Manfaat Sebab Turunnya Ayat Ibn Taymiyyah mengatakan, bahwa pengetahuan akan

76 Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Q.s. an- Nahl: 126 Dalam hal ini ada tiga riwayat; Pertama, al-Bayhaqi dan al- Bazzâr dari Abû Hurairah, yang menyatakan bahwa ayat ini turun ketika Nabi tengah berdiri merenungi jenazah Hamzah saat menjadi syahid di medan Perang Uhud. Kedua, at- Tirmidzi dan al-Hâkim dari ‘Ubay bin Ka’ab yang menyatakan, bahwa ayat ini turun ketika Penaklukan kota Makkah. Ketiga, riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah sebelum Hijrah. Ibn al-Hashâr berkata: Kedua riwayat di atas bisa dikompromikan, sehingga bisa disimpulkan bahwa ayat tersebut diturunkan di Makkah sebelum hijrah bersama dengan surat tersebut, karena surat tersebut Makkiyah, kemudian yang kedua di Uhud, dan yang ketiga pada saat Penaklukan kota Makkah sebagai peringatan dari Allah kepada hamba-Nya. 44 Pendapat-pendapat seperti ini, menurut ‘Ali al-Hasan, tidak didukung dengan dalil syara’ maupun akal. Jika kita perlu mengkritiknya, maka bisa dinyatakan, bahwa riwayat al-Bayhaqi di atas terdapat sanad yang bernama Shâlih bin Basyîr al-Marî. Karenanya, menurut para imam, riwayat ini lemah. Komentar al-Bukhari terhadapnya, menyatakan bahwa dia adalah orang yang haditsnya munkar. Karena itu, riwayat at-Tirmidzi lebih sahih di banding yang lain. 45

4.4. Manfaat Sebab Turunnya Ayat Ibn Taymiyyah mengatakan, bahwa pengetahuan akan

sebab turunnya ayat akan melahirkan pengetahuan akan 44 Lihat, ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 131. 45 ‘Ali al­Hasan, ibid, hal. 131. 77 akibatnya. 46 Ibn Daqîq al-’Id juga berkata, bahwa penjelasan mengenai sebab turunnya ayat merupakan metode paling akurat untuk memahami makna-makna al-Qur’an. 47 Karena itu, pengetahuan mengenai sebab turunnya ayat ini menjadi sangat penting. Antara lain, bermanfaat untuk: 1. mengkhususkan hukum dengan sebab turunnya ayat hukum tersebut, khususnya bagi pihak yang berpendapat, bahwa konotasi ayat dibangun berdasarkan sebabnya yang spesifik, bukan keumuman lafadz. Misalnya: ] ِﻭَﺃ َﺖ ْﻴَﺒْﻟﺍ ﱠﺞ َﺣ ْﻦ َﻤَﻓ ِﻪ ﱠﻠﻟﺍ ِﺮِﺋﺎَﻌ َﺷ ْﻦ ِﻣ َﺓَﻭْﺮ َﻤْﻟﺍَﻭ ﺎَﻔ ﱠﺼﻟﺍ ﱠﻥِﺇ ﺎَﻤِﻬِﺑ َﻑﱠﻮﱠﻄَﻳ ْﻥَﺃ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﺡﺎَﻨُﺟ َﻼَﻓ َﺮَﻤَﺘْﻋﺍ [ Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber- ‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya. Q.s. al-Baqarah: 158 ‘Urwan bin Zubayr berpendapat, sebagaimana zahirnya ayat ini, bahwa sa’i antara Shafa dan Marwa itu tidak wajib, sehingga menurutnya, boleh orang meninggalkannya. Pandangan ini dinyatakan kepada ‘Aisyah, bibinya, dan dijawab oleh beliau: Seburuk-buruk pandangan adalah apa yang kamu katakan, wahai keponakanku. Andaikan masalahnya seperti yang kamu sebutnya, tentu Allah telah berfirman: Falâ Junâha ‘Alayhi Allâ Yathûfa Bihimâ Maka, tidak ada dosa baginya untuk tidak mengelilinginya. Beliau kemudian menceritakan, bahwa pada zaman Jahiliyah orang-orang telah mengelilingi Shawa dan Marwa untuk dua berhala; di Shafa bernama Isâf, dan di Marwa bernama Nâ’il. Ketika mereka telah memeluk Islam, mereka keberatan untuk melakukan sa’i ke sana, karena khawatir terkontaminasi dengan tradisi Jahiliyah, lalu turunlah ayat ini, yang menghapus dosa dan keberatan hati 46 Ibn Taymiyyah, Op. Cit., hal. 47. 47 ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 123. 78 mereka, serta mewajibkan sa’i mereka hanya untuk Allah semata, bukan untuk berhala. 48 2. menghilangkan kaburnya hashr pembatasan atas apa yang zahirnya mengindikasikan hashr pembatasan. Misalnya: ] ﱠﻻِﺇ ُﻪ ُﻤَﻌْﻄَﻳ ٍﻢِﻋﺎ َﻃ ﻰَﻠَﻋ ﺎًﻣﱠﺮَﺤُﻣ ﱠﻲَﻟِﺇ َﻲِﺣﻭُﺃ ﺎَﻣ ﻲِﻓ ُﺪِﺟَﺃ َﻻ ْﻞُﻗ ًﻣَﺩ ْﻭَﺃ ًﺔَﺘْﻴَﻣ َﻥﻮُﻜَﻳ ْﻥَﺃ ٌﺲ ْﺟِﺭ ُﻪ ﱠﻧِﺈَﻓ ٍﺮ ﻳِﺰْﻨِﺧ َﻢْﺤَﻟ ْﻭَﺃ ﺎًﺣﻮُﻔْﺴَﻣ ﺎ ِﻪِﺑ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ِﺮْﻴَﻐِﻟ ﱠﻞِﻫُﺃ ﺎًﻘْﺴِﻓ ْﻭَﺃ [ Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi --karena sesungguhnya semua itu kotor-- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Q.s. al- An’âm: 145 Az-Zarkasyi menyatakan, bahwa hashr pembatasan dalam konteks ayat ini bukanlah maksud yang dikehendaki. Alasannya, karena ketika orang Kafir telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh-Nya, mereka itu selalu berperilaku sebaliknya. Ayat ini, secara eksplisit memang menunjukkan adanya hashr pembatasan, sebagai tantangan dan serangan dari Allah dan Rasul-Nya, bukan dimaksud sebagai hashr pembatasan yang sesungguhnya. 49 3. mengetahui bentuk hikmah yang menyebabkan disyariatkannya hukum. Misalnya: ] ﺎ َﻤِﺑ َﻥﻮ ُﺣَﺮْﻔَﻳ َﻦﻳِﺬ ﱠﻟﺍ ﱠﻦَﺒ َﺴْﺤَﺗ َﻻ ﺍﻭُﺪ َﻤْﺤُﻳ ْﻥَﺃ َﻥﻮ ﱡﺒِﺤُﻳَﻭ ﺍْﻮ َﺗَﺃ ٌﺏﺍَﺬ َﻋ ْﻢُﻬَﻟَﻭ ِﺏﺍَﺬَﻌْﻟﺍ َﻦِﻣ ٍﺓَﺯﺎَﻔَﻤِﺑ ْﻢُﻬﱠﻨَﺒَﺴْﺤَﺗ َﻼَﻓ ﺍﻮُﻠَﻌْﻔَﻳ ْﻢَﻟ ﺎَﻤِﺑ ٌﻢﻴِﻟَﺃ [ 48 As­Shâbûni, Op. Cit., hal. 22. 49 Az­Zarkasyi, Op. Cit., juz I, hal. 31­32. 79 Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih. Q.s. Ali ‘Imrân: 188 Marwân al-Hakam berkata kepada pembantunya, agar bertanya kepada Ibn ‘Abbâs: Jika tiap orang yang bangga terhadap apa yang telah diberikan kepadanya, dan suka dipuji atas apa yang belum dikerjakannya akan diazab, niscaya kita semua akan terkena azab. Maka, Ibn ‘Abbas menjelaskan, bahwa ayat tersebut diturunkan kepada Ahli Kitab, Yahudi, ketika Nabi saw. bertanya kepada mereka mengenai suatu perkara, kemudian mereka menyembunyikannya, lalu memberitahukan apa yang lain, yang dengannya mereka berharap mendapat pujian, maka turunlah ayat ini. 50 4. mengetahui hukum ayat. Sebab, hukum ayat tersebut tidak akan terlepas dari sebab diturunkannya ayat itu. 50 As­Shâbûni, Op. Cit., hal. 21. 81 Pengumpulan Dan Pembukuan Al-Qur’an Kajian mengenai realitas pengumpulan dan pembukuan al- Qur’an juga merupakan kajian yang sangat penting. Meski kajian ini lebih bersifat historical studies. Meski demikian, kajian historis ini menjadi urgen untuk membuktikan, bahwa al-Qur’an yang kini ada di tangan kaum Muslim adalah al-Qur’an yang sama, yang telah diturunkan oleh Allah SWT. kepada Rasul saw. tiga belas abad yang silam. Di sisi lain, upaya orang Kafir untuk melumpuhkan ummat Islam dengan meruntuhkan Khilafah Islam, pada awal abad ke-20 M, ternyata gagal memusnahkan ummat ini. Sesuatu yang kemudian mendorong mereka, bukan hanya menyerang instirusi politik Islam, Khilafah Islam, melainkan langsung menohok Islam, dengan menyerang sumber autentiknya, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Serangan terhadap al-Qur’an, antara lain, dilakukan dengan menyatakan, bahwa al-Qur’an yang ada kini bukanlah al-Qur’an yang sama dengan al-Qur’an yang ada pada zaman Nabi. Serangan ini didukung dengan argumentasi yang sangat dangkal, misalnya dengan menyangkal riwayat mutawatir tentang proses pembukuan al-Qur’an, yang dikatakan ahistoris. Setelah itu, dibenturkan dengan sejumlah riwayat Ahâd, yang dituturkan oleh individu sahabat, untuk membuktikan adanya perbedaan pendapat mengenai al-Qur’an. Akibatnya, muncul pertanyaan: al-Qur’an versi siapa? Padahal, persoalan ini telah diselesaikan oleh ulama’ pada abad ke-3 Hijriyah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh as-Syâfi’i. Belum lagi, riwayat- riwayat tersebut tentu tidak bisa mengalahkan status riwayat mutawatir. Inilah sejumlah logika dangkal, meski didukung dengan sejumlah referensi klasik yang ditulis oleh ulama’ dahulu, seperti az- Zarkasyi, as-Suyûthi dan lain-lain. Sekalipun, tentu tujuan mereka tidak sama dengan penjiblaknya yang terakhir ini. Karena itu, kajian 82 pada bab ini berusaha menguraikan sejumlah persoalan yang telah disinggung di atas.

1. Proses Pengumpulan al-Qur’an