186 4. Metode Baku Tafsir al-Qur’an
Dengan melihat gaya penafsiran dan model tafsir di atas tampak bahwa ada ragam tafsir dengan gaya dan bentuknya. Namun,
harus difahami bahwa semuanya tadi berkaitan dengan uslûb tafsîr,
yang dikembangkan oleh masing-masing ahli tafsir. Adapun berkaitan dengan metode yang seharusnya ditempuh oleh ahli tafsir,
sehingga mendapatkan tafsir ideal sebagaimana yang berkembang pada zaman Rasul dan para sahabat, bisa dirumuskan sebagai
berikut:
4.1. Dari Aspek Kebahasaan
Sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya, bahwa al- Qur’an telah diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas dan terang,
sehingga tidak ada satu kata atau lafadz pun dalam al-Qur’an yang merupakan kata atau lafadz non-Arab. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa kata atau lafadz Arab itu ada yang digunakan sebagaimana konotasi dasarnya, yang dikenal dengan istilah
haqîqah, baik
lughawiyyah, ‘urfiyyah maupun syar’iyyah. Ada yang digunakan keluar dari konotasi dasarnya karena adanya indikasi dan hubungan
tertentu, yang dikenal dengan istilah majâz dan kinâyah. Ada yang
digunakan berdasarkan prinsip derivatif, yang dikenal dengan istilah isytiqâq. Ada juga yang digunakan dengan konotasi yang sama dengan
asalnya, namun dimodifikasi sebagai istilah Arab, setelah mengalami pengaraban, yang dikenal dengan istilah
ta’rîb. Sebagai contoh, ketika al-Qur’an menyatakan:
]
ﱠﻦُﻫﻭُﺮِﺷﺎَﺑ َﻥﻵﺎَﻓ
[ Maka sekarang campurilah mereka
Q.s. al-Baqarah: 187.
Konotasi frase: Bâsyirûhunna campurilah mereka tidak bisa difahami
dengan konotasi mubâsyarah secara mutlak, yaitu menyentuh isteri.
Sebab, konteks seruan mubâsyarah ini berkaitan dengan larangan
melakukannya di waktu puasa, bukan di malam harinya, dimana
187 konteks ini berkaitan dengan jimak, dan bukan hanya sekedar
menyentuh. Sebab, menyentuh termasuk mencium, tatkala siang dan malam hari ketika berpuasa tidak dilarang. Maka, konotasi
mubâsyarah ini harus difahami sebagai
haqîqah syar’iyyah, yang harus ditafsirkan dengan konotasi syar’i, bukan bahasa
lughawiyyah atau konvensi ‘urfiyyah.
Pendek kata, dari aspek kebahasaan ini, al-Qur’an harus ditafsirkan sesuai dengan apa yang dituntut oleh bahasa Arab yang
digunakan oleh orang Arab, yang diambil dari keempat sumber --- haqîqah, majâz, isytiqâq dan ta’rîb--- di atas.
4.2. Dari Aspek Rasionalitas
Aspek rasionalitas di sini adalah sudut pandang yang didasarkan pada batasan akal. Akal itu sendiri tidak bisa berfungsi
kecuali jika ada empat komponen: 1. realitas yang terindera
2. otak yang sehat waras 3. panca indera dan penginderaan
4. informasi awal Jika keempat komponen akal tersebut terpenuhi, maka fungsi akal
dalam konteks idrâk itu pasti akan berjalan. Namun jika tidak,
misalnya realitasnya tidak terindera, sehingga panca indera dan penginderaan manusia tidak bisa menjankaunya, maka fungsi akal
dalam konteks idrâk tersebut tidak bisa berjalan. Meski demikian,
akal tetap berfungsi untuk memahami makna teks atau informasi, sehingga fungsi akal hanya memahami apa yang disampaikan, tidak
lebih. Sebagai contoh, ketika Allah berfirman:
]
ٌﺪَﺣَﺃ ُﻪﱠﻠﻟﺍ َﻮُﻫ ْﻞُﻗ
[ Katakanlah Muhammad: Allah itu adalah Maha Esa.
Q.s. al- Ikhlâs: 1.
188 Lafadz:
Ahad adalah lafadz yang secara kebahasaan bisa difahami dengan makna apa adanya, yaitu Maha Esa, yang juga berarti satu.
Konotasi kebahasaan ini sudah jelas. Mengenai substansi satu, tidak perlu dijelaskan. Misalnya, apakah satunya Allah itu merupakan
angka, yang berkonotasi aksidental, ataukah bukan, sebagaimana yang dikembangkan oleh
Plato? Sebab, pembahasan mengenai
substansi satunya Allah ini tidak bisa dijangkau oleh akal. Karena itu, penjelasan terhadap lafadz:
Ahad tersebut harus tetap kembali kepada batasan akal yang terbatas, sehingga harus tunduk pada
konotasi kebahasaan yang ditunjukkan oleh kata atau lafadz Arabnya saja.
4.3. Aspek Muhkam dan Mustâsyabih