104 Bahasa Arab itu sendiri adalah bahasa yang dibuat dan
digunakan oleh orang Arab. Maka untuk memahami bahasa Arab, hanya ada satu metode, yaitu riwayat. Dengan kata lain, agar
seseorang memahami bahasa Arab, mau tidak mau, harus meriwayatkan bahasa tersebut dari penutur asli
an-nâthiqîn-nya, yaitu orang Arab. Bahasa bukan masalah logika. Artinya, untuk bisa
memahaminya seseorang tidak bisa menggunakan akalnya, tanpa informasi apapun mengenai bahasa tersebut dari penutur aslinya.
Karenanya, pengetahuan mengenai bahasa, meminjam istilah Ibn
Khaldûn, juga bisa disebut sebagai pengetahuan transformatif al-
‘ulûm an-naqliyyah. Untuk memahami bahasa al-Qur’an, seseorang harus
menguasai bahasa Arab dengan baik. Tanpanya, mustahil al-Qur’an bisa dikuasai. Karenanya, para ulama’ telah bangkit mengerahkan
seluruh kemampuan mereka untuk memindahkan bahasa Arab ini dari para penuturnya untuk didokumentasikan dalam buku yang bisa
dipelajari oleh siapapun sepanjang sejarah kehidupan manusia. Sebut saja,
Ibn al-Mandlûr w. yang terkenal dengan karya
monumentalnya, Lisân al-‘Arab. Belum ilmu-ilmu lain, seperti ilmu
nahwu, sharf, balaghah, sosiolinguistik fiqh al-lulghah, dan lain-lain.
Ilmu-ilmu ini selalu menyertai ulûm al-Qur’ân, ulûm al-Hadîts, bahkan
telah menjadi asas bagi kedua ilmu tersebut. Maka, siapapun yang hendak menguasai ilmu al-Qur’an, Hadits atau usul dan fiqih, mau
tidak mau, harus mengkaji ilmu kebahasaaraban.
2. Sumber Istilah dan Makna Bahasa al-Qur’an
Dengan menganalisis bahasa Arab, sebagaimana yang telah dibukukan dan dinukil, terlihat dengan jelas bahwa sumber
penyebutan nama dan makna lafadz Arab itu ada empat: 1 Haqîqah, 2 Majâz, 3 Isytiqâq dan 4 Ta’rîb.
2.1. Haqîqah
Haqîqah adalah kata yang lafadznya digunakan sebagaimana pertama kali dipergunakan dalam konteks kebahasaan. Misalnya
105 lafadz:
al-asad singa yang digunakan dengan konotasi hewan buas. Ini tampak pada konteks kalimat seperti berikut:
» ُﺖْﻳَﺃَﺭ
ﺍًﺪَﺳَﺃ ِﻥﺍَﻮَﻴَﺤْﻟﺍ ِﺔَﻘْﻳِﺪَﺣ ْﻲِﻓ ﺎًﻤْﺨَﺿ
«
Saya telah melihat singa besar di kebun binatang. Dalam hal ini, bisa diklasifikasikan menjadi:
1.
Lughawiyyah Wadhiyyah: adalah kata yang lafadznya
digunakan untuk menunjukkan makna hakiki berdasarkan konteks penggunaan asal kata tersebut. Ini juga biasa disebut
dengan
al-Haqîqah al-Lughawiyyah saja. Misalnya lafadz:
ar-Rajul yang digunakan untuk menyebut laki-laki dewasa. 2.
Lughawiyyah Manqûlah: adalah kata yang lafadznya
digunakan untuk menunjukkan makna hakiki setelah mengalami transformasi maksud, baik yang dilakukan oleh
ahli bahasa atau pembuat syariat. Maka, dalam hal ini bisa diklasifikasikan menjadi dua:
1
Al-Haqîqah al-Lughawiyyah al-Urfiyyah: adalah
lafadz yang mengalami tranformasi maksud dari makna asal penggunaannya, kepada makna lain, yang kemudian
populer dengan makna tersebut, sehingga makna lafadz asalnya ditinggalkan. Misalnya lafadz:
ad-Dâbbah hewan melata. Asalnya lafadz ini mempunyai konotasi hewan
melata di muka bumi, yang meliputi manusia dan hewan. Namun, kemudian digunakan oleh orang Arab dengan
konotasi hewan berkaki empat, sehingga makna asalnya ditinggalkan. Maka, makna baru ini disebut
Haqîqah Lughawiyyah Urfiyyah. Yang juga termasuk jenis ini adalah
penggunaan istilah oleh pakar keilmuan, seperti ulama Nahwu menyebut
Fâil, Mubtada, Nâib al-Fâil untuk maksud tertentu, yang secara fungsional mempunyai
konotasi subyek kalimat. 2
Al-Haqîqah al-Lughawiyyah as-Syariyyah: adalah
lafadz yang mengalami transformasi maksud dari makna asal penggunaannya kepada makna lain, yang digunakan
106 oleh pembuat syariat. Karena yang melakukan
transformasi maksud lafadz ini adalah pembuat syariat, maka konotasi maknanya harus dinyatakan oleh dalil
syara. Misalnya lafadz: shalât, as-shiyâm, al-Islâm, al-kufr
dan sebagainya.
2.2. Majâz: