23 kekuasaannya. Mereka melakukan intimidasi, ancaman, perkelahian kepada
orang-orang yang dianggap menjadi lawannya. Praktek-praktek kekerasan lebih sering ditemukan dalam segala aktivitas organisasi pemuda di kota Medan.
Dalam politik lokal perspektif pluralisme, organisai pemuda yang keras ini kemudian terlibat dalam institusi politik yang berusaha merebut kekuasaan pada
jabatan-jabatan publik.
1.4.2. Oganisasi PemudaPreman dalam Politik
Organisasi pemudapreman yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sebagai suatu organisasi pemuda besar yang umumnya merupakan
wadah bagi aktivitas preman
38
. Sedangkan preman adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan tindakan kriminil
39
. Kata preman berasal dari bahasa Belanda vrije man dan istilah ini melekat pada kaum
lelaki yang menolak bekerja di perkebunan Belanda. Makna kata tersebut adalah lelaki bebas yang tidak dapat diatur. Namun, sejalan dengan perkembangan
jaman pengertian preman mengalami perubahan. Kunarto menyebut Preman sebagai orang atau individu atau kelompok orang yang tidak berpenghasilan
tetap, tidak mempunyai pekerjaan yang pasti, mereka hidup atas dukungan orang-orang yang terkena pengaruh orang-orang yang takut secara fisik maupun
psikis. Mereka memiliki wilayah kekuasaan dan tidak terikat pada norma dan nilai yang ada dalam masyarakat serta memiliki kecenderungan melakukan tindakan-
tindakan kriminal. Sikap, tindakan, dan prilaku para preman itulah yang disebut sebagai premanisme.
40
Lyron Ryter, seorang pengajar dari Cornell University, meneliti tentang kehidupan preman dan politik yang disebutnya sebagai politik gangster di kota
Medan dan Jakarta pada tahun 1998-2004.
41
Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa setelah jatuhnya rezim Orde Baru, perilaku premanisme masuk ke
wilayah politik formal. Perilaku ini bisa terjadi karena adanya hubungan yang erat
38
Pengertian ini sebagaimana yang ditulis oleh Vedi R. Hadiz, Op. Cit. hal. 249.
39
Burhani MS – Hasbi Lawrens. 1999. Referensi Ilmiah Politik, Kamus Ilmiah Populer. Jakarta: Lintas Media. hal. 560.
40
Maruli CC Simanjuntak. 2007. Preman-Preman Jakarta. Jakarta: Grafika Indah. hal. 40-41.
41
L. Ryter. Reformasi Gangsters, Inside Indonesia 82, April-June 2005, p22-23;
Universitas Sumatera Utara
24 antara militer dengan organisasi pemuda, yang melakukan tindakan kriminal,
untuk memegang posisi penting di partai politik dan lembaga parlemen. Kekuatan preman di Indonesia bukan terletak pada bentuk fisik sebagai orang yang kuat
dan selalu melakukan tindakan kekerasan. Justru kelebihan preman adalah selalu terlepas dari sangsi hukum karena memberikan dukungan kepada jaringan
politik yang ada. Karena itu, paska jatuhnya pemerintahan Soeharto, mereka tidak lagi hanya mendukung Golkar tetapi dibebaskan untuk masuk ke partai
politik manapun. Seiring dengan perjalanan waktu mereka kemudian menduduki posisi penting di partai politik seperti PDI-P, PAN, dan parpol lainnya. Mereka
kemudian terdaftar sebagai calon anggota legislatif baik di tingkat nasional dan lokal karena jaringan politik yang terbentuk. Ketika Pemilu 1999 dan 2004 para
preman itu diharapkan oleh pimpinan parpol agar dapat mengumpulkan massa sebagai bentuk show of force pada kegiatan-kegiatan partai seperti kampanye
dan bertugas di tempat pemungutan suara ketika pemilu berlangsung.
42
Penelitian Ryter di kota Medan tentang gengster politik ini juga melihat bahwa ketika jatuhnya Orde Baru, kekuatan organisasi pemuda yang melakukan
aktivitas preman seperti Pemuda Pancasila, IPK dan lain sebagainya, tidak serta merta juga melemah. Mereka justru masuk ke wilayah-wilayah lembaga politik
formal seperti partai politik dan legislatif di kota Medan. Mereka digunakan oleh pimpinan parpol karena dianggap mampu untuk memobilisasi massa,
menggunakan kekerasan, intimidasi yang juga digunakan oleh militer untuk mengontrol daerah kekuasaan selama Orde Baru. Tidak ada yang baru dalam
praktek demokrasi lokal di Indonesia. Yang terjadi adalah lembaga-lembaga politik yang baru muncul namun lebih banyak dikuasai oleh pemain-pemain lama
dari jaringan Orde Baru itu. Dari penelitian Ryter tersebut dapat dikatakan bahwa aktivitas para
preman yang berpolitik tersebut memiliki beberapa karakteristik yang terorganisir atau aktivitas preman yang diorganisasikan. Pertama, kegiatan yang dilakukan
oleh preman itu bukan atas dasar kepentingan ideologis, melainkan lebih didasarkan pada kekuatan uang dan kekerasan. Kedua, organisasi preman itu
mengikutsertakan sejumlah orang untuk kegiatan-kegiatan sosial dan politik.
42
Ibid
Universitas Sumatera Utara
25 Ketiga, mengorganisir satu basis massa yang sifatnya perintah untuk
kepentingan keuntungan baik yang bersifat legal dan illegal.
43
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Vedi R. Hadiz pada tahun 1999 khususnya pada kasus pemilihan walikota Medan tahun 1999 oleh DPRD kota
Medan. Hadiz melihat bahwa kekuatan preman secara khusus mendapat tempat yang baik dalam sebuah sistem kekuasaan. Aktivitas preman ini terorganisasi
pada pemuda yang ketika Orde Baru menjalankan fungsi-fungsi sebagai operator politik. Tindakan organisasi pemudapreman ini memiliki kemampuan untuk
melakukan, atau paling tidak mengancam, tindak kejahatan dan memiliki kendali keamanan bagi aparatur negara tingkat lokal. Karena alasan itu juga, mereka
kemudian memiliki kepentingan untuk menguasai politik lokal dengan ikut terlibat dalam pemilihan walikota Medan tahun 1999. Bentuk keterlibatan yang mereka
lakukan adalah melakukan intimidasi para anggota legislatif dan para pendukung calon pesaing dengan cara kekerasan, penculikan, dan bahkan mengancam
untuk membunuh.
44
Apa yang diungkapkan oleh Ryter tersebut hampir sama dengan penelitian Howard Abadinsky, yang meneliti tentang organized crime di beberapa
kota di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Asia dari tahun 1940–1980-an. Abadinsky kemudian menuliskan karakteristik organized crime sebagai berikut:
“.... organized crime is a nonideological enterprise involving a number of persons in close social interaction, organized on a hierarchical basis, has
a limited or exclusive membership, perpetuitous, uses illegal violence and bribery, demonstates specializationdivition labour, monopolistic, and
governed by explicit rules and regulations”.
45
Yang menarik dari karakteristik tersebut adalah nonideological. Abadinsky menjelaskannya sebagai berikut:
“.... an organized crime group does not have political goals nor is it motivated by ideological concern; it goals are money and power. While
political involvement may be part of the group’s activities, its purpose is to
43
Ryter tidak membuat secara rinci tentang poin-poin dari karakteristik itu. Karakteristik ini penulis susun dari hasil penelitian Ryter untuk memudahkan melihat indikator dari organisasi
preman.
44
Vedi R. Hadiz. Op. Cit. hal 246-247.
45
Howard Abadinsky. 1990. Organized Crime. Third Edition. Chicago, Illinois: North Canal Street. hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
26 gain protection or immunity for its illegal activities. This distinguishes
groups of persons who may be organined and violating the law to further their political from organized crime.”
46
Uang dan kekuasaan dalam organized crime merupakan tujuan dari kelompok ini. Meskipun mereka terlibat dalam aktivitas politik, namun tujuannya
hanya untuk memperoleh perlindungan dari semua aktivitas organisasi yang mereka lakukan. Karakteristik demikian setidaknya dapat membedakan
organisasi kejahatan seperti ini dengan organisasi lainnya dalam melakukan aktivitas sosial.
Di Indonesia kekerasan dan kriminalitas tampaknya erat kaitannya dengan perkembangan suatu wilayah. Beragam sebab dan latar belakang
menjadi alasan munculnya berbagai kejahatan yang diorganisir. Birokrasi yang belum
berjalan efektif
dan normal,
minimnya lapangan
pekerjaan, ketidakmampuan kepolisian menangani masalah keamanan, adalah beberapa
sebab tidak tuntasnya masalah kekerasan dan kriminalitas. Belum lagi, pertarungan politik antar elit juga sering terjadi dan menyeret masyarakat ke
dalam konflik diantara mereka, termasuk para preman yang memiliki pengaruh dan jumlah massa yang tidak sedikit.
Kekerasan dan kriminalitas tampaknya bukan sekadar masalah sosial- ekonomi, tetapi di dalamnya juga menyangkut aspek-aspek politik. Sekalipun
wilayah para preman berbeda dari kaum politisi, namun terdapat hubungan antara kriminalitas dan politik, dan juga dengan militer
47
, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Pemimpin organisasi pemudapreman memainkan peran
sebagai operator politik selama masa Orde Baru, melaksanakan fungsi intimidasi tidak resmi untuk rezim dan para pejabatnya yang dilakukan bersama-sama
dengan aparat keamanan terkait. Di bawah Orde Baru, sudah menjadi rahasia umum bahwa kekuasaan organisasi pemuda berakar dari kedekatan mereka
dengan komandan militer lokal. Hal ini memungkinkan mereka menjalankan aktivitas-aktivitas menguntungkan seperti perjudian dan jaringan perlindungan
46
Ibid
47
Pembahasan tentang militer dan organisasi milisi sipil atau paramiliter ini lihat Ulf Sundhaussen. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES,
1986.
Universitas Sumatera Utara
27 yang kebal hukum. Perubahan kedudukan militer sejak reformasi di Indonesia,
tidak berarti putusnya keterkaitan ini.
48
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sidel tentang bossism, menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol
monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritori mereka. Para kelompok bossism ini beroperasi dalam bayangan rezim
daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.
49
Para preman secara khusus mendapat tempat yang baik dalam sebuah sistem kekuasaan yang di dalamnya kemampuan untuk melakukan, atau paling
tidak mengacam, tindak kejahatan menjadi sesuatu yang penting untuk mengendalikan keamanan bagi aparatur negara tingkat lokal. Mereka secara
khusus dicari, mengingat militer telah dipaksa mundur dari peran politik mereka. Di samping menyediakan tenaga bagi calon-calon pejabat, para pemimpin
organisasi pemuda – karena mereka memimpin usaha-usaha gelap yang menguntungkan – juga mampu membantu permintaan bantuan dana politik.
Dengan otot dan uang, mereka secara potensial mampu mempengaruhi keputusan politik dan perdebatan di parlemen lokal, termasuk yang berkaitan
dengan alokasi kontrak dan sumber daya lainnya. Karena itu, organisasi pemudapreman ini menjadi bagian integral dalam praktik penyelenggaraan
demokrasi baru di Indonesia. Di Medan praktek-praktek seperti yang disebutkan di atas banyak diperankan oleh PP, IPK, dan FKPPI. Untuk penelitian ini,
organisasi pemuda yang dimaksud adalah Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, dan FKPPI. Sebagian bagian dari kelompok kepentingan, organisasi
pemuda tersebut memiliki peran yang cukup signifikan dalam pilkada langsung terutama kaitannya dengan partai politik. Berikut akan dijelaskan kedudukan
kelompok kepentingan dan partai politik dalam pilkada langsung.
48
Vedi R. Hadiz. Op. Cit. hal. 250.
49
John T. Sidel. “Bossism ....” Op. Cit. hal. 256.
Universitas Sumatera Utara
28
1.4.3. Partai Politik dan Kelompok Kepentingan dalam Pilkada Langsung di Indonesia