170 Kedudukan Rasul dalam ayat tersebut jelas dinyatakan
sebagai orang yang bertugas menjelasakan ayat yang diturunkan kepada manusia. Namun, ia tidak menasakhnya,
sebab nasakh berarti menghapus, bukan menjelaskan. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka hadits mutawatir
jelas tidak bisa menasakh al-Quran. Lebih-lebih hadits âhâd.
Mengenai alasan kalangan yang membolehkan al-Quran dinasakh dengan hadits mutawatir karena perubahan kiblat, dari
Baitul Maqdis ke Kabah, maka yang terjadi sesungguhnya adalah, bahwa tindakan
sahabat yang berpindah kiblat dengan hadits mutawatir itu sebenarnya dalam konteks menerima hukum syara. Sementara
nasakhnya itu sendiri terjadi bukan karena hadits tersebut, melainkan karena nas al-Quran, sebagaimana yang disebutkan di atas.
4. Gaya Bahasa al-Qur’an
Gaya bahasa al-Qur’an yang dimaksud di sini adalah variasi yang digunakan oleh al-Qur’an dalam mengungkapkan maksud yang
dikehendakinya. Dalam hal ini ada beberapa variasi yang digunakan al-Qur’an, seperti
uslûb al-jadal gaya perdebatan, amtsâl gaya bahasa perumpamaan,
al-qasam gaya sumpah, al-qashash gaya berkisah, yang semuanya ini terangkum dalam apa yang disebut oleh al-Qur’an
sendiri dengan ayat Muhkamât dan Mutasyâbihât.
4.1. Muhkamât
Tentang Muhkamât, menurut
al-Amidi w. 631 H, pendapat
yang paling sahih ada dua: 1.
Muhkam adalah ayat yang maknanya tampak, dan maknanya benar-benar tersingkap dengan jelas sehingga bisa
menghilangkan ambiguitas isykâl, dan melenyapkan
spekulasi ihtimâl.
171 2.
Muhkam adalah ayat yang tersusun dan melahirkan bentuk yang mempunyai makna tanpa harus ditakwilkan, atau jika
ditakwilkan tanpa menyisakan kotradiksi dan perselisihan.
10
Maka, definisi yang paling sahih mengenai muhkam,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Waliyu-Llâh ad-Dahlawi,
adalah sesuatu yang hanya difahami oleh ahli bahasa dengan makna. Sementara ahli bahasa yang dimaksud di sini adalah orang Arab
pertama, bukan ahli bahasa dari kalangan filsuf Arab.
11
Misalnya, firman Allah SWT:
}
ﺎَﺑﱢﺮﻟﺍ َﻡﱠﺮَﺣَﻭ َﻊْﻴَﺒْﻟﺍ ُﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻞَﺣَﺃَﻭ
{ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..
Q.s. al-Baqarah: 275
}
ﺎَﺒ َﺴَﻛ ﺎ َﻤِﺑ ًءﺍَﺰ َﺟ ﺎَﻤُﻬَﻳِﺪ ْﻳَﺃ ﺍﻮُﻌَﻄْﻗﺎ َﻓ ُﺔَﻗِﺭﺎ ﱠﺴﻟﺍَﻭ ُﻕِﺭﺎ ﱠﺴﻟﺍَﻭ َﻦِﻣ ﻻﺎَﻜَﻧ
ٌﻢﻴِﻜَﺣ ٌﺰﻳِﺰَﻋ ُﻪﱠﻠﻟﺍَﻭ ِﻪﱠﻠﻟﺍ
{ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. Q.s. al-Mâidah: 38
4.2. Mutasyâbihât
10
AlAmidi, alIh kâm fi Ushûl alAhkâm, alMaktab alIslâmi, Beirut,
cet. II, 1402 H, juz I, hal. 165166.
11
AdDahlawi, alFawz alKabîr fi Ushûl atTafsîr, Dâr alBasyâ’ir al Islâmiyyah, Beirut, cet. II, 1987, hal. 82; lihat juga, anNabhâni, as
Syakhshiyyah alIslâmiyyah, Mansyûrât Hizb atTahrîr, Beirut, cet. I, 1953, juz III, hal. .
172 Mutasyâbih merupakan kebalikan muhkam, yaitu ayat yang
berpotensi untuk dispekulasikan, atau mempunyai lebih dari satu makna.
12
Menurut al-Amidi, ada dua bentuk spekulasi:
1. Spekulasi yang setara jihat at-tasâwi, seperti lafadz-lafadz
Mujmal yang telah dijelaskan di atas. Misalnya, firman Allah: }
ٍءﻭُﺮُﻗ َﺔَﺛﻼَﺛ ﱠﻦِﻬِﺴُﻔْﻧَﺄِﺑ َﻦْﺼﱠﺑَﺮَﺘَﻳ ُﺕﺎَﻘﱠﻠَﻄُﻤْﻟﺍَﻭ
{ Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri menunggu tiga
kali quru.. Q.s. al-Baqarah: 228
}
ْﻌَﻳ ْﻥَﺃ ﻻِﺇ ِﺡﺎَﻜﱢﻨﻟﺍ ُﺓَﺪْﻘُﻋ ِﻩِﺪَﻴِﺑ ﻱِﺬﱠﻟﺍ َﻮُﻔْﻌَﻳ ْﻭَﺃ َﻥﻮُﻔ
{ Kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh
orang yang memegang ikatan nikah Q.s. al-Baqarah: 237
2. Spekulasi yang tidak setara lâ ‘alâ jihat at-tasâwî, seperti kata
kiasan dan kata yang secara eksplisit bisa diilusikan sebagai bentuk personifikasi terhadap Allah, sehingga perlu
ditakwilkan. Misalnya, firman Allah: }
ﻰَﻘْﺒَﻳَﻭ َﻚﱢﺑَﺭ ُﻪْﺟَﻭ
ِﻡﺍَﺮْﻛِﻹﺍَﻭ ِﻝﻼَﺠْﻟﺍ ﻭُﺫ
{ Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan. Q.s. ar-Rahmân: 27
Atau firman Allah: }
ﻢﻟﺍ 1
َﻦﻴِﻘﱠﺘُﻤْﻠِﻟ ﻯًﺪُﻫ ِﻪﻴِﻓ َﺐْﻳَﺭ ﻻ ُﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ َﻚِﻟَﺫ 2
{
12
AlAmidi, Ibid, juz I, hal. 165; ‘Ali alHasan, Op. Cit., hal. 193; ad Dahlawi, ibid, hal. 82.
173 Alif Laam Miim. Kitab Al Quran ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Q.s. al-Baqarah:
1-2
Contoh ayat yang terakhir, disebut muqaththa’ah potongan-
potongan huruf, yaitu alif, lam dan mim, yang dianggap oleh
para ulama’ sebagai ayat mutasyâbihât. Meski ada yang
berpendapat, bahwa maknanya hanya diketahui oleh Allah. Namun, pendapat ini disangkal oleh al-Amidi, dan pendapat
yang terakhir inilah yang paling kuat. Beliau ---dan juga an- Nabhâni--- menyatakan, bahwa potongan-potongan huruf
tersebut mempunyai makna, yang bisa difahami oleh manusia, yaitu nama surat.
13
Adapun faktor yang menyebabkan terjadinya mutasyâbih,
menurut ad-Dahlawi, bisa dikembalikan kepada:
1. spekulasi kembalinya kata ganti pada dua marja’ tempat
kembali, seperti firman Allah: }
ﻱِﺬﱠﻟﺍ َﻮُﻔْﻌَﻳ ْﻭَﺃ َﻥﻮُﻔْﻌَﻳ ْﻥَﺃ ﻻِﺇ ِﻩِﺪَﻴِﺑ
ِﺡﺎَﻜﱢﻨﻟﺍ ُﺓَﺪْﻘُﻋ
{ Kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh
orang yang memegang ikatan nikah Q.s. al-Baqarah: 237
Di sini, kata ganti orang ketiga lelaki tunggal dhamîr
mudzakkar ghâ’ib, yaitu h[i] pada frasa: biyadih[i], yang mempunyai kemungkinan kembali kepada suami atau wali
pihak perempuan. 2. kesamaan dua makna pada satu kata, seperti dalam kasus
quru’ dalam surat al-Baqarah: 228 di atas, yang bisa berarti haid dan suci.
3. spekulasi ‘athaf kepada yang dekat atau jauh, seperti lafadz:
arjulakum kaki kalian dalam firman Allah:
13
AlAmidi, Op. Cit., juz I, hal. 167; anNabhâni, asSyakhshiyyah, juz III, hal. .
174 }
َﻭ ْﻢُﻜِﺳﻭُءُﺮِﺑ ﺍﻮُﺤَﺴْﻣﺍَﻭ ْﻢُﻜَﻠُﺟْﺭَﺃ
ِﻦْﻴَﺒْﻌَﻜْﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ
{ Dan sapulah kepalamu dan basuh kakimu sampai dengan kedua
mata kaki Q.s. al-Mâidah: 6
Jika lafadz: arjulakum di-‘athaf-kan kepada ru’ûsikum kepala
kalian, berarti kaki cukup diusap, namun jika di- ‘athaf-kan
kepada wujûhakum wajah kalian, berarti kaki tersebut harus
dibasuh, dan tidak cukup diusap. 4. spekulasi berhenti dan mulai, seperti dalam kasus
mujmal yang telah dijelaskan di atas.
177
Cara Menafsirkan Al-Qur’an
1. Realitas Tafsir