Konsep Desentralisasi Fiskal Tinjauan Teoritis .1 Teori Peranan Pemerintah

Apabila produksi barang tersebut dilakukan secara sentralistik, maka jumlah yang diproduksi secara nasional sebesar qN atau pada tingkat efisien dalam skala nasional, yaitu pada saat nilai marginal sama dengan biaya marginal. Distribusi pada masing-masing daerah sebesar q. Pada tingkat produksi q, pada daerah A, nilai marginal lebih rendah apabila dibandingkan dengan biaya marginal. Sementara pada daerah B terjadi sebaliknya, nilai marginal lebih tinggi dibandingkan dengan biaya marginal. Efisiensi secara nasional di sini tidak menjamin terjadinya efisiensi pada tingkat daerah, karena adanya perbedaan tingkat pendapatan dan selera. Jika produksi dilakukan secara desentralisasi, yaitu pada saat masing-masing daerah akan memproduksi barang pada kondisi nilai marginal sama dengan biaya marginal kondisi efisien, maka akan diperoleh tingkat produksi masing-masing qA untuk daerah A dan qB untuk daerah B. Besarnya peningkatan efisiensi yang ditunjukkan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditunjukkan oleh daerah yang diarsir. Dengan demikian untuk barang publik yang memungkinkan perbedaan permintaan antar daerah, efisiensi alokasi sumberdaya akan lebih baik jika produksi barang tersebut dilakukan secara desentralistik. Namun, untuk barang publik yang bersifat nasional, yaitu pada saat seluruh masyarakat di negara tersebut dapat memanfaatkan barang tersebut, sistem produksi pada masing- masing daerah yaitu qA dan qB akan menghasilkan barang yang lebih kecil dari tingkat efisiensi nasional, yaitu pada saat ∑ DN berpotongan dengan MC. Dengan demikian, barang publik ini akan lebih efisien apabila diproduksi secara sentralistik. Alasan barang publik nasional sebaiknya disediakan oleh pemerintah pusat menurut Pogue dan Sgontz 1978 adalah: 1. Skala ekonomi. Efisiensi dalam pengambilan keputusan, implementasi dan monitoring kebijakan pemerintah. Proses pengambilan keputusan, implementasi dan monitoring dan evaluasi beragam antar jenis program, populasi penduduk, dan luas wilayah. Keputusan mengenai pembangunan fasilitas umum, untuk suatu wilayah dan populasi tertentu menjadi lebih mahal jika wilayah tersebut dibagi, sehingga terdapat unit pengambilan keputusan yang lebih banyak. Pada kasus ini biaya pengambilan keputusan menurun jika skalanya meningkat, pada kasus lainnya biaya pengambilan keputusan menjadi lebih murah jika dilakukan untuk wilayah dan populasi yang terbatas. Pada kasus pertama pada saat diperlukan skala ekonomis yang besar, pengambilan keputusan cenderung efisien apabila dilakukan secara sentralistik dan sebaliknya. 2. Distribusi pendapatan. Kebijakan redistribusi pendapatan secara umum akan menurunkan kesejahteraan sebagian masyarakat. Masyarakat yang kaya akan dirugikan sementara masyarakat yang miskin lebih diuntungkan. Apabila kebijakan ini dilakukan secara parsial, berbeda antar daerah, maka akan memberikan insentif kepada kelompok masyarakat kaya untuk pindah ke daerah yang lebih menguntungkan yang memiliki kebijakan redistribusi pendapatan lebih rendah. Sementara itu, sebaliknya untuk masyarakat yang lebih miskin akan memiliki insentif migrasi pada arah sebaliknya. Dengan demikian daerah yang memiliki kebijakan redistribusi pendapatan yang lebih besar akan kehilangan masyarakat yang kaya. Secara umum, pemerintah suatu daerah tidak ingin kehilangan kelompok masyarakat kaya, sehingga akhirnya semua daerah akan mengurangi program redistribusi pendapatan. Dengan demikian, program redistribusi pendapatan akan lebih baik jika dilakukan secara aggregat dan bersifat sentralistik, sehingga tidak ada ekses negatif berupa migrasi masyarakat kaya dan miskin. Pola penyaluran bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan inti dari kebijakan desentralisasi fiskal. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal, program bantuan kepada pemerintah daerah sebagian besar dilakukan dalam bentuk spesific grant yaitu penentuan alokasi anggaran sudah ditentukan oleh pemerintah pusat, terkadang dalam format yang sangat rigid, sehingga seringkali implementasi di lapangan banyak terkendala pada urusan administratif. Pada sistem desentralisasi fiskal pola penyaluran bantuan pemerintah pusat berubah menjadi dalam bentuk block grant, sehingga perencanaan program implementasi serta monitoring dan evaluasi dilakukan pada pemerintah daerah. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 25 Tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sumber penerimaan daerah berasal dari pendapatan daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah PAD, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan. Sementara itu pembiayaan terdiri dari sisa lebih perhitungan anggaran yang lalu, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pendapatan Asli Daerah PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, laba badan usaha milik daerah dan lain-lain PAD yang sah. Sedangkan penerimaan lain-lain PAD yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan danatau pengadaan barang danatau jasa oleh daerah. Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak BHPBP, Dana Alokasi Umum DAU, dan Dana Alokasi Khusus DAK yang ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Dana BHPBP berfungsi dalam memperkecil kesenjangan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah. Sumber dana BHPBP berasal dari pajak dan bukan pajak sumber daya alam. BHPBP berasal dari pajak, terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan PBB, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB, dan Pajak Penghasilan PPh. Sedangkan BHPBP yang berasal dari sumber daya alam berasal dari kegiatan di sektor kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan panas bumi. Selain dana BHPBP tersebut, komponen dana perimbangan lainnya adalah DAU dan DAK, yang merupakan implementasi dari block grant dalam sistem desentralisasi fiskal ini. DAU memiliki fungsi dalam memperkecil kesenjangan horisontal antar daerah. DAU ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar masing-masing daerah dan berjumlah minimal 26 persen dari total APBN. Apabila celah fiskal suatu daerah negatif dan nilai tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, maka besar DAU yang diterima sebesar alokasi dasar yang diterima. Namun, apabila celah fiskal tersebut negatif dan lebih besar dari alokasi dasar, maka daerah tersebut tidak menerima DAU. Dengan demikian, semakin tinggi potensi suatu daerah maka akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang semakin kecil, dan sebaliknya. Dana Alokasi Khusus DAK merupakan komponen dana perimbangan yang dialokasikan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan telah ditetapkan dalam APBN. Sementara itu komponen lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Sisi pembiayaan terdiri dari SILPA, Dana pinjaman, Dana Cadangan Daerah, dan hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan. Pinjaman bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan masyarakat. Selama berlangsungnya kebijakan desentralisasi fiskal, telah diberlakukan perbaharuan di bidang fiskal oleh pemerintah, terutama berhubungan dengan sisi pengeluaran. UU No 17 tahun 2003 merupakan sumber pedoman bagi penyusunan dan pelaksanaan panganggaran dan belanja negara yang mengacu pada tiga pila penganggaran yaitu penganggaran terpadu uniified budgeting, penganggaran berbasis kinerja performance based budgeting dan kerangka pengeluaran jangka menengah medium term expenditure framework. Implikasi dari pendekatan penganggaran terpadu tersebut menyebabkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran belanja tidak lagi memisahkan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan, namun dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Sehingga apabila rincian belanja sebelumnya berdasarkan pendekatan sektor, subsektor, program dan kegiatan, maka berubah menjadi pendekatan berdasarkan fungsi, subfungsi, program dan kegiatan. Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja dalam kerangka pembaharuan sistem penganggaran mengakibatkan penyusunan anggaran belanja dari setiap satuan kerja harus dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan input dengan keluaran output danhasil outcome yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Selanjutnya pemberlakukann konsep kerangka pengeluaran jangka menengah menyebabkan perencanaan penganggaran belanja dari setiap satuan kerja seharusnya dilakukan dengan memperhitungkan kebutuhan anggaran dalam perspektif lebih dari satu tahun. Bentuk pengeluaranbelanja APBD dapat dirinci menurut beberapa bentuk antara lain: menurut urusan pemerintahan urusan wajib dan urusan pilihan, menurut program, menurut organisasi, menurut kegiatan, menurut kelompok, menurut jenis, menurut objekrincian objek belanja. Format pengeluaran berdasarkan urusan diatur berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Format berdasarkan urusan tersebut terbagi atas urusan wajib dan pilihan. Format urusan wajib terdiri atas urusan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial dan tenaga kerja. Format pengeluaran pemerintah berdasarkan bidang diatur dalam Kepmendagri No 29 tahun 2002 yang terdiri dari bidang administrasi pemerintahan, pertanian, perikanan, pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, penanaman modal dan ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, penataan ruang, pemukiman, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, olahraga, kepariwisataan dan pertanahan. Menurut Mangkoesoebroto 2000, perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Perubahan permintaan terhadap barang publik. 2. Perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. 3. Perubahan kualitas barang publik. 4. Perubahan harga faktor produksi. Beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah yaitu: 1. Model Rostow dan Musgrave Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu, pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek, misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Dengan demikian, pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak eksternalitas negatif dari polusi dan juga melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Apabila terjadi peningkatan pendapatan per kapita dalam suatu perekonomian, maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara- negara maju Amerika Serikat, Jerman, Jepang. Wagner menerangkan bahwa peranan pemerintah menjadi semakin besar disebabkan pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner ini adalah tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah organic theory of the state yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak dan terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 3. Teori Peacock dan Wiseman Peacock dan Wiseman menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi PDB menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah. Peningkatan pajak tersebut berasal dari ekstensifikasi pajak. Selain itu, peningkatan penerimaan pajak tersebut menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Konsekuensi dari peningkatan pengeluaran tersebut adalah penerimaan pemerintah dari pajak juga harus meningkat. Pemerintah akan meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan displacement effect yaitu adanya gangguan sosial yang menyebabkan pengalihan aktivitas swasta kepada aktivitas pemerintah. Perang ternyata tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibat hal tersebut, tarif pajak yang seharusnya dapat diturunkan oleh pemerintah setelah perang, tidak dapat dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Pninngkatan pengeluaran pemerintah karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang ini disebut efek inspeksi inspection effect. Gangguan sosial juga dapat menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan dari swasta kepada tangan pemerintah. Hal tersebut dikenal dengan istilah efek konsentrasi concentration effect. Ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Pemerintah memiliki kecenderungan untuk senantiasa berusaha memperbesar pengeluaran pemerintahnya, sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Namun, masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini menjadi barrier bagi pemerintah untuk tidak dapat menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena Mangkoesoebroto, 2000.

2.1.3 Teori Kebijakan Fiskal

Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan pengeluaran mereka untuk meningkatkan pengeluaran agregat atau merangsang pengeluaran agregat. Kekuatan tersebut dapat dilakukan berdasarkan kondisi pemerintah ataupun tujuannya, yaitu pada masa resesi maupun depresi maupun berrsifat kontraktif dan ekspansif. Keynes menjelaskan modelnya dalam General Theory sebagai berikut: C + I + G + X-M ................................................................................................ 1 Dimana: C = total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa I = total nilai pengeluaran swasta rumahtangga dan perusahaan terhadap barang dan jasa G = total nilai pengeluaran pemerintah terhadap barang dan jasa X – M = ekspor bersih barang dan jasa Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang secara khusus berkaitan dengan kebijakan penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal melalui instrumennya umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu : 1 Kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa 2 Kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan 3 Kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran kepada rumah tangga. Tujuan dari kebijakan fiskal yaitu 1 menganalisis pengaruh permintaan dan pengeluaran negara bagi perbaikan kondisi perekonomian, penurunan tingkat pengangguran, dan kestabilan harga, 2 pengembangan aspek ekonomi seperti pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan stabilitasi ekonomi, 3 pengembangan aspek sosial seperti pemerataan pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan instrumen kebijakan fiskal yang terdiri dari pengeluaran pemerintah, pajak dan transfer payment tersebut, maka pemerintah dapat mengubah-ubah variabel tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Apabila pemerintah ingin menciptakan stabilisas harga, maka kebijakan fiskal yang dilakukan adalah bersifat kontraktif, yaitu dengan menurunkan pengeluaran pemerintah dan menaikkan pajak. Dengan demikian, maka permintaan aggregat akan turun dan hal tersebut akan mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan harga-harga. Apabila pemerintah ingin meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran, maka dapat melakukan kebijakan fiskal ekspansif dengan menaikkan belanja pemerintah dan menurunkan pajak. Hal tersebut akan meningkatkan permintaan aggregat dalam perekonomian.

2.1.4 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Perkembangan berbagai model pertumbuhan ekonomi yang secara dinamis bermunculan mengikuti perubahan perekonomian dari waktu ke waktu. Adam Smith melalui Teori Klasiknya beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi sebenarnya bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Dengan adanya pertambahan penduduk maka akan terdapat pertambahan output produksi yang dihasilkan. Selain Adam Smith, David Ricardo juga berpendapat bahwa faktor pertumbuhan penduduk akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, apabila pertambahan penduduk menjadi semakin besar hingga mencapai dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah. Kelebihan tenaga kerja tersebut akan mengakibatkan upah menjadi turun. Upah yang semakin kecil tersebut kemudian hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami kemandegan stationary state . Teori Klasik tersebut kemudian dikembangkan menjadi Teori Neoklasik yang dimotori oleh Harrord-Domar dan Robert Solow. Harrord-Domar beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori ini juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Sedangkan model Solow yang merupakan pengembangan dari model Harrod-Domar sekaligus merupakan pilar yang kontributif bagi pengembangan teori Neoklasik menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi ke dalam model pertumbuhannya. Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang diminishing returns jika keduanya dianalisis secara terpisah. Sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan, maka memakai asumsi skala hasil tetap constant returns to scale. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Oleh karenanya, menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang positif. Todaro dan Smith, 2006. Pertumbuhan ekonomi dapat terjadi pada skala nasional maupun dalam skala daerahregional. Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya mengunakan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi secara aggregat. Perbedaan pokok antara analisis pertumbuhan ekonomi nasional dengan pertumbuhan ekonomi daerah menurut Richardson 2001 adalah titik berat dalam perpindahan faktor. Analisis untuk suatu negara dapat diasumsikan dengan perekonomian tertutup, namun untuk daerah asumsi tersebut tidak berlaku. Daerah bersifat terbuka, karena kemungkinan masuk dan keluarnya arus perpindahan tenaga kerja dan modal sangat besar. Hal ini memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional dan sebaliknya. Menurut BPS 2008, pertumbuhan ekonomi mengandung makna adanya peningkatan produksi barang dan jasa output yang dihasilkan oleh seluruh aktifitas ekonomi yang terjadi di masyarakat pada satu periode waktu tertentu. Peningkatan produksi barang dan jasa yang dimaksud tersebut diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilai peningkatan benar-benar mencerminkan adanya pertumbuhan produksi yang terbebas dari pengaruh harga. Konsep yang digunakan oleh BPS untuk menggambarkan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah tersebut melalui pendekatan proxy PDBPDRB. Pada tingkat nasional, pertumbuhan ekonomi diukur dari laju nilai produk domestik bruto PDB dan pada tingkat daerah merupakan laju dari nilai produk domestik regional bruto PDRB yang merupakan ukuran dasar dari performa perekonominan dalam memproduksi barang dan jasa. PDBPDRB dapat dihitung berdasarkan pendekatan Pengeluaran, Pendapatan dan SektoralLapangan Usaha. Dalam penelitian ini, PDBPDRB yang digunakan adalah pendekatan sektorallapangan usaha. Nilai PDRB suatu daerah merupakan penjumlahan dari nilai tambah beberapa sektor perekonomian yang ada di daerah tersebut. Sektor perekonomian tersebut diantaranya adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor bank dan jasa keuangan lainnya, sektor jasa-jasa. PDRB suatu daerah berdasarkan sektor tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga sektor besar, yaitu sektor primer terdiri atas sektor pertanian dan pertambangan, sektor sekunder terdiri atas sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor bangunan, dan sektor tersier terdiri atas sektor sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor bank dan jasa keuangan lainnya, sektor jasa-jasa. Pengelompokan tersebut biasanya diperlukan untuk melihat perubahan struktur ekonomi. Namun dalam penelitian ini, PDRB dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu Pertanian, Industri, Jasa perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa-jasa, serta Lainnya pertambangan, listrik-gas-air, dan konstruksi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumedi 2005.

2.1.5 Konsep Kemiskinan

Konsep dan definisi kemiskinan yang ada selama ini sangat beragam. Keberagaman tersebut selain disebabkan oleh data dan metodologi yang berbeda, juga oleh latar belakang ideologi yang dianut oleh para ahli maupun lembaga, sehingga mempengaruhi cara mendefinisikan masalah secara sosial dan ekonomi. Friedman 2003 mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah perbedaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial yang meliputi: aset tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, sumber keuangan pendapatan dan kredit yang memadai, organisasi sosial politik, dan jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna. Berdasarkan definisi diatas, kemiskinan tidak hanya dipahami sebatas ketidakmampuan ekonomi, namun juga sebagai kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Menurut Sen 1985 kemiskinan adalah kegagalan untuk berfungsinya beberapa kapabilitas dasar. Seseorang dikatakan miskin jika kekurangan kesempatan untuk mencapaimendapatkan kapabilitas dasar ini. Sen juga menyatakan bahwa kemiskinan tidak boleh hanya dianggap sebagai pendapatan rendah low income, tetapi harus dianggap sebagai ketidakmampuan kapabilitas capability handicap. Kemiskinan tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek sosial, lingkungan bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya, sebagaimana digambarkan oleh World Bank 2000 dalam Harniati 2007 mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi kekurangan pangan dan tempat berlindung, rendahnya tingkat kesehatan, tidak dapat bersekolah dan membaca, tidak memiliki pekerjaan, kekhawatiran akan masa depan, tidak berdaya dan tidak memiliki kebebasan. Konsep kemiskinan menurut Bellinger 2007 melibatkan multidimensi, multidefinisi dan alternatif pengukuran. Kemiskinan diukur dalam dua dimensi yaitu dimensi income kekayaan dan dimensi non-faktor keuangan. Kemiskinan dalam dimensi income kekayaan tidak hanya diukur dari rendahnya pendapatan yang diterima karena biasanya bersifat sementara, namun juga diukur melalui kepemilikan harta kekayaan seperti lahan bagi petani kecil dan melalui akses jasa pelayanan publik. Sedangkan dari dimensi non-faktor keuangan ditandai dengan adanya ketidakberdayaan atau keputusasaan yang menimpa rumah tangga berpenghasilan rendah. Dalam perkembangannya, kemiskinan dimensi income lebih sering digunakan karena lebih mudah diukur. Kemiskinan dimensi income dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada ketidakcukupan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, perumahan, pakaian, transportasi dan kesehatan dasar. Sedangkan kemiskinan relatif diukur dengan membandingkan pendapatan rumah tangga dengan rata-rata pendapatan nasional. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, pendidikan dan kesehatan, kemampuan berusaha, dan mempunyai akses yang terbatas kepada kegiatan sosial ekonomi sehingga menumbuhkan perilaku miskin. Selain itu, perilaku miskin ditandai pula oleh perlakuan diskriminatif, perasaaan ketakutan dan kecurigaan serta sikap apatis dan fatalistis. Dalam kaitan tersebut, upaya penanggulangan kemiskinan terkait erat dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan penyediaan berbagai kebutuhan pokok dengan biaya yang terjangkau sehingga secara bertahap mereka dapat meningkatkan kemampuannya untuk memanfaatkan peluang yang terbuka Heinz, 1988 Menurut Bank Dunia 2005, penduduk miskin di dunia secara langsung maupun tidak langsung tergantung pada sektor pertanian. Sekitar 70 persen dari penduduk miskin tinggal di pedesaan dan sebagian besar dari mereka hidup dengan bergantung pada sektor pertanian. Penduduk miskin akan diuntungkan dengan adanya pembangunan di sektor pertanian. Pembangunan tersebut tidak hanya akan meningkatkan pertanian, namun juga akan meningkatkan ketahanan pangan nasional dan peningkatan pendapatan rumah tangga. Sehingga pembangunan pertanian akan menjadi sumber pertumbuhan seluruh negeri. Berkaitan dengan akses yang terbatas sebagai salah satu indikator kemiskinan, penduduk miskin biasanya berada pada daerah-daerah yang minim akses dan cenderung terisolasi dengan daerah sekitarnya. Hal tersebut membuat mobilitas mereka terbatas. Keterbatasan ini membuat mereka tidak dapat mengambil keuntungan dalam berbagai kesempatan tenaga kerja yang timbul dari proses pertumbuhan. Peran infratruktur seperti jalan akan menyebabkan terbukanya akses daerah tersebut, sehingga dapat menurunkan biaya produksi dan