13 dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menjelaskan argumentasi yang mendasari keterlibatan organisasi pemudapreman dalam kasus Pemilihan Kepala Daerah Langsung
tahun 2004 kota Medan dengan menggunakan desain studi kasus. Dari informasi itu, maka akan didapat cara-cara atau model yang digunakan. Kemudian akan
didapat juga informasi bahwa organisasi pemudapreman yang sangat eksis pada masa Orde Baru itu ternyata mengalami atau tidak mengalami kesulitan
untuk menyesuaikan diri pada saat terjadi perubahan politik yaitu ketika mekanisme pemilihan kepala daerah diubah secara langsung pada tahun 2005 di
kota Medan.
1.4. Kerangka Teori
Untuk mengkaji keterlibatan politik yang dilakukan organisasi pemuda dalam penelitian ini maka akan dibahas beberapa teori yang berkaitan dengan
politik lokal dan sumber kekuasaan, kelompok elit dalam politik, demokratisasi, partai politik dan kelompok kepentingan dalam pilkada serta penjelasan tentang
organisasi preman.
1.4.1. Politik Lokal dan Sumber-Sumber Kekuasaan
Politik lokal bukan hanya berurusan pada soal-soal administrasi publik atau menekankan pada hubungan legal-formal pemerintahan semata. Selama
ini, diskusi mengenai politik lokal penekanannya hanya pada pemerintahan lokal hasil dari suatu pemilihan umum saja atau pemilihan kepala daerah saja.
Meskipun memiliki keterkaitan, namun pandangan legal-formal seperti itu memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk memahami politik lokal secara lebih
utuh. Politik lokal mencakup soal yang luas, misalnya aspek ekonomi, politik, dan sosial
22
.
Garry Stoker. 1991. The Politics of Local Government. Second Edition. London: The MacMillan Press Ltd Houndmills. Besing Stoke. Hampshir. hal. 230.
Universitas Sumatera Utara
14 Teori dan pendekatan atas politik lokal tergantung pada latar belakang
akademik dan ”mazhab” yang dianut. Paling tidak terdapat dua perspektif untuk menjelaskan politik lokal yaitu pendekatan pluralisme dan pendekatan marxist.
Pendekatan pluralisme menjelaskan bahwa negara dijadikan sebagai tempat untuk memahami dan menjelaskan beragam kegiatan kelompok yang menuntut
adanya pembagian kekuasaan seperti misalnya melalui pemilihan umum. Sedangkan pendekatan marxist melihat bahwa kekuasaan berada pada satu
kelompok tertentu yang sangat dominan dan tidak menyebar serta memandang bahwa negara dipandang sebagai institusi yang tidak netral. Dari dua
pendekatan itu, studi ini ingin menggunakan pendekatan pluralisme untuk melihat kekuasaan yang ada di masyarakat lokal.
Dari perspektif pluralisme, pilkada langsung diharapkan dapat mendukung tumbuhnya demokrasi dan berjalannya pemerintahan lokal yang
dekat dengan rakyat, karena partisipasi masyarakat lokal dilibatkan secara luas. John Steward menyatakan bahwa memperkuat demokrasi lokal sangat penting
untuk mengatasi masalah-masalah yang disebabkan karena kuatnya sentralisasi negara.
23
Agar demokrasi lokal memiliki kualitas maka pejabat lokal harus dipilih dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat lokal secara luas begitu juga
ketika mengambil keputusan. Stewart juga menjelaskan cara-cara yang harus dilakukan oleh pejabat lokal tersebut adalah dengan membuat pendidikan politik
bagi rakyat kelas bawah, membuat keputusan yang bersifat lokal, dan melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Karena itu, peran local leader dan informal leader
menjadi penting untuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal.
24
Kepala daerah, dengan demikian, harus mengenali masyarakatnya sendiri yang plural dan
multikultural serta selalu menyediakan media untuk memfasilitasi perbedaan- perbedaan tersebut.
Pilkada langsung dalam konteks politik lokal, diharapkan dapat memperkuat kedudukan kepala daerah sekaligus mengurangi intervensi DPRD
agar ”transaksi politik” yang melahirkan ”money politics” dapat dimimalisir. Namun, yang terjadi di berberapa negara-negara berkembang, praktek pemilihan
23
John Stewart. 1996. “Democracy and Local Government”. dalam Paul Hirst and Sunil Khilnani eds. 1996. Reinventing Democracy, Oxford: Blackwell Publisher. hal. 39.
24
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
15 kepala daerah secara langsung justru menjadi penyebab kasus-kasus korupsi
dan ketidakefektifan pemerintahan daerah. Secara teoritik, hal tersebut dapat dijelaskan dari karakteristik elit politik lokal di negara-negara berkembang. Oleh
Manor dan Crook, elit politik lokal dicerminkan dengan apa yang disebut sebagai ”close knit power”, yaitu kekuasaan yang cenderung tertutup dan didominasi oleh
sekelompok elit.
25
Tidak adanya oposisi yang kuat menyebabkan distribusi kekuasaan selalu didominasi oleh kelompok-kelompok yang sudah tertentu. Itu
sebabnya, terjadi kooptasi kekuasaan oleh segelintir penguasa. Di sinilah pendekatan pluralisme menjadi penting yaitu bahwa negara dijadikan sebagai
tempat untuk memahami dan menjelaskan beragam kegiatan kelompok yang menuntut adanya pembagian kekuasaan seperti misalnya melalui pemilihan
umum. Atas dasar itu, studi ini hendak menggunakan pendekatan pluralisme
dengan melihat kekuasaan sebagai titik sentralnya. Untuk membahas tentang kekuasaan tersebut, maka akan dilihat sumber-sumber kekuasaan dan cara-cara
untuk memperoleh serta mempertahankan kekuasaan. Perjalanan kekuasaan yang efektif bergantung pada tipe-tipe sumber kekuasaan yang tersedia. Untuk
memperoleh kepatuhan, para pemimpin politik biasanya memperluas persediaan sumber daya mereka dan menggunakan secara lebih efisien sumber daya yang
telah mereka miliki. Sumber-sumber kekuasaan harus dimiliki oleh seseorang atau
sekelompok orang agar dapat menggunakan kekuasaan itu. Sumber-sumber kekuasaan itu dapat berupa kedudukan, kekayaan, kepandaian atau
keterampilan, dan kepercayaan atau agama.
26
Sementara Charles F. Andrain membedakan lima tipe sumber daya kekuasaan yaitu sumber daya fisik,
ekonomi, keahlian dan personal. Dengan menggunakan sumber-sumber kekuasaan itu, seseorang atau sekelompok orang dapat mempengaruhi orang
lain untuk mengikuti kehendak atau keinginannya. Andrain juga menjelaskan perbedaan motif kepatuhan dalam masing-masing tipe sumber daya kekuasaan.
25
Dikutip dari Eko Prasojo. “Otonomi Daerah, Pilkada Langsung dan Democratic Decentralization. dalam M. Zaki Mubarak, M. Agus Susilo, Agung Pribadi. eds. 2006 Blue Print
Otonomi Dareah Indonesia. Jakarta: The YHB Center.
26
Miriam Budiardjo. 1984. “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Pustaka”. dalam Budiardjo. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Gramedia. hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
16 Tipe-tipe sumber kekuasaan dan motif kepatuhan tersebut, dijelaskan Andrain,
dapat dilihat dalam tabel 1.1. di bawah ini. Tabel 1.1:
Tipe-Tipe Sumber Kekuasaan
27
Tipe Sumber Daya Contoh Sumber Daya
Motivasi untuk Mematuhi Fisik
Senjata: senapan, bom, rudal B “berusaha menghindari cedera fisik”
yang disebabkan oleh A Ekonomi
Kekayaan, pendapatan, kontrol atas barang dan jasa
B “berusaha memperoleh kekayaan” dari A
Normatif Moralitas, kebenaran, tradisi,
relijius, legitimasi, wewenang B “mengakui bahwa A mempunyai
hak moral untuk mengatur” prilaku B Personal
Karisma pribadi, daya tarik, persahabatan, popularitas
B “mengidentifikasi
diri merasa
tertarik” dengan A Ahli
Informasi, pengetahuan,
intelejensi, keahlian teknis B “merasa bahwa A mempunyai
pengetahuan dan keahlian yang lebih” Keterangan: A adalah pemegang kekuasaan, B merupakan objek kekuasaan.
Dari sumber-sumber kekuasaan yang dikemukakan oleh Andrain, maka sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi pemuda itu PP, IPK,
dan FKPPI berasal dari fisik dan ekonomi. Aspek fisik karena para pimpinan organisasi pemuda itu sering sekali menggunakan senjata sebagai kekuatan
ancaman terhadap orang lain premanisme. Dari sisi ekonomi, kekuasaan diperoleh dengan memberikan pekerjaan kepada para pemuda yang tidak
memiliki pekerjaan sebagai penjaga keamanan, petugas parkir atau sebagai penjual lotre perjudian seperti KIM, togel dan lain sebagainya. Fenomena
tersebut hampir mirip dengan teori local strongmen yang dikemukakan oleh Migdal serta teori John T. Sidel tentang bossism.
Jika merujuk pada Migdal tentang kemunculan local strongmen, salah satu sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi pemudapreman
diantaranya adalah dari kekayaan yang dimiliki oleh pimpinannya sebagai tuan tanah atau orang kaya.
28
Migdal mencoba menerangkan tentang orang kuat lokal yang berhasil melakukan kontrol sosial. Dalam konteks ini, Migdal mengatakan:
”... Mereka berhasil menempatkan diri atau menaruh anggota keluarga mereka pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-
sumber daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang
27
Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Tiara Wacana. Yogya. hal. 132.
28
Lihat Joel S. Migdal. 1988. Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World. New Jersey: Princenton University Press. hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
17 menurut aturan-aturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan
kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibu kota atau dikeluarkan oleh pelaksana peraturan yang kuat”.
29
Mengenai fenomena orang kuat lokal tersebut, Migdal memiliki tiga argumentasi yang saling berkaitan. Pertama, orang kuat lokal tumbuh subur di
dalam masyarakat ”mirip jaringan” yang digambarkan sebagai ”sekumpulan campuran melange organisasi-organisasi sosial nyaris mandiri” dengan kontrol
sosial yang efektif ”terpecah-pecah”. Pola kontrol sosial khusus terpecah-pecah ini, menurut dugaan, acapkali diakui melebur dalam pemerintahan kolonial dan
penyatuannya di dalam perkuburan kelas-kelas pemilik tanah besar. Singkat kata, berkat struktur masyarakat mirip jaringan, orang kuat lokal memperoleh
pengaruh signifikan jauh melampaui pengaruh para pemimpin negara dan para birokrat lokal yang digambarkan Migdal sebagai ”segitiga penyesuaian”.
30
Kedua, orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan menyertakan beberapa komponen penting yang dinamakan ”strategi bertahan hidup”
penduduk setempat. Dengan kondisi seperti itu, orang kuat bukan saja memiliki legitimasi dan memperoleh banyak dukungan di antara penduduk lokal, tetapi
juga hadir untuk memenuhi kebutuhan pokok dan tuntutan para pemilih atas jasa yang diberikan. Para penulis yang diilhami Migdal cenderung membingkai diskusi
mereka dengan istilah ”personalisme”, ”klientisme”, dan ”hubungan patron-klien”. Pola ini kemudian juga terjadi karena orang kuat lokal ditempatkan sebagai
patron yang memberi kebaikan personal bagi klien yang melarat dan para pengikut di daerah kekuasaan mereka.
Ketiga, berhasilnya orang kuat lokal ”menangkap” lembaga-lembaga dan sumber daya negara merintangi atau menyetujui upaya pemimpin negara dalam
melaksanakan pelbagai kebijakan. Orang kuat lokal membatasi otonomi dan kapasitas negara, penyebab kelemahan negara ”dalam menjalankan tujuan
berorientasi perubahan sosial, serta memperbesar ketakterkendalian dan kekacauan. Sepanjang keberhasilan strategi industrialisasi dan pertumbuhan
amat tergantung pada penyusunan dan pelaksanaan kebijakan negara yang saling bertautan efektif.
29
John T Sidel, “Bosisme …… op. cit. hal. 256.
30
Migdal. Op. Cit., hal. 238-258.
Universitas Sumatera Utara
18 Berbeda dengan Migdal, Sidel melihat bahwa fenomena yang disebutnya
sebagai Bosisme merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Ia melihat bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik
yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan
rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.
31
Tabel 1.2: Perbandingan Kerangka Teori Migdal dan Sidel tentang Kemunculan Local
Strongmen dan Bossism
32
VariabelIndikator Migdal
Sidel Terminologi
Local Strongmen Bossism
Keadaan Sosio Kultural Negara-negara yang
baru merdeka Semua negara dan semua
tempat di mana sesuatu yang sangat dibutuhkan
masyarakat langka
Sumber legitimasi Figuritas dan Mistis
Memfigurkan dan memistikan seseorang
dengan jalan memberikan hal-hal
yang dibutuhkan masyarakat seperti:
1. tempat tinggal 2. makanan
3. hubungan sosial, 4. perlindungan
Figuritas dan Kewibawaan Memfigurkan
kewibawaan dan figuritas dilakukan dengan cara:
1. menguasai modal 2. tekanan
3. kejahatan
Posisi negara Lemah
Kuat Alasan terbentuk
Struktur masyarakat yang fragmentasi
Sengaja diciptakan dilindungi oleh negara
Peranan Kebanyakan sebagai
musuh pemerintah pusat karena
kepentingannya selalu berseberangan
dengan para local strongmen
Kebanyakan sebagai broker pemerintah pusat.
Kepentingan keduanya selalu bertemu dan saling
mengambil keuntungan.
Aktor Tuan tanah, orang
kaya, pemimpin tradisional
Birokrat, tentara, pengusaha, orang kaya,
dan semua orang yang
31
Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme …..” Op. Cit. hal. 72-74.
32
Kerangka tabel tersebut dikutip dari Lili Romli. 2007. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten 2001-2006”. Disertasi. Departemen Ilmu Politik Program Pascasarjana Ilmu
Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok. hal. 26-27.
Universitas Sumatera Utara
19 menguasai sebuah arena
di dalam masyarakat itu sendiri.
Industrialisasi Menghambat
Mempercepat Hasil keberadaan local
strongmenbossism 1. legitimasi
2. dukungan 3. kebutuhan
ketergantungan 4. hubungan patron-
klien 1. legitimasi
2. dukungan 3. ketergantungan
4. ketakutan 5. hubungan patron-klien
Sumber: Migdal, 1998. Strong Societies and Weak States: State Society Relations and State Capabilities in the Third World. New Jersey: Princenton University Pres; dan Sidel.
1999. Capital, Coercion, and Crime: Bossism in the Phillipines. Stanford California: Stanford University Press.
Tentang perkembangan bossism di Indonesia, Sidel melihat bahwa itu terjadi seiring dengan melemahnya kontrol Pusat terhadap daerah paska
jatuhnya Orde Baru. Kebijakan desentralisasi telah mengakhiri kontrol efektif pusat yang mencegah pejabat-pejabat sipil dan perwira-perwira menengah militer
untuk membangun wilayah kekuasaan lokal tersendiri yang mandiri. Ini telah memberikan ruang yang sangat leluasa bagi para pialang politik ini untuk
memperoleh dan mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan.
33
Dalam kasus di Banten misalnya, pola hubungan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, dan aparat dalam mengusai politik lokalnya didasarkan atas dua,
yaitu hubungan patron klien dan berdasarkan hubungan simbiosis mutualisme. Kontrol yang dilakukan oleh tokoh Jawara di Banten dilakukan terhadap pejabat
publik dan civil society.
34
Berkembangnya bossism lokal tersebut di sisi lain menunjukkan ketiadaan salah satu nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai dengan
penerapan kebijakan desentralisasi, yaitu political equality. Konsep ini menyangkut tiga macam hubungan yaitu antarpemerintah intergovernmental
relation, antara negara dan masyarakat state society relation; dan antara masyarakat
dan masyarakat
society-society relation.
Hubungan antarpemerintah meliputi kesetaraan antarlevel pemerintahan, baik secara
vertikal maupun horizontal, dalam kewenangan mengatur dan mengurus.
33
T. Sidel. “Bosisme.....” Op. Cit. hal. 85.
34
Lili Romli. “Jawara ......” Op. Cit. hal. 254-257.
Universitas Sumatera Utara
20 Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan semakin kuat jika ada kesetaraan
antara kewenangan dengan sumber keuangan yang dimiliki, kejelasan kewenangan antarberbagai tingkat pemerintahan, dan sebagainya. Hubungan
antarnegara dan masyarakat merupakan refleksi dari daya tawar masyarakat terhadap berbagai keputusan yang diambil lembaga pemerintahan.
Saat ini, untuk melihat fenomena local strongmen atau bossim di beberapa daerah di Indonesia sangat beragam. Di Banten disebut jawara, di
Betawi disebut jagoan, di Madura disebut Blater, di Medan disebut Preman, dan lain sebagainya. Praktek-praktek premanisme banyak dilakukan oleh organisasi
pemuda di Medan, terutama ketika ingin merrbut satu kedudukan. Dalam menganalisa keterlibatan organisasi pemudapreman di Medan, teori Sidel
tentang local bossism dapat membantu merumuskan kerangka berpikir yang akan digunakan dalam penelitian ini, terutama terkait dengan sumber kekuasaan
dan cara
penggunaan kekuassaan
yang dilakukan
oleh kelompok
pemudapreman. Di kota Medan pada masa desentralisasi sekarang ini, para anggota DPRD kota Medan didominasi oleh kelompok-kelompok preman yang
saling bersaing. Beberapa diantara mereka memiliki hubungan erat dengan para pensiunan perwira angkatan bersenjata dan kepolisian dan tidak sedikit dari
mereka yang berasal dari organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila PP, Ikatan Pemuda Karya IPK dan lain sebagainya.
Fenomena munculnya preman di kota Medan tidak terkait dengan lemahnya negara, tetapi terkait dengan, dalam bahasa Sidel, beroperasinya
dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman. Mereka ini memiliki kontrol monopolistik
terhadap kekuatan koersif dan sumberdaya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka.
Agar eksistensi kekuasaan para pimpinan organisasi pemudapreman itu tetap berlangsung, ada beberapa teori yang menjelaskan tentang bagaimana
kekuasaan tersebut dilakukan dan dipertahankan. Untuk menjelaskannya akan dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Charles F. Andrain, Maswadi Rauf, dan
Antonio Gramschi. Ketiganya menjelaskan bahwa penggunaan kekuasaan
Universitas Sumatera Utara
21 dibedakan atas dua yaitu dengan cara paksaanpenindasankoersif atau
konsensuspersuasif. Andrain menyatakan bahwa dari untuk menyelesaikan sebuah pergulatan
dominasi atau konflik dari sumber kekuasaan tersebut, maka digunakanlah kekuasaan paksaan atau kekuasaan berdasarkan konsensus. Andrain
menjelaskan, Mereka yang menekankan aspek-aspek pemaksaan dari kekuasaan
biasanya memandang politik dalam kerangka pergulatan dominasi dan konflik. Mereka milihat para pelaku politik mengenjar tujuan-tujuan yang
tidak diminati oleh keseluruhan komunitasnya. Satu pihak memperoleh keuntungan, sedangkan pihak lain merugi. Sebaliknya, para analis yang
menekankan
aspek-aspek konsensus
lebih banyak
mengaitkan kekuasaan dengan usaha mengatasi perlawan bukannya dengan
kegiatan-kegiatan koordinasi. Mereka melihat para pelaku politik mengusahakan pencapaian tujuan-tujuan bersama.
Penggunaan kekuasaan paksaan atau konsensusual sangat ditentukan dari sumber kekuasaan yang dimiliki. Karena sumber kekuasaan yang dimiliki itu
maka dapat digunakan untuk memberi sanksi atau memberi penghargaan. Di samping itu, sumber daya kekuasaan digunakan untuk menjamin kepatuhan
orang atau kelompok lain terhadap orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan tersebut.
Tabel 1.3: Kekuasaan Paksaan dan Konsensual
Tipe Kekuasaan Paksaan
Konsensus Fisik
Cidera fisik, pemenjaraan, kematian
Memberi jalan memperoleh
persenjataan Ekonomi
Tidak diberi pekerjaan, penerapan denda, kehilangan
kontrak Memberi jalan
memperoleh kekayaan Normatif
Pengucilan, larangan memangku jabatan
Memberi jalan memperoleh wewenang
dan simbol-simbol kebenaran moral
Personal Hilangnya dukungan
kelompok, persahabatan dan popularitas
Pemberian dukungan kelompok
Ahli Pemberian informasi yang
Penyediaan ilmu
Universitas Sumatera Utara
22 menguntungkan orang lain,
penyebaran informasi yang merugikan orang lain
pengetahuan dan keterampilan
Sumber: Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. hal. 140.
Kekuasaan paksaan, menurut Andrain biasanya memandang politik dalam kerangka pergulatan dominasi dan konflik. Sering sekali tujuan itu
diperoleh dengan cara yang tidak diinginkan oleh komunitasnya. Satu pihak memperoleh keuntungan sedangkan pihak lain merasa dirugikan.
35
Untuk melihat penyelesaian konflik, Maswadi Rauf menjelaskan bahwa penyelesaian konflik dapat digunakan dengan cara persuasif dan koersif.
Penyelesaian konflik yang dilakukan dengan cara koersif adalah melalui penggunaan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik. Berkaitan dengan
kekerasan fisik ini, Maswadi Rauf mengatakan, “Kekerasan fisik mencakup penggunaan benda-benda fisik untuk
merugikan secara fisik, menyakiti, melukai, atau membunuh fihak lain. Penggunaan
kekerasan fisik
atau ancaman
penggunaannya menimbulkan rasa takut pihak yang akan dikenali yang berpengaruh
terhadap tingkah lakunya. Pengaruh itu adalah berupa diikutinya keinginan pihak yang menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan.”
36
Hal yang hampir serupa juga dikemukakan oleh Gramsci yang menyatakan bahwa cara dominasi atau penindasan merupakan cara yang dapat
dilakukan untuk melaksanakan kekuasaan. Seorang individu, kelompok, atau negara jika ingin memperoleh dan mempertahankan kekuasaan maka ia harus
mempunyai atau memiliki akses terhadap instrumen kekerasan.
37
Merujuk pada teori di atas, tentunya, dapat disebutkan bahwa model penyelesaian koersif lah yang sering dilakukan oleh organisasi pemuda Pemuda
Pancasila, IPK, dan FKPPI tersebut dalam menyelesaikan konflik. Cara-cara seperti kekerasan, ancaman, menyakiti dan bahkan membunuh, juga dilakukan
oleh organisasi pemudapreman untuk memperoleh dan mempertahankan
35
Ibid. hal. 137.
36
Maswadi Rauf. 2001. Konsensus dan Konflik Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. hal. 11-12.
37
Dikutip dari Roger Simon. 2000. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist Pelajar. hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
23 kekuasaannya. Mereka melakukan intimidasi, ancaman, perkelahian kepada
orang-orang yang dianggap menjadi lawannya. Praktek-praktek kekerasan lebih sering ditemukan dalam segala aktivitas organisasi pemuda di kota Medan.
Dalam politik lokal perspektif pluralisme, organisai pemuda yang keras ini kemudian terlibat dalam institusi politik yang berusaha merebut kekuasaan pada
jabatan-jabatan publik.
1.4.2. Oganisasi PemudaPreman dalam Politik