Struktur Surat Dalam al-Qur’an

97 ayat tersebut disebabkan oleh berhentinya Nabi saw. pada permulaan ayat. Maka, orang yang mendengarkannya akan mengira bahwa ayat tersebut terpisah. 26 Misalnya, sebagian ulama’ salaf menganggap bismillah sebagai satu ayat pada tiap surat, dan sebagian lagi tidak. Maka, perbedaan jumlah ayatnya terjadi akibat perkiraan jumlah ayat dalam surat tersebut.

2.3. Struktur Surat Dalam al-Qur’an

Mengenai sûrat, merupakan bentuk tunggal, dengan plural: suwar. Secara harfiah berarti kedudukan bangunan, atau salah satu barisan yang diletakkan satu sama lain. Kadang juga digunakan untuk menyebut kedudukan yang tinggi. Surat al-Qur’an disebut demikian - --untuk menyerupai kedudukan bangunan--- karena merupakan potongan dari Kitab Allah, saling terkait satu sama lain yang diturunkan untuk tujuan tertentu. Atau, disebut demikian karena kedudukannya yang tinggi sebagai kalam Allah. Namun, secara terminologis surat adalah sekelompok al-Qur’an, yang terpisah dari kelompok sebelum dan setelahnya, yang dikenal melalui penukilan. Tentang sistematika surat tersebut ada tiga pendapat: 1. sistematika seluruh surat bersifat tawqîfî. 2. sistematika seluruh surat bersifat ijtihadi 3. sistematika sebagian surat bersifat tawqîfî dan sebagian lain ijtihadi. Pendapat yang pertama dibangun berdasarkan kisah pemaparan al-Qur’an kepada Nabi saw. Artinya, Jibril as. senantiasa membacakan al-Qur’an secara urut, dengan surat dan ayatnya. Dalil yang paling kuat untuk mendukung pendapat ini adalah Ijma’ Sahabat terhadap mushaf ‘Utsmâni, serta pembakaran mushaf lain yang berbeda susunannya. Pendapat yang kedua dibangun berdasarkan perbedaan susunan surat dalam mushaf para sahabat. Andai susunan tersebut bersifat tawqîfî, tentu mereka tidak akan berbeda. Disamping riwayat dari ‘Utsmân, bahwa Nabi saw. telah wafat sementara beliau tidak menjelaskan masalah dua surat al-Anfâl dan at-Taubah. Ketika Nabi 26 As­Suyûthi, Op. Cit., juz I, hal. 67. 98 tidak menjelaskan, ‘Utsmân berkesimpulan: Kisahnya al-Anfâl menyerupai kisahnya at-Taubah, sehingga saya mengira surat tersebut merupakan bagian darinya. Karena itu, saya letakkan secara berdampingan antara keduanya, dan saya tidak menulis Bismillah, dan saya masukkan dalam tujuh surat panjang. Kisah ini membuktikan, bahwa susunan surat tersebut merupakan perkara ijtihadi. Sedangkan pendapat yang ketiga, menurut az-Zarqâni, merupakan pendapat yang ideal. Banyak ulama’ telah berpendapat demikian. Meski demikian, mereka berbeda pendapat soal berapa kadar ijtihadi dan tawqîfî-nya. Dari ketiga pendapat di atas, pendapat kedualah yang sesuai dengan realitas. Artinya, adanya perbedaan susunan surat dalam mushaf para sahabat, meski sistematika ayatnya sama, membuktikan bahwa susunan surat tersebut bersifat ijtihadi. Ini berbeda dengan susunan ayat termasuk jumlahnya dalam surat yang semuanya bersifat tawqîfî. 27

2.4. Mushaf Para Penulis Wahyu