155
Bagi LM, aktualisasi “kesetaraan dan kebebasan” equality and freedom merupakan prasyarat bagi bekerjanya logika demokrasi radikal-plural dalam suatu komunitas.
Singkat kata, apa yang akan dianalisis pada bagian keempat ini adalah ihwal siasat- siasat yang dilakukan oleh komunitas CUM “Talenta” untuk mengeliminasi hubungan-
hubungan yang eksploitatif, subordinatif dan opresif yang dialami oleh beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang membentuk kesatuan sosial komunitas CUM
“Talenta” dalam kehidupannya sehari-hari. Bertolak dari data-data yang sudah dipaparkan pada bab III maka perjuangan-perjuangan demokratik baru yang dilakukan
kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” meliputi: Siasat melawan rentenir: penciptaan modal bersama, siasat mengatasi kesulitan mencari tenaga kerja upahan:
pembentukan kelompok usaha pertanian bersama haroan bolon: Huta Saing dan Bandar Purba, siasat mengatasi kelangkaan dan mahalnya harga pupuk : pembuatan
pupuk bokasi, berpijak pada prinsip keswadayaan: menolak tawaran agen neolib Rabo Bank, memotong jalur pemasaran produk kopi: “lepas dari mulut singa masuk ke mulut
buaya”, mengubah nama komunitas dari “Credit” ke “Credo” Union Modifikasi”: menyiasati pajak komunitas.
4.3.1. Tuntutannya demands
Pada pembahasan di bab sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa GKPS pertama sekali mengenal wacana CUM itu melalui seorang Pendetanya LG yang diutus mengikuti
Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola manajer CUM yang diselenggarakan MPA. Dan sejak itulah, wacana CUM itu mulai “diterima”
226
sebagai unsur baru dalam bahasa diakonia GKPS. “Penerimaan” atas wacana CUM tersebut ditandai dengan
226
Istilah “diterima” diberi tanda kutip sebab hingga penelitian ini dilakukan keberadaan komunitas CUM “Talenta” yang mengklaim dirinya sebagai “bidang pelayanan GKPS” tampak tidak didukung oleh sebuah
dokumen yang memiliki kekuatan yuridis yang dikeluarkan oleh GKPS. Hal ini, terjadi sebab Komunitas CUM “Talenta” tidak lahir dari “rahim” GKPS secara legal-formal.
156
pembentukan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta”, yang dideklarasikan pada tahun 2007 oleh para Pendeta muda GKPS yang ketika itu melayani di Distrik III.
Inilah momen atau saat di mana kesatuan sosial Komunitas CUM “Talenta” mulai mengenal “bahasa” diakonia gereja. Deklarasi berdirinya komunitas CUM “Talenta”
disandarkan pada keinginan untuk “bertolong-tolongan menanggung beban” sebagaimana perintah Firman Tuhan yang tertulis dalam Galatia 6:2.
Adapun yang menjadi semacam angan-angan politik political imaginary dari Komunitas CUM “Talenta” ini dijelaskan sebagai berikut:
Kesejahteraan adalah hak asasi setiap manusia.Untuk mencapai kesejahteraan itu kami sepakat membentuk komunitas kooperatif untuk menunjang usaha
bersama, dan sebagai tempat belajar bersama dan komunitas ini sebut Credit Union Modifikasi CUM. Dalam mencapai kesejahteraan tersebut secara
bersama-sama kami membuat kesepakatan yang harus dijalankan oleh setiap anggota CUM”.
227
Bertolak d
ari deklarasi komunitas CUM “Talenta” tersebut di atas, ada dua hal yang dapat dijelaskan, pertama, dasar pembentukan kesatuan sosial komunitas CUM
“Talenta”. Cukup jelas, dasar pembentukan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” yakni dibentuk atas dasar keinginan untuk mewujudkan kesejahteraan yang merupakan
hak asasi setiap manusia. Hal itu dilakukan sekaligus sebagai ikhtiar untuk berperan dalam melakukan perubahan transformasi kehidupan jemaat dan masyarakat agar lebih
baik. Dasar pembentukan komunitas CUM “Talenta” ini tentulah harus kita lihat sebagai hasil dari proses bercermin yang dilakukan oleh Pendeta muda GKPS pada “yang lain”
the other. yakni “jemaat dan masyarakat sekitar” yang sedang mengalami krisis secara sosial dan ekonomidalam berbagai bentuk yang berbeda-beda. Dalam proses
“bercermin” menatap kondisi krisis yang dialami jemaat dan masyarakat marjinal di
227
Selanjutnya lihat : “Pembukaan” Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga komunitas CUM tahun 2009
157
Simalungun, LG sebagai Pendeta GKPS yang pertama menerima wacana CUM kemudian mempersepsikan dirinya sesuai dengan krisis tersebut. Ada sebentuk
imperatif di situ: “para Pendeta gereja perlu berperan”. Inilah yang menjadi dasar identifikasi ‘diri’ komunitas CUM “Talenta” pertama sekali.
Kalau kita mengacu pada data yang sudah dipaparkan pada bab sebelumnya terlihat dengan jelas bahwa ada beberapa faktor yang mendorong para Pendeta muda
GKPS berinsiatif mendirikan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta”. Fenomena menurunnya tingkat kehadiran dan partisipasi warga jemaat GKPS mengikuti ibadah
kebaktian Minggu dan juga persekutuan doa keluarga menjadi keprihatinan tersendiri bagi para Pendeta muda GKPS yang berada di daerah pelayanan GKPS di distrik III.
Berdasarkan Laporan Pertanggungjawaban Pimpinan Pusat GKPS kepada Sinode Bolon GKPS pada tahun 2005 disebutkan bahwa jumlah jemaat mengikuti kedua kegiatan
gereja tersebut hanya sekitar 33 dari sekitar 200 ribu jiwa lebih jumlah anggota jemaat GKPS”.
228
Fenomena menurunnya jumlah anggota jemaat GKPS mengikuti kebaktian Minggu dan berbagai aktivitas gereja lainnya juga dipicu oleh terjadinya konflik di
antara sesama anggota majelis jemaat pengurus gereja yang menurut bapak Damanik diakibatkan oleh ketiadaan transparansi dalam hal pengelolaan keuangan jemaat yang
tidak jarang berujung pada terjadinya konflik antara sesama anggota majelis jemaat. Turunnya jumlah jemaat mengikuti kebaktian Minggu dan kegiatan lainnya
disebabkan karena menipisnya kasih dan solidaritas. Ada pengurus gereja yang memakai uang gereja baca:“korupsi”:ms untuk kepentingan dirinya atau
keluarganya. Pengurus gereja tidak transparan, tidak jujur dalam hal pengelolaan keuangan jemaat. Akibatnya, terjadi konflik di antara sesama majelis. Situasi
konflik inilah yang membuat orang malas ke gereja”.
229
228
Selanjutnya lihat: Risalah Sinode Bolon GKPS tahun 2005
229
Wawancara dengan bapak Damanik dilakukan di Nagori desa Bandar Purba pada tanggal 5 Maret 2012 diterjemahkan secara bebas:ms
158
Selain itu, karena ketiadaan transparansi dalam hal pengelolaan keuangan jemaat yang kemudian berakibat pada terjadinya konflik diantara sesama pengurus gereja,
fenomena menurunnya tingkat kehadiran dan partisipasi jemaat dalam mengikuti kebaktian Minggu dan kegiatan gereja lainnya di GKPS menurut Damanik juga
disebabkan karena menipisnya kasih dan solidaritas sosial. Gambaran tentang melorotnya solidaritas sosial warga jemaat GKPS di desanya diungkapkan bapak
Damanik sebagai berikut: Dulu di kampung ini, semua dikerjakan bersama; ada haroan marlajar dan ada
haroan bolon. Sekarang ini, semua dikerjakan sendiri-sendiri. Semua ingin menunjukkan kehebatan keluarganya masing-masing. Yang aneh, kampung
desa kami ini tidak begitu luas tetapi hampir semua kami di kampung ini selalu mengatakan keluhan yang sama yaitu: “mencari pekerja upahanlah yang sulit
sekarang ini”. Nggak tahu saya apa sebenarnya yang terjadi di jaman ini”.
230
Selain itu, melorotnya solidaritas sosial jemaat GKPS di pedesaan di tanah Simalungun, ikut diperparah oleh berbagai bentuk krisis ekonomi yang dialami jemaat
seperti: harga produksi pertanian pasca panen yang tidak stabil, harga pupuk yang mahal dan terkadang langka, kesulitan mengakses fasilitas permodalan dari lembaga
keuangan mikro LKM: BRI, BPR dan Koperasi simpan pinjam dan lain sebagainya. Akibatnya, banyak warga GKPS terpaksa menempuh “jalan ke keselamatan” yang
ditawarkan oleh para tengkulak dan para rentenir.. Kondisi krisis sosial ekonomi yang seperti itulah yang diperhadapkan kepada
Pendeta GKPS di daerah distrik III ketika ia menjalankan tugas pelayanan kegerejaannya sehari-hari. Sebagai representasi kehadiran institusi gereja GKPS di basis
jemaat, para Pendeta GKPS harus memberi respons etis terhadap krisis sosial ekonomi yang dihadapi jemaatnya tersebut. Ketika para Pendeta GKPS diminta untuk memberi
230
Ibid
159
respons etis terhadap krisis sosial ekonomi yang dihadapi jemaatnya, para Pendeta GKPS itu sesungguhnya juga sedang mengalami krisis berbagai bentuk krisis sosial
ekonomi yang dialami dalam bentuknya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Sekadar untuk perbandingan ketika komunitas CUM “Talenta” dibentuk
dideklarasikan pada tahun 2007, upah minimum regional riil UMR Provinsi Sumatera Utara, adalah Rp.
761.000,
231
sedangkan besarnya perolehan gaji seorang Pendeta GKPS belum menikah pada tahun 2007 dengan masa kerja nol tahun adalah
Rp. 800.000”.
232
Dengan kondisi perolehan gaji yang seperti itu, para Pendeta yang melayani di berbagai pelosok pedesaan masih harus menyediakan sendiri sarana dan prasarana
pelayanannya seperti sepeda motor, komputer laptop dan lain sebagainya. Tidak jarang, para Pendeta GKPS masih harus meminta bantuan kepada orang tuanya
keluarga untuk pengadaan sarana dan prasarana pelayanannya tersebut. Bagi Pendeta yang orang tua ataupun keluarganya memiliki kemampuan ekonomi yang memadai
tentulah persoalan yang dihadapi Pendeta dengan segera dapat diatasi. Tetapi bagi seorang Pendeta yang kebetulan orangtuanya atau keluarganya tidak mampu hal ini
tentu akan menjadi persoalan yang sulit diatasi. Seorang Pendeta GKPS ASP misalnya menyebutkan bahwa ia terpaksa menempuh jalan berhutang kredit untuk membeli
sepeda motor sebagai sarana transportasi untuk mendukung tugas pelayanannya. Hal itu ia lakukan sebab orang tua dan keluarganya tidak mampu memberikan bantuan untuk
membeli sepeda motor tersebut secara tunai cash. Tidak jarang untuk membayar cicilan kredit sepeda motornya tersebut ia juga harus kembali menempuh jalan
231
http:digilib.unimed.ac.idpublicUNIMED-Master-30705-810616203320Bab20I.pdf diakses: 382015
232
Wawancara dengan salah seorang Pendeta GKPS JA yang ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 2007, tanggal 382015
160
berhutang kepada sesama Pendeta. Hal-hal yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa para Pendeta GKPS dan subjek liyan “jemaat dan masyarakat sekitar” sama-
sama berada dalam kondisi lack . Kalau menggunakan konsep rantai ekuivalensi chain of equivalence
sebagaimana yang dirumuskan LM maka berbagai bentuk keluhan krisis sosial ekonomi dan tuntutan-tuntutan demands dari beragam kekuatan sosial yang
antagonistik yang membentuk kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” itu dapat digambarkan dalam bentuk tabel matrik berikut ini:
Tabel 8 Tuntutan dan Konstruksi Rantai Ekuivalensi chain Of equivalence
Dalam proses Pembentukan Komunitas CUM “Talenta”
Pluralitas Identitas Subjek
Aktor Perubahan
Keluhan Bentuk krisis
yang dialami warga Tuntutan
Demand Rejim opresif
“musuh” yang dihadapi
Jemaat GKPS Petani
A •
Kesulitan mengakses fasilitas modal usaha
• Kemudahan mengakses
modal-usahafinansial •
Institusi keuangan mikro formal
Bank Pedesaan: BRI, BPR dll
• Insitusi keuangan mikro
informal: Rentenir, Tengkulak, dll
Jemaat GKPS Petani
B •
Harga pupuk yang tinggi •
Mudah mengakses Pupuk
• Pemerintah
Jemaat GKPS Petaniperempuan
C •
Ketiadaan jaminan harga produksi pasca panen
• Kepastian stabilitas
harga produksi pasca panen
• Pasar bebas
Jemaat GKPS pns
D •
Biaya kebutuhan pendidikan anak tidak mencukupi
• Peningkatan gaji
pendapatan ekonomi •
Pemerintah Pendeta GKPS
E •
Gaji perolehan yang minim •
Peningkatan gaji perolehan
• Institusi Gereja
Berdasarkan matrik tersebut di ats tampak dengan jelas beragam tuntutan dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik dalam konteks GKPS. Sudah dijelaskan
sebelumnya, bahwa kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” ini pada awalnya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
didirikan oleh beberapa orang Pendeta muda GKPS yang merasa memiliki tanggungajawab untuk memberi respon etis terhadap berbagai bentuk krisis sosial
ekonomi yang dihadapi tidak hanya oleh para Pendeta tetapi juga oleh jemaat dan juga masyarakat sekitar di mana gereja GKPS berada.
Para Pendeta muda GKPS yang menginisiasi pembentukan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” telah menjadikan tuntutan partikular A yakni “kemudahan
mengakses modal usaha” menjadi penanda signifier dari keseluruhan rantai tuntutan dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang ada dalam konteks GKPS. Dalam
hal ini, tuntutan lainnya B, C, D,dan E teroverdeterminasi ke tuntutan A. Dengan kata lain, tuntutan A inilah yang dijadikan sebagai penanda “kehendak kolektif”-nya
collective will. Dengan menjadikan tuntutan partikular A sebagai penanda signifier dari keseluruhan rantai tuntutan yang beragam dari jemaat GKPS maka“institusi
keuangan mikro formal – formal microfinance” seperti BRI, BPR, dll dan institusi keuangan mikro informal – informal microfinance” para rentenir baik yang individual
maupun yang institusional termasuk para tengkulak dipisahkan dari tuntutan-tuntutan sebagian besar jemaat dan masyarakat. Pemisahan seperti inilah yang disebut LM
sebagai titik di mana muncul tapal batas politik political frontier yang menjadi implikasi dari tampilnya tuntutan partikular A sebagai penanda dari rantai keseluruhan
tuntutan jemaat GKPS yang beragam di distrik III. Dengan bangunan rantai ekuivalensi yang seperti itu, komunitas CUM “Talenta” membedakan dirinya dengan lembaga-
lembaga keuangan mikro lainnya seperti BMT, CU dan lain-lain. Setiap tuntutan tersebut di atas pada dasarnya bersifat partikular sehingga
masing-masing tuntutan berbeda dalam arti bersifat antagonis dengan tuntutan-tuntutan lainnya. Meskipun begitu, semuanya memiliki kesamaan ekuivalen yakni beroposisi
162
dengan “rejim rentenir baik yang individual maupun yang institusional” yang juga dianggap sebagai penanda dari tatanan sosial yang opresif. Penciptaan rantai ekuivalensi
di mana tuntutan “kemudahan mengakses fasilitas modal usaha” tampil sebagai penanda dari keseluruhan rantai tuntutan yang beragam sekaligus memunculkan tapal batas
politik political frontier di mana “rejim rentenir baik yang individual maupun yang institusional” diidentifikasi sebagai “musuh bersama” common enemy yang hendak
dilawan.
4.3.2. Diakonia Sebagai “Penanda Kosong”