Habitat Satwa Liar Penginderaan Jarak Jauh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Habitat Satwa Liar

Habitat adalah kawasan baik biotik maupun abiotik yang merupakan satu kesatuan yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak satwa liar. Komponen abiotik dan biotik habitat, membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwa liar. Komponen abiotik terdiri dari air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang. Sedangkan komponen biotik adalah vegetasi, mikro dan makro. Habitat memiliki peranan bagi satwa liar sebagai tempat untuk mencari makan, minum dan tempat berlindung Alikodra 2002. Habitat satwa liar penting dilakukan adanya pemetaan. Hal ini disebabkan karena data analisis spasial tidak hanya menampilkan informasi mengenai kondisi habitat pada waktu tertentu namun juga dapat digunakan untuk evaluasi terhadap perubahan yang terjadi berdasarkan faktor ekologi dan sosial.

2.2 Bio-ekologi Orangutan Kalimantan

Orangutan merupakan salah satu jenis kera besar yang tidak berekor Anthony Nayman 1978; Maple 1980 . Nama ‘orangutan’ berasal dari bahasa melayu yang berarti orang yang hidup di dalam hutan. Masyarakat Kalimantan Barat sering menyebut ‘mayas’, sebutan ini pun sering digunakan oleh orang- orang melayu. Orangutan terbagi ke dalam dua sub spesies yaitu orangutan sumatera Pongo pygmaeus abelii dan orangutan kalimantan Pongo pygmaeus pygmaeus.

2.2.1 Taksonomi

Klasifikasi orangutan menurut F.E Poirier 1964 dalam Groves 1971 adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Sub Kingdom : Metazoa Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Klas : Mamalia Ordo : Primata Sub Ordo : Primata Famili : Pongidae Genus : Pongo Spesies : Pongo pygmaeus wurmbii Sub Spesies : Pongo pygmaeus wurmbii Linneaus, 1760 Pongo pygmaeus abelii Lesson, 1872

2.2.2 Morfologi

Orangutan merupakan satwa yang besar dan dapat dibedakan antara jantan dan betina karena memiliki sexual dimorphisme yang jelas. Panjang badan jantan antar kepala sampai dengan kaki adalah 950 mm, dan memiliki berat 77 kg, sedangkan pada betina ukuran tubuhnya adalah 775 mm dan berat badannya 37 kg. Secara morfologi orangutan kalimantan dan sumatera sangat serupa, namun terdapat perbedaan yang mendasar pada warna bulunya Napier Napier 1985. Perbedaan tersebut bukan merupakan sifat yang mantap, namun digunakan sebagai penuntun kasar Galdikas 1978. Menurut Galdikas 1978 orangutan sumatera kadang-kadang memiliki bulu putih pada mukanya yang tidak pernah dijumpai pada orangutan kalimantan. Orangutan memiliki kulit yang kasar dan dengan warna bulu cokelat kemerah- merahan. Kulitnya liat dan tertutup papil-papil, warnanya cokelat tua sampai hitam dengan bercak-bercak tidak teratur warna biru dan hitam yang tampaknya menembus bulu-bulu terutama pada tubuh bagian bawah. Terdapat perbedaan warna antara orangutan sumatera dan kalimantan, warna bulu orangutan kalimantan lebih gelap dan lebih pendek dari pada orangutan sumatera Napier Napier 1985; Eckhardt 1975 diacu dalam Galdikas 1978. Bulu terdiri atas bulu kasar dan panjang, dibagian lengan dan bahu panjang bulu ini dapat mencapai 0,5 m. Bulu orangutan sumatera biasanya lebih lembut dan lemas, sedangkan bulu orangutan kalimantan lebih kasar dan jarang-jarang. Pada hewan muda dan setengah dewasa seikat bulu kasar dan tegak lurus di atas kepala. Pada hewan dewasa bulu ini lebih pendek, lebih rata dan berjumbai menutupi dahi. Bagian muka dan kantung tenggorokan tidak berbulu hanya pada jantan dewasa terdapat sedikit bulu berwarna jingga terang di bibir atas dan dagu Uitgeverij Hoeve 2003. Pada sisi bagian muka terdapat gelambir pipi, terdiri dari jaringan ikat dan lemak. Gelambir ini merupakan ciri yang paling mencolok pada jantan dewasa. Seringkali kantung besar dan gelambir-gelambir pipi tadi hanya terdapat sebagian, terutama bila hewan tersebut kurang sehat atau kurus. Muka agak cekung dan lebih lebar pada yang jantan, rahang kuat dan menganjur ke depan, lengkung alis agak menonjol. Daun telinga kecil seakan akan menempel pada tengkorak. Mata kecil, lengan sebagai alat penting untuk hidup di pohon, sangat panjang dan terkuat di antara semua spesies kera. Tungkai-tungkai bawah agak pendek dan lemah. Kuku tangan dan kaki sangat melengkung, pada orangutan yang berasal dari Kalimantan ibu jari sering tidak berkuku. Hewan ini tidak berekor sama sekali. Oleh karena tungkainya pendek, maka tinggi saat berdiri tidak lebih dari 1.37 m dan betina kira-kira 1.15 m. Berat badan jantan 75-100 kg dan betina 35- 45 kg tergantung umur, keadaan kesehatan dan situasi makanan di daerah tempat tinggalnya yang berubah-ubah sesuai keadaan musim Uitgeverij Hoeve 2003. Gambar morfologi orangutan kalimantan jantan dewasa dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Morfologi orangutan kalimantan jantan dewasa. Menurut Suwandi 2000 tulang pinggul orangutan mengalami rudimentasi perubahan fungsi anggota tubuh seolah-olah tidak mempunyai pinggul. Perut sangat buncit dan leher sangat pendek. Tangan dan kaki selalu mencengkeram sehingga berbentuk seperti kait. Kaki dapat berfungsi sebagai tangan, sehingga apabila sedang bergerak di atas pohon dapat digunakan untuk berpegangan kuat. Tulang pinggul yang tidak berkembang memungkinkan orangutan dapat bergelayutan dan memutar badannya hingga seratus delapan puluh deratajat.

2.2.3 Habitat

Orangutan hidup di daerah-daerah dataran rendah, hutan bergambut, dan orangutan hanya hidup di hutan hujan tropis yang yang telah klimaks Puri 2001; Maple 1980. Orangutan merupakan satwa yang arboreal, satwa ini biasa membuat sarang di tajuk-tajuk pohon yang tertutup yang memiliki ketinggian 6- 24 m di atas tanah Napier Napier 1985.

2.2.4 Penyebaran

Orangutan hidup di hutan-hutan tropis yang basah dan masih berada dalam kondisi primer, dalam batas-batas alam yang tidak dapat dilampaui seperti sungai atau gunung yang tingginya lebih dari 2000 m. Hewan ini hanya terdapat di dua pulau di Indonesia yakni di Sumatera dan Kalimantan. Orangutan paling banyak dapat ditemui di Propinsi Aceh tepatnya di bagian utara S. Wampu dan S. Simpang-Kanan serta di Peureulak. Selain itu di Sumatera dapat pula dijumpai di Meulaboh dan Singkel di Pantai Timur. Di pulau Kalimantan orangutan terdapat di hutan-hutan yang tidak dihuni dan lokasi hutan yang dilindungi di Serawak dan Sabah Malaysia Timur dan di Kalimantan Indonesia Napier Napier 1986, terutama di kedua sisi batas antara Serawak dan Kalimantan di tempat-tempat terisolir antara S. Sadong dan S. Batang Lupar di Serawak dan lebih ke utara dan timur Sabah termasuk Taman Nasional Kinabalu Kinabalu National Park Uitgeverij Hoeve 2003. Uitgeverij dan Hoeve 2003 menyatakan bahwa tempat tinggal yang paling tidak terganggu adalah di pedalaman Kalimantan Timur, di daerah Sandakan sepanjang S. Lolan dan anak S. Kinabatang Hulu serta Segama Hulu. Sedangkan sebagian besar Kalimantan Selatan tidak dihuni orangutan.

2.2.5 Pakan

Menurut Uitgeverij dan Hoeve 2003 secara umum orangutan memakan segala macam buah-buahan yang tumbuh di hutan serta beraneka ragam bunga, kuncup bunga, dedaunan, kulit batang pohon, epifit, akar-akaran, gelagah, lumut, tanah humus, madu, lebah liar dan sebagainya. Kebiasaan memakan lumut dan menarik tunas tumbuhan, memeriksa potongan-potongan lepas kulit pohon, tanah dan humus, semuanya terdorong oleh kebutuhan untuk menghisap cairan dan mencari serangga serta larva yang dapat dimakan. Terkadang orangutan menggunakan tongkat sebagai ‘alat’ untuk memperoleh rayap dan makanan hewani yang lain. Orangutan memenuhi kebutuhan pokok akan cairan melalui makanannya, kemudian menjilat bulu-bulunya sampai kering, memeras tanah basah dari pohon- pohon berongga dan menghisap tumbuhan yang mengandung air. Menurut Napier dan Napier 1985 pada saat musim kering mereka memakan kulit kayu dan memakan intisari dari tanaman. Di Kalimantan orangutan sangat bersifat frugivorous. Dua jenis yang sangat mendominir makanan orangutan adalah Dracontomelon mangiferum dan Koordersiodendron pinnatum. Daun-daun yang biasanya dimakan oleh orangutan adalah daun-daun muda yang berada di ujung-ujung tajuk. Daun berukuran kecil Ficus sp dimakan dalam jumlah yang banyak, sedangkan daun yang berukuran besar diambil satudua lembar saja. Satwa ini juga suka memakan Pandanus ephiphyticus yang panjangnya 1,5 m yang tidak disukai oleh primata lain, sehingga dapat dijadikan suatu indikasi jika terdapat daun pandan yang jatuh, mengindikasikan bahwa daun pandan tersebut sisa makan orangutan. Dalam menyeleksi makanan orangutan seperti Hylobates, yaitu memilih pangkal daun atau pelilious sedangkan kulit kayu yang diambil hanya pada bagian ujung saja. Wilayah jelajah perhari untuk memenuhi kebutuhan makan mencapai 305 m di Kalimantan Timur, 800 m di Kalimantan Tengah dan 500 m di Sabah, hal ini tergantung pada keberadaan sumberdaya pakan Bismark 1984. Terdapat perbedaan proporsi jenis-jenis makanan antara orangutan jantan dan betina menurut Rodman 1977 dalam Bismark 1984, perbandingan proporsi jenis makanan antara orangutan jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Proporsi jenis pakan orangutan jantan dan betina Jenis Buah Daun Kulit kayu Bunga Insekta Jantan 67,1 23,2 4,9 2,8 1,9 Betina 58,6 22,0 16,5 2,1 0,8

2.2.6 Perilaku

Maple 1980 menyatakan bahwa aktivitas utama orangutan dipenuhi oleh aktivitas makan, selanjutnya istirahat, berjalan-jalan, bermain dan aktivitas yang dilakukan dalam prosentase waktu yang relatif sedikit adalah aktivitas mebuat sarang. Di alam liar secara umum orangutan turun dari sarang tidurnya sekitar 30 menit sebelum matahari terbit MacKinnon 1974 diacu dalam Maple 1980. Orangutan masuk ke sarangnya ketika hari sudah mulai gelap. Setiap harinya orangtan selalu bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan jarak rata-rata 500 m. Aktivitas orangutan cukup lamban dan malas MacKinnon 1974 diacu dalam Maple 1980 hal ini disebabkan karena berat badannya yang cukup besar dan pohon-pohon di dalam hutan yang sangat bervariasi baik tinggi maupun letaknya, sehingga mereka harus berhati-hati dalam pergerakannya. MacKinnon 1974 diacu dalam Maple 1980 menyatakan bahwa orangutan setiap harinya membuat sarang minimal satu sarang setiap hari untuk beristirahat dan tidur dimalam hari atau 1,8 sarang perhari berdasarkan perhitungan Rijksen 1978 dengan sebaran 0-6 sarang per hari. Kegiatan membuat sarang membutuhkan waktu sekitar 2-3 menit. Pembuatan sarang dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Rimming yaitu cabang dilekukkan secara horizontal untuk membentuk lingkaran sarang dan ditahan dengan cara melekukkan cabang lain. 2. Hanging yaitu cabang dilekukkan masuk ke dalam sarang untuk membentuk mangkok sarang. 3. Pillaring yaitu cabang dilekukkan ke bawah sarang untuk menopang lingkaran sarang dan memberikan kekuatan ekstra. 4. Loose yaitu beberapa cabang diputuskan dari pohon dan diletakkan ke dalam dasar sarang sebagai alas atau di atas sarang sebagai atap. Orangutan umumnya membuat sarang baru pada pohon setiap malamnya Galdikas 1984. Selain itu pernah terlihat orangutan menambahkan cabang- cabang segar pada cabang lama dan menggunakan sarang yang telah diperbaiki ini sebagai tempat bermalam. Pada kejadian lain, pernah pula orangutan menggunakan sarang lama tanpa melakukan perbaikan sarang sedikit pun. Orangutan umumnya tidak suka ribut. Jerit melengking dari seekor anak merupakan suatu bunyi yang mencolok jika suatu hewan tua ingin memberikan tanda bahaya maka akan terdengar suatu bunyi menderam-deram. Kalau mengadakan kontak dalam jarak dekat akan terdengar bunyi ciuman dan kenyaman. Melempar dengan dahan dan biasanya dilakukan baik jantan atau betina kalau ada manusia atau pendatang lain mendekat dan tidak disukai. Dahan dilemparkan ke bawah atau dikibas-kibaskan ke arah si pengganggu. Ada hewan yang lebih toleran dari pada yang lain, tetapi umumnya orangutan tidak suka dilihat atau diganggu manusia, walaupun sikap ini dapat berubah menjadi rasa ingin tahu, apabila manusia ramah atau sudah dikenal dengan baik Uitgeverij Hoeve 2003; Maple 1980.

2.2.7 Organisasi sosial

Menurut Napier dan Napier 1985 orangutan merupakan satwa yang soliter. Selanjutnya Maple 1980 menyebutkan bahwa orangutan hidup dalam kelompok keluarga kecil, jantan dewasa biasanya berkelana sendiri. Dua induk dengan anak-anaknya atau sejumlah kecil yang muda biasanya berkelana bersama. Kelompok orangutan menurut Rijksen 1978 diacu dalam Bismark 1984 dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu: a. Kelompok sosial, dalam hal ini individu-individu bergerak brsama- sama dan menunjukkan adanya satu koordinasi. b. Assosiasi temporer, dalam hal ini individu-individu yang membentuk suatu kelompok ketika makan pada satu pohon, setelah itu terpecah kembali setelah melakukan aktivitas tersebut. Hasil pengamatan oleh Rijksen 1978 diacu dalam Bismark 1984 bahwa perbandingan antara orangutan yang soliter dengan yang berkelompok adalah 46 dengan 54. Di Kalimantan orangutan yang benar berkelompok adalah sekitar 4.3 dari populasi jauh lebih rendah dari pada di Sumatera 17. Hubungan sosial orangutan terbentuk pada saat terjadi kontak langsung antar individu dengan individu lain selama menjelajah atau pada saat di pohon Rijksen 1978 dalam Ihsan 2000. Menurut Galdikas 1978 orangutan jantan dan betina dewasa hidup hampir selalu soliter, sedangkan hewan muda yang sudah mandiri yakni jantan pradewasa dan betina remaja bersifat jauh lebih sosial. Orangutan jantan dewasa yang tidak berpasangan melewatkan hampir sepenuh waktunya dalam kehidupan menyendiri, bahkan tidak dapat menerima kehadiran sesama jenisnya. Dan diantara pongidae yang lain orangutan jantan dewasa lah yang jelas-jelas mempunyai sifat tidak tenggang terhadap sesama jenisnya. Sedangkan orangutan betina juga merupakan betina pongidae yang memiliki sifat interaksi terhadap sesama yang paling rendah. Sehingga menurut Rodman 1973 diacu dalam Galdikas 1978 sistem sosial orangutan sangat berbeda dari sistem sosial chimpanze dan gorilla. Harisson 1962 dan Schaller 1961 diacu dalam Galdikas 1978 menyatakan bahwa kesoliteran orangutan terbentuk akibat terlalu banyak orangutan yang diburu oleh manusia.

2.2.8 Ancaman yang dihadapi

Ancaman orangutan yang paling besar adalah manusia, terutama manusia yang menggunakan senjata. Ancaman orangutan terjadi sejak zaman batu sampai sekarang. Sejak zaman batu, manusia memburu hewan ini terutama untuk diambil dagingnya dan sejak akhir abad lalu keberadaan orangutan dinyatakan hampir punah terutama di Kalimantan dan Sumatera. Umumnya orangutan dari tempat tersebut dipindahkan ke tempat lain untuk keperluan kebun binatang atau untuk tujuan objek penelitian. Hewan ini ditangkap dalam jumlah yang besar dan pada saat pemindahan banyak yang mangalami kematian baik pada waktu dalam perjalanan maupun sesudahnya Uitgeverij Van Hoeve 2003. Selain itu Uitgeverij Van Hoeve juga menyebutkan bahaya lain yang selalu mengancam hidup orangutan adalah tekanan yang datang terus menerus dari penduduk sekitar hutan tempat orangutan hidup. Konversi hutan menjadi area pertanian, perkebunan dan peruntukan lain terus meningkat, bahkan di Cagar Alam pun orangutan tidak bebas dari gangguan manusia.

2.3 Sistem Informasi Geografis SIG

2.3.1 Definisi

SIG adalah suatu sistem berbasis komputer yang dirancang khusus, yang mempunyai kemampuan untuk mengelola data pengumpulan, penyimpanan, pengelohan, analisis, pemodelan dan penyajian data spasial keruangan dan non spasial tabulartekstual, yang mengacu pada lokasi di permukaan bumi data biorgeoreferensi Jusmady 1996 diacu dalam Soenarmo 2003. Pada dasarnya, sistem informasi geografis adalah suatu “sistem” yang terdiri dari komponen- komponen yang saling berkait berhubungan dalam mencapai suatu sasaran, berdasarkan “informasi” data, fakta, kondisi, fenomena berbasis “geografis” daerah, spasial, keruangan yang dapat dicek posisinya di permukaan bumi bergeoreferensi Soenarmo 2003. Prahasta 2001 menyebutkan dalam berbagai literatur, SIG dipandang sebagai hasil perkawinan sistem komputer uuntuk bidang kartografi CAC atau sistem kompter untuk bidang perancangan CAD dengan basis data data base.

2.3.2 Komponen dasar dalam penggunaan SIG

SIG merupakan sistem yang kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sitem komputer yang lain ditingkat fungsional dan jaringan. Komponen SIG menurut Prahasta 2001 terdiri dari empat komponen yang meliputi perangkat keras, perangkat lunak, data dan informasi geografi dan manajemen yakni sumberdaya manusia atau brainware. Soenarmo 2007 bagan komponen SIG terdiri dari prosedur yaitu organisasi yang mendukung dimungkinkannya pengembangan teknologi dan aplikasi SIG, data, perangkat keras dan perangkat lunak dan pelaksana. Sesuai dengan fungsinya, perangkat keras SIG dapat dimasukkan dalam empat kategori utama yaitu: alat masukan digitizer, keyboard, alat penyimpanan hardisk, CD ROM, alat untuk memproses prosessor dan alat untuk pengeluaran printer, ploter. Perangkat lunak menunjukkan program dan fungsi analisis. Data secara spasial digolongkan ke dalam data atribut dan data geografi. SIG dapat menyimpan data geografi struktur dan vektor atau raster.

2.3.3 Subsistem SIG

Dari berbagai definisi mengenai SIG, maka SIG Prahasta 2001 menguraikan menjadi beberapa subsistem yakni, data input, data output, data management serta data manipulation analysis. Jika subsistem di atas diperjelas berdasarkan uraian jenis masukan proses dan jenis keluaran yang ada di dalamnya, maka subsistem SIG dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel Data Lainnya Foto Udara Citra satelit Peta tematik, Topografi, dll Data Dijital lain Pengukuran Lapang Laporan Input Gambar 2 Uraian subsistem SIG Prahasta 2001. Teknologi SIG dan teknologi inderaja, keduanya memberikan sejumlah informasi spasial yang berbasis kebumian. Oleh karenanya, semua informasi yang diperoleh dapat dipetakan dua dimensi, koordinat x,y. Banyak ahli yang mengatakan bahwa integrasi kedua teknologi tersebut dapat membuahkan informasi terbaik. Informasi spasial yang diperoleh dari kedua teknologi secara konseptual mempunyai tiga komponen utama yaitu: data lokasispasial, data non- spasial atribut dan dimensi waktu. Data lokasispasial mempunyai koordinat x,y yang terdiri dari titik, garis dan poligonpermukaan serta lokasi bertopologi mempunyai relasi grid dan jaringan networks data non lokasi atribut mempunyai variabel, kelas, nilai dan nama, misalnya : variabel tanah, kelas 1 satu dengan nilaiharga tertentu namanya pasir dan sebagainya. Sedangkan dimensi waktu dapat menunjukkan perubahan informasi dari waktu ke waktu dalam inderaja digunakan untuk monitoring Soenarmo 2003. DATA INPUT DATA MANAGEMENT MANIPULATION OUTPUT Storage data base Peta Retrieval Tabel Output Laporan Processing Informasi Dijital Softcopy

2.3.4 Basis data SIG

Basis data SIG adalah kumpulan data yang saling berkaitan, yang diperlukan dalam SIG, baik data spasial keruangan maupun non spasial. Basis data didefinisikan sebagai suatu kumpulan file-file yang mempunyai kaitan antara file satu dan file yang lain hingga membentuk satu bangunan data untuk, menginformasikan sesuatu seperti wilayah, organisasi, perusahaan, instansi dalam batasan tertentu Sulistyo 1998 diacu dalam Soenarmo 2007. Menurut Prahasta 2001 SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atribut- atributnya di dalam satuan-satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas administratif, perkebunan dan hutan merupakan contoh-contoh layer, dan selanjutnya kumpulann dari layer-layer akan membentuk suatu basis data. Sehingga perancangan basis data merupakan hal yang esensial dalam SIG yang akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses masukan, pengelolaan dan keluaran SIG.

2.3.5 Aplikasi SIG

Banyak sekali aplikasi-aplikasi yang dapat ditangani oleh SIG diantaranya adalah aplikasi SIG dalam habitat satwa liar. Beberapa pemakaian SIG untuk habitat satwa liar adalah: 1. Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa Rhacophorus javanus Boettger, 1893 di Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat oleh Muhammad Irfansyah Lubis. Penelitian untuk membuat peta kesesuaian habitat katak pohon jawa dengan menggunakan layer kerapatan tajuk, kemiringan kelerengan, ketinggian, jarak dari sungai dan sebaran temperatur. Analisis menggunakan metode scoring, pembobotan dan overlay dengan model kesesuaian habitat tinggi memiliki luas 9 dengan validasi 93, 75 sehingga model kesesuaian habitat katak pohon jawa tersebut dapat diterima. Saran yang perlu diperhatikan adalah penambahan variabel untuk mendapatkan model habitat yang lebih baik dan lebih luas. Perlu lebih banyak titik untuk validasi. 2. Pemodelan Spasial Monyet Hitam Sulawesi Macaca nigra Dasmarest, 1822 oleh Maria Yohana Indrawati. Penelitian untuk membuat peta kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi dengan menggunakan layer kelerengan, ketinggian, jarak dari sungai, jarak dari banguanan dan NDVI Normalization Difference Vegetation Index. Analisis menggunakan metode scoring, pengkelasan, pembobotan dan overlay dengan model kesesuaian habitat tinggi mencapai 52,64 dengan validasi 76,67 sehingga model kesesuaian monyet hitam sulawesi tersebut dapat diterima. Saran yang perlu diperhatikan adalah pembangunan model selanjutnya perlu dianalisis faktor LAI Leaf Area Index berdasarkan pengukuran langsung di lapang dan citra Landsat untuk mengetahui pengaruh tutupan vegetasi terhadap habitat monyet hitam sulawesi. 3. Pemodelan Kesesuaian Habitat Harimau sumatera Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929 di Resort Ipuh-Seblat Taman Nasional Kerinci Seblat oleh Rudiansyah. Pemodelan kesesuaian harimau sumatera berdasarkan tinjauan dan penilaian dari yaitu ketersediaan mangsa Encounter RateER harimau hasil camera trap, jarak ke sungai buffer jarak sungai, topografi peta kontur dan kerapatan tajuk menggunakan LAI. Pembobotan menggunakan PCA terhadap titik sebaran harimau. Hasilnya adalah terdapat tiga daerah kesesuaian yaitu rendah, sedang dan tinggi dengan hasil pada kesesuaian tinggi 95,85 dengan validasi 95,64 sehingga model dapat diterima untuk kesesuaian habitat tinggi. Saran yang perlu diperhatikan adalah perhitungan LAI sebaiknya dilakukan dengan analisis citra Landsat dan pengukuran langsung di lapangan.

2.4 Penginderaan Jarak Jauh

Penginderaan jarak jauh secara umum didefinisikan sebagai ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi atau data mengenai kondisi fisik suatu benda atau objek, target, sasaran maupun daerah dan fenomena tanpa menyentuh atau kontak langsung dengan benda atau target tersebut Soenarmo 2003. Lo 1996 juga menyebutkan, penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Menurut Soenarmo 2003 untuk memperoleh data dengan sensor jauh, sangat penting peranan media perantara, dalam hal ini adalah gelombang elektromagnetik yang berasal dari spektrum radiasi matahari. Selanjutnya Soenarmo juga menyebutkan, sistem sensor jauh yang digunakan ada dua macam, yaitu sistem sensor pasif yakni dengan memanfaatkan gelombang elektromagnetik yang secara langsung dapat diperoleh dari alam dan sistem sensor aktif menggunakan gelombang elektromagnetik yang dipisahkan oleh rekayasa manusia sesuai dengan keperluan. Sistem sensor pasif pada umunya memanfaatkan gelombang cahaya tampak, infra merah dekat dan infra merah tengah serta panjang gelombang mikro tertentu. Sedangkan sistem sensor aktif pada umumnya menggunakan panjang gelombang mikro radar yang tidak dapat digunakan secara langsung dari alam, tetapi melalui tahap pemisahan. Satelit penginderaan jauh yang sering digunakan untuk melihat penutupan lahan adalah satelit Landsat yang saat ini telah mencapai satelit Landsat 7. Konfigurasi satelit Landsat adalah tinggi orbit 705 km, inklinasi 98°, jenis orbit sunsynchronous dan semirecurrent, saat melewati ekuator sekitar pukul 09.39 dan lebar cangkupannya 185 km Soenarmo, 2003.

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Sejarah dan Status Kawasan

Suaka Margasatwa Sungai Lamandau awalnya adalah kawasan hutan produksi tetap dan hutan produksi yang dikonversi pada sebagian kelompok hutan Sungai Lamandau seluas ± 76.110 ha dengan dasar penunjukan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 162Kpts-II1998 tanggal 26 Februari 1998. Dasar atau latar belakang penunjukkan kawasan ini adalah, karena kawasan ini merupakan tipe ekosistem hutan rawa air tawar dan tipe hutan dataran rendah, yang berfungsi sebagai perlindungan dan pelestarian terhadap jenis-jenis serta keanekaragaman satwa dan habitatnya, termasuk jenis satwa yang mempunyai nilai khas. Sehingga satwa-satwa tersebut dapat dipertahankan kelangsungan hidupnya secara alami tanpa adanya gangguan manusia. Pada tahun 2005 telah dilakukan Penataan Batas Definitif oleh BPKH Wilayah V Banjarbaru. Berdasarkan hasil tata batas tersebut dalam Laporan Nomor: 47LAPBPKH Bjb-12005 tentang Penataan Batas Definitif Kawasan Suaka Margasatwa SM Sungai Lamandau pada Kabupaten Kotawaringin Barat dan Laporan Nomor: 48LAPBPKH Bjb-12005 tentang Penataan Batas Definitif Kawasan Suaka Margasatwa SM Sungai Lamandau pada Kabupaten Sukamara, luas SM Lamandau yang berhasil ditata batas berkurang lagi hanya menjadi ± 56.584 ha dengan jumlah pal batas sebanyak 1.337 buah dan SK penetapannya belum ada sampai sekarang.

3.2 Letak dan Luas

Secara geografis SM Lamandau berada di 111º11’ - 111º30’ BT dan 2º33’- 2º53’ LS. Berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan berada pada wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, termasuk ke dalam 4 empat kecamatan yang terbagi dalam 2 dua kabupaten yaitu: Kecamatan Arut Selatan dan Kecamatan Kotawaringin Lama di Kabupaten Kotawaringin Barat serta Kecamatan Jelai dan Kecamatan Sukamara di Kabupaten Sukamara. Adapun batas-batas kawasan adalah sebelah utara berbatasan dengan perkebunan kelapa