GKPS: Kisah Awal Mengenal Wacana CUM

104 lembaga keuangan mikro yang beroperasi di sana seperti Bank Rakyat Indonesia BRI, Bank Sumut, beberapa BPR dan sejumlah Koperasi simpan pinjam dan juga Credit Union CU. Selain itu, daerah Saribudolok sekitarnya ini juga diramaikan oleh kehadiran Lembaga Keuangan Mikro Informal informal microfinance seperti para rentenir baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun yang dilakukan oleh lembaga berkedok koperasi. Selain itu, akhir-akhir ini suasana kehidupan sosial ekonomi masyarakat di daerah Saribudolok, turut diramaikan oleh kehadiran mini market, agen- agen distributor sepeda motor.

3.3.2. GKPS: Kisah Awal Mengenal Wacana CUM

Krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998,tidak hanya berdampak terhadap menurunnya daya beli masyarakat di perkotaan tetapi juga bagi masyarakat di pedesaan. Melonjaknya harga pupuk telah membuat biaya produksi pertanian masyarakat desa menjadi ikut melonjak. Sementara itu, harga jual produksi pertanian masyarakat desa tidak mampu menutupi biaya modal yang sudah dikeluarkan. Tidak sedikit petani yang mengalami kerugian. Kenyataan itu telah membuat banyak warga GKPS yang berprofesi sebagai petani mengalami kesulitan untuk melanjutkan usaha pertaniannya karena ketiadaan modal. Memang, kesulitan mengakses sumber permodalan dari lembaga keuangan mikro itu bukanlah satu-satunya keluhan yang dihadapi warga gereja GKPS di masa krisis. Kalau, hendak ditambahkan, tingginya biaya kebutuhan konsumsi, biaya pendidikan anak, biaya sosial pesta, ketidakmenentuan iklim cuaca serta tidak adanya jaminan stabilitas harga produksi pertanian karena diserahkan ke mekanisme pasar dan lain-lain telah ikut menambah durasi keluhan histeria warga gereja. Persoalan ini menjadi semakin rumit sebab mereka juga mengalami kesulitan dalam mengakses fasilitas permodalan dari lembaga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 105 keuangan mikro yang beroperasi di sana. Akibatnya, tidak sedikit warga gereja terpaksa menempuh “jalan ke keselamatan” yang ditawarkan oleh para rentenir di wilayah partikularitasnya masing-masing. Ironisnya, praktik penghisapan rentenir itu berlansung di antara sesama warga gereja sehingga suasana persekutuan koinonia gereja tampak bermasalah. Merespon kondisi krisis yang sedang dihadapi warganya tersebut, GKPS melalui unit pelayanannya “Pelpem GKPS” 166 mencoba mengadakan “Konsultasi Gereja dan Masyarakat” KGM untuk mengidentifikasi sekaligus memetakan apa yang menjadi tuntutan demand utama dari warganya. KGM tersebut diadakan di Pematang Siantar pada tahun 2000 sebelum pelaksanaan Sinode Bolon GKPS ke-35. KGM itu kemudian menghasilkan sebuah rekomendasi agar GKPS melakukan “pelayanan diakonia di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat”. Rekomendasi KGM tersebut kemudian diserahkan kepada Pimpinan Pusat GKPS, untuk dibawa ke forum Sinode Bolon GKPS sebagai lembaga pengambil keputusan tertinggi. Sinode Bolon SB 167 GKPS ke 35 pada tahun 2000 itu kemudian memutuskan agar GKPS melakukan pelayanan pemberdayaan ekonomi rakyat dan merekomendasikan pendirian Bank Perkreditan Rakyat BPR sebagai instrumen untuk mengartikulasi aspek etisnya. Menindaklanjuti keputusan SB GKPS tersebut, Pimpinan Pusat GKPS sebagai penanggungjawab penyelenggaran pelayanan eksekutif kemudian mencoba melakukan berbagai langkah persiapan untuk mendirikan BPR yang dimaksud, termasuk mengutus 166 Pelpem adalah singkatan dari Pelayanan Pembangunan yakni sebuah unit lembaga pelayanan GKPS yang berada di bawah naungan Departemen Diakonia. 167 Sinode Bolon adalah forum pengambil keputusan tertinggi di GKPS. SB diselenggarakan dua kali dalam satu periode 5 tahun. Selanjutnya lihat:Tata Gereja dan Peraturan Rumah Tangga GKPS tahun 2009 106 LG ∗ pada tahun 2001 untuk mengikuti orientasi pengelolaan dan pengoperasian suatu BPR milik gereja yang diselenggarakan oleh PT.BPR-PPK di kompleks Retreat Centre GBKP di desa Sukamakmur Kecamatan Sibolangit-Deli Serdang. Namun, keinginan GKPS untuk mendirikan BPR tersebut tampaknya tidak dapat diwujudkan karena berbagai hambatan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Secara internal, hambatan itu menurut LG terkait dengan regulasi perbankan dan Peraturan Pemerintah PP yang mengatur tentang tata cara, persyaratan pendirian dan kepemilikan sebuah BPR yang mana berdasarkan UU No.10 tahun 1998, pasal 23 :Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia yang seluruh pemiliknya adalah warga negara Indonesia, Pemerintah Daerah, atau dapat dimiliki bersama di antara ketiganya, sic”. 168 Apa yang dialami GKPS ini hampir sama dengan apa yang pernah dialami GBKP ketika mereka merencanakan mendirikan PT. BPR-Pijer Podi Kekelengen PT.BPR-PPK. Perbedaannya, ketika itu GBKP diperhadapkan dengan UU No.7 tahun 1992, di mana ketentuan yang mengatur ihwal pendirian dan kepemilikan suatu BPR tidak berbeda dengan UU No. 10 tahun 1998. Kalau GBKP ketika itu memilih mengambil langkah menerbitkan kepemilikan GBKP atas PT.BPR-PPK dalam bentuk kepemilikan saham atas nama sebagaimana UU No. 7 tahun 1992 mengaturnya maka GKPS tampaknya tidak berniat memilih langkah tersebut. Bahkan, hingga penelitian ini dilakukan, GKPS tampaknya tidak berniat mendirikan BPR yang sudah diputuskan oleh lembaga pengambil keputusan tertingginya tersebut. Keputusan “menghentikan” rencana mendirikan BPR “milik” GKPS tersebut bukan karena GKPS memiliki wacana ∗ LG adalah salah seorang Pendeta muda GKPS yang menjadi motor penggerak dalam proses pembentukan Komunitas CUM “Talenta”. Ketika itu LG masih berstatus sebagai vikaris masa persiapan sebelum ditahbiskan menjadi Pendeta. 168 Sumber: www.komisiinformasi.go.id diakses tanggal 18 Juni 2013, 09:18. 107 alternatif untuk diajukan sebagai instrumen untuk mengartikulasi aspek etisnya di bidang pemberdayaan ekonomi jemaatrakyat. Akibatnya, ada semacam kebuntuan yang dialami GKPS untuk memberi respons terhadap kesulitan ekonomi warganya khususnya, kesulitan warga jemaatnya dalam mengakses sumber permodalan dari lembaga Keuangan Mikro yang ada di wilayah partikularnya masing-masing. Dalam keadaan seperti itu, GKPS menjadi mangkir dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya etisnya sebagai gereja yang telah ia rumuskan sendiri yakni untuk: “mencerdaskan dan menyejahterakan warga gereja dan masyarakat”. 169 Dalam konteks berada dalam situasi “kebuntuan” seperti itu, MPA kemudian datang dan mengajukan wacana alternatif untuk mengisi ketiadaan instrumen artikulasi aspek etis GKPS di bidang pemberdayaan ekonomi jemaatrakyat. Wacana alternatif yang diajukan MPA itu adalah wacana Credit Union Modifikasi CUM. Agar dapat memahami dan mampu mengoperasikan wacana CUM tersebut, MPA mengundang Pimpinan Pusat GKPS agar mengutus tenaga pelayannya untuk dididik dan dilatih menjadi calon pengelola manejer CUM. Merespon undangan tersebut, GKPS kemudian mengutus LG untuk mengikuti “Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola manajer CUM” yang diselenggarakan MPA. Itu berarti, melalui LG lah GKPS mengenal dan menerima wacana CUM itu pertama sekali.Sejak itu, GKPS selalu mengutus para Pendetanya sesuai dengan kuota yang diberi MPA untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola CUM yang diselenggarakan setiap tahun tersebut. Sejauh ini tahun 2012 setidaknya sudah ada sekitar dua puluh orang Pendeta GKPS yang telah mengikuti Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola manajer CUM yang diselenggarakan oleh MPA tersebut. 169 Lihat:Tata Gereja GKPS tahun 2009, 7 butir g 108

3.3.3. Pembentukan Komunitas CUM “Talenta”

Dokumen yang terkait

Studi Komparatif Peran Koperasi dan Credit Union (CU) Terhadap Pengembangan Usaha Mikro Kecil (UMK) di Kecamatan Medan Area

1 74 105

Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Credit Union (Studi deskriptif mengenai Kopdit/CU Cinta Kasih di Pulo Brayan, Medan)

3 99 107

Credit Union Sebagai Usaha Pemberdayaan Masyarakat ( Studi Deskriptif Usaha Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Tukka Kecamatan Pakkat Kabupaten Humbahas)

3 77 127

Evaluasi penyusunan laporan keuangan credit union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) : studi kasus di Credit Union Pancur Kasih tempat pelayanan pemangkat.

3 25 189

Evaluasi penyajian laporan keuangan Credit Union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) revisi tahun 2013. Studi kasus di Credit Union Barerod Gratia.

0 0 143

Analisis tingkat kesehatan keuangan credit union studi kasus pada credit union Lantang Tipo, Credit Union Bima dan Credit Union Keling Kumang di Kalimantan Barat.

3 21 233

Evaluasi penyusunan laporan keuangan credit union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) studi kasus di Credit Union Pancur Kasih tempat pelayanan pemangkat

2 25 187

Artikulasi kolektif masyarakat Dayak melawan perusahaan PT. Ledo Lestari (studi kasus tentang konflik agraria di Desa Semunying Jaya dalam perspektif Hegemoni Ernesto Laclau-chantal Mouffe).

4 16 126

Evaluasi penyajian laporan keuangan Credit Union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) revisi tahun 2013. Studi kasus di Credit Union Barerod Gratia

0 0 141

HEGEMONI SOSIAL DAN POLITIK IDENTITAS PUTRA DAERAH JAMBI

0 0 27