Dinamika Sosial, Kultural, Ekonomi, dan Politik Kota Medan

43

BAB II AKTIVITAS SOSIAL DAN POLITIK ORGANISASI PEMUDA DAN PREMAN

DI KOTA MEDAN

2.1. Dinamika Sosial, Kultural, Ekonomi, dan Politik Kota Medan

Kampung kecil, dalam masa kurang lebih 80 tahun dengan pesat berkembang menjadi kota, yang dewasa ini kita kenal sebagai kota Medan, berada di satu tanah datar atau medan, di tempat Sungai Babura bertemu dengan Sungai Deli, pada waktu itu dikenal sebagai “Medan Putri”, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Medan didirikan oleh Raja Guru Patimpus, nenek moyang Datuk Hamparan Perak Dua Belas Kuta dan Datuk Sukapiring, yaitu dua dari empat Kepala Suku Kesultanan Deli. Dalam syair Melayu Putri Hijau diungkapkan bahwa kata ”medan” berasal dari gelanggang pertempuran antara Kerajaan Deli dan Kerajaan Aceh yang terjadi pada tahun 1552. Tragedi perang antara dua kerajaan yang bertetangga ini terjadi karena pinangan Sultan Aceh terhadap Putri Hijau yang menjadi primadona Kerajaan Deli waktu itu ditolak. Medan dalam bahasa Melayu berarti ’gelanggang’. Menurut kisah tadi, di gelanggang yang sekarang dibangun kota Medan, tentara kerajaan Deli berhasil dikalahkan dan Putri Hijau diboyong ke Bandar Aceh. 78 Legenda tragis ini seakan memberi isyarat kepada generasi Putri Hijau di kemudian hari, bahwa kota Medan kelak akan tetap merupakan gelanggang ”pertempuran” yang harus dihadapi oleh setiap putra Melayu. Orang yang kalah dalam gelanggang ini harus berada di pinggir dan kehormatan diri sebagai taruhannya, yang secara simbolik diinterpretasikan sebagai Putri Hijau yang jatuh ke tangan orang lain. ”Apa isyarat sejarah dari kisah ini?” Makna di dalamnya dapat memberikan kearifan kepada putra Melayu dalam menghadapi kehidupan di gelanggang pertempuran kota Medan. Kiranya sejarah juga dapat menjawabnya. Dewasa ini banyak yang percaya bahwa kisah Putri Hijau tersebut telah berulang pada orang Melayu di kota Medan. Walaupun demikian banyak pula yang yakin bahwa keberadaan orang Melayu di kota tersebut tetap penting dan berarti. 78 R.Thaib. 1959. Lima Puluh Tahun Kotapraja. Medan: Panitia Tahun Kotapraja Medan. hal. 44. Universitas Sumatera Utara 44 Selain kisah Putri Hijau, terdapat sejarah yang masih dapat dipercaya, yaitu naskah lama Riwayat Hamparan Perak. Naskah ini dianggap penting karena isinya dapat mengungkapkan liku-liku hubungan kekerabatan dan genealogis orang Melayu Sumatera Timur yang mendiami daerah dataran rendah lowland pantai Selat Melaka dengan orang-orang Batak, Karo, dan Simalungun yang tinggal di daerah pegunungan. Naskah Riwayat Hamparan Perak ini menjadi pegangan panitia Hari Jadi kota Medan yang kemudian menetapkan tanggal 1 Juli 1950 sebagai hari jadi kota Medan. 79 Naskah ini menceritakan perantauan salah seorang cucu Raja Batak Sisingamangaraja yang bernama Raja Hita ke Tanah Karo. Raja ini mempunyai seorang putra yang bernama Guru Patimpus. Perantauannya ke tanah Deli telah membawanya masuk Islam, setelah dia mempelajari agama itu dari ulama terkenal, Datuk Kota Bangun. Setelah menikah dengan putri Datuk Berayan, salah seorang keturunan Panglima Deli, dia membangun pemerintahan. Keturunannya kelak menjadi dikal bakal keluarga Hamparan Perak dan Sukapiring, yang merupakan rumpun-rumpun besar dari masyarakat Melayu yang makmur karena hasil lada dan pala. 80 John Anderson , orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli, pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan, berpenduduk sekitar 200 orang, dan dinyatakan sebagai tempat kediaman Sultan Deli. Medan terletak di dekat Labuhan, bandar Kerajaan Deli waktu itu. 81 Lima puluh tahun setelah kunjungan Anderson, Medan telah menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial Belanda membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Pada awal abad ke-20, hampir seluruh dataran rendah di Sumatera Timur menjadi areal perkebunan ekspor dari berbagai jenis komoditi seperti tembakau, kelapa sawit, cokelat, karet, teh, dan sisal. Berbagai perusahaan asing lainnya yang berasal dari Belgia, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat turut mengambil 79 D. Meuraxa. 1975. Sejarah Hari Jadinya Kota Medan. Medan: Sastrawan. 80 Ibid. hal. 34. 81 John Anderson. 1924. Mission to East Sumatra: A Report. London: Blackwood. Lihat juga penejasalan K. J. Pelzer. 1978. Planter and Peasent: ColonialPolicy and the Agrarian Stuggle in East Coast Sumatera 1863–1847. s’Gravenhage: Martinus Nijhoff. Universitas Sumatera Utara 45 bagian dalam pembangunan perkebunan ini. Perkebunan besar ini dapat dianggap sebagai pangkal kemasyuran tanah Melayu Sumatera Timur yang mendapat julukan daerah dolar, tetapi juga dapat dianggap sebagai pangkal bencana yang mematikan tradisi pertanian Melayu. 82 Kota Medan berkembang dari sebuah kampung bernama Kampung Medan Putri yang didirikan oleh Guru Patimpus sekitar tahun 1590-an. Disebabkan keletakannya yang berada di Tanah Deli, Kampung Medan juga sering dikenal sebagai Medan-Deli. Lokasi asli Kampung Medan adalah sebuah tempat pertemuan Sungai Deli dengan Sungai Babura. Medan pertama kali ditempati oleh orang-orang Karo. Hanya setelah penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda, mengirimkan panglimanya, Gocah Pahlawan Gelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil Kerajaan Aceh di Tanah Deli, barulah Kerajaan Deli mulai berkembang. Perkembangan ini ikut mendorong pertumbuhan dari segi penduduk maupun kebudayaan Medan. Medan tidak mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an, ketika penguasa-penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau. Dengan cepatnya, Medan menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di bahagian barat Indonesia. Belanda menguasai Tanah Deli sejak tahun 1658, setelah Sultan Ismail, penguasa Kerajaan Siak Sri Indrapura, memberikan beberapa bekas tanah kekuasaannya: Deli, Langkat dan Serdang. Pada tahun 1915, Medan menjadi ibu kota provinsi Sumatra Utara secara resmi, dan pada tahun 1918 ia menjadi sebuah bandar. Untuk menopang perkembangan perkebunan Sumatera Timur, pemerintah Belanda menjalankan politik pintu terbuka open door policy bagi kehadiran kaum perantau dari dalam maupun luar negeri. Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja, terutama di perkebunan, karena orang Melayu, Karo, dan Simalungun dianggap tidak berminat bekerja sebagai buruh perkebunan 83 , atau karena perusahaan perkebunan sendiri tidak menyukai dan tidak percaya kepada mereka. 84 82 T.Lukman Sinar. 1976. The Impact of Dutch Colonialism on the Malay Coastal States in the East Sumatera During the 19 Century. hal. 9. 83 M. Said. 1973. “What was the Social Revolution of 1946 in East Sumatera in Indonesia?”. Indonesia No. 15. 84 Pelzer, Op. Cit. hal. 69. Universitas Sumatera Utara 46 Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 setidaknya ada dua gelombang migrasi ke Sumatera Timur. Gelombang migrasi pertama berupa kedatangan orang Cina dan Jawa sebagai kuli kontrak di perkebunan, tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang Cina, karena sebagaian besar dari mereka lari meninggalkan kebun. Lagi pula mereka selalu menimbulkan kerusuhan. Perusahaan perkebunan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa. Orang-orang Cina bekas buruh kebun tersebut kemudian menetap di kota-kota Sumatera Timur, seperti di Medan. Mereka kemudian mengembangkan lapangan perdagangan bersama dengan kelompok etnis perantau seperti orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Sebagian besar para perantau domestik ini datang pada gelombang kedua. Berbeda dengan pendahulu mereka, orang Mandailing, Minangkabau, dan Aceh ini datang ke kota Medan bukan untuk bekerja di perkebunan sebagai kuli kontrak, tetapi mereka datang untuk berdagang, bekerja di kantor, menjadi guru, dan ulama. Orang Mandailing terpelajar itu banyak diterima bekerja sebagai kerani di perusahaan perkebunan dan kantor pemerintahan kolonial Belanda atau Kesultanan Melayu. Kecenderungan orang Mandailing di bidang okupasi ini merupakan suatu preferensi yang kuat dan terus berkembang di arah pembangunan dinasti Mandailing di bidang kepegawaian, 85 sedang perantau Minangkabau tidak begitu berminat menjadi pegawai dan lebih banyak mencurahkan perhatian ke bidang perdagangan eceran, dan kaum terpelajarnya cenderung mengembangkan usaha mandiri dan menduduki jabatan profesional, esperti notaris, wartawan, dan dokter. 86 Kelompok-kelompok etnis lainnya juga berusaha “menguasai” sumber-sumber kehidupan ekonomi untuk kepentingan kelompoknya. Statistik komposisi etnis kota Medan tahun 1920 dan 1930, menunjukkan hampir 50 penduduknya merupakan bangsa asing yang terdiri dari Cina, India, Arab, Belanda, Inggris, Jerman, dan Belgia, selebihnya adalah kelompok bangsa Indonesia, yaitu Jawa 23,1, Minangkabau 6,8, Melayu 6,65, dan Mandailing 5,70, serta Batak Toba yang hanya 1. Dari komposisi penduduk ini tampak 85 Usman Pelly. 1983. Sejarah Sosial Kota Medan. Jakarta: IDSN Depdikbud. 86 Usman Pelly dan Darmono. 1981. Pandangan tentang Makna Hidup Transisionalitas Masyarakat Studi Kasus Sumatera Utara. Jakarta: Studi Strategi Kebudayaan. LIPI. Universitas Sumatera Utara 47 bahwa orang Melayu, meskipun suku asli, namun tampak bahwa orang Melayu sejak 1920 telah menjadi minoritas di Medan. Kedudukannya sebagai kelompok minoritas pada waktu itu belum berdampak negatif terhadap kehidupan orang Melayu secara keseluruhan di kota Medan. Setidaknya ada dua faktor lain yang sangat berperan dalam menopang kedudukan sosial orang Melayu, yaitu faktor politik dan budaya lokal. Dalam kedua bidang tersebut orang Melayu masih dominan. Dalam bidang politik, kekuasaan Sultan Deli masih mampu melindungi kepentingan orang Melayu. Dalam perjanjian antara Sultan Deli dan pemerintah kolonial Belanda yang tercantum dalam Kontrak Panjang Lange Verklaring, Sultan memiliki kekuasaan pemerintahan otonomi ke dalam selfgoverning territories, terutama dalam masalah tanah, adat, dan agama. Dalam masalah lain, penduduk kota adalah kawula government yang tunduk kepada hukum pemerintahan kolonial Belanda dan bukan kawula Sultan. Dalam akta konsesi tanah yang terakhir 1982, hak ulayat adat orang Melayu tetap diakui, bahkan pihak swasta dapat mengikat kontrak dengan Sultan tanpa harus meminta persetujuan Batavia, tetapi kontrak tersebut baru sah apabila telah disetujui Batavia. Hal ini menunjukkan bahwa Batavia tidak lagi mempunyai kekuasaan mutlak atas tanah. 87 Dalam bidang budaya lokal, kekuasaan adat dan agama yang didukung oleh faktor ekonomi perkebunan yang melimpah di kesultanan telah menampilkan sosok budaya Melayu yang tangguh, walaupun aktivitas budaya ini secara seremonial masih tetap berpusat di istana, seperti perayaan agama dan acara kesenian Melayu. Adat istiadat Melayu dan tata krama kehidupan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam menjadi standar dalam kehidupan masyarakat Medan yang majemuk, terutama bahasa dan kesenian yang merupakan isi dari wujud budaya Melayu yang cukup dominan. Adat dan agama menjadi satu kesatuan dalam budaya Melayu, sehingga kedua aspek kehidupan itu senapas. Budaya Melayu adalah budaya Islam. Orang yang masuk Melayu dikatakan juga masuk Islam, begitu juga sebaliknya. 87 T.L. Husny. 1976. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Pesisir Deli Sumatea Timur 1612-1950. Medan: Badan Penerbitan Husny. Lihat juga Mahadi. 1978. Sedikit Perkembangan Hak-hak Suku Melayu atas Tanah Sumatera Timur. Bandung: Penerbit Alumni. Universitas Sumatera Utara 48 Orang Karo, Simalungun, atau Cina yang masuk Islam juga disebut masuk Melayu. Secara kultur, mereka memang memelayukan diri dengan meninggalkan marga Barak, hidup dalam adat resam Melayu, dan dalam kehidupan sehari-hari memakai bahasa Melayu. Melayunisasi orang Batak Karo, Sumalungun, Dairi di medan pada awal abad ke-20 berdasar pada sistem budaya Melayu Islam Melayo Moslem Culture yang dijadikan sebagai landasan ideologi wadah pembaruan melting pot aneka suku Batak. Bahkan orang-orang Mandailing dan SiprokAngkola yang telah memeluk Islam di kampung halamannya menjalani proses Melayunisasi juga. Walaupun mereka banyak yang menjadi ulama, nazir, dan imam masjid, atau khadi Sultan. Orang Jawa tidak banyak terlibat dan dilibatkan dalam kehidupan bersama di kota Medan, karena peran mereka sebagai bekas kuli kontrak yang sebagian besar berasal dari strata bawah wong cilik tetap menduduki posisi minor dalam okupasi dan pemukiman kota, kecuali kaum ningrat Jawa yang banyak berperan sebagai ambtenaar dan pegawai tinggi pemerintahan kolonial. Mereka terpisah dari orang Jawa kebanyakan tadi. Keadaan seperti ini dikehendaki oleh pemerintah kolonial Belanda agar orang Jawa itu lepas dari lapisan pemimpin mereka. Di antara kalangan perantau domestik di kota Medan, ternyata orang Minangkabau enggan dan menolak Melayunisasi dengan beberapa alasan diantaranya adalah keterkaitannya yang kuat dengan kampung halaman dalam kaitannya dengan budaya perantau. 88 Pada masa kolonial, kebanyakan penduduk pribumi termasuk orang- orang Melayu tidak tertarik pada lapangan kerja perburuhan. Lapangan kerja kepegawaian menjadi incaran preferensi mereka, tetapi dalam mengembangkan karir orang Melayu banyak terbentur karena rendahnya tingkat pendidikan, dan hanya kelompok bangsawan saja yang mendapat pendidikan agak tinggi. Sehingga, yang berhasil mencapai karir yang tinggi di bidang tersebut adalah kelompok orang-orang Mandailing dan Jawa atau warga sukubangsa lain yang terpelajar. 88 Said. Op. Cit. Universitas Sumatera Utara 49 Di bidang perdagangan kota dan karena adanya pertimbangan politik kolonial lainnya menyebabkan pemerintah Belanda mendorong orang-orang Cina bekas kuli perkebunan untuk menguasai perdagangan menengah, sedang orang-orang Minangkabau yang mempunyai preferensi di bidang okupasi dagang dapat dibendung agar mereka puas bergerak di bidang perdagangan kelas rendah. Kebijakan ini juga berlaku untuk kelompok etnis lainnya yang mencoba terjun ke bidang perdagangan atau industri, sedangkan perdagangan tingkat tinggi, seperti perbankan, ekspor, dan impor tetap dikuasi oleh orang Belanda dan Eropa lainnya. Pada masa pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan diawali oleh Revolusi Sosial di Sumatera Timur pada tahun 1946 telah merombak posisi sosiopolitis terhadap kaum bangsawan di Medan. Bagi kelompok-kelompok bangsawan revolusi sosial hanya suatu mimpi buruk, sebab revolusi ini hanya berhasil merombak struktur pemerintahan kesultanan, tetapi tidak mengubah sistem sosial dan sikap mental kaum bangsawan. Pada dekade pertama setelah penyerahan kedaulatan, kota Medan dibanjiri perantau baru dari berbagai suku bangsa, terutama suku Batak Toba dan Tapanuli Utara. Kelompok ini terdiri dari tenaga-tenaga muda terpelajar dan petani-petani yang dijuluki oleh Langerberg sebagai land hunter pemburu tanah. 89 Sasaran okupasi mereka adalah kepegawaian dan pertanian. Pembukaan perkantoran pemerintahan republik sebagai perluasan jaringan birokrasi memerlukan tenaga-tenaga yang berpendidikan. Kesempatan yang terbuka ini kemudian sepenuhnya dipergunakan oleh para perantau Batak Toba yang rata-rata memiliki pendidikan formal yang mereka peroleh dari sekolah- sekolah yang diasuh oleh zending di Tapanuli Utara. Sejak dijadikan sebagai sebuah bandar ketika itu penduduk Medan telah berjumlah 43.826 jiwa, dan terdiri dari 409 orang bangsa Eropa, 25.000 orang bangsa Indonesia, 8.269 orang bangsa Cina dan 130 orang bangsa Asia lainnya. Sampai kemudian penataan dan pembentukan beberapa kecamatan di Sumatera Utara termasuk kota Medan, maka sejak tahun 1996 memiliki 21 89 M. V. Langerberg. 1982. Class and Ethnic Conflict in Indonesia’s Decolonization Process: A Study of East Sumatera, Indonesia. Itacha: Southeast Asia Project, Cornell University. Universitas Sumatera Utara 50 kecamatan. Sedangkan total penduduk pada tahun 2007 sebesar 2.036.018 jiwa. Luas wilayah mencapai 265,10 km, kepadatan penduduk mencapai 7.681 jiwakm. Penduduk asli kota ini adalah orang Karo dan Melayu, tetapi saat ini kota ini merupakan kota multi etnis yang menarik. Perluasan areal kota ini telah mendorong pemekaran dan pendistribusian fasilitas perkotaan, seperti pusat- pusat perbelanjaan, transportasi, dan fasilitas kehidupan kota lainnya. Perluasan dan migrasi Batak Toba telah menyebabkan perubahan dalam komposisi etnis kota Medan dengan gambaran sebagai berikut: Tabel 2.1: Komposisi Etnis Kota Medan tahun 2005 No. Etnis 1. Jawa 29,41 2. Batak Toba 14,11 3. Cina 12,80 4. MandailingSipirok 11,91 5. Minangkabau 10,93 6. Melayu 8,57 7. Karo 3,99 8. Aceh 2,19 9. Sunda 1,90 10. Simalungun 0,67 11. Dairi 0,24 12. Nias 0,18 13. Lain-lain 3,04 Sumber: BPS kota Medan tahun 2006. Kemajuan bidang ekonomi, berdasarkan harga berlaku pada tahun 2006 pendapatan perkapita telah mencapai Rp10.010.370,37 sedangkan tahun 2001 sebesar Rp. 7.325.095,39. Pada tahun 2000, Indeks Pembangunan Manusia IPM kota Medan mencapai 70,8. Dibandingkan dengan 25 daerah kabupatenkota di Propinsi Sumatera Utara, kota Medan menempati urutan 2 setelah Kota Pematang Siantar. Kemudian tahun 2005, IPM Kota Medan meningkat mencapai 73,4. Meningkatnya nilai IPM Kota Medan tidak terlepas dari berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah kota Medan. Dengan motto “Bekerja sama dan sama-sama bekerja demi kemajuan dan kemakmuran Medan kota metropolitan, Pemerintah kota Medan menggandeng berbagai pihak untuk memberi sumbangsih nyata bagi pembangunan kota. Pengentasan kemiskinan merupakan upaya besar yang Universitas Sumatera Utara 51 menyangkut masa depan bangsa. Hal tersebut dikarenakan kemiskinan merupakan masalah kompleks dan rumit yang membutuhkan komitmen semua pihak untuk menyelesaikannya. Didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional SUSENAS, di tahun 2006, jumlah penduduk miskin di kota Medan mencapai 7,25 persen. Jumlah meningkat dibanding pada tahun 2005 yang mencapai 4,8 persen. Sampai dengan tahun 2004, kota Medan berkembang tidak hanya pada struktur kota, namun berikut juga perkembangan organisasi kemasyarakatan tingkat lokal. Munculnya beragam organisasi masyarakat di kota Medan tidak terlepas dari kebebasan yang didapat setelah jatuhnya pemerintah Orde Baru. Untuk tingkat lokal, adanya kebebasan berorganisasi setidaknya diharapkan dapat memunculkan keinginan-keinginan masyarakat lokal dalam melaksanakan demokrasi lokal. Hal ini penting dilihat dalam kaitan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Tumbuhnya beragam organisasi masyarakat di kota Medan menandakan bahwa tingginya partisipasi masyarakat kota Medan terutama ketika pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Di kota Medan, sebanyak 46 organisasi kemasyarakatan dan pemuda OKP telah terdaftar di kota Medan. OKP yang terdaftar di Kesbang dan Linmas kota Medan tersebut sangat beragam diantaranya ada yang berbasiskan etnis, agama dan nasional seperti Ikatan Pemuda Tapanuli Selatan Imatapsel, Himmah Alwashliyah, Pemuda Katolik, GMKI, GM Kosgoro, Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, FKPPI, dan lain sebagainya. Sedangkan partai politik baru yang terdaftar di Kesbang dan Linmas sampai Januari 2008 berjumlah 37 parpol. Selain itu, jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan yayasan di kota Medan, yang terdaftar di Kesbang dan Linmas kota Medan, berjumlah 115 orang dengan beragam spesifikasi bidang pekerjaan diantaranya pekerja sosial anak, pendidikan, kesehatan, pemukiman kumuh, kajian wanita, dan lain sebagainya. Untuk ormas keagaamaan di kota Medan berjumlah 27, ormas umum berjumlah 45, dan organisasi profesi lainnya berjumlah 14. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 2.2. berikut. Universitas Sumatera Utara 52 Tabel 2.2: Data OKP, Partai Politik,dan Ormas di Kota Medan tahun 2008 No. Organisasi Jumlah 1. Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda 46 2. Partai Politik baru terdaftar 37 3. LSM dan Yayasan 115 4. Ormas Keagamaan 27 5. Ormas Umum 45 6. Organisasi Profesi 14 Sumber: Bidang Hubungan Antar Lembaga Badan Kesbang dan Linmas kota Medan tahun 2008. Pada saat penyelenggaraan Pemilu 2004, kota Medan dengan gaya modernisasinya, dipimpin oleh seorang Walikota dan Wakil Walikota terdiri atas 21 kecamatan dengan 151 kelurahan yang terbagi dalam 2000 lingkungan. Anggota DPRD kota Medan pada tahun 2007, hasil Pemilu 2004, berjumlah 45 orang, yang terdiri dari 9 orang anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera PKS, 6 orang anggota Fraksi Partai Demokrat PD, 6 orang anggota Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan PDIP, 6 orang anggota Fraksi Partai GOLKAR, 5 orang anggota Fraksi Amanat Nasional PAN, 5 orang anggota Fraksi Partai Damai Sejahtera PDS, 4 orang anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan PPP, 3 orang Fraksi Partai Bintang Reformasi PBR, dan 1 orang anggota Fraksi Partai Patriot PP. Pemilu 2004 menghasilkan susunan dari unsur partai yang berbeda dari pemilu sebelumnya. PKS sebagai partai Islam kota berhasil mendulang suara terbanyak dan memperoleh kenaikan sebesar 9 kali lipat dari jumlah anggota DPRD kota Medan dari PKS. DPRD kota Medan Periode 1999-2004 PKS hanya bisa memperoleh 1 wakil di DPRD, namun pada Pemilu 2004 wakil PKS menjadi 9 orang. Ini menunjukkan bahwa partai ini memiliki konstituen pemilih dalam pemilu 2004 yang cukup signifikan. Meskipun terdapat partai Islam lainnya di kota Medan seperti PPP dan PBR serta PAN yang dikenal memiliki basis massa kaum Muhammadiyah. Namun, karena kader-kader PKS juga adalah para pendakwah atau disebut ustad yang sering memberikan pengajian kepada masyarakat sekitar dianggap cukup efektif dalam meraih suara pada pemilu 2004. Universitas Sumatera Utara 53

2.2. ”Ini Medan, Bung” Semboyan untuk Preman Medan

Dokumen yang terkait

Rekrutmen Partai Politik Dalam Pencalonan Pemilu Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus : Partai Golongan Karya Dewan Pimpinan Daerah Sumatera Utara)

1 59 98

Kebijakan Partai Politik Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Studi Kasus: Kebijakan Partai Demokrat Dalam Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut Periode 2013-2018)

0 51 95

Partisipasi Politik Masyarakat Karo Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010 (Studi Kasus: Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan)

2 71 90

Tingkahlaku Politik Etnis Tionghoa Dalam Pemilihan Kepala Daerah 2010 Di Kelurahan Pusat Pasar Medan Kota

0 50 99

Peranan Komisi Pemilihan Umum dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Untuk Meningkatkan artisipasi Politik Masyarakat (Studi pada Kantor Komisi Pemilihan umum Tapanuli Utara)

16 168 113

Hubungan Tingkat Ekonomi Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Etnis Tionghoa Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 Kota Medan Di Lingkungan Vi Kelurahan Pusat Pasar Medan Kecamatan Medan Kota

1 41 18

A. Pedoman Wawancara untuk Organisasi Pemuda - Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

0 1 43

BAB II AKTIVITAS SOSIAL DAN POLITIK ORGANISASI PEMUDA DAN PREMAN DI KOTA MEDAN 2.1. Dinamika Sosial, Kultural, Ekonomi, dan Politik Kota Medan - Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah La

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

0 1 42

Politik Organisasi Pemuda Tingkat Lokal: Kasus Keterlibatan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kota Medan

0 2 18