91 tinggal telepon kapolsek atau kanit setempat untuk menjelaskannya.
137
Dengan kekuatan uang serta kekuasaan organisasi pemuda itu bisa menyelesaikan
persoalan-persoalan yang besar dan pelik. Persekutuan yang dibangun antara pimpinan organisasi pemuda yang
banyak melakukan aktivitas premanisme, pimpinan partai politik, kepolisian, dan kejaksaan sangat kental dalam proses pilkada tahun 2005 di kota Medan.
Kekuatan lobi yang dimiliki oleh Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI dengan institusi politik lokal di kota Medan telah terjalin dengan sangat baik. Dalam
kaitan ini, ada indikasi bahwa pihak kejaksaan dan kepolisian tentunya telah mendapat beberapa bentuk bantuan yang diberikan oleh ketiga organisasi
pemuda ini. Namun, bentuk dan model perlakuannya perlu dilihat dalam kajian- kajian yang spesifik.
3.5. Analisis Dukungan, Kedudukan Tim Sukses, serta Lobi dan Jaringan PP, IPK, dan FKPPI
Jika merujuk pemaparan tersebut terlihat jelas menonjolnya Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI, khususnya di Medan, sebagai operator politik dari
calon walikota Medan. Beberapa posisi politik penting dari pimpinan organisasi pemuda itu sebagian besar berada di partai politik dan anggota DPRD kota
Medan, maka kekuatan tawar mereka semakin kuat dengan calon walikota yang akan didukung. Bila masa Orde Baru mereka terkonsentrasi pada Partai Golkar,
dengan kekuatan uang dan otot, pada masa reformasi mereka juga bisa merebut posisi pimpinan beberapa partai politik. Pemberian dukungan dari partai politik
yang dikuasi oleh pimpinan organisasi pemuda itu, mengharuskan pimpinan Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI, baik secara organisasi maupun individu,
juga mendukung calon walikota yang diusulkan. Artinya, bahwa ketiga organisasi pemuda ini hanya dijadikan sebagai alat vehicle saja bagi elit-elitnya untuk
melakukan negoisasi berupa kompensasi yang akan diberikan kepada calon walikota yang didukung. Perintah itu dapat dilakukan dengan baik oleh pimpinan
137
Wawancara dengan Uli Tobing dan Darwin Nasution di Medan, 18 Oktober 2007 dan 21 Oktober 2007.
Universitas Sumatera Utara
92 organisasi kepada anggotanya karena kekuasaan yang dimilikinya bersumber
dari kekuatan fisik dan ekonomi serta selalu menyelesaikan konflik baik dengan anggota maupun lawannya dengan cara-cara represif seperti kekerasan dan
intimidasi. Pemuda Pancasila dan IPK memberikan dukungan baik secara organisasi dan individu pimpinannya kepada pasangan Abdillah – Ramli.
Berbeda dengan FKPPI, yang tidak memberikan dukungan secara organisasi, namun sebagian besar pimpinannya mendukung Abdillah – Ramli dan hanya
sebagian kecil yang menyebelah ke Maulana – Sigit. Jika melihat fenomena dukungan yang diberikan oleh Pemuda Pancasila,
IPK, dan FKPPI dalam pilkada langsung tahun 2005 di kota Medan terdapat beberapa relevansi teori yang dikemukakan oleh Charles F. Andrain, Maswadi
Rauf, dan Antonio Gramsci tentang sumber-sumber kekuasaan dan cara penggunaannya. Pertama, bahwa dukungan yang diberikan tersebut tidak
dilakukan secara demokratis melainkan lebih banyak mengandalkan cara-cara represif. Proses pemberian dukungan kepada calon walikota dilakukan oleh
pimpinan organisasi secara top down. Anggota organisasi dipaksa untuk mengikuti keputusan yang dibuat secara sepihak oleh elit organisasi, jika tidak
maka akan ada sanksi organisasi yang bisa berakibat kepada tindakan kekerasan fisik seperti menyakiti, melukai atau bahkan membunuh. Hal ini
dilakukan karena sumber kekuasaan pimpinan organisasi pemuda tersebut berasal dari kekuatan fisik. Kedua, jika terjadi konflik akibat keputusan yang
diambil itu, baik secara internal dan eksternal, penyelesaiannya sering dilakukan juga dengan menggunakan kekerasan seperti menyakiti, melukai, atau bahkan
membunuh pihak yang tidak setuju dengan keputusan itu. Persekutuan yang dilakukan oleh ketiga organisasi pemuda itu Pemuda
Pancasila, IPK, dan FKPPI dilakukan dalam praktek-praktek premanisme. Diantaranya adalah mengamankan lokasi-lokasi yang akan digunakan untuk
kampanye, penyebaran alat peraga dan pada saat-saat tertentu menyuruh anggota organisasi ini untuk tidak bertindak apapun. Yang terpenting adalah
semua aktivitas dari ketiga organisasi pemuda ini dapat dikontrol oleh calon yang mereka dukung. Dalam posisinya sebagai pendukung salah seorang calon
walikota, mereka ditempatkan dalam ”ring kedua” yaitu sebagai koordinator lapangan yang bertugas untuk mengerahkan massa pada saat kampanye,
Universitas Sumatera Utara
93 penyebaran alat peraga seperti spanduk, baleho dan lain sebagainya atau
sebagai penjaga keamanan pada acara-acara yang digelar untuk itu. Dari situasi itu terlihat fenomena yang disebut Sidel sebagai Bosisme
yang menunjukkan elit lokal, yang diperankan oleh organisasi pemuda Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI dalam pilkada langsung tahun 2005 di kota Medan,
sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka.
Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.
138
Dalam sistem politik yang baru paska jatuhnya Orde Baru, seperti adanya sistem multi partai, pemilu langsung, dan lain sebagainya, peran elit dari ketiga
organisasi ini menjadi penting. Pimpinan organisasi pemuda itu secara sadar melihat bahwa mereka tidak dapat membentuk kekuasaan secara independen.
Sebesar apapun kekuatan mereka untuk membuat keputusan dengan pemaksaan, mereka pada akhirnya tunduk pada pengawasan otoritas politik.
Kelompok-kelompok elit organisasi itu kemudian harus masuk ke dalam otoritas politik seperti partai politik, legislatif dan eksekutif.
139
Agar mereka mendapatkan proteksi dari usaha-usaha organisasi yang dilakukan selama ini. Karena itu,
beberapa pimpinan Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI menjadi ketua di beberapa partai politik. Sehingga, karena memiliki kekuatan politik secara
struktural maka posisi tawar mereka semakin tinggi baik secara materi dan nonmateri untuk memberikan dukungan kepada calon walikota.
Fenomena politik lokal yang terjadi di kota Medan, dalam kasus pilkada langsung, dapat dijelaskan melalui teori elit dalam proses transisi. Yang terjadi
adalah mereka yang memiliki uang dan mampu menyebarkan aparat kekerasan adalah pihak yang berhasil menguasai lembaga-lembaga demokrasi lokal di kota
Medan seperti partai politik dan parlemen. Lembaga-lembaga politik itu, dalam proses transisi, dikuasai oleh koalisi-koalisi kekuatan sosial dan kepentingan
organisasi pemudapreman itu. Ketika Orde Baru organisasi pemuda itu memainkan peran penting sebagai operator politik dan pada saat reformasi
138
John T. Sidel. “Bosisme …..” Op. Cit. hal. 72-74.
139
Lihat Bottomore. Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
94 mereka menduduki sebagian besar partai politik, anggota parlemen dan
menguasai eksekutif tingkat lokal. Ini tidak terlepas dari kemampuan elitnya untuk beradaptasi dalam perubahan politik yang terjadi sebagaimana yang
dikemukakan oleh Moska dan Bottomore. Moska menyebutkan bahwa kelompok sosial baru dapat terbentuk atau yang lama bertahan akibat adanya respon yang
dilakukan oleh elit dalam perubahan ekonomi, politik atau kultural. Eksistensi elit, menurut Bottomore, akan eksis jika kelompok-kelompok yang dipimpinnya masuk
dalam otoritas politik seperti partai politik dan legislatif. Langkah itu lah yang dilakukan oleh elit-elit organisasi pemudapreman di kota Medan. Masuk dan
menguasai partai politik sebagai ketua dan berusaha menjadi anggota legislatif di kota Medan. Kemudian berperan dalam eksekutif dengan mendukung calon
walikota agar tetap ikut menentukan keputusan-keputusan di bidang politik dan ekonomi.
Pilkada langsung di kota Medan, sebagaimana di daerah-daerah lain, digelar di tengah-tengah proses transisi yang terjadi di Indonesia. Dari kasus
tersebut, proses transisi yang terjadi kemudian menurut O’Donnel dan Schmitter, mengarah kepada ’sesuatu yang lain’ sebagai bentuk pemulihan pemerintahan
otoriter baru yang mungkin lebih kejam.
140
Dalam kasus pilkada langsung di kota Medan tahun 2005 itu juga, terlihat bahwa pemenang pilkada adalah calon yang
didukung oleh organisasi pemuda yang melakukan praktek-praktek premanisme seperti kekerasan, penculikan, menyakiti, melukai, bahkan membunuh.
Jika merujuk pada model yang dikemukakan oleh Huntington maka dalam proses transisi yang terjadi – pada kasus pilkada langsung kota Medan – adalah
transisi melalui jalur transplasi yakni terjadi negosiasi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok penekan.
141
Pelaksanaan pilkada langsung tahun 2005 di kota Medan melibatkan organisasi pemuda dengan praktek-praktek premanisme
sebagai pemenang. Melalui lobi-lobi internal dan penggunaan jaringan yang dimiliki, elit-elit organisasi pemudapreman berhasil meraih posisi penting dalam
partai politik dan parlemen lokal yang lahir sebagai bentuk lembaga demokrasi dari tuntutan kalangan oposisi atau kelompok pro demokrasi. Tidak ada kekuatan
kelompok pro demokrasi yang dapat menahan organisasi pemudapreman itu
140
O’Donnel dan Schmitter. Op. Cit.
141
Huntington dalam Arif Budiman Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
95 untuk tidak masuk dan menguasai lembaga-lembaga politik baru yang terbentuk.
Dengan posisi politik yang diperolehnya itu, mereka kemudian memiliki peran penting dalam pemilihan pilkada langsung yang sejatinya dilakukan untuk
mengurangi praktek-praktek premanisme itu. Perubahan mekanisme pilkada langsung yang sejatinya dilakukan untuk meminimalisir praktek-praktek
premanisme, tidak berarti menyingkirkan kekuatan organisai pemudapreman itu. Jika melihat keterlibatan yang dilakukan oleh Pemuda Pancasila, IPK,
dan FKPPI dalam Pilkada Langsung Walikota Medan tahun 2005, akan terlihat pengaruh IPK lebih besar ketimbang Pemuda Pancasila dan FKPPI. Untuk
melaksanakan keputusan penting yang telah diambil, seperti yang dinyatakan oleh tim sukses AR Center, harus dikoordinasikan kepada IPK ketimbang PP.
Hal ini wajar dilakukan mengingat IPK secara penuh mendukung Abdillah – Ramli tanpa konflik internal yang dapat mempengaruhi opini publik. Konon
kabarnya, Olo the godfather, memberikan apresiasi yang sangat baik kepada Abdillah.
142
Selain itu, elitnya dianggap berhasil menentramkan anggota paling bawah dari IPK, yang dikenal amat brutal itu, meskipun terdapat riak-riak kecil di
lapangan. Karena itu, posisi mereka dalam tim sukses berada pada level kedua yaitu sebagai eksekutor di lapangan, bukan sebagai perencana dari strategi yang
diterapkan. Elit-elit IPK lebih memiliki pengaruh dengan calon walikota ketimbang elit-elit yang ada di PP maupun FKPPI.
Apa yang menarik dari proses keterlibatan diantara organisasi pemudapreman itu adalah bahwa masing-masing organisasi berjalan tanpa
adanya koordinasi. Meskipun didapati model bentuk dukungan yang sama namun tidak ada keterkaitan diantara organisasi itu. Pemuda Pancasila berjalan
dengan kepentingan yang dimiliki organisasinya sendiri begitu juga IPK dan beberapa bos FKPPI yang terlibat dalam pilkada langsung itu. Masing-masing
bos organisasi itu bertanggung jawab untuk ”menertibkan” dan memberikan dukungan bagi sang walikota. Mereka bekerja berdasarkan daerah atau lokasi
yang mereka kuasai. Tidak pernah terlihat anggota Pemuda Pancasila secara berkumpul bersama-sama di daerah tertentu untuk tujuan sosialisasi. Namun,
142
Menurut seorang sumber beberapa alokasi kontrak negara dan kemudahan izin-izin usaha selalu diberikan Abdillah kepada ”perusahaan gedung putih”, markas besarnya IPK.
Universitas Sumatera Utara
96 pemimpin puncaknya malah bersekutu untuk mendukung pasangan walikota
yang sama. Dari proses interaksi organisasi pemuda itu terlihat juga peran penting
kelompok kepentingan dengan partai politik dalam pilkada di kota Medan. Baik Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI mempunyai anggota dan kader-kadernya
sebagai pimpinan partai politik dan anggota DPRD. Karena itu, mereka memiliki peran yang sangat strategis dalam pilkada kota Medan. Keterlibatan mereka
dalam pilkada kota Medan memunculkan fenomena kekerasan dalam politik lokal, meskipun dalam kadar yang tidak tinggi atau tidak sering ditemukan. Di
beberapa tempat perkelahian juga terjadi akibat perselisihan diantara anggota paling bawah dari ketiga organisasi pemuda ini.
Jika merujuk pada teori yang disebutkan oleh Stoker bahwa interaksi antara kelompok kepentingan dengan partai politik dapat dilakukan dalam bentuk
persuasi dan paksaan. Maka, dalam kasus di kota Medan, keterlibatan organisasi pemuda sebagai kelompok kepentingan dengan partai politik yang memiliki
keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung sering berjalan dengan cara paksaan. Cara tersebut berlangsung karena adanya kepentingan ekonomi
dan politik dari Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI yang berbeda satu sama lain. Yang ditemukan dari proses pilkada di Medan adalah adanya kepentingan untuk
mendapatkan proyek pemerintah, penguasaan sebagian daerah atau wilayah sebagai lahan untuk mencari uang misalnya dari parkir, penjaga keamanan di
pasar-pasar tradisional atau pusat-pusat pertokoan modern. Semua usaha-usaha ini tentunya harus mendapatkan perlindungan dari otoritas lokal terutama dari
walikota Medan. Fenomena pilkada langsung di kota Medan menunjukkan interaksi antara
partai politik dan kelompok kepentingan selalu berada dalam bingkai kepentingan elit yang menguasai partai politik dan kelompok kepentingan. Hal ini terjadi
karena adanya karakter elit politik lokal, oleh Manor dan Crook sebagai ”close knit power”, yaitu kekuasaan yang cenderung tertutup dan didominasi oleh
sekelompok elit. Karena itu, kooptasi kekuasaan dilakukan oleh segelintir elit penguasa.
Universitas Sumatera Utara
97
BAB IV POLA MOBILISASI PEMUDA PANCASILA, IPK, DAN FKPPI DALAM
PILKADA LANGSUNG TAHUN 2005 KOTA MEDAN
4.1. Indikasi Kekuatan Uang
Secara eksplisit sulit untuk membuktikan adanya kekuatan uang yang diberikan oleh calon walikota kepada pimpinan Pemuda Pancasila, IPK, dan
FKPPI sebagai bentuk kebutuhan dana operasional dalam pilkada langsung kota Medan tahun 2005. Namun, patut dicatat bahwa Abdillah menyediakan dana
yang cukup besar untuk mengelola dan memobilisasi massa dari organisasi pemuda ini. Hampir setiap hari selalu ada proposal kegiatan yang diterima dan
harus dikeluarkan dananya. Sekitar 40 dari total dana dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan baik dari Pemuda Pancasila, IPK, dan sesekali FKPPI
melalui proposal yang diajukan ke tim sukses.
143
Pada jam-jam sibuk, sejak Kantor AR Center dijadikan sebagai tim sukses, awal-awal Februari 2005,
banyak pemuda yang berpakaian milisi sipil berkumpul sekedar menjaga atau meramaikan suasana kantor itu. Mereka itu adalah anggota dari Pemuda
Pancasila, IPK, dan FKPPI yang sengaja disiapkan untuk berjaga-jaga disekitar kantor tim sukses itu.
Selain dana yang telah dikeluarkan untuk pimpinan partai politik pendukung Abdillah – Ramli, tim keuangan juga harus mengeluarkan dana untuk
membayar proposal yang diajukan oleh organisasi pemuda yang juga anggota dari pimpinan parpol itu.
144
Meskipun antara pimpinan parpol dan pimpinan organisasi pemuda itu adalah orang yang sama,
Dari wawancara dengan penulis, sebuah sumber mengatakan bahwa: ”.... dana operasional sering diterima mereka melalui pimpinan
organisasi di mana juga dia menjadi ketua dari partai politik yang
143
Informasi ini didapat dari R di Medan, bendahara tim sukses Abdillah-Ramli, 17 Oktober 2007. Ia mengakui memiliki beberapa kuitansi untuk membuktikan ini.
144
Tidak ada sumber yang dapat menyebutkan perkiraan jumlah dana yang dikeluarkan untuk operasional tim sukses, termasuk bendahara tim sukses. Serta dari mana dana itu didapatkan
Ketika ditanya soal ini beliau menjawab ”rahasia perusahaan”.
Universitas Sumatera Utara