minimum yang dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan minimum perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi,
dan lain-lain. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas modul konsumsi dengan besaran yang berbeda-beda
untuk tiap provinsi tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing provinsi.
Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar tersebut, terdapat tiga indikator yang digunakan yaitu 1 Head Count Index HCI yaitu persentase jumlah
penduduk miskin yang berada di bawah Garis Kemiskinan GK, 2 Poverty Gap Index
atau kedalamanjurang kemiskinan, yaitu ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.
Semakin tinggi nilai indeks ini, maka semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau dengan kata lain
semakin tinggi nilai indeks menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk, 3 Poverty Severity Index yaitu ukuran yang memberikan
gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, maka semain tinggi ketimpangan pengeluaran diantara
penduduk miskin.
2.1.6 Kebijakan Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi
Davoodi dan Zou 1998 melihat bahwa desentralisasi fiskal merupakan bagian dari suatu paket reformasi untuk meningkatkan efisiensi sektor publik,
meningkatkan kompetisi diantara pemerintah daerah dalam pelayanan publik dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Davoodi dan Zou menyimpulkan bahwa
tidak ada kaitan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan di negara maju. Namun sebaliknya terdapat hubungan yang negatif antara desentralisasi fiskal dan
pertumbuhan ekonomi yang disebabkan karena pemerintah daerah kurang dapat mengalokasikan pengeluarannya kepada sektor-sektor yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan ekonomi semakin melambat. Oates 1993 berpendapat bahwa desentralisasi fiskal memiliki kontribusi
terhadap pertumbuhan ekonomi melalui pelimpahan wewenang fiskal yang lebih besar kepada pemerintah daerah sehingga dapat meningkatkan pelayan publik
kepada masyarakat. Peningkatan pelayanan publik tersebut merupakan indikator dari pertumbuhan ekonomi.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah yang merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal juga digambarkan oleh kurva
Scully. Kurva Scully ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully yang menerangkan hubungan antara peran pengeluran pemerintah
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, porsi pengeluaran pemerintah menjadi variabel
independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Dari model yang dapat disimpulkan bahwa: peningkatan porsi pengeluaran pemerintah
terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi melebihi
tingkat optimal maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah bahkan dapat mencapai nol. Secara grafis dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi
pengeluaran pemerintah terhadap PDRB.
Hubungan mengenai kebijakan fiskal dengan pertumbuhan ekonomi juga dapat digambarkan melalui hubungan antara kurva perpotongan Keynesian, kurva
IS-LM dan kurva AD-AS. Misalkan di dalam suatu perekonomian terdapat perubahan dalam salah satu kebijakan fiskalnya, yaitu kenaikan belanja
pemerintah. Belanja pemerintah merupakan salah satu komponen pengeluaran, sehingga kenaikan pada belanja pemerintah tersebut akan mengakibatkan
peningkatan pengeluaran yang direncanakan untuk semua tingkat pendapatan.
Porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB Ti
ng kat
Pe rt
u m
b uha
n Ek
o n
o m
i
g t
Sumber: Chao dan Grubel, 1997
Sumber: Mankiw, 2006
Gambar 5 Hubungan kebijakan fiskal dengan pertumbuhan output.
Y P
1
P
2
AD
2
AD
1
AS
Y
1
Y
2
A B
P
Output Har
g a
Y
r
1
r
2
IS
2
IS
1
LM
Y
1
Y
2
A B
ΔG1-MPC
r
Pendapatan, Output Tin
g kat Bun
g a
Y E
2
=Y
2
E
2
E
1
Pengeluaran Aktual, Y=E
Y
1
Y
2
A B
E
Pendapatan, Output
Pengeluaran
E
1
=Y
1
Pengeluaran yang
direncanakan, E=C+I+G
G Δ
Pada kurva perpotongan Keynesian, hal tersebut dicerminkan dengan pergeseran garis E
1
ke E
2
sebesar
G Δ
.
Perubahan dalam belanja pemerintah kemudian akan menggeser titik keseimbangan dari A menjadi B, dan menggeser
pendapatan menjadi meningkat dari dari Pergeseran titik keseimbangan tersebut Y
1
menjadi Y
2.
Kenaikan belanja pemerintah tersebut akan mendorong kenaikan pendapatan yang lebih besar karena adanya multiplier effect.
Perubahan dalam kenaikan belanja pemerintah yang menyebabkan kenaikan pendapatan sehingga meningkatkan permintaan akan barang dan jasa tersebut
akan menggeser kurva IS ke kanan dalam pasar barang dan jasa. Pergeseran kurva IS ke arah kanan, yaitu dari IS
1
ke IS
2
tersebut tentunya akan menggeser titik keseimbangan. Apabila semula keseimbangan berad berada pada titik A, maka
sekarang keseimbangan tersebut terletak pada titik B. Perubahan titik keseimbangan tersebut juga akan menggeser output dari Y
1
menjadi Y
2.
Pergeseran output dari Y
1
menjadi Y
2
tersebut menunjukkan adanya suatu peningkatan output. Pada kurva AD-AS, peningkatan output dari Y
1
menjadi Y
2
akan meningkatkan aggregat demand. Peningkatan aggregat demand tersebut ditandai dengan bergesernya kurva AD dari AD
1
menjadi AD
2.
2.1.7 Kebijakan Fiskal dan Kemiskinan
Widhiyanto 2008 menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga semakin
tinggi share dana perimbangan terhadap pengeluaran pemerintah daerah, maka semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dan memiliki hubungan
negatif terhadap kesenjangan pendapatan perkapita antar daerah. Kebijakan
desentralisasi fiskal
dapat mempengaruhi upaya penurunan kemiskinan melalui berbagai cara yang berbeda di masing-masing negara baik
melalui jalur langsung maupun tidak langsung. Hal tersebut disebabkan kemiskinan didefinisikan sebagai penurunan kualitas berbagai aspek kehidupan,
baik kebutuhan dasar, pendapatan rumah tangga maupun keamanan. Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dalam rangka menurunkan kemiskinan merupakan
dampak kebijakan desentralisasi yang cukup penting. Sementara melalui jalur tidak langsung, kebijakan desentralisasi juga akan mempengaruhi peningkatan dan
redistibusi pendapatan, penguatan dan partisipasi rakyat miskin serta kerentanan terhadap goncangan dari luar Boex et al, 2006
Sepulveda dan Vazques 2010 menemukan bahwa penurunan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan dampak langsung dan tidak
langsung dari adanya kebijakan desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah memiliki peranan penting melalui kebijakan yang terbuka dan langsung.
Kebijakan fiskal akan memiliki dampak dalam penurunan kemiskinan melalui pertumbuhan tanpa mengesampingkan kondisi dari ketimpangan
distribusi pendapatan pada suatu daerah. Kuznets 1955 meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan. Hasilnya, ada suatu
hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan, yang kemudian dikenal dengan hipotesis kurva U terbalik Inverted U-curve
Hypothesis .
Sumber: Kuznets 1955
Gambar 6 Kurva U terbalik Kuznets Inverted U curve hypothesis
Berdasarkan hipotesis Kuznets tersebut, ketimpangan pendapatan dalam suatu negara akan meningkat pada tahap awal pertumbuhan ekonominya,
kemudian pada tahap menengah cenderung tidak berubah dan akhirnya menurun ketika negara tersebut sejahtera. Ketimpangan pendapatan yang besar pada fase
awal pertumbuhan ekonomi tersebut disebabkan oleh proses perubahan yang terjadi dalam perekonomian suatu negara dari masyarakat pertanian menjadi
masyarakat industri. Kuznets menitikberatkan pada perubahan struktural yang terjadi pada pembangunan ekonomi. Ketika peranan sektor industri semakin
meningkat, maka akan terjadi pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri modern termasuk industri pengolahan dan jasa. Dalam transisi ekonomi ini,
produktivitas tenaga kerja pada sektor industri modern lebih tinggi daripada produktivitas pada sektor pertanian.
Kondisi tingginya produktivitas tenaga kerja pada sektor industri modern tersebut menyebabkan pendapatan per kapita pada sektor industri modern juga
akan lebih tinggi, bahkan jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pendapatan perkapita yang diperoleh pada sektor pertanian. Perbedaan pendapatan
perkapita tersebut akan menyebabkan ketimpangan antara kedua sektor itu yang semakin meningkat pada tahap awal pembangunan dan kemudian menurun pada
tahap selanjutnya. Kuznets juga mengemukakan bahwa ketimpangan pendapatan yang besar juga dapat terjadi pada negara-negara yang belum berkembang
under-developed countries. Hal tersebut berkaitan dengan rata-rata pendapatan per kapita yang lebih rendah. Kuznets mengasumsikan bahwa ketimpangan
pendapatan ada bersama presumably coexisted dengan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang rendah.
Namun, hubungan mengenai pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan distribusi pendapatan memiliki bentuk hubungan yang berbeda-beda di setiap
negara, yang semuanya itu tergantung pada proses pembangunan yang dijalankan di masing-masing negara. Dalam suatu penelitian pada 13 negara berkembang
mengenai pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan distribusi pendapatan, diperoleh hasil yang berbeda-beda pada setiap negara. Korea Selatan dan Taiwan
mengalami laju pertumbuhan yang tinggi dan distribusi pendapatan masyarakatnya mengalami perbaikan, atau setidaknya tidak bertambah buruk.
Namun demikian Panama dan Meksiko juga mengalami pertumbuhan ekonoi yang tinggi, namun hal tersebut disertai dengan semakin buruknya kondisi
distribusi pendapatan. Negara India, Peru dan Filipina memiliki laju pertumbuhan yang rendah, juga distribusi pendapatan yang buruk bagi 40 persen penduduknya