135
khas yang digunakan oleh kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” ini untuk mengatasi hubungan-hubungan eksploitatif yang dihadapinya dalam kehidupannya
sehari-hari. Dengan cara seperti itulah kita akan melihat bagaimana logika demokrasi radikal plural itu bekerja dalam formasi hegemonik komunitas CUM “Talenta”.
Menurut Laclau-Mouffe, revolusi demokrasi merupakan prasyarat bagi bekerjanya logika demokrasi radikal-plural. Melalui revolusi demokrasi dibangunlah
rantai ekuivalensi dan penciptaan rantai ekuivalensi itu bagaimanapun juga dimaksudkan untuk mengaktualisasikan kesetaraan equality dan kebebasaan freedom
yang merupakan angan-angan politik political imaginary. Aktualisasi kesetaraan equality dan kebebasaan freedom dilakukan dengan jalan mengeliminasi setiap
bentuk hubungan sosial yang subordinatif, eksploitatif, dan bahkan opresif”.
200
Kebebasan yang otentik itu menurut LM tidak pernah bersifat individual tetapi kolektif sebab menyangkut segi-segi relasional dari banyak orang”.
201
Jadi, pembahasan tentang bagaimana logika demokrasi radikal-plural bekerja dalam formasi hegemonik komunitas CUM “Talenta” merupakan perbincangan tentang
perjuangan-perjuangan demokratik baru apa saja yang dilakukannya untuk mengatasi hubungan-hubungan eksploitatif, subordinatif dan opresif itu dalam kehidupannya
sehari-hari.
4.2. Hegemoni, Antagonisme dan Persoalan Identitas Subjek Dalam Konteks Kemunculan Wacana CUM
4.2.1. Identitas posisi subjek MP. Ambarita Sebagai Penemu Gagasan CUM
Mengawali analisis atas identitas politik “gereja suku” GKPS dan representasinya sebagaimana diartikulasi kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” maka akan
200
St. Sunardi, Logika Demokrasi Plural-Radikal” dalam Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora Baru, Opcit, hlm, 18
201
Robertus Robert 2010,opcit,hlm, 227
136
dikutipkan terlebih kembali sepotong konteks kemunculan wacana CUM sehingga pembacaan atas konteks hegemoni, antagonisme identitas yang dialami MPA sebagai
penemu gagasan CUM dapat diungkap. Untuk memudahkan pembahasannya maka nukilan konteks hegemoni dan antagonisme identitas yang melatari kemunculan wacana
CUM disajikan dengan menggunakan penomoran: 1. Sesuai dengan program Pemerintah untuk menyejahterakan bangsa Indonesia
maka peranan Gereja untuk mendukung program tersebut merupakan bagian yang tidak bisa diabaikan.
2. Memberdayakan jemaat dan masyarakat sekitar merupakan kontribusi Gereja untuk menunjang program bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terlibat
dalam perekonomian dunia, khususnya memperkuat grass root economy atau ekonomi kerakyatan.
3. Dalam mewujudkan hal tersebut di atas maka Gereja memprakarsai wadah sebagai sarana pelayanan diakonia melalui Credit Union Modifikasi atau
CUM yang berlandaskan jiwa kooperatif dan persekutuan atau komunitas antara jemaat Gereja dan masyarakat sekitar lingkungan Gereja.
4. Credit Union Modifikasi ini adalah hasil dari Credit Union biasa yang sudah dimodifikasi untuk mengantisipasi kebutuhan khususnya masyarakat
pinggiran kota besar dan pusat-pusat sentra ekonomi kerakyatan di daerah- daerah agraria atau industri-industri kerajinan rakyat[…].
5. Pemikiran tentang CUM sebagai wadah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat berlandaskan perekonomian kerakyatan versi kristiani adalah
berkat doa dari istri dan keluarga yang merelakan saya ambil bagian dalam pelaksanaan operasional PT.BPR-Pijer Podi Kekelengen sebagai bank Gereja
murni di GBKP sejak tahun 1992 sampai sekarang 2007 sebagai formal microfinance.
6. Mengingat keterbatasan BPR gereja yang sulit menjangkau seluruh wilayah pelayanan gereja sampai ke pelosok-pelosok maka CUM adalah wadah yang
tepat karena keluwesan operasionalnya serta kemudahan-kemudahannya sebagai saranawadah perpanjangan tangan pelayanan gereja yang otomatis
di bawah payung lembaga gereja cq bidang diakonia”.
202
Kisah awal munculnya wacana CUM tersebut di atas memperlihatkan bahwa MPA tampak memiliki dua identitas atau posisi subjek. Pada satu sisi, ia
mengidentifikasikan dirinya sebagai “subjek gereja” yang memiliki tugas dan tanggungjawab etis “memberdayakan jemaat dan masyarakat sekitar”. Pada sisi yang
202
MP.Ambarita 2007 dalam Kata Pengantar: Pedoman Pengelolaan CUM, untuk kalangan sendiri
137
lain MPA juga memiliki identitas atau posisi subjektif sebagai “pelaksana operasional” PT.BPR-PPK yakni sebuah bank pedesaan milik gereja “GBKP” lihat nukilan 5.
MPA adalah Direktur Utama PT.BPR-PPK sejak berdiri pada tahun 1992-2010. Tampaknya MPA mengalami kedua identitasnya tersebut dalam relasi yang
bertentangan antagonis. Sebagai “subjek gereja” yang memiliki tugas dan tanggung jawab etis untuk “memberdayakan jemaat dan masyarakat sekitar” subjek liyan yang
ada di seluruh wilayah pelayanan gereja sampai ke pelosok-pelosok, MPA melihat bahwa subjek gereja tampak tidak memiliki sarana atau wadah yang tepat sehingga ia
dapat menjangkau subjek liyan yang ada di seluruh wilayah pelayanan gereja lihat: nukilan 6.
Sementara itu, sebagai subjek “pelaksana operasional” PT.BPR-PPK, MPA melihat bahwa BPR milik gereja tersebut memiliki keterbatasan sehingga sulit untuk
menjangkau seluruh wilayah pelayanan gereja sampai ke pelosok-pelosok pedesaan. Meskipun tidak dijelaskan secara langsung apa yang dimaksudkan MPA dengan
“mengingat keterbatasan BPR sehingga sulit menjangkau…”. Tetapi kalau nukilan tersebut di atas dibaca secara keseluruhan maka dengan segera kita bisa melihat bahwa
MPA tampak sedang menegasikan wacana BPR dengan wacana CUM yang diajukannya sebagai wacana alternatif untuk mengatasi ketiadaan sarana atau wadah bagi institusi
gereja untuk menjangkau subjek liyan yang ada di seluruh wilayah pelananan gereja sampai ke pelosok-pelosok itu. Hal tersebut terlihat dari ungkapan MPA yang
mengatakan bahwa: “wacana CUM ini merupakan sarana dan wadah yang tepat karena memiliki keluwesan dan kemudahan operasionalnya nukilan 6”. Selain itu, MPA juga
mengatakan bahwa wacana CUM yang diajukannya tersebut adalah sebentuk informal PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
microfinance sama seperti Grameen Bank yang dikembangkan Muhammad Yunus di Bangladesh.
Kalau kita meminjam perspektif Ledgerwood sebagaimana diungkapkan Bagus Aryo yang telah dipaparkan pada bab II, sebagai lembaga keuangan mikro formal
formal microfinance maka suatu BPR beroperasi di dalam struktur regulasi dan pengawasan pemerintah. Dan itu berarti, pengelolaan, pengoperasian dan
pengembangan wilayah pelayanan sebuah BPR harus selalu mengacu pada regulasi dan ketentuan-ketentuan perbankan. Penetapan wilayah pelayanan maupun perluasannya
harus senantiasa mengacu pada regulasi dan ketentuan-ketentuan perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia BI. Sementara itu, sebagai bagian dari informal
microfinance maka praktik diskursif CUM beroperasi di luar struktur regulasi dan pengawasan Pemerintah. Dalam perspektif seperti inilah MPA mengatakan wacana
CUM itu memiliki keluwesan dan mudah dalam hal pengoperasiannya. Pada titik inilah, kedua identitas MPA tersebut yakni sebagai “subjek gereja”
dan sebagai “pelaksana operasional” PT.BPR-PPK” mengalami benturan. Keinginannya untuk menggunakan PT.BPR-PPK meskipun adalah milik gereja
sebagai sarana-wadah untuk bisa menjangkau “jemaat dan masyarakat sekitar” subjek liyan yang berada di seluruh wilayah pelayanan gereja sampai ke pelosok-pelosok
pedesaan terhalang oleh aturan “bahasa” BPR yakni UU Bank No.10 tahun 1998 dan UU No. 1 tahun 1995 serta ketentuan-ketentuan perbankan lainnya yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia. Kalaupun, PT. BPR-PPK itu adalah bank milik gereja namun institusi gereja tidak dapat secara bebas melakukan pengembangan wilayah
pelayanannya sendiri tanpa mengacu pada Undang-undang perbankan. Dalam pasal 19 ayat 1 dan 2, UU No. 10 tahun 1998 secara tegas dinyatakan bahwa:
139
1. Pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
2. Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Kalau kita menggunakan pembacaan berdasarkan perspektif psikoanalisa Lacanian yakni ketika seorang anak yang memasuki fase bahasa tatanan simbolik
maka ia harus taat dan patuh pada aturan bahasa atau kebudayaan yang sedang ia masuki. Dengan begitu maka ketaatan dan kepatuhan pada aturan bahasa BPR regulasi
itu sesungguhnya merupakan konsekuensi alamiah yang harus diterima subjek gereja sebagai pengguna “bahasa BPR” sebab “bahasa BPR” yang sedang digunakan MPA
subjek gereja itu memang bukanlah bahasanya sendiri tetapi bahasa orang lain The Other. Kalau subjek gereja masih mau menggunakan “bahasa BPR” itu maka ia harus
taat dan patuh pada aturan bahasa BPR itu sendiri. Dalam kenyataan seperti itu, subjek gereja tampaknya merasa seperti berada
dalam bayang-bayang ancaman kolonialisasi lifeworld Negara”.
203
Subjek gereja dibuat merasa tidak memiliki sarana atau wadah untuk menjangkau yakni “jemaat dan
masyarakat sekitar” subjek liyan yang berada di seluruh wilayah pelayanannya yang sampai ke pelosok-pelosok pedesaan itu. Dalam hal ini, subjek gereja mengalami apa
yang disebut Lacan dengan “kesalahpengenalan” misrecognition. Ketika subjek gereja
203
Istilah Lifeworldatau“dunia-kehidupan” merupakan pemikiran yang dikemukakan Jurgen Habermas untuk menggambarkan adanya sumber-sumber “tradisi dunia kehidupan” dari kebudayaan ataupun
agama tertentu. Konsepsi filosofis tentang lifeworld secara lebih lengkap dipaparkan oleh Jurgen Habermas 1983 Teory of Communicative Action, Vol 1, Boston, Beacon Press khususnya hlm, 330-331.
Muhammad A.S. HIkam merumuskan defenisi lifeworld sebagai kesepakatan sosial yang telah terbentuk dalam tradisi, kebudayaan, bahasa yang dikomunikasikan dalam praktik keseharian dalam komunitas. Ia
mencakup khazanah pengetahuan stock of knowledge, sumber keyakinan-keyakinan reservoir of convictions solidaritas dan kemampuan yang dimiliki dan digunakan secara otomatis oleh para anggota
komunitas. Hal ini terutama akan terjadi kalau monopoli interpretasi ideologis oleh negara cenderung mematikan kemampuan interpretif dari elemen-elemen dalam civil society. Yang terjadi lalu krisis
lifeworld yang tampil dalam bentuk bentuk alienasi dan kecenderungan eskapisme, apatisme dan fundamentalisme. Selanjutnya lihat juga: Muhammad A.S.Hikam,1996Demokrasi dan Civil Society,
Jakarta,Pustaka LP3ES,hlm ,206
140
bercermin pada The Other yakni wacana BPR, “cermin” itu seolah-olah memanggil dirinya: “Hey, lihatlah kesini”. Lalu, subjek gereja langsung mengidentifikasikan
dirinya pada “cermin” itu; “Aha, itu aku”. Tetapi, apa yang dilihatnya di “cermin” itu, sesungguhnya bukanlah dirinya sendiri tetapi merupakan pantulan atau citra kediriannya
yakni “Itu aku”. Inilah yang “disalah-kenali” subjek gerejasebagai kediriannya yang otentik dan otonom mandiri. Kesalahanpengenalan itu dialami subjek gereja sebab
dalam proses bercermin itulah logika ketidaksadaran bekerja yang dalam istilah Lacan disebut terstruktur seperti bahasa”. Dengan kata lain, hasrat subjek gereja untuk
mendirikan dan memiliki PT.BPR-PPK itu sesungguhnya bukanlah hasrat otonom kediriannya.
Belakangan subjek gereja baru menyadari bahwa bahasa BPR yang sedang ia gunakan itu ternyata tidak dapat memuaskan hasratnya. Memang, hasrat subjek gereja
untuk mendirikan dan memiliki want to have PT.BPR-PPK atau dalam istilah Lacan disebut “hasrat anaklitik aktif” berhasil dipuaskan. Tetapi, subjek gereja itu ternyata
tidak hanya memiliki “hasrat anaklitik aktif” itu. Subjek gereja juga ternyata memiliki hasrat yang lain yakni “hasrat anaklitik pasif”. “Hasrat anaklitik pasif” adalah sebentuk
hasrat untuk dihasrati orang lain want to be yang dicirikan oleh adanya tuntutan subjek akan sebuah pengakuan atas eksistensi dirinya.
Kalau kita membaca kembali nukilan kisah awal munculnya wacana CUM tersebut di atas maka MPA telah mengungkapkan hasrat anaklitik pasif subjek gereja itu
lewat ketidasudiannya kalau perannya untuk terlibat dalam menyejahterakan rakyat Indonesia diabaikan begitu saja.
1. Sesuai dengan program Pemerintah untuk menyejahterakan bangsa Indonesia maka peranan Gereja untuk mendukung program tersebut merupakan bagian
yang tidak bisa diabaikan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
2. Memberdayakan jemaat dan masyarakat sekitar merupakan kontribusi Gereja untuk menunjang program bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terlibat
dalam perekonomian dunia, khususnya memperkuat grass root economy atau ekonomi kerakyatan.
Gagasan tentang “kesejahteraan” ini sebenarnya adalah sebuah gagasan kosong- mengambang dan diskursif sehingga maknanya juga ditentukan oleh tafsir antagonisme-
antagonisme sosial dan keberbedaan daripada hadir sebagai ide pra-konsepsi dan kanonkorpus tertutup. Kesejahteraan ini adalah imaji kolektif atau hasrat kolektif
Indonesia sebagai sebuah bangsa untuk menampung the common goods,
204
yang akan mempertautkansatu warga negara dengan warga negara lainnya dalam suatu tindakan
kooperatif yang bersifat altruistik sebagaimana pernah dideklarasikan oleh Cicero: Salus Populi Suprema Lex Esto kesejahteraan adalah hukum tertinggi”.
205
Mengacu pada hal tersebut di atas maka kesejahteraan itu bersifat kontingen di mana ia terbuka untuk segala pemaknaan dan reartikulasi. Kesejahteraan menjadi ranah
yang sangat politis bagi kekuasaan, konflik dan antagonisme sosial. Dalam diskursus Nasionalisme Indonesia misalnya gagasan tentang kesejahteraan adalah sebuah
“penanda kosong” empty siginfier, yang dalam momen sosial tertentu bertransformasi menjadi penanda mengambang floating siginifier – yang kemudian kita pahami
sebagai common goods – melalui artikulasi-artikulasi sosial yang berlangsung dalam “arena pertarungan” bagi hegemoni yang membentuk secara diskursif untuk menjadi
204
Common goods diartikan sebagai sesuatu hal yang hendak dicapai oleh seluruhwarga negara - seluas-luasnya- melalui sarana-sarana politik dan aksi kolektifdari warga negara yang berpartisipasi
dalam tata pemerintahan mereka sendiriself government. Dengan kata lain, kesejahteraan, kesetaraan, kebebasan dsbmerupakan common goods, merupakan hasrat publik yang bisa dicapai
melaluipolitik kewargaan citizenship, aksi kolektif dan partisipisi aktif dalam praksispolitik dan pelayanan publik. Selanjutnya lihat: Hasrul Hanif, Antagonisme Sosial, Diskonsensus, dan
RantaiEkuivalensi: Menegaskan Kembali Urgensi ModelDemokrasi AgonistikJurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 1.1, Nomor 1, Juli2007119-136-
sumber: http:jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.idindex.phpjsparticleview6152 diakses1582015
205
Ibid
142
diskursus hegemonik secara parsial. Proses ini lahir dari berbagai antagonisme sosial yang berhasil menciptakan dislokasi sekaligus sendimentasi sosial, ekslusi sekaligus
inklusi, ekuivalensi sekaligus keberbedaan”.
206
Dalam perspektif MPA sebagai representasi subjek gereja, gagasan tentang “kesejahteraan bangsa Indonesia” yang kosong itu ingin dimaknai dengan cara
“memberdayakan jemaat dan masyarakat sekitar” yakni subjek liyan yang berada di seluruh wilayah pelayanan gereja sampai ke pelosok-pelosok di pedesaan. Jenis
pemberdayaan yang hendak dilakukannya adalah sebentuk penguatan “ekonomi kerakyatan” yang menurut Revrisond Baswir merupakan nama lain dari “demokrasi
ekonomi” yang secara historis hadir untuk mengoreksi struktur ekonomi kolonial”.
207
Secara aktual, wacana “ekonomi kerakyatan” demokrasi ekonomi sering juga disebut sebagai “ekonomi kekeluargaan”. “Ekonomi kekeluargaan” adalah negasi dari
“ekonomi korporasi” yang menjadi watak dasar sistem ekonomi neoliberal yang hanya mengubah manusia menjadi komoditi dan mereduksi peran pemerintah-pemerintah
nasional dalam menjaga pembangunan sosial harmonis dan lestari”.
208
Apa yang menjadi persoalan bagi MPA bukan pada wilayah pemaknaan wacana “kesejahteraan bangsa Indonesia” itu. Relasi konfliktual-antagonistis yang dialami MPA
justru karena Sang Lain Besar The Big Other yakni Sang Penguasa pemerintah justru mendominasi “makna” wacana penguatan ekonomi kerakyatan tersebut. Wacana BPR
yang ia gunakan selama ini untuk mengartikulasi aspek etisnya di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat itu, telah membuat dirinya mengalami dua identitasnya yang
berhubungan secara antagonis. Alih-alih berharap wacana BPR dapat menghadirkan sesuatu yang ia cari sebagai objek hasratnya, bahasa BPR yang ia gunakan selama ini
206
Hasrul Hanif, ibid, hlm, 125
207
Revrisond Baswir 2010 Manifesto Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm, 8, 10
208
Tim Keadilan, Perdamaian dan Ciptaan DGD 2006 Op.cit, Jakarta, PMK – HKBP, hlm, 4
143
justru telah membuat dirinya mengalami disintegrasi atau dalam istilah LM disebut dengan split dan dislokasi. Artinya, MPA memang menerima “kebenaran” wacana BPR
itu sebagai sebuah sistem “ekonomi kerakyatan” tetapi wacana BPR itu tampak tidak sepenuhnya hegemonik di dalam dirinya. Meskipun mengalami kondisi split dan ter-
dislokasi namun ada semacam gairah di dalam diri MPA untuk melakukan retakan rupture terhadap dominasi wacana BPR wacana tuan yang telah menghalanginya
untuk mendapatkan kepuasan hasrat anaklitik pasifnya tersebut. Dengan kata lain, kondisi split, dislokasi yang dialami MPA sebagai representasi subjek gereja itu justru
telah mendorongnya mencari jalan alternatif untuk memuaskan hasratnya
tersebut.Kondisi split, dislokasi yang dialaminya tidak lantas membuat MPA melihat ruang kontestasi atau perebutan makna “kesejahteaan bangsa Indonesia” menjadi
tertutup. Dalam kondisi seperti itu, MPA justru melihat terbukanya ruang bagi identifikasi kediriannya secara baru dalam memberi makna terhadap “kesejahteraan
bangsa Indonesia” itu. Seperti kata LM, antagonisme sosial merupakan salah satu cara untuk merespon dislokasi yang diproyeksikan sebagai “musuh”.
209
MPA harus memilih salah satu di antara kedua identitasnya yang berelasi secara antagonis tersebut. Kalau ia tetap memilih bertahan pada identifikasi dirinya sebagai
pengguna “bahasa BPR” yang telah memberinya citra sebagai “pemilik” sebuah bank BPR, itu berarti ia tetap menduduki posisi sebagai subjek subordinasi subjek histeris
dan itu berarti ia kehilangan subjek liyan jemaat dan masyarakat sekitar yang dihasratinya. Di sisi yang lain, apakah ia sebagai “subjek gereja” memilih
mengidentifikasikan dirinya pada subjek liyan yakni memilih untuk menjangkau “jemaat dan masyarakat sekitar” yang berada di seluruh wilayah pelayanan gereja
209
Hasrul Hanif,Op.cit,hlm,hlm,125
144
sampai ke pelosok-pelosok pedesaan maka
konsekuensinya adalah ia
harus menyediakan wacana tandingan.
Dalam kenyataannya, MPA tampak telah melakukan intervensi hegemonis dengan cenderung memilih identitasnya sebagai “subjek gereja”. Hal itu dengan sangat
jelas tampak dari pernyataan yang dikemukakan MPA sendiri yakni: “gereja memprakarsai wadah sebagai sarana pelayanan diakonia melalui “credit union
modifikasi” CUM yang berlandaskan jiwa kooperatif dan persekutuan atau komunitas antara jemaat Gereja dan masyarakat sekitar lingkungan Gereja”.
210
Wacana CUM, seperti kata MPA adalah sarana dan wadah yang tepat untuk digunakan sebagai
perpanjangan tangan pelayanan diakonia gereja. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa gagasan tentang CUM ini diadopsi dari wacana CU tradisional yang selama ini sudah
beroperasi di tengah-tengah masyarakat. “tata bahasa” manajemen, wacana CUM ini merupakan perpaduan atau sintesa dari sistem CU tradisional dan sistem BPR.
Perpaduan kedua sistem itu dilakukan dengan tindakan “modifikasi” yang kemudian membawa implikasi beralihnya status ataupun identitas sistem BPR dari formal
microfinance menjadi informal microfinance”.
211
Dalam statusnya sebagai sebentuk informal microfinance itulah, MPA mengklaim wacana CUM adalah sebentuk sistem
“perekonomian kerakyatan versi kristiani”.
212
Wacana CUM berbeda dengan sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang diasuh oleh formal microfinance seperti bank; BRI, BPR, BMT, bank syariah dan lain-
lain. Perbedaan wacana CUM dengan wacana sistem ekonomi kerakyatan yang lain tidak hanya terletak pada sistem atau manajemen teknisnya tetapi juga pada nilai-nilai
yang diusungnya atau ideologinya. Kalaupun MPA mengatakan bahwa wacana CUM
210
MP.Ambarita 2007 dalam “Kata Pengantar”
211
Ibid, hlm, 4.
212
Ibid,
145
merupakan sebentuk informal microfinance, tetapi praktik diskursif CUM tidak sama dengan praktik rentenir, hutang - gadai, arisan dan lain sebagainya. MPA mengatakan
di dalam suatu komunitas CUM, seluruh harta kekayaan adalah milik anggota. Meskipun wacana CUM merupakan alat atau perpanjangan tangan pelayanan institusi
gereja namun harta kekayaan suatu komunitas CUM adalah berdiri sendiri dan tidak termasuk kekayaan gereja. Tetapi, untuk mengekspresikan relasinya dengan institusi
gereja yang menaungi atau mewadahinya, maka sebagian dari hasil usaha komunitas CUM dapat dialokasikan untuk mendukung kegiatan pelayanan diakonia gereja.
Namun begitu, MPA mengingatkan bahwa agar suatu komunitas CUM tidak dijadikan sebagai sumber Kas Umum Gereja, sesuatu yang hendak diberikan oleh suatu komunitas
CUM itu kepada institusi gereja yang mewadahinya maka sesuatu itu harus diberikan berbasis kegiatan. Menurut MPA, Gereja yang hidup adalah bila seluruh kegiatan
Gereja itu dibiayai oleh Kas Umum dan jemaat-lah yang bertanggungjawab atas kecukupan kas umum Gereja”.
213
Berdasarkan hal tersebut di atas, tampak dengan jelas bahwa relasi suatu komunitas CUM dengan suatu Gereja yang menaunginya sebagaimana yang ada di
dalam pemikiran MPA, tidak dikonstruksi dalam relasi yang bersifat hirarkis-struktural patront-client tetapi dikonstruksi dalam struktur yang setara. Kalau meminjam
perspektif Peter Berger dan Richard John Neuhaus sebagaimana dikutip Matius Ho, institusi gereja dapat memainkan peran atau bertindak sebagai “struktur mediasi”
mediating structured. Diagram Struktur mediasi itu dapat digambarkan sebagai berikut:
214
213
Ibid, hlm, 9
214
Matius Ho, “Gereja dan Pemberdayaan Warga”, dalam Zakaria J Ngelow, dkk, eds, 2013, Teologi Politik: Panggilan Gereja di Bidang Politik Pasca Orde Baru, Makassar, Oase Intim, hlm, 196: Matius Ho
menambahkan: Gereja ikut berperan sebagai struktur mediasi. Gereja membawa nilai-nilai moral
146
LM mengatakan bahwa setiap wacana bersifat contingent sehingga makna juga tidak dapat sepenuhnya stabil fixed. Wacana selalu potensial bias untuk digunakan
demi kepentingan politik tertentu. Hal itu pulalah tampaknya yang disadari MPA sehingga wacana CUM yang diajukannya sebagai sebuah “penanda baru” diskursus
ekonomi kerakyatan itu diarahkan hanya untuk pelayanan gereja”.
215
Sebagai alat pelayanan gereja maka praktik diskursif CUM dilakukan hanya untuk kemuliaan nama
Tuhan sehingga penyelenggaraannya juga harus dilakukan di dalam struktur kelembagan gereja dalam arti dijadikan sebagai Aktivitas pelayanan diakonia gereja,
sehingga tidak diijinkan digunakan di luar gereja”.
216
Dalam posisinya yang seperti itu, praktik CUM otomatis berada di bawah payung lembaga gereja cq bidang Diakonia”.
Artinya, payung yuridis penyelenggaraan CUM adalah Badan Hukum Gereja sebagai lembaga keagamaan yang dikeluarkan Pemerintah”.
217
Dalam rangka mewujudkan cita-cita politiknya untuk menciptakan suatu formasi hegemoni tandingan, MPA tampak telah menjadikan “diakonia gereja” sebagai nodal
pointyakni sebagai “penanda utama” master signifier yang sekaligus berfungsi untuk menyatukan sistem makna atau “rantai signifikasi” dari keseluruhan praktik diskursif
CUM. Tampilnya, “diakonia gereja” sebagai nodal point inilah yang menandai
spiritual dalam masyarakat. Gereja juga selalu berhadapan dengan realita kehidupan sehari-hari di Masyarakat. Dalam konteks Negara Pancasila, lembaga-lembaga umat beragama lainnya juga perlu
berfungsi sebagai struktur mediasi ini. Tanpa mereka, Negara dapat mengambil monopoli dalam menentukan dan menerapkan nilai-nilai hidup masyarakat. Oleh karena itu, gereja harus menjaga
independensi dari lembaga lembaga pemerintah dan lembaga politik-ekonomi lainnya, agar dapat berperan efektif sebagai struktur mediasi.
215
MP.Ambarita 2007 Op.cit, hlm, 4
216
Ibid dalam “Kata Pengantar”
217
Ibid, hlm, 5
Negara dan Lembaga- lembaga
besar lainnya Institusi Gereja sebagai
Struktur Mediasi Mediating Structure
Individu Komunitas CUM
147
pengambilan posisi-politik MPA secara baru di mana wacana CUM kini menjadi the other dihadapan hegemoni wacana tuan wacana BPR yang diasuh oleh penguasa
sebagai pemilik “bahasa” BPR yang sesungguhnya. Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab pendahuluan, bagi LM, identitas itu
setara dengan identifikasi subjek terhadap sesuatu. Dan sesuatu itu adalah posisi subjek yang ditawarkan wacana kepada individu.Dengan mengajukan wacana CUM, subjek
gereja yang direpresentasikan oleh MPA tampak berniat berkontestasi dengan wacana CU dan wacana BPR yang sebelumnya secara hegemonik telah menguasai “makna”
diskursus ekonomi kerakyatan nasional Indonesia. Kenyataan ini sekaligus sekaligus memperlihatkan keterbelahan subjek gereja.Subjek gereja menjadi subjek yang ambigu
split yang berada di antara “menerima atau menolak” kebenaran wacana BPR yang selama ini ia gunakan.Artinya, pada satu sisi subjek gereja tampak menolak
hegemonisasi makna pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang oleh wacana BPR wacana tuan karena itulah ia mengajukan wacana CUM sebagai wacana tandingan
namun pada sisi yang lain, subjek gereja juga tampak tidak ingin melepaskan status atau posisinya sebagai “pemilik” PT.BPR-PPK itu. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa
MPA memang menerima “kebenaran” makna wacana BPR itu sebagai diskursus ekonomi kerakyatan nasional-Indonesia tetapi wacana BPR itu tidak sepenuhnya
hegemonik di dalam dirinya. Hegemoni wacana BPR yang dijalankan lewat mekanisme “pendisplinan” itu
telah memunculkan hegemoni tandingan kontra hegemoni yakni munculnya wacana CUM yang menurut MPA merupakan sebentuk sistem perekonomian kerakyatan versi
kristiani. Wacana “pemberdayaan ekonomi kerakyatan”tampak dimaknai MPA sebagai “penanda kosong” empty signifier yaitu semacam ruang kontestasi untuk membentuk
148
suatu formasi hegemoni tandingan baru untuk mengimbangi dominasi wacana BPR dan wacana bank pada umumnya yang selama ini menguasai “makna” diskursus
pemberdayaan ekonomi kerakyatan nasional-Indonesia.Melalui wacana CUM, MPA berniat mengajukan sebentuk wacana pemberdayaan ekonomi kerakyatan versi kristiani
yang selama ini mangkir dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Pemberdayaan ekonomi kerakyatan versi kristiani ini, dalam kosakata gereja dikenal sebagai “diakonia
pemberdayaan ekonomi jemaat-masyarakat”. Kini MPA telah membuka ruang pertentangan kontestasi makna wacana politik
pemberdayaan ekonomi kerakyatan antara wacana CUM dengan wacana BPR di ruang publik. Bagaimanakah MPA selanjutnya, mewujudkan angan-angan politiknya political
imaginary untuk melampaui keadaan krisis yang dialami oleh “jemaat dan masyarakat sekitar” subjek liyan di dalam konteks partikularitasnya masing-masing.
Bagian berikut ini akan fokus untuk melihat menganalsis strategi diskursif yang seperti apa yang ditempuh MPA untuk mewujudkan formasi hegemonik atau political
imaginary yang dicita-citakannya tersebut.
4.2.2. Pendidikan Dan Pelatihan Calon Pengelola Manajer CUM: Strategi Diskursif Membangun Formasi Hegemoni Tandingan
LM telah mengatakan bahwa hegemoni adalah hasil dari suatu proses artikulasi sehingga formasi hegemonik dengan sendirinya harus meliputi pengorganisasian
kekuatan-kekuatan sosial yang berfungsi sebagai floating signifier sehingga
menghasilkan hubungan-hubungan diferensial dalam suatu totalitas terstruktur”.
218
Dalam rangka membangun sebuah formasi hegemoni tandingan yang dicita- citakannya tersebut strategi diskursif yang ditempuh MPA adalah dengan cara
218
St.Sunardi, Logika Demokrasi Plural-Radikal, dalam Retorik, Jurnal Ilmu Humaniora Baru, Vol.3 No.1,.Desember 2012, IRB-USD-Yogyakarta hlm, 13
149
menyelenggarakan “Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola manajer CUM”. MPA mengundang Pimpinan-pimpinan gereja dari berbagai denominasi agar mengutus para
Pendeta-nya atau Diakones-nya untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan tersebut. MPA memancang syarat dan kriteria yang dapat mengikuti Pendidikan dan Pelatihan itu
adalah “Pendeta atau Diakones”. Penetapan syarat bahwa hanya Pendeta dan Diakones lah yang dapat mengikuti Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola manajer CUM
tersebut disebabkan karena yang boleh jadi pengelola manajer CUM juga hanya Pendeta atau Diakones. Hal ini tentu memunculkan pertanyaan bukankah dengan
memancang syarat dan kriteria hanya “pendeta dan diakones” yang dapat mengikuti Pendidikan dan pelatihan itu CUM itu, MPA sedang memperlihatkan bahwa wacana
CUM sebagai sebuah wacana alternatif analitik ekonomi kerakyatan tidak memiliki logika demokrasi pada dirinya apalagi yang radikal-plural?
Menurut MPA, penetapan syarat atau kriteria hanya “Pendeta dan Diakones” yang dapat mengikuti Pendidikan dan Pelatihan itu berkaitan dengan status wacana
CUM yang disebut MPA sebagai sarana atau wadah perpanjangan tangan pelayanan diakonia gereja untuk memberdayakan jemaat dan masyarakat sekitar lingkungan
gereja. Wacana CUM adalah wadah untuk mengarahkan hamba-hamba Tuhan bahwa pelayanan Gereja bukan hanya melalui mimbar gereja tetapi juga melalaui pelayanan
lanjutan yaitu pelayanan meja Kisah Rasul 6:2-3”.
219
Peran “Pendeta dan Diakones” sebagai pemimpin moral, spiritual dan intelektual menjadi sangat strategis sebab bisa
memainkan fungsi mediasi agar hasrat subjek gereja institusi gereja untuk “memberdayakan jemaat dan masyarakat sekitar” subjek liyan yang ada di seluruh
wilayah pelayanannya sampai ke pelosok-pelosok melalui penguatan “ekonomi
219
MP.Ambarita 2007 Op.cit, hlm, 5
150
kerakyatan” itu dapat diartikulasikan. Gramsci mengatakan bahwaPendeta merupakan intelektual “tradisional” yang dapat menjadi serat penghubung dengan massa di
pedesaan, [...] sekaligus yang dapat memainkan mediasi profesional yang erat kaitannya dengan fungsi politik”.
220
Jadi, ada semacam angan-angan politik political imaginary di dalam diri MPA bahwa dengan mendidik dan melatih para “Pendeta dan Diakones”
maka formasi sosial komunitas CUM dapat didirikan di setiap wilayah partikular di mana para “Pendeta dan Diakones” menjalankan pelayanan kegerejaannya sehari-hari.
Selain karena alasan sebagaimana disebutkan di atas, MPA memandang secara subjektif bahwa “Pendeta dan Diakones” memiliki kapasitas moral-spiritual, intelektual
serta integritas yang justru sangat dibutuhkan untuk memahami, mengoperasikan dan mengembangkan praktik-praktik diskursif CUM. MPA sangat menyadari bahwa sebagai
bagian dari informal microfinance, wacana CUM rentan disalahgunakan sebagai praktik rentenir yang justru hendak dilawan. Sudah bukan rahasia lagi, belakangan ini banyak
kegiatan yang berbau rentenir justru dilakukan berkedok koperasi-koperasi dengan menyalahgunakan ijin koperasi untuk melindungi kegiatannya”.
221
Dengan menetapkan hanya “Pendeta atau Diakones” yang dapat menjadi manajer suatu komunitas CUM
maka setiap manajer CUM tidak hanya diawasi oleh Badan Pengurus komunitas CUM tetapi sekaligus juga akan diawasi oleh institusi gerejanya melalui pimpinannya
masing-masing. Hal itu penting untuk dilakukan agar praktik diskursif CUM senantiasa sejalan dengan visi dan misi gereja untuk kesejahteraan lahir batin jemaat dan
masyarakat sekitar serta mendidik etos kerja yang sehat sebagai warga negara yang
220
Juandaharaya Purba dan MartinLukito Sinaga, Peny, 2000 Tole Den Timor Landen Das Evangelium” Sejarah Seratus Tahun Injil di Simalungun, 2 September 1903 – 2 September 2003,
P.Siantar, Kolportase GKPS-Panitia Bolon Jubileum 100 tahun Injil di Simalungun,
221
MP.Ambarita, 2007 Op.cit, hlm, 4
151
berjiwa demokratis-pluralis”.
222
Dengan perspektif seperti itu maka MPA tampak berniat menjadikan institusi gereja tidak hanya sebagai “struktur mediasi” mediating
structure untuk menghadapi “Sang Lain Besar” The Big Other tetapi sekaligus berfungsi menjadi apa yang disebut Foucault, sebagai organisasi panopticon”,
223
tepatnya untuk menjalankan semacam fungsi spiritual panopticon. Dalam perspektif wacana CUM, Gereja bertindak dan berfungsi untuk menjadi pengawa sehingga praktik
diskursif CUM senantitasa dijalankan sesuai dengan mora-etik kristiani di mana nilai- nilai demokrasi-pluralisme, transparansi dan kejujuran dipastikan berjalan.
Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola manajer CUM itu sudah diselenggarakan MPA sejak tahun 2004”.
224
Pendidikan dan Pelatihan itu sendiri dilaksanakan selama tiga bulan. Materi Pendidikan dan Pelatihan yang diberikan kepada
para Pendeta dan Diakonia itu tidak hanya memuat materi pengetahuan tentang sistem akuntansi dan manajemen CUM lihat materi Pendidikan dan Pelatihan CUM pada bab
III, tetapi juga dilatih mempraktikkan hidup berkomunitas. Selama masa Pendidikan dan Pelatihan berlangsung, segala sesuatu yang menyangkut kebutuhan hidup bersama
seperti belanja kebutuhan konsumsi, memasak, menghidang, membersihkan peralatan
222
Ibid
223
Panopticon penjara berbentuk bundar yang diusulkan oleh Jeremy Bentham sebagai konsep penjara di abad ke-19. Panopticon pan=semua, optic=melihat adalah arsitektur yang terdiri dari dari sebuah
menara tinggi yang menjadi pusat dan dapat mengamati semua sel. Seorang pengamat di menara yang tak terlihat tapi dapat melihat semuanya, pada prinsipnya dapat menempatkan apa pun yang berada
pada jarak pandangnya ke dalam pengawasan. Idenya adalah “narapidana tak pernah tahu apakah setiap saat ia sedang diamati, tetapi ia harus dibikin yakin bahwa ia selalu diamati. Hal ini bisa
dibandingkan dengan praktik keagamaan di mana “Tuhan” dalam penghayatan para pemeluk agama diyakini selalu “mengawasi”. Apa yang paling pentinga dari panoptiko ini bukanlah ihwall bagaimana
instansi panoptik itu bekerja tetapi efek yang dapat dicapailah yang penting, yaitu subjektivasi di mana subjek terus meneris diawali meskipun dia melihar bahwa tidak ada pengawas yang tampak. Bagus Aryo
2012 Tenggelam dalam Neoliberalisme?: Penetrasi Ideologi Pasar Dalam Penanganan Kemiskinan, Depok, Kepik,hlm, 77. Lihat juga: M.Foucault, 1977 Discipline and Punish, Harmonsworth, Penguin.
224
Komunitas CUM yang berdiri pertama sekali adalah Komunitas CUM yang diselenggarakan di HKBP Kedaton Lampung yang didirikan pada tanggal, 13 Januari 2005. Di HKBP saat ini sudah ada 126 orang
calon manajer CUM. Selanjutnya lihat: Pdt.Nelson F.Siregar, “HKBP menjadi Inklusif di Masyarakat Pluralis”, dalam Pdt. Martunas Manullang 2010 Menuju HKBP Inklusif dan Misioner:“Ekklesiologi di
Masyarakat Pluralis”, Pematang Siantar, L.Sapa STT HKBP dan Yayasan Nomensen HKBP Jambi, hlm, 162
152
dapur, membersihkan ruang pelatihan, semuanya dikerjakan secara bersama-sama secara bergiliran dan berkelompok. Selama mengikuti pendidikan dan pelatihan selalu
menekankan pentingnya menjalankan prinsip “semua dilakukan dari, oleh dan untuk semua, demi kemuliaan nama Tuhan”. Karena itulah tidak boleh ada yang merasa lebih
senior, tidak boleh ada perbedaan tugas laki-laki dan perempuan, tua-muda, Pendeta- Diakones dan lain sebagainya. Rincian aktivitas di ruang kelas selama masa Pendidikan
dan Pelatihan itu selalu diawali dengan: Doa - refleksi teologis - belajar bersama - dan diakhiri Doa. Tidak mengherankan kalau materi “ceramah keagamaan yang berkaitan
dengan teologi holistik” memiliki alokasi waktu yang paling banyak yaitu hampir rata- rata 1 sampai 1,5 jam setiap hari lihat: materi pendidikan dan pelatihan pada bab III.
Dengan cara seperti itulah, MPA menekankan bahwa inti gagasan CUM adalah “diakonia gereja” yang diekspresikan lewat sikap saling berbagi dan saling membantu
sesama yang berkekurangan. Pilihan MPA mengorganisir para Pendeta dan Diakones sebagai jalan atau
strategi diskursif untuk membentuk formasi hegemoni tandingan tampaknya cukup jitu. Hal itu paling tidak dapat dilihat dari berdirinya kesatuan-kesatuan sosial komunitas
CUM di berbagai konteks denominasi gereja khususnya di institusi gereja yang ada di Sumatera Utara. Sejauh ini, institusi gereja yang telah membentuk kesatuan sosial
komunitas CUM dalam konteks gerejanya masing-masing adalah GBKP, HKBP, GKPS, GKPI dan GKPPD. Dan di tanah Simalungun, wacana CUM itu kini telah mewujud
menjadi sebentuk kesatuan sosial yang disebut komunitas CUM “Talenta”. Oleh karena itu, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa proyek hegemoni
MPA yang dijalankan lewat “Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola manajer CUM itu dapat dikatakan cukup berhasil. Keyakinan MPA bahwa “Pendeta dan Diakones”
153
adalah “kekuatan kultural” yang maha penting untuk mengeliminasi hubungan eksploitatif yang terjadi di dalam realitas sosial ekonomi yang dihadapi jemaat dan
masyarakat marjinal di pedesaan terbukti cukuk efektif. Hal itu paling tidak, dapat dibuktikan dengan terbentuknya sejumlah kesatuan sosial komunitas CUM di berbagai
konteks denominasi gereja yang ada di Sumatera Utara. Dengan mendidik dan melatih hanya ”Pendeta atau Diakones” gereja maka formasi hegemonik yang dicita-citakan
MPA itu juga memposisikan Pendeta atau Diakones gereja menjadi semacam pusat hegemonik. Sayangnya, “pusat hegemonik” ini dalam pandangan MPA tempaknya
bersifat tetap sehingga berbeda dengan pandangan LM yang meyakini bahwa masyarakat itu tidak memilik “pusat hegemonik” yang permanen tetap sebagaimana
diyakini oleh Marx atau Marxisme klasik yang memahami bahwa “kelas pekerja”-lah yang menjadi pusat hegemonik suatu masyarakat.
Selanjutnya, analisis pada bagian yang berikut ini akan melihat bagaimana, proyek hegemoni MPA bekerja dalam konteks partikular di GKPS yang dalam
kenyataannya telah mewujud menjadi sebuah formasi hegemonik kesatuan sosial komunitas CUM”Talenta”.
4.3. Artikulasi Identitas Politik “Gereja Suku” GKPS Dan Representasinya Oleh Komunitas CUM “Talenta”
My minimal unit of analysis would be not the group as a referent but the socio-political demand. Ernesto Laclau.
225
Karena inti studi ini ingin mengetahui sejauhmana komunitas CUM “Talenta”
mampu mengartikulasikan identitas politik “gereja suku” GKPS di ruang publik, maka analisisnya pertama-tama akan menyelidiki apa saja yang menjadi tuntutan dari beragam
225
Ernesto Laclau 2005 On Populist Reason, Verso, London-New York, hlm,224
154
kekuatan sosial yang antagonistik dalam konteks GKPS yang telah membentuk kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” itu. Hal itu dilakukan sebab seperti kata LM,
masyarakat itu coterminous dengan wacana. Masyarakat itu tidak hanya seperti wacana tetapi sebagai wacana tepatnya sebagai praktik wacana. Dengan begitu, pembentukan
masyarakat itu ada karena tuntutan-tuntutannya demand. Karena itu pembahasannya akan dibagi menjadi empat bagian. Pertama,
inventarisasi apa saja yang menjadi tuntutan dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik dalam konteks GKPS. Pada bagian ini akan diperlihatkan apa yang
dijadikan sebagai “penanda” signifier atau representasi dari rantai tuntutan dari beragam kekuatan sosial yang membentuk kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta”
tersebut. Kedua, setelah menginventarisasi apa saja yang menjadi tuntutan-tuntutannya maka akan diidentifikasi apa yang yang dijadikan sebagai alat pemersatu yang dalam
istilah LM disebut sebagai “penanda kosong” empty signifier. Ketiga, analisisnya akan melihat bagaimana logika persamaan dan logika perbedaan bekerja dalam proses
pembentukan formasi hegemonik komunitas CUM “Talenta”. Keempat, analisisnya akan fokus pada artikulasi identitas politik “gereja suku” GKPS sebagaimana
direpresentasikan oleh komunitas CUM “Talenta”. Analisis pada bagian ini akan menjelaskan
perjuangan-perjuangan demokratik
baru yang
dilakukan yang
mencerminkan bekerjanya logika demokrasi radikal plural dalam formasi hegemonik komunitas CUM “Talenta”.
Fokus analisis pada bagian keempat ini adalah untuk melihat bagaimana kesetaraan equality dan kebebasan freedom diaktualisasikan untuk mengeliminasi
hubungan-hubungan sosial yang bersifat eksploitatif yang dialami beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang telah membentuk komunitas CUM “Talenta” tersebut.
155
Bagi LM, aktualisasi “kesetaraan dan kebebasan” equality and freedom merupakan prasyarat bagi bekerjanya logika demokrasi radikal-plural dalam suatu komunitas.
Singkat kata, apa yang akan dianalisis pada bagian keempat ini adalah ihwal siasat- siasat yang dilakukan oleh komunitas CUM “Talenta” untuk mengeliminasi hubungan-
hubungan yang eksploitatif, subordinatif dan opresif yang dialami oleh beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang membentuk kesatuan sosial komunitas CUM
“Talenta” dalam kehidupannya sehari-hari. Bertolak dari data-data yang sudah dipaparkan pada bab III maka perjuangan-perjuangan demokratik baru yang dilakukan
kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” meliputi: Siasat melawan rentenir: penciptaan modal bersama, siasat mengatasi kesulitan mencari tenaga kerja upahan:
pembentukan kelompok usaha pertanian bersama haroan bolon: Huta Saing dan Bandar Purba, siasat mengatasi kelangkaan dan mahalnya harga pupuk : pembuatan
pupuk bokasi, berpijak pada prinsip keswadayaan: menolak tawaran agen neolib Rabo Bank, memotong jalur pemasaran produk kopi: “lepas dari mulut singa masuk ke mulut
buaya”, mengubah nama komunitas dari “Credit” ke “Credo” Union Modifikasi”: menyiasati pajak komunitas.
4.3.1. Tuntutannya demands