88
ada juga kerjasama dalam hal distribusi kredit di masyarakat Bantul Yogyakarta”.
135
Bahkan, Heru Nugroho akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa praktik rentenir ini merupakan salah satu ciri ekonomi pedesaan di Indonesia”.
136
Dalam keadaan seperti itu, MPA melihat banyak institusi gereja justru mangkir dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya untuk memberi respon etis terhadap
kesulitan yang dialami warga gereja. MPA melihat bahwa salah satu yang menjadi penyebabnya lantaran gereja tidak memiliki instrumen artikulasi aspek etisnya di bidang
pemberdayaan ekonomi rakyat.Banyak institusi gereja berniat untuk mendirikan BPR sebagai instrumen untuk mengartikulasi aspek etisnya tetapi karena persyaratan
administratif dan mekanisme dan birokrasi yang cukup panjang dan berbelit-belit, banyak institusi gereja akhirnya “gagal” mendirikan BPR yang dicita-citakannya. GKPS
adalah salah satu contoh dari sekian banyak institusi gereja yang “gagal” mendirikan BPR tersebut.
Dalam kondisi keprihatinan dan urgensi permasalahan seperti itu, MPA datang dan mengajukan wacana “credit union modifikasi” CUM sebagai wacana alternatif
untuk mengisi ketiadaan instrumen artikulasi aspek etis gereja yang cocok di bidang pemberdayaan ekonomi jemaat-rakyat.
3.2.2. Posisi Wacana CUM di antara LKM Yang Ada Di Indonesia
Secara lugas di atas telah dipetakan bagaimana kisah awal munculnya wacana CUM sebagai sebuah sistem ekonomi kerakyatan alternatif. Selanjutnya, pada sub bagian ini
akan dipaparkan di mana posisi wacana CUM di antara lembaga keuangan mikro yang ada di Indonesia.
135
Heru Nugroho 2001 Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm, 183
136
Ibid
89
Wacana CUM, seperti kata MPA merupakan kelanjutan dari wacana Credit Union CU konvensional yang selama ini sudah beroperasi di tengah-tengah
masyarakat”.
137
Secara teknis, sistem akuntansi dan sistem manajemennya merupakan perpaduan antara sistem credit union CU konvensional dan sistem bank perkreditan
rakyat BPR. Perpaduan atau sintesa dari keduanya dilakukan MPA dengan cara “modifikasi”. Dan tindakan “modifikasi” ini kemudian membawa konsekuensi
beralihnya status atau identitas wacana CU maupun BPR menjadi informal microfinance. Itulah sebabnya,MPA mengatakan bahwa wacana CUM ini adalah bagian
dari informal microfinancesama seperti
Grameen Bank yang didirikan dan
dikembangkan Muhammad Yunus di Bangladesh”.
138
Selain itu, MPA juga mengklaim bahwa identitas wacana CUM merupakan sebentuk sistem perekonomian kerakyatan versi Kristiani”.
139
Wacana CUM ini, menurut MPA lebih cocok untuk digunakan sebagai instrumen untuk mengartikulasi
aspek etis gereja di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat sebab prinsip pengelolaan dan tujuannya berpijak pada nilai-nilai etik kristianitas yang berlaku universal yakni
nilai solidaritas yang manifestasinya terlihat dalam prinsip kerjasama saling membantu dan berbagi dan kepemilikan atas harta kekayaan komunitas sebagai “kepemilikan
bersama”.. Wacana CUM menurut MPA memiliki keluwesan tersendiri dalam hal pengoperasiannya. Disebut memiliki keluwesan lantaran untuk menyelenggarakannya,
suatu komunitas CUM tidak harus memiliki badan hukum tersendiri atau ijin operasional dari Pemerintah. Ledgerwood sebagaimana dikemukakan Bagus Aryo
mengatakan bahwa lembaga keuangan mikro informal, informal microfinance
137
MP.Ambarita, 2007 Op.cit,hlm, 4
138
Ibid,
139
Ibid,
90
beroperasi di luar struktur regulasi dan pengawasan pemerintah”,
140
lihat: Tabel 1 dan 2. Selain itu, untuk mendirikan dan menyelenggarakan praktik diskursif CUM tidak
diperlukan banyak uang bahkan tidak pula diperlukan ahli hukum ataupun ahli pembukuan berpendidikan formal sebab praktik CUM justru perlu didirikan di
kalangan orang-orang yang masih belum kuat keadaan ekonominya”.
141
Dalam statusnya sebagai informal microfinance maka wacana CUM hanya dapat digunakan untuk pelayanan Gereja dan tidak diijinkan di luar kegiatan gereja. MPA
telah memancang bahwa CUM merupakan sarana pelayanan atau perpanjangan tangan pelayanan gereja di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat”.
142
Oleh karena itu, praktik diskursif CUM hanya dapat diselenggarakan dalam struktur kelembagaan dan sebagai
aktivitas gereja. Dengan kata lain, praktik diskursif CUM harus merupakan bagian dari aktivitas pelayanan diakonia sosial ekonomi gereja. Konsekuensinya, badan hukum
gereja sebagai lembaga sosial keagamaan yang dikeluarkan oleh pemerintah cq Departemen Agama, otomatis menjadi payung hukum atau payung yuridis bagi
penyelenggaraannya”.
143
Wujud material wacana CUM adalah sebentuk komunitas. Sebagai sebentuk komunitas, status komunitas CUM sama dengan komunitas lainnya, seperti komunitas
marga, komunitas olah raga, komunitas kesenian, komunitas profesi atau komunitas- komunitas lainnya, sehingga tidak perlu di atur dalam badan hukum tersendiri”.
144
Meskipun wacana CUM termasuk dalam kategori lembaga keuangan mikro informal
140
Bagus Aryo, 2012 Op.cit,hlm, 51-52.
141
MP.Ambarita, “Ekonomi Kerakyatan Versi Kristiani Sebagai Kekuatan dalam Menghadapi Era globalisasi”, dalam Pdt.Martunas Manullang, 2010 Menuju HKBP Inklusif dan Misioner: Ekkelsiologi di
Masyarakat Pluralis, L-Sapa STT HKBP Pematang Siantar dan Yayasan Nommensen HKBP Jambi, hlm, 149
142
MP.Ambarita, 2007 Op.cit, dalam “Kata Pengantar”
143
Ibid, hlm, 5
144
MP.Ambarita, ”Ekonomi Kerakyatan Versi Kristiani Sebagai Kekuatan Dalam Menghadapi Era Globalisasi” dalam Pdt. Martunas Manullang, ed 2010 Op.cit, hlm, 152
91
informal microfinance yang tidak mengharuskan adanya badan hukum tersendiri untuk penyelenggaraannya, namun MPA tetap terbuka peluang atau kemungkinan untuk
melembagakan wacana CUM itu secara yuridis formal sehingga bisa memiliki badan hukum tersendiri. Menurut MPA hal itu dapat dilakukan kalau suatu komunitas CUM
yang terbentuk sudah bisa berkembang dan mandiri. Permohonan badan hukumnya dapat diajukan ke Departemen Kehakiman”.
145
Mengapa ke departemen kehakiman? Menurut MPA, hal itu dilakukan karena di dalam CUM diwujudkan perserikatan
kooperatif gessellschaft dan prinsip komunitaspersekutuan gemeinschaft sehingga tidak tepat untuk menyebut CUM sebagai bagian dari usaha koperasi atau
sejenisnya”.
146
MPA menambahkan, dalam hal suatu komunitas CUM belum berbadan hukum tersendiri maka kesepakatan subyek-subyek hukum untuk menggabungkan diri dalam
suatu ikatan yang berkaitan dengan kebutuhan perikatannya, mengacu kepada KUH Perdata pasal 1338. Kesepakatan itulah yang menjadi undang-undang bagi masing-
masing subyek dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak”.
147
3.2.3. Pola Hubungan Komunitas CUM Dengan Gereja