Agama dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi Dalam Konteks

21 mana saat itu pemimpin gereja di Indonesia PGI justru pergi ke istana Negara membawa emas sebagai tanda solidaritas dan keprihatinan komunitas kristen di Indonesia atas krisis ekonomi yang sedang terjadi. Catatan penting lainnya yang diangkat Saut Sirait adalah pengalaman empiris gereja-gereja di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga runtuhnya rezim Orde Baru, dianggap belum mampu memberikan pencerahan dan pengaruh nilai-nilai etis-kristiani dalam dunia perpolitikan Indonesia. Keterlibatan masyarakat agama dalam dunia politik telah secara jelas dirumuskan dalam ketetapan MPR tahun 1993, bahwa fungsi agama untuk memberikan sumbangan etis, moral dan spiritual dalam pembangunan nasional merupakan hak dan kewajiban konstitusional agama-agama di Indonesia.

1.5.2. Agama dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi Dalam Konteks

Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari penulisnya Leonardus Samosir di mana terdapat satu bab yang khusus membahas tentang identitas kristianitas, tepatnya “Identitas Kristiani: Tegangan antara Tradisi dan Relevansi”. Dengan melacak mundur ke belakang, Leonardus Samosir menemukan apa yang menjadi “biang kerok” yang menjadi penyebab terjadinya “privatisasi iman” dalam kehidupan bergereja. Leonardus Samosir menyimpulkan bahwa sikap bertahan hanya pada wilayah privat gereja dan menolak masuk ke wilayah publik merupakan dampak dari masih begitu bertenaganya “subjek pencerahan” yang membanjiri kehidupan spiritual komunitas Kristen dengan kata “aku” me. Hal itu telah membuat adanya penolakan terhadap “gerak di luar” diri dan persentuhan dengan “yang lain” the other. Keadaan seperti ini membuat gereja menjadi terdesak ke pinggir dan akhirnya menjadi sektarian. Bagaimanapun juga, gereja adalah bagian dari masyarakat demikian pula sebaliknya, masyarakat adalah bagian dari gereja. Meskipun begitu, Leonardus Samosir 22 mengingatkan bahwa pertemuan gereja dengan lingkungan jangan menyerap pesan Kristiani menjadi jawaban atas kebutuhan sosiologis. Sebaliknya, memegang tradisi tidak boleh pula menjadi hambatan untuk bertemu dengan realitas sosial yang aktual. Posisi seimbang hanya mungkin kalau identitas kristianitas tidak dilihat secara statis demikian pula halnya dengan tradisi agar tidak dilihat sebagai sesuatu yang statis. 1.5.3. Identitas Poskolonial “Gereja Suku” Dalam Masyarakat Sipil: Studi Tentang Jaulung Wismar Saragih Dan Komunitas Kristen Simalungun Penelitian ini merupakan penelitian yang dianggap “lebih dekat” atau bahkan dapat dikatakan merupakan titik tolak dari penelitian yang hendak saya dilakukan. Penelitian ini mengambil tema “identitas poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil” Sebagaimana tampak dari judulnya, penelitian ini menggunakan tafsir poskolonial sebagai alat analisis atas hidup seorang perintis kekristenan di Simalungun bernama Jaulung Wismar Saragih selanjutnya disingkat JWS. Sementara unit analisisnya adalah: 1. Teks-teks teologis dan 2. Gerakan-gerakan sosial alternatif yang diajukan JWS dalam menghadapi penetrasi wacana dan institusi modern misizending yakni Rheische Missions GessellschaftRMG dan pengecer lokalnya orang Toba lewat institusinya “Huria Kristen Batak Protestan” selanjutnya disingkat: HKBP.Secara lugas Martin Lukito Sinaga menyingkap bagaimana seorang JWS sebagai representasi dari liyan “yang lokal” dan juga sebagai representasi dari komunitas orang Kristen Simalungun yang subaltern tersubordinasi berhasil menjadi subjek politik baru di mana JWS berhasil menegosiasikan identitas kelokalannya. Proses negosiasi itu ditempuh JWS dengan pertama-tama melakukan retakan rupture terhadap 1. wacana teks kekristenan yang diterimanya sudah dalam ritme pietisme. Pietisme adalah corak rohani yang menekankan kesalehan pribadi dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23 penghayatan iman dan sebagai segi-segi iman Kristen disamping ajaran yang benar. Upaya melakukan retakan rupture itu dilakukan JWS dengan membawa setiap hal baru yang diterimanya ke dalam konteks pergulatan suku dan konteks manfaatnya bagi kehidupan etnik dan dirinya sendiri. Setiap penerimaan keyakinan baru akan dihadapkan pada tuntutan nyata dalam persoalan sehari-hari dalam lokasi sosial kulturalnya”. Dengan basis kedirian seperti itulah JWS juga melakukan retakan rupture terhadap 2 “sosial agency” yang melakukan hegemonisasi dan dominasi struktural dan kultural atas dirinya dan komunitasnya orang Kristen Simalungun yakni RMG dan HKBP. Hal itu ditempuhnya dengan pertama-tama menerjemahkan “Allah” dalam Alkitab setara dengan “Naibata” dalam konsep bahasa orang Simalungun. Dengan cara seperti itu, JWS sekaligus menegaskan bahwa konsep “Naibata” berbeda dengan konsep “Debata” yang dikenal dalam istilah orang Toba. Perjuangan yang dilakukan JWS dengan menggunakan “politik bahasa” menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa ibunya itulah yang membuat ia dan komunitasnya, orang kristen Simalungun berhasil meraih identitas poskolonial “gereja suku”-nya yang mewujud dalam bentuknya sebagai Gereja Kristen Protestan Simalungun GKPS. Selanjutnya di Bab III Martin Lukito Sinaga memperbincangkan tentang sosok baru identitas poskolonial “gereja suku” sebagai hasil perjumpaannya dengan problematika yang dihadapi oleh masyarakat sipil. Maksudnya,“ruang publik” merupakan konteks baru identitas poskolonial ”gereja suku”. Kalau komunitas kristen “gereja suku” berniat meluaskan makna identitas poskolonialnya ke dalam konteks barunya di ruang publik tersebut maka jalur atau mekanisme yang paling tepat yang harus digunakannya adalah dengan bertransformasi menjadi sebentuk komunitas etis moral community sebagaimana sudah disinggung sebelumnya. Selanjutnya, di sana ia 24 juga harus meluaskan identitasnya tersebut secara radikal dengan hadir membela publiknya melalui mekanisme masyarakat sipil lainnya yakni lewat gerakan-gerakan sosial baru. Dengan peralihan identitas poskolonial “gereja suku” menjadi sebentuk komunitas etis dan memanfaatkan mekanisme masyarakat sipil sebagai carauntuk membela publiknya maka hal itu akan membuat komunitas kristen “gereja suku” memperoleh sebentuk identitas baru dalam kategori politik. Bagaimanakah komunitas kristen “gereja suku” GKPS hasil bentukan JWS itu kemudian menghadirkan dirinya di tengah-tengah konteks barunya di ruang publik? Ke arah itulah penelitian ini saya kerjakan. Dengan kata lain, penelitian yang hendak saya lakukan ini merupakan kelanjutan dari penelitian yang sudah dilakukan Martin Lukito Sinaga. Perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan Martin Lukito Sinaga tidak hanya terletak pada kerangka teori atau alat analisis yang digunakan tetapi juga pada jenis data dan unit analisisnya. Martin Lukito Sinaga menggunakan tafsir poskolonial sebagai alat analisis untuk membaca dua unit analisis yang diajukannya yakni: teks-teks teologis dan gerakan-gerakan sosial alternatif yang diajukannya untuk menghadapi penetrasi wacana dan institusi modern misizending sebagaimana terdapat dalam biografi Jaulung Wismar Saragih. Sedangkan penelitian ini, menggunakan teori politik hegemoni sebagaimanadikembangkan Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe,dengan tiga konsep lain yang mengiringinya yakni:artikulasi, antagonisme dan subjek politik.Teori hegemoni sebagaimana yang dikembangkan LM tersebut akan digunakan untuk membaca tiga unit analisis dalam penelitian ini yakni:1. Teks atau dokumen yang bisa menggambarkan latar belakang sosio historis dan politis yang mendasari munculnya wacana Credit Union Modifikasi sebagai sebuah sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan alternatif versi kristiani, 2. Bentuk-bentuk pengartikulasian identitas politik 25 GKPS di ruang publik sebagaimana direpresentasikan oleh Komunitas CUM “Talenta”, 3.Perjuangan-perjuangan demokratik baru yang dilakukan komunitas CUM “Talenta”di ruang publik pedesaan di Simalungun. 1.6. Kerangka Teori 1.6.1. Identitas Politik: Hegemoni, Antagonisme dan Pembentukan Subjek Dalam

Dokumen yang terkait

Studi Komparatif Peran Koperasi dan Credit Union (CU) Terhadap Pengembangan Usaha Mikro Kecil (UMK) di Kecamatan Medan Area

1 74 105

Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Credit Union (Studi deskriptif mengenai Kopdit/CU Cinta Kasih di Pulo Brayan, Medan)

3 99 107

Credit Union Sebagai Usaha Pemberdayaan Masyarakat ( Studi Deskriptif Usaha Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Tukka Kecamatan Pakkat Kabupaten Humbahas)

3 77 127

Evaluasi penyusunan laporan keuangan credit union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) : studi kasus di Credit Union Pancur Kasih tempat pelayanan pemangkat.

3 25 189

Evaluasi penyajian laporan keuangan Credit Union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) revisi tahun 2013. Studi kasus di Credit Union Barerod Gratia.

0 0 143

Analisis tingkat kesehatan keuangan credit union studi kasus pada credit union Lantang Tipo, Credit Union Bima dan Credit Union Keling Kumang di Kalimantan Barat.

3 21 233

Evaluasi penyusunan laporan keuangan credit union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) studi kasus di Credit Union Pancur Kasih tempat pelayanan pemangkat

2 25 187

Artikulasi kolektif masyarakat Dayak melawan perusahaan PT. Ledo Lestari (studi kasus tentang konflik agraria di Desa Semunying Jaya dalam perspektif Hegemoni Ernesto Laclau-chantal Mouffe).

4 16 126

Evaluasi penyajian laporan keuangan Credit Union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) revisi tahun 2013. Studi kasus di Credit Union Barerod Gratia

0 0 141

HEGEMONI SOSIAL DAN POLITIK IDENTITAS PUTRA DAERAH JAMBI

0 0 27