Konsep Desentralisasi Fiskal Tinjauan Teoritis .1 Teori Peranan Pemerintah
Apabila produksi barang tersebut dilakukan secara sentralistik, maka jumlah yang diproduksi secara nasional sebesar qN atau pada tingkat efisien
dalam skala nasional, yaitu pada saat nilai marginal sama dengan biaya marginal. Distribusi pada masing-masing daerah sebesar q. Pada tingkat produksi q, pada
daerah A, nilai marginal lebih rendah apabila dibandingkan dengan biaya marginal. Sementara pada daerah B terjadi sebaliknya, nilai marginal lebih tinggi
dibandingkan dengan biaya marginal. Efisiensi secara nasional di sini tidak menjamin terjadinya efisiensi pada tingkat daerah, karena adanya perbedaan
tingkat pendapatan dan selera. Jika produksi dilakukan secara desentralisasi, yaitu pada saat masing-masing daerah akan memproduksi barang pada kondisi nilai
marginal sama dengan biaya marginal kondisi efisien, maka akan diperoleh tingkat produksi masing-masing qA untuk daerah A dan qB untuk daerah B.
Besarnya peningkatan efisiensi yang ditunjukkan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditunjukkan oleh daerah yang diarsir.
Dengan demikian untuk barang publik yang memungkinkan perbedaan permintaan antar daerah, efisiensi alokasi sumberdaya akan lebih baik jika
produksi barang tersebut dilakukan secara desentralistik. Namun, untuk barang publik yang bersifat nasional, yaitu pada saat seluruh masyarakat di negara
tersebut dapat memanfaatkan barang tersebut, sistem produksi pada masing- masing daerah yaitu qA dan qB akan menghasilkan barang yang lebih kecil dari
tingkat efisiensi nasional, yaitu pada saat
∑
DN
berpotongan dengan MC. Dengan demikian, barang publik ini akan lebih efisien apabila diproduksi secara
sentralistik. Alasan barang publik nasional sebaiknya disediakan oleh pemerintah pusat
menurut Pogue dan Sgontz 1978 adalah: 1.
Skala ekonomi. Efisiensi dalam pengambilan keputusan, implementasi dan monitoring kebijakan pemerintah. Proses pengambilan keputusan,
implementasi dan monitoring dan evaluasi beragam antar jenis program, populasi penduduk, dan luas wilayah. Keputusan mengenai pembangunan
fasilitas umum, untuk suatu wilayah dan populasi tertentu menjadi lebih mahal jika wilayah tersebut dibagi, sehingga terdapat unit pengambilan keputusan
yang lebih banyak. Pada kasus ini biaya pengambilan keputusan menurun jika
skalanya meningkat, pada kasus lainnya biaya pengambilan keputusan menjadi lebih murah jika dilakukan untuk wilayah dan populasi yang terbatas. Pada
kasus pertama pada saat diperlukan skala ekonomis yang besar, pengambilan keputusan cenderung efisien apabila dilakukan secara sentralistik dan
sebaliknya. 2.
Distribusi pendapatan. Kebijakan redistribusi pendapatan secara umum akan menurunkan kesejahteraan sebagian masyarakat. Masyarakat yang kaya akan
dirugikan sementara masyarakat yang miskin lebih diuntungkan. Apabila kebijakan ini dilakukan secara parsial, berbeda antar daerah, maka akan
memberikan insentif kepada kelompok masyarakat kaya untuk pindah ke daerah yang lebih menguntungkan yang memiliki kebijakan redistribusi
pendapatan lebih rendah. Sementara itu, sebaliknya untuk masyarakat yang lebih miskin akan memiliki insentif migrasi pada arah sebaliknya. Dengan
demikian daerah yang memiliki kebijakan redistribusi pendapatan yang lebih besar akan kehilangan masyarakat yang kaya. Secara umum, pemerintah suatu
daerah tidak ingin kehilangan kelompok masyarakat kaya, sehingga akhirnya semua daerah akan mengurangi program redistribusi pendapatan. Dengan
demikian, program redistribusi pendapatan akan lebih baik jika dilakukan secara aggregat dan bersifat sentralistik, sehingga tidak ada ekses negatif
berupa migrasi masyarakat kaya dan miskin. Pola penyaluran bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
merupakan inti dari kebijakan desentralisasi fiskal. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal, program bantuan kepada pemerintah daerah sebagian besar
dilakukan dalam bentuk spesific grant yaitu penentuan alokasi anggaran sudah ditentukan oleh pemerintah pusat, terkadang dalam format yang sangat rigid,
sehingga seringkali implementasi di lapangan banyak terkendala pada urusan administratif. Pada sistem desentralisasi fiskal pola penyaluran bantuan
pemerintah pusat berubah menjadi dalam bentuk block grant, sehingga perencanaan program implementasi serta monitoring dan evaluasi dilakukan pada
pemerintah daerah. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 25 Tahun
1999 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
sumber penerimaan daerah berasal dari pendapatan daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah PAD, dana
perimbangan dan lain-lain pendapatan. Sementara itu pembiayaan terdiri dari sisa lebih perhitungan anggaran yang lalu, penerimaan pinjaman daerah, dana
cadangan daerah, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pendapatan Asli Daerah PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi
daerah, laba badan usaha milik daerah dan lain-lain PAD yang sah. Sedangkan penerimaan lain-lain PAD yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah
yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan ataupun bentuk lain
sebagai akibat dari penjualan danatau pengadaan barang danatau jasa oleh daerah.
Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak BHPBP, Dana Alokasi Umum DAU, dan Dana Alokasi Khusus DAK yang
ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Dana BHPBP berfungsi dalam memperkecil kesenjangan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah. Sumber dana BHPBP
berasal dari pajak dan bukan pajak sumber daya alam. BHPBP berasal dari pajak, terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan PBB, Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan BPHTB, dan Pajak Penghasilan PPh. Sedangkan BHPBP yang berasal dari sumber daya alam berasal dari kegiatan di sektor kehutanan,
pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan panas bumi.
Selain dana BHPBP tersebut, komponen dana perimbangan lainnya adalah DAU dan DAK, yang merupakan implementasi dari block grant dalam sistem
desentralisasi fiskal ini. DAU memiliki fungsi dalam memperkecil kesenjangan horisontal antar daerah. DAU ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan atas dasar
celah fiskal dan alokasi dasar masing-masing daerah dan berjumlah minimal 26 persen dari total APBN. Apabila celah fiskal suatu daerah negatif dan nilai
tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, maka besar DAU yang diterima sebesar alokasi dasar yang diterima. Namun, apabila celah fiskal tersebut negatif dan lebih
besar dari alokasi dasar, maka daerah tersebut tidak menerima DAU. Dengan
demikian, semakin tinggi potensi suatu daerah maka akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang semakin kecil, dan sebaliknya.
Dana Alokasi Khusus DAK merupakan komponen dana perimbangan yang dialokasikan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah dan telah ditetapkan dalam APBN. Sementara itu komponen lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Sisi
pembiayaan terdiri dari SILPA, Dana pinjaman, Dana Cadangan Daerah, dan hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan. Pinjaman bersumber dari
pemerintah, pemerintah daerah, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan masyarakat.
Selama berlangsungnya kebijakan desentralisasi fiskal, telah diberlakukan perbaharuan di bidang fiskal oleh pemerintah, terutama berhubungan dengan sisi
pengeluaran. UU No 17 tahun 2003 merupakan sumber pedoman bagi penyusunan dan pelaksanaan panganggaran dan belanja negara yang mengacu pada tiga pila
penganggaran yaitu penganggaran terpadu uniified budgeting, penganggaran berbasis kinerja performance based budgeting dan kerangka pengeluaran jangka
menengah medium term expenditure framework. Implikasi dari pendekatan penganggaran terpadu tersebut menyebabkan penyusunan dan pelaksanaan
anggaran belanja tidak lagi memisahkan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan, namun dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja.
Sehingga apabila rincian belanja sebelumnya berdasarkan pendekatan sektor, subsektor, program dan kegiatan, maka berubah menjadi pendekatan berdasarkan
fungsi, subfungsi, program dan kegiatan. Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja dalam kerangka pembaharuan sistem
penganggaran mengakibatkan penyusunan anggaran belanja dari setiap satuan kerja harus dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan
input dengan keluaran output danhasil outcome yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Selanjutnya
pemberlakukann konsep kerangka pengeluaran jangka menengah menyebabkan perencanaan penganggaran belanja dari setiap satuan kerja seharusnya dilakukan
dengan memperhitungkan kebutuhan anggaran dalam perspektif lebih dari satu tahun.
Bentuk pengeluaranbelanja APBD dapat dirinci menurut beberapa bentuk antara lain: menurut urusan pemerintahan urusan wajib dan urusan
pilihan, menurut program, menurut organisasi, menurut kegiatan, menurut kelompok, menurut jenis, menurut objekrincian objek belanja. Format
pengeluaran berdasarkan urusan diatur berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Format berdasarkan urusan tersebut terbagi atas urusan
wajib dan pilihan. Format urusan wajib terdiri atas urusan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, penataan ruang, perencanaan pembangunan,
perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial dan
tenaga kerja. Format pengeluaran pemerintah berdasarkan bidang diatur dalam
Kepmendagri No 29 tahun 2002 yang terdiri dari bidang administrasi pemerintahan, pertanian, perikanan, pertambangan dan energi, kehutanan dan
perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, penanaman modal dan ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, penataan
ruang, pemukiman, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, olahraga, kepariwisataan dan pertanahan.
Menurut Mangkoesoebroto 2000, perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Perubahan permintaan terhadap barang publik.
2. Perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga
perubahan kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. 3.
Perubahan kualitas barang publik. 4.
Perubahan harga faktor produksi. Beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran
pemerintah yaitu:
1. Model Rostow dan Musgrave
Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap
lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan
prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap
diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan
pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan
pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu, pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan
terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek, misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan
semakin tingginya pencemaran atau polusi. Dengan demikian, pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak eksternalitas negatif dari polusi
dan juga melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam
persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow
mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial
seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2.
Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran
pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Apabila terjadi peningkatan pendapatan per kapita dalam suatu perekonomian, maka secara relatif
pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah
pengamatan empiris dari negara- negara maju Amerika Serikat, Jerman, Jepang. Wagner menerangkan bahwa peranan pemerintah menjadi semakin besar
disebabkan pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner ini adalah tidak didasarkan pada suatu teori
mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah organic
theory of the state yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas
bertindak dan terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 3.
Teori Peacock dan Wiseman Peacock dan Wiseman menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi PDB
menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah. Peningkatan pajak tersebut berasal dari ekstensifikasi pajak. Selain itu,
peningkatan penerimaan pajak tersebut menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya
PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.
Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai
perang. Konsekuensi dari peningkatan pengeluaran tersebut adalah penerimaan pemerintah dari pajak juga harus meningkat. Pemerintah akan meningkatkan
penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek
pengalihan displacement effect yaitu adanya gangguan sosial yang menyebabkan pengalihan aktivitas swasta kepada aktivitas pemerintah. Perang ternyata tidak
hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibat hal tersebut, tarif pajak yang seharusnya dapat diturunkan oleh
pemerintah setelah perang, tidak dapat dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut.
Pninngkatan pengeluaran pemerintah karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang ini disebut efek inspeksi
inspection effect. Gangguan sosial juga dapat menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan dari swasta kepada tangan pemerintah. Hal tersebut dikenal
dengan istilah efek konsentrasi concentration effect. Ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan
kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Pemerintah memiliki kecenderungan untuk senantiasa berusaha
memperbesar pengeluaran pemerintahnya, sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah
yang semakin besar tersebut. Namun, masyarakat mempunyai suatu tingkat
toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran
pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat
kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini menjadi barrier
bagi pemerintah untuk tidak dapat menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena Mangkoesoebroto, 2000.