Simulasi Model METODE PENELITIAN

4. DINAMIKA FISKAL PEREKONOMIAN DAERAH

4.1 Fiskal Daerah 4.1.1 Penerimaan Keuangan Daerah Penerimaan keuangan daerah merupakan sumber pendapatan pemerintah daerah yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan daerah tersebut. Penerimaan daerah dapat bersumber dari dalam daerah itu sendiri, maupun dari pemerintah pusat. Penerimaan yang bersumber dari dalam daerah itu sendiri disebut Pendapatan Asli daerah PAD yang terdiri dari pendapatan pajak, retribusi, lababagi hasil Badan Usaha Milik Daerah BUMD dan pendapatan asli daerah lainnnya. Sedangkan pendapatan yang berasal dari pemerintah pusat biasa disebut dana perimbangan. Dana perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum DAU, Dana Alokasi Khusus DAK dan BHPBP Bagi Hasil PajakBukan Pajak dan penerimaan daerah lainnya. Kinerja keuangan suatu daerah dapat dilihat ataupun diukur berdasarkan proporsi sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah tersebut maupun yang berasal dari luar daerah tersebut terhadap total penerimaan daerah. Semakin besar proporsi penerimaan daerah yang berasal dari dalam daerah tersebut terhadap total penerimaan, menandakan semakin baiknya kinerja keuangan daerah tersebut. Hal tersebut berarti bahwa pemerintah daerah dapat mengelola sumber- sumber yang ada di daerah dengan efisien sehingga dapat membiayai sebagian besar kebutuhan pembangunan daerahnya dengan sumber penerimaan keuangan yang berasal dari dalam daerah tersebut. Kemampuan suatu daerah dalam membiayai pembangunannya melalui sumber yang berasal dari daerah tersebut dapat dilihat dari proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah melalui ukuran derajat desentralisasi fiskal. Sementara itu besarnya sumber penerimaan daerah yang berasal dari potensi sumber daya yang dimiliki oleh daerah tersebut dapat dilihat dari derajat potensi daerah yang diukur dari besarnya bagi hasil pajakbukan pajak daerah tersebut terhadap total penerimaan daerah. Sedangkan ketergantungan penerimaan keuangan suatu daerah terhadap pemerintah pusat, dapat dilihat dari besarnya jumlah Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap penerimaan total daerah tersebut yang disebut derajat ketergantungan. Penjelasan masing-masing rata-rata kinerja keuangan provinsi di Indonesia selama tahun 2003-2009 dapat dilihat pada gambar 12. Sumber: Kementrian Keuangan, diolah Gambar 12 Derajat desentralisasi fiskal, derajat potensi daerah dan derajat ketergantungan daerah provinsi di Indonesia, tahun 2003-2009 . Selama tahun 2003-2009, rata-rata derajat desentralisasi fiskal propinsi- propinsi yang ada di Indonesia sebesar 14.60. Nilai tersebut menurut ukuran derajat desentralisasi fiskal tim Fisipol UGM ternasuk dalam kategori kurang. Propinsi yang memiliki derajat desentralisasi fiskal sangat baik adalah DKI Jakarta dengan nilai derajat desentralisasi sebesar 58.95. Sebagai kota perdagangan dan jasa, DKI Jakarta memiliki pendapatan asli daerah yang cukup tinggi dari pajak, retribusi dan laba BUMD. Propinsi-propinsi dengan kategori derajat desentralisasi fiskal cukup dengan rentang derajat 20-30 adalah propinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali. Sementara itu, sembilan propinsi lain memiliki derajat desentralisasi fiskal dengan kategori kurang, yaitu dengan nilai kurang dari 10. Propinsi-propinsi tersebut adalah NAD, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, NTT, Maluku dan Papua. Derajat potensi daerah propinsi-propinsi di Indonesia secara rata-rata bernilai 15.67. Dilihat dari nilainya, derajat potensi daerah propinsi-propinsi tersebut masih terbilang cukup rendah. Propinsi-propinsi yang memiliki derajat potensi sumber daya cukup tinggi adalah Kalimantan Timur dan Riau. Kedua propinsi ini memiliki derajat potensi daerah masing-masing sebesar 66.10 dan 58.76. Kedua daerah tersebut memiliki nilai derajat potensi yang tinggi karena kedua daerah tersebut merupakan penghasil minyak dan tambang yang cukup besar di Indonesia. Daerah penghasil bahan tambang dan minyak lainnya yang memiliki derajat potensi daerah cukup tinggi adalah NAD 21.87 dan Sumatera Selatan 29.39. Walaupun DKI Jakarta bukan merupakan daerah penghasil migas, namun propinsi tersebut memiliki derajat potensi daerah yang cukup tinggi 37.97 yang berasal dari pendapatan bagi hasil pajak. Propinsi lainnya dengan derajat potensi daerah berkategori rendah yaitu dibawah 10 adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Timur. Sebagian besar propinsi-propinsi di Indonesia masih memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap dana perimbangan dari pusat, khususnya dana yang berasal dari DAU dan DAK. Berdasarkan rata-rata, nilai derajat ketergantungan fiskal propinsi-propinsi di Indonesia adalah sebesar 63.06. Tiga daerah tercatat memiliki derajat ketergantungan yang cukup rendah. Dua daerah pertama merupakan daerah penghasil tambang dan minyak utama, yaitu propinsi Riau dan Kalimantan Timur dengan nilai derajat ketergantungan masing-masing 20.89 dan 14.26. Daerah lainnya adalah DKI Jakarta yang merupakan daerah perdagangan dan jasa dengan nilai derajat ketergantungan sebesar 10.15. Sedangkan propinsi lainnya memiliki derajat ketergantungan yang sangat tinggi yaitu dengan kisaran nillai antara 53 -88. Selain proporsi penerimaan daerah terhadap total penerimaan, terdapat ukuran lain dalam mengukur tingkat kemandirian fiskal daerah, yaitu dengan membandingkannya dengan total penerimaan daerah. Menurut Halim 2007, tingkat kemandirian daerah dapat diukur melalui proporsi PAD terhadap total pengeluaran daerah dan proporsi jumlah PAD dan BHPBP terhadap total pengeluaran daerah. Sumber: Kementrian Keuangan, diolah Gambar 13 Derajat kemandirian daerah provinsi di Indonesia, tahun 2003-2009 . Berdasarkan gambar 13, dapat dilihat bahwa rata-rata derajat kemandirian fiskal yang diukur dari proporsi PAD terhadap total pengeluaran daerah masih terbilang rendah sekali, yaitu hanya sebesar 10. Hanya tujuh propinsi yang memiliki nilai derajat kemandirian diatas rata-rata seluruh propinsi, yaitu DKI Jakarta 43.91, Bali 22.04, Jawa Barat 19.02, DIY 16.54, Jawa Timur 14.65, Jawa Tengah 13.42, dan Sumatera Utara 12.61. Sementara itu, rata-rata derajat kemandirian fiskal yang diukur melalui proporsi jumlah PAD dan BHPBP terhadap total pengeluaran daerah adalah 20.88. Nilai tersebut sedikit lebih tinggi apabila dibandingkan dengan derajat kemandirian fiskal yang berasal hanya dari PAD. Namun, apabila dilihat dari nilai derajat kemandirian per propinsi, terlihat bahwa terdapat tiga propinsi yang memiliki nilai kemandirian fiskal cukup tinggi. Propinsi-propinsi tersebut adalah Riau 49.01, DKI Jakarta 72.19 dan Kalimantan Timur 48.92. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketiga propinsi tersebut memiliki nilai dana bagi hasil pajak dan bukan pajak yang cukup tinggi.

4.1.2 Pengeluaran Keuangan Daerah

Dana yang diterima oleh daerah baik dari pusat dalam bentuk dana perimbangan, maupun yang di peroleh dari hasil penggalian potensi dan sumber daya yang ada di daerah kemudian dikelola dan digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah daerah dalam rangka mencapai tujuan daerah masing-masing. Pengeluaran daerah selama masa desentralisasi fiskal telah mengalami berbagai perubahan format penyajian dalam rangka menghasilkan laporan pengeluaran daerah yang semakin baik. Pada penelitian ini, berkaitan dengan tujuan penelitian, maka diambil empat komponen pengeluaran daerah yang berhubungan erat dengan dengan usaha pengurangan kemiskinan. Komponen- komponen tersebut adalah pengeluaran pertanian, pengeluaran pendidikan dan kesehatan, serta pengeluaran infrastruktur. Sumber: Kementrian Keuangan, diolah Gambar 14 Proporsi pengeluaran daerah menurut bidang pertanian, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur di Indonesia, tahun 2003-2009 Pengeluaran pemerintah selama kurun waktu 2003-2009 didominasi oleh pengeluaran pada bidang pendidikan. Pemerintah mengalokasikan dana bagi kepentingan pendidikan rata-rata sebesar 23.93 pertahun dari total pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pendidikan ini meliputi pengeluaran untuk pendidikan formal dan non formal seperti pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan atas, kursus-kursus keterampilan dan pelatihan. Selain itu, pengeluaran pendidikan digunakan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan dari sisi penyediaan buku-buku pelajaran dan bahan ajar serta tenaga-tenaga pendidik yang berkualitas. Pengeluaran pendidikan yang tinggi ini berkaitan dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan melalui penggangaran minimal 20 bagi pengeluaran pendidikan guna memenuhi program wajib belajar pendidikan dasar sebagai salahsatu implementasi dari tujuan RPJM 2004-2009 bidang penddidikan yaitu meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas. Pembangunan infrastruktur yang diperlukan dalam kegiatan ekonomi maupun sosial masyarakat. Pengeluaran infrastruktur menempati urutan kedua dalam pengeluaran dengan rata-rata pengeluaran sebesar 15.99 per tahun. Pengeluaran infrastruktur ini digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan dan jembatan, gedung dan perumahan, pengembangan dan pengelolaan jaringan pengairan, irigasi, energi dan lainnya. Secara umum, pengeluaran kesehatan di Indonesia selama kurun waktu 2003-2009 masih sangatlah rendah dengan rata-rata pengeluaran per tahun sebesar 7.16. Padahal, kondisi kesehatan masyarakat sangatlah penting dalam kelancaran aktivitas. Apabila kondisi kesehatan baik, maka kesempatan seseorang untuk mendatangi pusat-pusat pendidikan sekolah semakin besar, kemampuan untuk ikut serta dalam kegiatan ekonomi pun semakin meningkat. Pengeluaran bidang kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah meliputi pengeluaran untuk obat-obatan dan perbekalan kesehatan, program upaya kesehatan perorangan pelayanan pada pusat-pusat kesehatan, program upaya kesehatan masyarakat jaminan kesehatan, penyuluhan kesehatan, dan pencegahan serta pemberantasan penyakit. Pertanian merupakan sektor yang menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu, Indonsia masih memiliki ketergantungan yang sangat besar pada sektor pertanian. Namun, pemerintah tampaknya kurang memberikan perhatian pada sektor Pertanian ini. Hal tersebut terlihat dari minimnya anggaran pemerintah yang dialokasikan pada sektor pertanian. Selama tahun 2003-2009 ini, pemerintah