ini lihat Ulf Sundhaussen. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES, 1986. Universitas Sumatera Utara 27 yang kebal hukum. Perubahan kedudukan militer sejak reformasi di Indonesia, tidak berarti putusnya keterkaitan ini. 48 Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sidel tentang bossism, menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritori mereka. Para kelompok bossism ini beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman. 49 Para preman secara khusus mendapat tempat yang baik dalam sebuah sistem kekuasaan yang di dalamnya kemampuan untuk melakukan, atau paling tidak mengacam, tindak kejahatan menjadi sesuatu yang penting untuk mengendalikan keamanan bagi aparatur negara tingkat lokal. Mereka secara khusus dicari, mengingat militer telah dipaksa mundur dari peran politik mereka. Di samping menyediakan tenaga bagi calon-calon pejabat, para pemimpin organisasi pemuda – karena mereka memimpin usaha-usaha gelap yang menguntungkan – juga mampu membantu permintaan bantuan dana politik. Dengan otot dan uang, mereka secara potensial mampu mempengaruhi keputusan politik dan perdebatan di parlemen lokal, termasuk yang berkaitan dengan alokasi kontrak dan sumber daya lainnya. Karena itu, organisasi pemudapreman ini menjadi bagian integral dalam praktik penyelenggaraan demokrasi baru di Indonesia. Di Medan praktek-praktek seperti yang disebutkan di atas banyak diperankan oleh PP, IPK, dan FKPPI. Untuk penelitian ini, organisasi pemuda yang dimaksud adalah Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, dan FKPPI. Sebagian bagian dari kelompok kepentingan, organisasi pemuda tersebut memiliki peran yang cukup signifikan dalam pilkada langsung terutama kaitannya dengan partai politik. Berikut akan dijelaskan kedudukan kelompok kepentingan dan partai politik dalam pilkada langsung. 48 Vedi R. Hadiz. Op. Cit. hal. 250. 49 John T. Sidel. “Bossism ....” Op. Cit. hal. 256. Universitas Sumatera Utara 28

1.4.3. Partai Politik dan Kelompok Kepentingan dalam Pilkada Langsung di Indonesia

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pilkada secara langsung merupakan tradisi politik baru di Indonesia yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Penyelenggaraan pilkada langsung di Indonesia sudah diselenggarakan mulai Juni 2005. Namun, dalam evaluasinya menyimpan berbagai persoalan krusial diantaranya adalah dari aspek esensi pilkada langsung, permainan kepentingan elit politik, dan problem legitimasi. Apabila disepakati bahwa demokrasi substansial terutama ditentukan oleh variabel kinerja dan akuntabilitas para elit yang terpilih secara demokratis, maka optimisme bahwa pilkada menjanjikan pemimpin daerah yang lebih berkualitas dan bertanggung jawab – dibandingkan oleh DPRD – mungkin belum terwujud. Haris misalnya melihat kepala daerah hasil pilkada diperkirakan akan dijepit oleh kepentingan politik yang justru bisa mengancam kelangsungan agenda demokrasi, demokratisasi dan otonomi daerah itu sendiri. Kepentingan politik itu mencakup pertama, kepentingan pemilik uang yang mendanai kebutuhan sang kepala daerah ketika calon menjadi calon dalam proses pilkada langsung. Kedua, kepentingan partai politik dan kelompok kepentingan yang merasa berjasa telah menominasikan sang kepala daerah pada masa pencalonan ketika penyelenggaraan pilkada 50 . Permasalahan kepentingan politik dalam pilkada langsung mengakibatkan produk pilkada belum tentu menjanjikan kualitas demokrasi lokal dan tata pemerintahan daerah yang lebih baik. Karena itu, masyarakat lokal kelihatannya harus siap kecewa, bukan karena kepala daerah produk pilkada belum tentu menjanjikan, melainkan juga karena terbatasnya ruang bagi publik di dalam format kebijakan desentralisasi yang baru. Orientasi pemerintah lokal pemda dan DPRD dalam era pilkada langsung bukanlah pada aspirasi dan 50 Syamsuddin, Haris. 2005. Pilkada Langsung dan Masa Depan Otonomi Daerah di Indonesia. Dalam Jurnal Politika. Vol. 1 No. 1. Mei 2005. Jakarta: Akbar Tanjung Institute. Universitas Sumatera Utara 29 kepentingan rakyat, tetapi cenderung akan bergerser untuk melayani kepentingan elit yang oligarkis. Dari pendekatan kelembagaan, pelaksanaan pilkada langsung dapat dilihat dari dua intitusi yang berperan dalam memainkan kepentingan politik di tingkat lokal yaitu partai politik parpol dan kelompok kepentingan. Setiap partai politik memiliki kaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan beberapa kelompok kepentingan atau kelompok strategis lainnya, begitu juga sebaliknya. Keterkaitan itu tentunya dilakukan untuk menjaring aspirasi rakyat atau masa pemilih konstituen, yang sangat beragam tuntutannya, dari masing- masing parpol dan kelompok kepentingan. Dalam kaitan ini, Stewart menjelaskan banyak lembaga-lembaga otoritas lokal seperti partai politik dan kelompok kepentingan mengembangkan berbagai forum untuk memberi penekanan tentang keberagaman untuk mengenal masyarakat lokal di satu wilayah. 51 Di Indonesia misalnya, kelompok kepentingan atau civil society dapat dijadikan sebagai mediation group bagi parpol untuk melakukan pertemuan-pertemuan publik dalam berbagai bentuk. Namun, di negara-negara berkembang, interaksi kedua institusi ini selalu berada dalam bingkai kepentingan elit yang menguasai partai politik dan kelompok kepentingan. Secara teoritik kemacetan komunikasi politik antara elit dengan rakyat dapat dijelaskan dari karakterisitk elit politik lokal yang disebut sebagai ”close knit power”, yaitu kekuasaan yang cenderung tertutup dan didominasi oleh sekelompok elit. Karena itu, kooptasi kekuasaan dilakukan oleh segelintir elit penguasa. Penjelasan teori ini kemudian akan mendukung teori Sidel tentang bosisme yaitu rezim daerah selalu dilakukan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman. Peranan parpol sangat berpengaruh dalam proses pilkada langsung. Karena partai politik memiliki segenap fungsi seperti agregasi dan artikulasi kepentingan, pendidikan politik, kaderisasi, dan rekrutmen politik 52 . Peranan partai politik dalam pilkada langsung menjadi ukuran penting untuk menilai 51 James Stewart. “Op. Cit. hal. 51. 52 Penjelasan lebih lanjut lihat Maswadi Rauf. 2006. Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia. Antara Kenyataan dan Harapan. dalam Jurnal Politika. Vol. 2 Nomor 2. 2006. Jakarta: Akbar Tanjung Institut. hal. 12-13. Universitas Sumatera Utara 30 keberhasilan partai politik melaksanakan fungsi-fungsi tersebut sehingga dapat menjadi pertanda adanya parpol modern. Demokrasi memberikan fungsi-fungsi tersebut agar parpol dapat menjalankan peran perantara dalam hubungan state dan society. 53 Dalam pilkada langsung fungsi rekrutmen parpol sangat berperan. Dalam UU No. 322004 menempatkan parpol sebagai pemegang peranan penting untuk melakukan fungsi rekrutmen politik dalam pemilihan kepala daerah 54 . Artinya, bahwa undang-undang tersebut menganut paradigma modernisme partai, yakni bahwa seleksi kepemimpinan pejabat publik dikendalikan melalui mekanisme partai politik sebagaimana terbukti berjalan dengan sangat baik di Amerika Serikat, Inggris maupun Australia. 55 Dalam pasal 59 diatur bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon yang memenuhi syarat dan selanjutnya memproses bakal calon melalui mekanisme yang demokratis dan transparan, yakni dengan memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat. Jika menggunakan kriteria ini, maka seharusnya parpol dalam proses rekrutmen harus mengedepankan asas akseptabilitas dan kredibilitas. Akseptabilitas menyangkut tentang kemampuan seorang pemimpin dalam menguasai sumber daya politik yang menjadi basis bagi kegiatannya, baik secara legal maupun aktual. Di Indonesia misalnya parlemen parpol, kelompok Islam, pelaku usaha, LSM. Sedangkan kredibilitas menyangkut tentang komitmen, kejujuran dan kepercayaan, keberanian, kemauan untuk bertanggung jawab atas kemauannya, ketenangan batin, keahlian, keterampilan dan profesionalitas. 56 Tugas partai politik itu kemudian adalah memunculkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memenuhi syarat akseptabilitas serta kredibilitas melalui fungsi rekrutmennya. Fungsi tersebut dapat dijalankan oleh 53 Ibid. hal. 14-15. 54 Lihat ketentuan Pasal 59 Ayat 2 UU No. 322004. Peraturan ini akan direvisi karena keputusan dari Mahkamah Konstitusi yang membenarkan calon independen ikut dalam pilkada langsung. Pada saat tulisan ini dibuat revisi tersebut masih dalam proses pembahasan. 55 Teguh Yuwono. 2004. “Pandangan Politik: Pilkada Langsung dan Kesejahteraan”. Makalah. Diskusi Publik Pilkada Langsung dan Kesejahteraan FISIP Undip-Kesbanglinmas Jateng. 56 Rian N. Dwidjowijoto. 2001. Reinventing Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo. Universitas Sumatera Utara 31 partai politik dengan sangat baik, jika partai tumbuh menjadi parpol modern 57 sehingga yang dicalonkan adalah yang terbaik dari alternatif calon yang ada, mereka dipilih melalui seleksi yang ketat berdasarkan kriteria meritokrasi. Parpol harus sadar untuk bisa memenangkan hati pemilih, maka yang dicalonkan harus mampu menjual program serta ketokohan yang berpengalaman. Selain partai politik, pengaruh kelompok-kelompok kepentingan interest group dalam pilkada tidak bisa diabaikan begitu saja. Interaksi politik dalam pilkada itu dilakukan tidak terlepas dari hubungan kepentingan dengan tujuan yang saling menguntungkan, baik dengan pemerintah maupun dengan lembaga perwakilan. Dalam setiap sistem politik selalu muncul berbagai kepentingan dalam masyarakat. Kepentingan tersebut bisa saja berbeda satu sama lainnya atau memiliki karakteristik yang sama. Kelompok-kelompok kepentingan merupakan organisasi-organisasi resmi yang berupaya mencapai tujuan-tujuan mereka dengan mencoba mempengaruhi kebijakan publik. Bahwa orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok kepentingan secara aktif melakukan lobi kepada lembaga pemerintahan termasuk kepada lembaga perwakilan rakyat. Dalam proses demokrasi, keberadaan kelompok-kelompok kepentingan ini dianggap sangat penting, karena masyarakat dapat mengkomunikasikan aspirasi, harapan, dan kebutuhannya melalui mereka, yang selanjutnya disampaikan kepada pihak- pihak yang berwenang 58 . Artinya bahwa membuat akses atau menguasai instiusi formal dalam politik lokal sangat penting bagi kelompok kepentingan. Dalam pilkada langsung kelompok kepentingan berupaya agar setiap kebijakan pemerintah nantinya menampung aspirasi mereka dengan cara mempengaruhi kepala daerah secara persuasif. Hubungan antara kelompok kepentingan dengan kepala daerah tidak terlepas dari hubungan kepentingan dengan tujuan saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Kelompok kepentingan dapat menjadi faktor pendukung dan masukan input pembanding dalam proses sistem politik lokal, sehingga input politik tidak didominasi oleh 57 Tentang parpol modern lihat Maswadi Rauf. Op. Cit. hal 14-17. 58 Laode Ida. ”Good Governance Pelayanan Aspirasi Politik DPRD”. Jurnal PSPK. Edisi I, Februari 2002 Universitas Sumatera Utara 32 local authority. Namun, keberadaan kelompok kepentingan juga bisa berdampak kurang menguntungkan bagi sistem politik lokal. Pola hubungan antara kelompok kepentingan dengan local authority kepala daerah menurut Stoker, berlangsung dalam bentuk negosiasi, persuasi, manipulasi, regulasi dan paksaan. Peran kelompok kepentingan dalam pilkada langsung sangat kuat, mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keputusan dan memiliki orang-orang yang khusus melakukan lobi. 59 Dalam kaitannya dengan studi ini, hubungan kelompok kepentingan dengan partai politik dalam pilkada langsung tersebut membantu menjelaskan bahwa terdapat beberapa kepentingan ekonomi dan politik dalam pelaksanaan desentralisasi. Kelompok kepentingnan yang dimaksud adalah organisasi pemudapreman Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI yang memiliki kaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan pilkada langsung tahun 2005 di kota Medan. Seperti yang disebutkan oleh Stoker bahwa interaksi antara kelompok kepentingan dengan partai politik dapat dilakukan dalam bentuk persuasi dan paksaan. Karena itu, studi ini juga akan melihat kepentingan-kepentingan yang melekat pada partai politik yang didukung oleh organisasi pemuda dalam proses pilkada langsung tahun 2005 di kota Medan. Kepentingan-kepentingan tersebut tentunya akan diketahui dan dilihat dari elit-elit yang berperan dalam mengambil keputusan selama proses pilkada langsung tahun 2005 di kota Medan. Jika dilihat dari kategori elit, yang telah dibahas di bagian terdahulu, maka elit turut berperan dalam memainkan kepentingan mereka pada institusi formal dalam desentralisasi.

1.4.4. Kelompok Elit dalam Politik

Perubahan yang terjadi di tingkat lembaga-lembaga politik lokal tentunya memiliki implikasi terhadap eksistensi elit yang sedang berkuasa dan kelompok- kelompok yang ingin melakukan perubahan. Untuk melihat keterlibatan elit 59 Garry, Stoker. 1991. The Politics of Local Government. Second Edition. London: The MacMillan Press Ltd Houndmills. Besing Stoke. Hampshir. Universitas Sumatera Utara 33 organisasi pemudapreman di kota Medan – sebagai bagian kelompok penguasa lama dalam menguasai perangkat lembaga politik lokal seperti partai politik lokal, DPRD, dan eksekutif yang baru – maka akan dikemukakan pandangan dari Moska dan Bottomore. Keduanya berpendapat tentang dinamika perputaran yang terjadi di kalangan elit. Perputaran ini mengacu pada proses di mana individu-individu berputar di antara elit dan nonelit ataukah mengacu pada proses di mana elit satu digantikan oleh elit yang lain. Teori ini menjelaskan bahwa dalam situasi lingkungan sekitar yang berubah, baik secara ekonomi dan politik, setiap elit akan berusaha mempertahankan eksistensinya sebagai kelompok yang berkuasa dan menduduki posisi-posisi komando serta berhak dalam memutuskan suatu persoalan. Dalam konteks demikian, Moska misalnya menerangkan bahwa perputaran elit terjadi akibat adanya kondisi sosial dari karakteristik individu elit tersebut. Menurut Moska lebih dari apapun tradisi dan lingkungan menjadi sesuatu yang membuat mereka terus berada pada strata tertentu dalam masyarakat. 60 Artinya, bahwa Mosca dan orang-orang yang sepemikiran dengannya seperti Pirene dan Schumpeter melihat kelompok sosial baru dapat terbentuk atau yang lama bertahan akibat adanya perubahan ekonomi, politik atau kultural. Bagi mereka yang menjalani aktivitas yang sangat vital untuk masyarakat luas cenderung akan bertahan dalam posisi yang kuat, sehingga pada saatnya bisa membuat atau ikut dalam perubahan sistem politik dan struktur sosial secara keseluruhan. 61 Dalam penelitian ini, teori Mosca tersebut secara khusus akan memberi perhatian elit-elit yang berperan dalam organisasi pemudapreman dalam konteks perubahan politik lokal yang terjadi di Indonesia. Sehingga pembahasan ini akan mengarah pada apa yang harus dan telah dilakukan oleh elit-elit tersebut untuk mempertahankan eksistensi mereka dalam satu perubahan politik. Bottomore sendiri, dalam konteks elit, lebih operatif untuk melihat eksistensi elit dalam perubahan ekonomi, sosial, dan politik. Bottomore memberi perhatian pada peran intelektual, manajer, dan birokrat. Dari ketiga profesi 60 Mosca, sebagaimana ditulis oleh T.B. Bottomore. 2006. Elite dan Masyarakat. terjemahan. Jakarta: Akbar Tanjung Institut. hal. 68. 61 Ibid. hal. 72. Universitas Sumatera Utara 34 tersebut, menurut Bottomore, tidak satu pun yang dapat membentuk elit kekuasaan secara independen. Sebesar apapun kekuatan mereka membuat kebijakan, mereka pada akhirnya tetap tunduk pada kontrol otoritas politik dan konflik antar partai. Di negara demokratis, kontrol merupakan salah satu alat yang membuat mekanisme demokrasi menjadi efektif. 62 Kontrol yang dimaksud adalah seperangkat nilai baca: ideologi dalam bentuk konsep atau program yang diajukan oleh kelompok-kelompok fungsional tersebut agar bisa dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan politik. Pendekatan Bottomore dapat dijadikan sebagai dasar bahwa kelompok-kelompok elit yang tergabung dalam organisasi- organisasi harus masuk dalam otoritas politik seperti partai politik dan legislatif. Ini merupakan bentuk penerapan dari konsep demokrasi. Dalam studi ini, akan dilihat bahwa eksistensi organisasi pemudapreman itu akan tetap ada jika mereka masuk ke dalam otoritas politik yang ada seperti partai politik dan legislatif. Karena sesunggunya kelompok-kelompok fungsional tersebut selalu bergabung dengan kelompok kepentingan atau partai politik dan justru bisa kedua-duanya untuk mendapatkan kekuasaan politik. Dalam konteks studi ini, yang dimaksud dengan kelompok kepentingan adalah organisasi pemudapreman. Sedangkan kelompok fungsional itu adalah orang-orang yang duduk sebagai pimpinan atau elit organisasi pemudapreman tersebut.

1.4.5. Demokratisasi

Bertahannya kekuatan lama dalam transisi demokrasi, seperti yang dialami Indonesia dapat dilihat dari O’Donnel dan Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule 63 . Keduanya berpendapat bahwa: ”... transisi dari suatu rezim otoriter menuju ’sesuatu yang lain’ yang belum jelas. Sesuatu itu bisa jadi adalah ditegakkannya demokrasi politik, 62 Ibid. hal 85-111. 63 Literatur tentang hal ini sangat banyak. Namun, cirri-ciri pokoknya secara ringkas dan padat dipaparkan dalam Guillermo O’ Donnell dan Philippe C. Schmitter. 1986. Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies. Baltimore: John Hopkins University Press. Universitas Sumatera Utara 35 bisa jadi pula pemulihan kembali suatu bentuk pemerintahan otoriter baru yang lebih kejam. Bisa jadi pula akhirnya adalah semata-mata kekacauan, yakni rotasi pemerintahan secara berganti-ganti namun gagal memberikan suatu solusi yang mapan atau prediktabel terhadap masalah-masalah pelembagaan kekuasaan politik. Transisi-transisi tersebut bisa juga berkembang menjadi merebaknya konfrontasi- konfrontasi kekerasan...” 64 Teori tersebut kelihatan sangat menekankan pada ’unsur-unsur kebetulan dan tidak memprediksikan implikasi yang akan muncul, serta keputusan- keputusan krusial yang diambil secara tergesa-gesa dengan informasi yang tidak memadai. Premis yang digunakan didasarkan pada situasi-situasi yang tidak menentu yang sering menandai keruntuhan rezim-rezim otoriter. Karena itu, titik berat pemikiran ini adalah pakta-pakta elit yang muncul dalam proses negosiasi dan penataan transisi sistem politik. Untuk melihat proses berlangsungnya transisi demokrasi, Huntington mengenalkan empat model proses transisi itu berlangsung menuju ke bentuk demokrasi yaitu transformasi transformation, penggantian replecement, intervensi intervention, dan transplasi transplacement. 65 Pada model transformasi, pemerintah meliberalisasi sistem politik yang ada, demokrasi datang dari atas. Transisi ini terjadi ketika negara state kuat dan masyarakat sipil civil society lemah. Model transisi yang kedua adalah penggantian, di mana pemerintah dipaksa menyerahkan kekuasaannya dan digantikan oleh kekuatan-kekuatan oposisi, demokratisasi muncul dari bawah. Transisi model ini terjadi ketika negara lemah dan masyarakat sipil kuat. Model ketiga adalah campuran antara transformasi dan penggantian. Model ini terjadi karena pemerintah masih kuat dan kekuatan-kekuatan oposisi tidak cukup kuat untuk menggulingkan penguasa yang ada. Jadi, sebuah proses negosiasi berlangsung antara pemerintah dan oposisi untuk menentukan transformasi sistem politik bertahap menuju sistem politik yang lebih demokratis. Model keempat adalah intervensi, model ini adalah transisi menuju demokrasi yang dipaksakan oleh kekuatan dari luar bisa dari negara lain. 64 O’ Donnell dan Schmitter. 1993. Transisi Menuju Demokrasi, Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jilid III. Penerjemah Nurul Agustina. Jakarta: LP3ES. hal. 3 65 Samuel Huntington dalam Arif Budiman. dkk. 2000. Harapan dan Kecemasan: Menatap Arah Reformasi Indonesia. Penerjemah Haryono Koordinator. Yogyakarta: PT. Bayu Indra Grafika. hal. 52-53. Universitas Sumatera Utara 36 Studi transisi umumnya terfokus pada peran aktor, termasuk elit lama, untuk menjelaskan proses tersebut. Sorensen lebih lanjut mengatakan, sangat jarang terjadi transisi menuju demokrasi didasari oleh kekalahan mutlak para elit yang berdiri di belakang pemerintahan otoriter sebelumnya. Pada sebagian besar kasus, transisi menuju demokrasi didasarkan atas negosiasi dengan kekuatan- kekuatan yang mendukung rezim otoriter. Dukungan elit pada demokrasi seringkali didasarkan pada kepentingan pribadi. Oleh karena itu, dukungan tersebut bersifat rapuh dan kondisional. Dalam negosiasi yang menyertai transisi menuju demokrasi, elit akan mencoba untuk menyimpan kartunya dalam rangka memastikan bahwa lembaga-lembaga demokrasi yang disiapkan tidak mengancam kepentingan dasar mereka. 66 Melihat model transisi di Indonesia dari tiga model tersebut, Arief Budiman memprediksi bahwa transisi melalui jalur transplasi, yakni negosiasi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok oposisi menjadi model yang paling mungkin. 67 Transisi menuju demokrasi bukanlah proses dalam semalam. Secara umum, seperti dikatakan Soronsen, transisi menuju pemerintahan demokratis merupakan sebuah proses yang kompleks dan bersifat jangka panjang dan melibatkan sejumlah tahapan. 68 Jika dikaitkan dengan desentralisasi, transisi demokrasi di Indonesia berlangsung secara bersamaan. Dalam tulisan yang ekstrim, disampaikan oleh Vedi R. Hadiz, bahwa tercerai berainya Orde Baru sama sekali tidak diikuti – dan barangkali tidak bersifat sementara – dengan tampilnya sebuah rezim demokratis, di mana transparansi, akuntabilitas, aturan hukum atau keadilan sosial menduduki tempat tertinggi. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia tidak dapat dihubungkan dengan gambaran ideal praktik-praktik demokrasi liberal, melainkan lebih dekat dengan bentuk pemerintahan demokratik yang disokong politik uang, bosisme, kriminalitas, dan kekerasan, sebagaimana terjadi di Thailand atau Filipiha. 69 Transisi dalam desentralisasi ini kemudian tidak 66 Ibid. hal. 49-50. 67 Ibid. hal. 59. 68 Georg Soronsen. 1989. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah. Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar CCSS. hal. 42. 69 Lihat Daniel Arghiros, Democracy, Development, and Decentralization in Provincial Thailand, sebagaimana ditulis dalam Vedi R. Hadiz. Op. Cit. hal. 256-257. Universitas Sumatera Utara 37 menunjukkan tanda-tanda menuju suatu rezim liberal demokratik yang lebih baik. Bahkan, tahap ini boleh jadi bukan merupakan transisi sama sekali, dalam arti pola-pola dan dinamika-dinamika pokok dari penggunaan kekuasaan sosial, ekonomi dan politik, yang telah dimapankan pada masa-masa sebelumnya akan tetap bertahan selama beberapa waktu ke depan. Dengan kata lain, berbagai bentuk kekerasan, pembelian suara, serta tuduhan atas pembunuhan politik dan penculikan, mungkin bukan merupakan gejala dari perkembangan yang mengarah pada terbentuknya sistem liberal-demokratik 70 . Dari uraian Hadiz tersebut, organisasi pemuda PP, IPK, dan FKPPI sering terlibat dalam aktivitas premanisme itu. Ketika adanya pemilu, pemilihan kepala daerah di kota Medan, anggota organisasi pemuda itu dimobilisasi secara khusus untuk alasan keamanan yang disewa oleh kelompok tertentu. Dengan otot dan uang, mereka secara potensial juga mampu mempengaruhi keputusan politik di tingkat lokal seperti digunakannya kekuatan organisasi pemuda itu untuk mengamankan beberapa keputusan organisasi sampai ke tingkat yang paling bawah.

1.5. Skema Analisis

70 Ibid. hal. 257. Organisasi PemudaPreman 1. sebagai penyokong awal atau pelengkap dukungan 2. sebagai insiator atau melakukan pemaksaan setiap aktivitas tim sukses 3. merancang dan melaksanakan lobi-lobi secara intensif ke berbagai kalangan 4. melakukan gerakan politik uang 5. pengerahan massa dan penggunaan kekerasan 6. melakukan penguasaan opini media Keterlibatan Pemilihan Kepala Daerah Langsung tahun 2005 • Pemuda Pancasila PP • Ikatan Pemuda Karya IPK • Forum Komunikasi Pura- Putri Purnawirawan Indonesia FKPPI Universitas Sumatera Utara 38

1.6. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Mengingat ada beberapa penelitian dari pengamat tentang politik premanisme di Indonesia yang dilakukan di Medan, sebagai daerah yang memiliki karakteristik yang unik dari daerah lain di Indonesia untuk kasus tersebut. Karena keterbatasan waktu dan pembiayaan penelitian, maka penelitian ini hanya dilakukan untuk melihat keterlibatan 3 tiga organisasi pemudapreman di kota Medan yaitu PP, IPK, dan FKPPI pada saat Pemilihan Kepala Daerah Langsung tahun 2005 di kota Medan. Selain itu, secara politis ketiga organisasi pemuda tersebut bersifat independen. Melalui pilkada langsung diharapkan dapat menguraikan fakta-fakta tentang keterlibatan organisasi pemudapreman tersebut. Ketiga organisasi tersebut dipilih karena memiliki karakter sebagai organisasi preman dengan muatan kepentingan politik yang cukup kuat seperti perannya dalam menentukan pejabat publik. Selain itu, berdasarkan hasil musyawarah internalnya, ketika turunnya rezim Orde Baru, ketiga organisasi itu menyatakan sebagai organisasi independen atau tidak terikat pada partai politik yang sebelumnya menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golongan Karya.

1.7. Metode Penelitian Tipe Penelitian

Dokumen yang terkait

Rekrutmen Partai Politik Dalam Pencalonan Pemilu Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus : Partai Golongan Karya Dewan Pimpinan Daerah Sumatera Utara)

1 59 98

Kebijakan Partai Politik Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Studi Kasus: Kebijakan Partai Demokrat Dalam Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut Periode 2013-2018)

0 51 95

Partisipasi Politik Masyarakat Karo Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010 (Studi Kasus: Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan)

2 71 90

Tingkahlaku Politik Etnis Tionghoa Dalam Pemilihan Kepala Daerah 2010 Di Kelurahan Pusat Pasar Medan Kota

0 50 99

Peranan Komisi Pemilihan Umum dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Untuk Meningkatkan artisipasi Politik Masyarakat (Studi pada Kantor Komisi Pemilihan umum Tapanuli Utara)

16 168 113

Hubungan Tingkat Ekonomi Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Etnis Tionghoa Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 Kota Medan Di Lingkungan Vi Kelurahan Pusat Pasar Medan Kecamatan Medan Kota

1 41 18

A. Pedoman Wawancara untuk Organisasi Pemuda - Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

0 1 43

BAB II AKTIVITAS SOSIAL DAN POLITIK ORGANISASI PEMUDA DAN PREMAN DI KOTA MEDAN 2.1. Dinamika Sosial, Kultural, Ekonomi, dan Politik Kota Medan - Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah La

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

0 1 42

Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

0 2 18