55 perjalanan sosial-ekonomi dan struktur kekuasaan yang menjadi bagian dari
sejarah Medan. Misalnya, untuk menjelaskan mengapa ada Istana Maimun, Istana Tjong A Fie di pusat kota, masing-masing dengan pengaruh asing yang di
tampung, dan gedung-gedung bergaya klasik Eropa. Di lain pihak, kehadiran becak masih mencerminkan kemiskinan yang membelenggu. Lebih mendasar
lagi adalah bahwa Medan sempat menjadi pusat eksploitasi manusia karena kebijakan kolonial mengimpor tenaga kerja dari Jawa, bahkan Cina dan India,
untuk mengerjakan perkebunannya secara menguntungkan. Karena itu, tindakan kekerasan, ancaman dan intimidasi menjadi cara-cara yang tidak asing dalam
kehidupan sosial masyarakat kota Medan
2.3. Memahami Preman, Organisasi Pemuda dan Politik di Kota Medan
Keberadaan preman di kota-kota besar, seperti Medan merupakan akibat tidak langsung dari pertumbuhan penduduk yang cepat dan urbanisasi. Sebagian
besar pendatang dari luar daerah, mempunyai angan-angan yang tinggi untuk mendapatkan pekerjaan di kota-kota besar. Namun, karena tidak berbekal
pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang cukup, mereka menemui kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Kegagalan tersebut, tidak menjadikan
mereka untuk kembali ke tempat asalnya. Mereka seringkali tinggal di area kumuh, dan melakukan pekerjaan serabutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Kehidupan yang demikian berat, menjerumuskan mereka untuk melakukan praktek preman.
Menurut Syafaruddin Lubis
91
, istilah preman itu pada mulanya muncul di kota Medan.
”Kata preman dikenal dari istilah bahasa Belanda vrije man yang artinya lelaki bebas. Kala itu, istilah preman hanya dikenal di kawasan
onderneming perkebunan yang ada di sekitar kota Medan, kemudian berkembang ke wilayah Sumatera Timur. Diantaranya adalah perkebunan
tembakau, karet, kelapa sawit, dan sebagainya. Keberadaan vrije man ketika itu sangat ditakuti para pengusaha perkebunan yang pada
umumnya adalah berkebangsaan Belanda. Karena apa? Ketika itu, lelaki bebas itu sengaja dikembangkan dan sering dimanfaatkan para pekerja
91
Suara Pembaruan, 1995. Dikutip dari Simanjuntak. 2007. Op. Cit. hal. 5-9.
Universitas Sumatera Utara
56 perkebunan dari tindakan sewenang-wenang pengusaha melalui centeng-
centeng yang bertindak sangat tidak manusiawi. Para centeng yang merupakan suruhan Belanda, sangat ditakuti para pekerja perkebunan.
Para pekerja perkebunan pada mas itu kebanyakan dari Pulau Jawa, India, dan Tiongkok, yang datang ke Sumatera Timur melalui Singapura
dan Pulau Penang. Karena sulitnya lidah orang Indonesia mengucapkan vrije man, maka lama kelamaan istilah Belanda itu bertukar dan
berkembang menjadi preman. Sejak saat itu, preman semakin memasyarakat di kawasan perkebunan di Sumatera Timur. Kata vrije
man itu sendiri sama artinya dengan free man dalam bahasa Inggris, yakni lelaki bebas, atau orang-orang lelaki bebas yang tidak punya
pekerjaan, dan mencari uang dengan mudah. Pada mulanya, keberadaan preman di masa Belanda yakni sekitar tahun 1880, saat Belanda mulai
membuka perkebunan di Sumatera Timur sangat menolong pekerja dari ulah yang tidak manusiawi dari para pengusaha perkebunan maupun
centeng-centengnya. Apabila preman masuk warung-warung, selalu tidak dikenakan bayaran. Karena pada saat itu, kebanyakan pekerja
perkebunan di Sumatera Timur berasal dari Pulau Jawa, maka istilah preman kemudian berkembang menjadi prei mangan, yakni gratis makan
dan minum di warung-warung milik istri-istri pekerja perkebunan. Para preman itu sengaja diberi makan dan minum gratis, karena apabila
mereka di warung itu, pengusaha dan centeng-centeng kebun tak berani berbuat apa-apa. Tak berani minta upeti kepada isteri karyawan yang
berjualan. Jadi ketika itu, preman dijadikan backing isteri pekerja perkebunan untuk mengamankan jualannya. Melihat kenyataan yang
dihadapi pada masa koeli kontrak itu, terkesan keberadaan preman pada awalnya berjiwa nasionalis. Mereka hadir untuk membantu kaum lemah,
kaum pekerja yang stratanya jauh dari kondisi yang menggembirakan. Para pekerja yang sudah membanting tulang kala itu, sering diperlakukan
tidak manusiawi oleh pengusaha perkebunan dan centeng-centengnya. Namun, oleh preman, tindakan-tindakan tidak manusiawi itu dicegah
lewat kekuatan otot. Hal yang sama juga dilakukan oleh preman-preman ketika melawan penjajahan Belanda. Mereka juga ikut berjuang,
berperang melawan kolonial. Ketika kota Medan terus berkembang, di kalangan penduduk WNI keturunan juga muncul samseng-samseng yang
peranan dan status mereka sama dengan preman. Begitu hebatnya perjuangan preman dan samseng ketika itu, sehingga pengusaha
perkebunan dan centeng harus mundur teratur. Tapi kenapa sekarang ini, jiwa preman itu luntur? Sekarang kata preman sering dikonotasikan
dengan kejahatan. Mendengar kata preman, yang muncul adalah rasa takut dan ketidaknyamanan. Ternyata, hingga kini isitlah preman tetap
bertahan dan bahkan terus berkembang, walaupun kelahirannya sudah mencapai usia ratusan tahun. Namun, telah terjadi pergeseran nilai-nilai
perjuangan preman masa lalu dan sekarang, akibat kemajuan zaman dan keterbukaan yang terjadi. Pada era 1950-an, preman diharapkan
kehadirannya di kedai-kedai kopi dan bioskop-bioskop yang ada di inti kota Medan. Dengan penampilan yang cukup necis, preman itu juga
dijadikan backing oleh pengusaha kedai kopi dan pemilik bioskop untuk mengamankan
usaha-usahanya. Seperti
juga pada
saat kelahirannya,para preman itu tidak mempunyai pekerjaan. Hanya prei
mangan, seperti yang diistilahkah orang Jawa yang bekerja di
Universitas Sumatera Utara
57 perkebunan kala itu. Memang kenyataannya, preman itu tak punya
pekerjaan, hanya ingin mencari makan gratis. Keberadaan preman di kota Medan terus berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Setelah tahun
1950-an, preman mulai terlihat banyak berkumpul di persimpangan jalan. Kehadiran para preman itu selalu dalam pakaian yang serba necis, dan
kebanyakan diantaranya terbatas hanya memikat dan merayu wanita cantik. Penampilan preman di berbagai persimpangan lainnya tumbuh
subur, sehingga menimbulkan rasa cemburu satu sama lain. Pada gilirannya, preman-preman itu membuat kelompok. Pada masa itu,
preman tampil cukup satria. Perkelahian sering timbul, tapi ketika itu hanya pimpinan yang satu lawan pimpinan kelompok lainnya. Tidak
pernah melakukan perkelahian berkelompok, seperti terjadi sekarang ini. Biasanya, apabila terjadi perselisihan antara satu kelompok preman
dengan kelompok lainnya, perkelahian sering dilakukan di belakang Stadion Teladan Medan sekarang. Kenapa? Di sana ketika itu wilayahnya
masih sangat sepi, sehingga perkelahian antar sesama preman itu tidak mengganggu masyarakat banyak. Itulah hebatnya preman masa itu. Tapi
kini apa yang terjadi? Preman sering berkelahi secara berkelompok dan di tempat ramai, sehingga sangat mengganggu ketertiban umum. Sejalan
dengan perkembangan kota Medan, maka preman yang ada di kota itu pun membentuk kelompok-kelompok. Sehingga dikenal preman Teladan,
preman Medan Baru, preman Astanaria, preman Gang Buntu Jalan Veteran, preman Sukaramai, dan preman Sambu.”
Istilah preman di daerah-daerah lain di Indonesia, dengan pengertian yang sama, berbeda-beda. Di Minangkabau misalnya istilah preman vrije man
ini dikenal dengan logat lokalnya pareman atau dengan istilah khas Minang yaitu parewa. Sedangkan di Pulau Jawa, dikenal juga istilah preman, hanya
penyebutannya berbeda-beda. Di Jawa Tengah misalnya dikenal Gali gabungan anak liar, di Jawa Timur dikenal istilah Korak kotoran rakyat, dan mungkin di
daerah lainnya terdapat sebutan khusus bagi mereka. Di Betawi misalnya dikenal dengan sebutan jawara, dan di kalangan anak muda dikenal dengan sebutan
prokem. Dinamika
kehidupan yang
keras karena
tuntutan lingkungan
menyebabkan setiap individu harus mampu bertahan dalam situasi yang sangat sulit. Kondisi tersebut terlihat ketika Indonesia berada pada tahun-tahun krisis
yaitu masa 1950-an yang ditandai dengan masih bergeloranya istilah revolusi dari Bung Karno sebagai Presiden ketika itu di tengah ketidakstabilan politik yang
sedang terjadi. Belakangan individu-individu yang keras itu kemudian disebut dalam istilah preman
92
karena adanya kekurangan untuk memenuhi tuntutan
92
Mengenai pengertian preman lihat Maruli CC Simanjuntak. 2007. Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
58 kehidupan yang sangat keras. Gelandangan, meningkatnya kriminalitas,
persaingan antar geng atau crossboys di kalangan pemuda dan dalam beberapa kasus mengarah ke kriminal merupakan beberapa masalah sosial yang lahir dari
situasi baru paska perjuangan kemerdekaan. Tidak semua masalah ini mampu diselesaikan oleh pemerintah, termasuk di kota Medan pada waktu itu, yang
dampaknya juga menyangkut pada masalah politik .
Mobilisasi militer sepanjang masa revolusi yaitu pada tahun 1945-1949 begitu juga akhir 1950-an ketika pemberontakan PRRI terhadap Jakarta
menyeret beberapa suku-suku di daerah terlibat dalam gerakan tersebut. Di Medan misalnya, gerakan ini banyak dilakukan oleh suku-suku minoritas,
misalnya suku Batak dan suku Mandailing yang datang ke Medan. Individu atau kelompok yang bergabung dalam gerakan ini kemudian dimobilisasi dan selalu
berhubungan dengan pimpinan militer yang terlibat dalam pemberontakan ketika itu. Bahkan kemudian mereka selalu bertugas untuk mengawasi wilayah guna
keperluan ekonomi yang bersifat informal tersebut.
93
Sejak tahun 1960-an mereka ini dikenal sebagai preman karena kegiatan yang dilakukannya seperti
mengutip uang kepada pedagang di dalam pasar, tukang catut karcis di bioskop, dan bertindak sebagai penjaga keamanan di daerah kediaman etnis Cina yang
dikenal sebagai pedagang kaya. Kebanyakan dari mereka kemudian terlibat dalam kegiatan politik seperti berkembangnya paham tentang sosial demokrat
terutama pada buruh-buruh perkebunan dan industri di Sumatera Utara
94
. Karena konflik politik antar partai di tingkat nasional dan untuk merespons
radikalisme buruh sayap kiri di perkebunan dan industri seperti di Medan misalnya, maka otoritas militer membentuk serikat buruh anti-komunis seperti
Soksi, mengorganisasikan kaum muda ke dalam Pemuda Pancasila PP dengan tujuan mengawasi dan mencegah pengaruh komunis di daerah-daerah termasuk
di kota Medan. Ketika terjadi peristiwa Oktober 1965 kelompok ini ditempatkan untuk memimpin ”pembersihan” dari setiap individu dan kelompok yang dicurigai
sebagai anggota atau bagian dari Partai Komunis Indonesia PKI.
95
Tersangka
93
Lihat keterangan Ryter. Op. Cit.
94
Lihat Ben Anderson. 1998. “Radicalism after Communism”, dalam Benedict Anderson. The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia and the World. London: Verso. hal. 98.
95
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
59 dari pimpinan itu sebagian besar berasal dari etnis Jawa yang dipekerjakan
sebagai buruh perkebunan dan jalan kereta api serta etnis Cina karena tuduhan keterlibatan Negeri China yang komunis.
Para pemimpin yang melaksanakan ”pembersihan” kaum komunis bukan hanya berasal dari pejabat militer namun justru banyak yang berasal dari warga
sipil. Mereka memperlihatkan tindakan anti komunis dengan cara, sikap dan perilaku yang kasar serta dengan kekerasan. Kelompok ini terus menunjukkan
kekuatannya terutama ketika awal Orde Baru untuk menguasai ekonomi dan pemerintahan. Di kota Medan misalnya, yang dikenal sebagai daerah yang kaya
akan sumber alamnya perkebunan dan industri merupakan daerah yang menjanjikan kekayaan. Sepanjang jaman kolonial, daerah ini adalah pusat
kegiatan ekspor karena kekayaan alamnya. Hasil perkebunan dari Medan seperti karet, sawit, tembakau dapat dijual secara tunai dan kebanyakan orang-orang
kaya, karena penghasilannya itu, sering menggunakannya untuk perjudian dan pelacuran. Tjong A Fie misalnya – seorang pengusaha keturunan Cina dan
diakui oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai seorang perantara dagang non- European terkemuka – mengoperasikan perjudian yang diizinkan oleh
pemerintah kolonial, membuka usaha candu, dan hampir tigapuluh rumah pelacuran. Namun, akhir tahun 1960-an karena tekanan politik, para etnis Cina
yang menjalankan usaha tersebut harus memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh pemerintah jika tidak maka usahanya terancam untuk ditutup. Pada saat
bersamaan kekuatan preman ternyata memiliki keingingan untuk menyediakan jasa ”perlindungan” bagi mereka yang memerlukannya, seperti ancaman dari
penutup, perampasan, atau lebih buruk dari itu. Dari kondisi-kondisi seperti itu menyebabkan pengaturan sosial dan
bahkan politik berada dalam mainan preman Medan, bukan berada dalam koridor hukum. Jakarta sendiri tidak pernah mampu secara sempurna melakukan
pembenahan struktur pemerintahan di Medan. Otoritas lokal dan pusat terpaksa ”berunding” dengan ”angkatan perang mafia” yang beranggotakan masyarakat
setempat yang tumbuh dan berkembang karena dibina oleh para kelompok preman tersebut. Peristiwa pemilihan walikota Medan yang dilakukan pada awal-
awal Orde Baru menunjukkan kekuatan para preman itu. Pemuda Pancasila misalnya yang telah secara terbuka dan sukses berkampanye untuk Sjoerkani
Universitas Sumatera Utara
60 agar menjadi walikota Medan melawan calon yang didukung oleh komando
militer. Ternyata, Sjoerkani menang dan menjadi walikota Medan periode 1966- 1974 karena andil dari kekuatan preman.
Selama masa jabatan Sjoerkani, pengaruh Pemuda Pancasila menjadi lebih kuat. Para anggotanya ditekankan untuk memiliki usaha dagang baik yang
sah maupun tidak dan beroperasi di kota agar diatur dengan ketat. Karena itu pula etnis Cina sering menyebut mereka sebagai ”cakar lima” go-jiao bukannya
”lima prinsip” sebagaimana butir-butir Pancasila. Pedagang yang disebut sah jika memiliki komoditi yang jelas untuk diperdagangkan sedangkan yang tidak sah
seperti ”menjaja” jasa pengamanan bagi para ”toke” atau bos suatu perusahaan. Yang terakhir disebut sering digunakan oleh etnis Cina. Pemuda Pancasila
bukan melulu dianggap sebagai suatu gerombolan penjahat yang kejam, Pemuda Pancasila juga dijadikan sebagai ”batu loncatan” di birokrasi dan bahkan
militer. Seperti sampai saat ini anggota Pemuda Pancasila masih sering menyatakan bahwa mantan Panglima ABRI Jendral Purn. Feisal Tanjung
adalah sebagai anggota dan seorang preman pasar.
96
Akibat perlakuan yang kasar itu dan terasa ”mencekik leher” para pengusaha atau pemilik bisnis serta beberapa aktivitas dari pejabat militer dan
birokrat tersebut, dan sebagian diantara mereka mencoba mencari jalan keluar dari permasalahan itu. Pada awal 1980-an terjadi perpecahan dalam internal PP
karena perebutan kendali atas wilayah kekuasaan untuk pembagian pendapatan dari usaha perjudian. Lahirnya Ikatan Pemuda Karya IPK – yang dibayai
sebagian pengusaha Cina dan didukung oleh beberapa militer, dan katanya, mendapat restu dari Benny Murdani pemimpin ABRI ketika itu –
kemunculannya dianggap sebagai upaya untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan yang dimiliki oleh PP.
Pemimpin IPK kemudian adalah seorang Kristiani yang bersuku Batak Toba serta menguasai bahasa Hokkien, dialah Olo Panggabean. Tidak seperti
Pemuda Pancasila, IPK memulainya secara langsung untuk mengatur operasi perjudian ketimbang melakukan penekanan, berkedok perlindungan, dengan
kekerasan untuk mendapatkan uang. Olo kemudian sudah memulai usaha itu
96
Wawancara dengan Darwin Nasution, 17 November 2007.
Universitas Sumatera Utara
61 ketika masih menjadi anggota Pemuda Pancasila pada tahun 1973 di Medan
Fair, suatu tempat hiburan di kota Medan, ketika ia bertugas sebagai penjaga keamanan. Segera sesudah itu ia membuka KIM, berbagai permainan kartu
bingo yang dimainkan untuk mendapatkan hadiah tunai, yang dilakukannya secara terbuka di Medan Fair.
Situasi tersebut tidak berjalan secara normal, terjadi perkelahian antara kelompok PP dan IPK serta tidak jarang yang mengalami kematian akibat
pekelahian itu. Hal itu sering dilakukan baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi misalnya dengan penculikan disertai pembunuhan. Untuk
mendukung eksistensi usahanya, IPK berusaha mencari dukungan yang bersifat politis. IPK berusaha keras untuk mendukung Golkar dengan penuh semangat
dibanding yang dilakukan PP. Setiap kampanye pemilu Golkar, IPK menyediakan lokasi untuk menunjukkan kepada elit Golkar sebagai bentuk show
of force. Masing-masing kelompok memobilisasi beribu-ribu anggotanya dan dapat dilihat melalui penggunaan atribut seragam seperti pakaian loreng ala
militer. Begitulah usaha-usaha untuk mendapatkan perlindungan secara politis yang dilakukan baik oleh PP maupun IPK. Pada akhir 1980-an dan awal 1990-
an, muncul kelompok pemuda nasional pendukung Golkar lainnya yang menjadi underbow di wilayah Medan, seperti FKPPI, kelompok anak-anak purnawirawan
ABRI, yang pada masa Orde Baru keberadaannya dipimpin oleh putra penguasa nasional Orde Baru, Suharto, yaitu Bambang Trihatmojo. Aktivitas FKPPI tidaklah
jauh berbeda dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh kedua organisasi pemuda pendahulunya itu. Akibatnya, yang terjadi adalah daftar panjang tentang
perselisihan untuk memperebutkan daerah kekuasaan dengan andalan di-back up masing-masing kelompok.
Perselisihan diantara kelompok-kelompok tersebut mempengaruhi tugas- tugas pemerintahan, yang sering sekali individunya sendiri mereka dudukkan
dalam jabatan itu agar memastikan segala sesuatunya berjalan sesuai keinginan mereka. Masing-Masing kelompok mempunyai sedikitnya satu wakil di institusi
lokal itu dan selalu memiliki keterkaitan dengan Golkar. Sepanjang awal tahun 1990-an, terdapat beberapa kasus kekerasan yang melibatkan massa sekitar
penduduk. Kejadian di daerah Polonia misalnya, suatu kawasan bandara yang bersebelahan dengan pembangunan perumahan mewah, melibatkan anggota
Universitas Sumatera Utara
62 PP, IPK dan FKPPI berkelahi untuk memperebutkan pengawasan atas lahan
tersebut. Pihak pengembang berkolusi dengan pimpinan organisasi pemuda itu
untuk memprovokasi agar terjadi konflik yang berkepanjangan diantara penduduk. Provokasi itu dilakukan misalnya dengan menakut-nakuti penduduk
setempat dengan tujuan agar penduduk menjual murah dan turunnya nilai bangunan yang dimilikinya kepada pengembang. Meskipun beberapa penduduk
tercatat sebagai mantan perwira TNI AU yang sebagian masih bermukim di kompleks sekitar bandara udara Polonia Medan. Karena itu, tidak jarang
penduduk sekitar justru sering berkelahi secara massal dengan anggota PP, IPK, dan FKPPI karena kasus tersebut.
Ketika jatuhnya Orde Baru atau pada saat-saat tuntutan reformasi terjadi, para bos dari organisasi pemuda itu, mengumumkan peluang yang baru seperti
juga adanya beberapa rintangan yang baru. Mereka tidak melihat sistem demokrasi seperti munculnya multipartai dalam pemilu 1999 dan 2004 sebagai
ancaman yang akan menyingkirkan posisi mereka. Beberapa pimpinan organisasi pemuda itu masuk dan memegang posisi penting di kepengurusan
seperti partai politik dan organisasi masyarakat yang dibentuk untuk mendukung parpol tersebut. IPK misalnya tetap mendukung Golkar. FKPPI terpecah antara
Golkar dan Partai Keadilan dan Persatuan PKP yang dinilai sebagai partai serpihan dari orang-orangnya Golkar, dan beberapa pengurus partai lainnya
seperti PAN, PBB, dan PBR di kota Medan. Para pemimpin senior PP, Yapto misalnya, memberikan izin bagi anggota mereka untuk tetap membesarkan
Golkar, bergabung ke PKP, masuk ke Partai Amanat Nasional PAN, dan juga aktif di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDI-P.
97
Dan terakhir beberapa kader PP mendirikan partai sendiri yaitu Partai Patriot Pancasila. Namun, PP
tidak tegas menginstruksikan segenap jajaran organisasinya berafiliasi dengan partai tersebut.
Terlihat beberapa orang pengurus PP masih memiliki pengaruh yang cukup kuat di Partai Golkar kota Medan. Contoh kasus misalnya seorang
97
Lihat misalnya draf Keputusan Musyarawah Besar Pemuda Pancasila Tahun 1999 yang dilaksanakan di Bogor, Jawa Barat pada Bulan Desember 1999.
Universitas Sumatera Utara
63 pimpinan PP yang dicalonkan dari Partai Golkar tidak terpilih dalam Pemilu 1999
dari kecamatan Padang Bulan untuk DPRD kota Medan, namun tetap dapat memperoleh kursi legislatif itu setelah bernegosiasi dengan pengurus Partai
Golkar. Sebagian pimpinan kelompok yang menguasai kedudukan penting dapat menentukan keputusan-keputusan yang tidak lazim, namun kadang-kadang
mereka juga berpikir akan berada di bawah bendera partai baru. Pertanyaan yang sering diajukan kepada organisasi pemuda ini adalah
apakah meningkatnya jumlah partai baru berimplikasi bagi wilayah kekuasaan territorial mereka PP, IPK, FKPPI? Beberapa organisasi pemuda menyatakan
sangat berpengaruh. Yang sering terjadi kemudian adalah bentuk perkelahian dan kekerasan baru diantara pemain-pemain lama untuk memperebutkan
wilayah kekuasaan teritorial itu. Untuk IPK secara khusus tidak karena mereka tetap berada dalam satu partai yang sama meskipun tidak diatur secara tegas
dalam aturan organisasi, namun selalu dalam acara-acara yang dilakukan Golkar, IPK selalu memberikan dukungannya baik secara materi dan nonmateri.
Karena itu, dukungan yang bersifat politik dari Partai Golkar kepada IPK juga dilakukan agar seolah-olah merestui aktivitas yang dilakukan oleh IPK. Meskipun
akhirnya beberapa pengurus IPK masuk ke parpol lainnya, namun tidak mengurangi eksistensi IPK kepada Golkar.
Berbeda dengan PDI-P, anggota sayap keamanan PDI-P nya Megawati merupakan orang-orang yang sering mengalami peristiwa berbahaya, yang
anggotanya lebih banyak berasal dari PP. Jadi, penunjukkan siapa yang paling kuat diantara kelompok-kelompok preman itu berasal dari organisasi yang sama
namun sering dibungkus oleh isu-isu politik dari partai yang berbeda. Anggota Golkar dan salah seorang pengurus IPK kota Medan, Moses Tambunan,
mengatakan ”bahwa seorang anggota IPK akan dikerahkan secepat mungkin setelah pemilu selesai dilaksanakan untuk bersiap-siap menghadapi tekanan dan
juga perkelahian. Jelas bahwa PDI-P akan keluar untuk merusak kami. Mereka harus makan juga. Jika mereka minta beras, beri mereka secukupnya, tetapi jika
mereka minta mangkuk beras, tidak pernah kami berikan.”
98
98
Transkrip wawancara dari Prapanca FM dengan Moses Tambunan, mantan pengurus IPK Kota Medan, 16 Oktober 2000.
Universitas Sumatera Utara
64 Perubahan institusi lainnya akibat dari reformasi yang lebih penting
adalah bidang pertahanan dan keamanan. Pemisahan tugas pertahanan dan keamanan oleh TNI an Polri mempengaruhi keberadaan organisasi pemuda di
kota Medan khususnya PP, IPK, dan FKPPI. Tugas untuk menjaga ketertiban yang menjadi kewajiban polisi yang dipisahkan dari TNI memberi ruang baru bagi
PP untuk mengusut kembali adanya perjudian ilegal yang dilakukan oleh anggota IPK. Hubungan yang tidak terjalin dengan baik antara IPK dan kepolisian pada
saat itu digunakan oleh PP untuk mengusut usaha-usaha ilegalnya IPK. PP mulai menuntut polisi untuk bertindak tegas terhadap segala praktek perjudian yang
tidak sah. Tindakan polisi kemudian terjadi pada tahun 2000, dimana polisi membalas pembunuhan salah satu anggota kesatuannya oleh IPK dengan cara
menembaki rumah kediaman pribadi Olo. Namun, polisi ”ditegur” oleh Mabes TNI atas perintah bos dunia kriminal itu. Hal ini dilakukan karena Olo dianggap
sebagai pihak yang banyak membantu operasi logistik dan keunagan para komando militer setempat.
99
Situasi paska jatuhnya Orde Baru bagi kehidupan organisasi pemuda pada sektor politik adalah menjadi sangat dilematis. Ketika muncul kesadaran
bahwa yang disebut “kaum pemenang” adalah orang yang memiliki banyak institusi yang dari waktu ke waktu kerapkali digunakan sebagai kendaraan politik
mereka tergantung untuk isu apa institusi itu digunakan. Misalnya lembaga Eksponen 66, Pemuda Pancasila dan IPK Ikatan Pemuda Karya. Masing-
masing lembaga itu memiliki agenda sendiri untuk memuluskan isu-isu yang diusung. Di sisi lain, mereka juga aktif berada pada institusi-institusi strategis
yang banyak mempengaruhi wacana publik di Medan, seperti media pers, partai politik, legislatif dan lembaga pendidikan. Hampir setiap waktu, dalam berbagai
kesempatan, mereka sering mengingat masyarakat Medan tentang “bahaya komunis”. Mereka juga kerap menggelar apel siaga yang biasanya ditindaklanjuti
dengan ikrar kesetiaan untuk menentang kembalinya aksi kaum komunis. Namun, perilaku premanisme yang mereka lakukan tidak berbanding lurus
dengan ikrar kesetiaannya itu.
99
Lihat Ryter. Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
65 Di kota yang dijuluki sebagai “sarangnya para preman” tersebut, berbagai
tindak kekerasan yang dilakukan para preman, masih menjadi musuh kongkrit yang cukup menyita energi para aktivis organisasi non pemerintah di kota
Medan. Preman dan premanisme saat ini telah merasuk ke segala lini kehidupan di Medan. Barangkali hal ini juga merupakan faktor yang harus diperhitungkan
secara taktis, seandainya ada kesempatan untuk memberikan ruang publik bagi para aktivis demokrasi. Soalnya, sejumlah tokoh preman Medan adalah pelaku
“pembantaian” terhadap orang-orang kiri di Medan paska tahun 1965-an. Dan “peran kepahlawanan” tersebut, hingga kini masih dijadikan bahan indoktrinasi
untuk merekrut para calon preman baru. Seperti melakukan indoktrinasi bagi generasi muda baru karena ikut ”menyelamatkan” republik ini dari ancaman
komunis. Fenomena banyaknya pemuda-pemuda yang masuk menjadi anggota
organisasi pemuda itu banyak disebabkan karena tingginya angka pengangguran serta tingkat pendidikan yang masih sangat rendah terutama pada awal-awal
Orde Baru. Sehingga menjadi anggota organisasi pemuda dapat dipandang sebagai lahan pencari kerja bagi sebagian pemuda di kota Medan. Karena
alasan itu juga perkelahian antara Pemuda Pancasila dan IPK sering terjadi. Setidaknya, terdapat tiga alasan perkelahian dua OKP di kota Medan ini terjadi.
Pertama, karena alasan perebutan lahan. Setelah IPK berdiri, pada tahun 1987 oleh Olo Panggabean, maka Pemuda Pancasila sepertinya mendapatkan
saingan dalam menguasai sumber kehidupan ”di jalanan”. Yang dimaksud adalah areal atau lahan untuk ”mencari makan”. Lahan itu sebelumnya telah
dikuasai oleh anggota Pemuda Pancasila, tetapi akhirnya harus terbagi dua dengan anggota Ikatan Pemuda Karya. Perkelahian yang terjadi umumnya di
tempat yang banyak menghasilkan uang, misalnya lahan parkir, pasar atau tempat pedagang yang banyak berjualan, lokasi hiburan malam, dan pusat-pusat
perbelanjaan. Bentrokan yang terjadi di lahan-lahan tersebut karena anggota IPK ingin mengambil dan merebut daerah yang dikuasai oleh anggota Pemuda
Pancasila, disebabkan pemasukan yang didapatkan oleh anggota Pemuda Pancaila lebih banyak di daerah tersebut. Keinginan dari anggota IPK yang
berusaha merebut lokasi inilah yang mengakibatkan munculnya perkelahian dengan anggota Pemuda Pancasila. Masing-masing anggota kedua OKP ini
Universitas Sumatera Utara
66 mempersenjatai dirinya dengan senjata tajam seperti pisau, kelewang, panah
beracun, bom molotov, dan sebagainya. Persenjataan ini digunakan untuk melumpuhkan lawan-lawan yang menghalangi perlawanan mereka. Banyak jatuh
korban dari kedua belah pihak kelompok organisasi ini. Ada yang luka maupun meninggal dunia, selain itu banyak juga rumah yang rusak dan hancurnya tempat
para pedagang karena dekat dengan lokasi perkelahian. Kedua,
mempertahankan eksistensi
organisasi masing-masing.
Bentrokan atau perkelahian dilakukan karena untuk mempertahankan eksistensi organisasi. Mereka akan berusaha untuk menjatuhkan pihak lawan dan harus
menang di setiap perkelahian. Karena kemenangan itu akan dianggap sebagai kemengangan organisasi. Dan kelompok yang menang akan disegani oleh pihak
yang lain. Masing-masing anggota kelompok akan saling mempertahankan diri dalam membesarkan nama organisasi masing-masing. Selain itu, setiap anggota
organisasi yang terkena musibah dalam perkelahian seperti kena tikaman, bacokan atau sejenisnya bahkan ketika jika sampai meninggal dunia, biasanya
mereka akan mendapatkan bantuan dana dari orang-orang yang berada dalam organisasinya masing-masing. Loyalitas anggota satu kelompok akan terlihat
saat mereka dihadapkan pada suatu masalah yang besar dan dapat membawa nama organisasi. Maka saat itulah, rasa kebersamaan itu akan timbul.
Ketiga, merasa sakit hati. Perkelahian sering terjadi karena adanya kecemburuan dan sakit hati dari para anggotanya. Tidak sedikit anggota IPK
yang dipekerjakan menjadi penjaga pabrik dan satuan pengamanan satpam di perusahaan yang ada di sekitar kota Medan. Sehingga anggota Pemuda
Pancasila menjadi tersaingi karena kehadiran dari anggota IPK ini dan sakit hati oleh kehadiran anggota dari kelompok lain yang mengambil tempat kerjanya.
Perasaaan sakit hati ini juga dirasakan oleh anggota dari masing-masing organisasi apabila mereka mempunyai masalah pribadi dan dikait-kaitkan
dengan keberadaan mereka di organisasi. Banyak anggota yang berasal dari Pemuda Pancasila yang beralih keanggotaan ke Ikatan Pemuda Karya. Mereka
ini merasa sakit hati karena merasa tidak diperhatikan oleh organisasinya. Dan akhirnya, anggota yang beralih masuk ke organisasi Ikatan Pemuda Karya inilah
yang menggembosi keberadaan organisasi Pemuda Pancasila.
Universitas Sumatera Utara
67 Karena itu, keamanan menjadi terganggu dan masyarakat menjadi tidak
aman ditengah-tengah kelompok pemuda yang sedang berkelahi yang berlangsung sekitar tahun 1990 sampai akhir 2002. Hal ini dapat dilihat dari
situasi, pada tahun-tahun itu, jalan-jalan yang sepi dan pasar tradisional yang banyak ditinggal para pedagangnya. Akhirnya, pendapatan masyarakat menjadi
berkurang dan harga menjadi serba mahal karena barang-barang sulit didapat karena kerusuhan itu.
Situasi ini kemudian akan mempengaruhi perkembangan politik lokal di kota Medan. Karena adanya kesempatan bagi para pemuda untuk masuk ke
dalam otoritas politik lokal di kota Medan. Atas dasar itu, pertentangan dan perkelahian diantara kedua kelompok ini mereda pada akhir 2002. Masing-
masing elit organisasi difasilitasi oleh beberapa tokoh senior pemuda untuk menjadi mediator agar ”perebutan lahan” tersebut tidak lagi terjadi. Salah
seorang mediator yang terlibat adalah Abdillah Walikota Medan Periode 1999- 2004 yang memiliki kepentingan untuk menciptakan suasana kondusif di kota
Medan ketika itu.
2.4. Organisasi Pemuda dalam Penguasaan Politik Lokal