94
kekuasaan untuk membubarkan suatu komunitas CUM. Dalam pedoman umum ADART komunitas CUM, pasal 25 tentang fungsi “Rapat anggota Tahunan”
disebutkan bahwa instansi yang memiliki hak untuk menilai dan mensahkan laporan Pengurus dan Badan Pengawas adalah Rapat Anggota Tahunan RAT.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pola hubungan atau relasi suatu komunitas CUM yang tidak berbadan hukum tersendiri dengan Gereja
yang menaunginya tampak dikonstruksi secara ambigu dua wajah. Pada satu sisi, posisi institusi Gereja menjadi semacam “struktur mediasi” bagi penyelenggaraan
praktik diskursif CUM di mana suatu komunitas CUM merupakan entitas yang otonom dan mandiri. Pada sisi yang lain, relasi di antara keduanya tampak dikonstruksi secara
hirarkis-struktural patron-client di mana suatu komunitas CUM yang tidak atau belum berbadan hukum tersendiri merupakan komunitas yang berada dalam in-subordinasi
institusi Gereja.
3.2.4. Ideologi dan Masyarakat yang Dicita-citakan
Bagaimanapun juga, MPA sudah menegaskan bahwa wacana CUM ini adalah sebentuk sistem perekonomian kerakyatan versi Kristiani. Artinya, praktik diskursif CUM itu
diselenggarakan dengan berpijak pada nilai-nilai etik kristianitas – kasihsolidaritas yang manifestasinya tampak dalam semangat kerjasama, saling membantu dan
kepemilikan bersama. Secara ideal, MPA merumuskan cita-cita komunitas CUM tersebut adalah mewujudkan kesejahteraan lahir batin anggota jemaat dan masyarakat
sehingga bisa menjadi warga negara yang memiliki etos kerja yang sehat dan berjiwa demokratis-pluralis”,
152
berazaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan”.
153
152
Ibid, hlm, 4
153
Ibid, hlm, 12
95
Dalam rangka menciptakan masyarakat yang dicita-citakannya tersebut, selain mengadakan aktivitas simpan-pinjam sebagai aktivitas generiknya, komunitas CUM
juga mengusung sejumlah program utama yang rinciannya telah dirumuskan MPA sebagai berikut:
154
1. Memfasilitasi anggota yang berjiwa wirausaha entrepreneur untuk mengembangkan potensinya dengan baik dan terarah.
2. Menciptakan wirausahawan-wirausahawan yang handal untuk lebih berkembang dan berkesinambungan
3. Menciptakan hubungan yang harmonis antara anggota-anggota baik si peminjam dan si penyedia dana sebagai prisnip saling menguntungkan dan
berjiwa gotong royong. 4. Menciptakan sense of belonging rasa kepemilikan bersama atas CUM
sebagai wadah perpanjangan tangan pelayanan gereja. 5. Membantu mewujudkan Teologi Pelayanan Holistik Gereja dimana pelayanan
menghidupkan si pelayan serta mewujudkan pengertian syalom secara nyata sampai dalam kehidupan rumah tangga anggota jemaat. Dengan demikian
pelayanan Gereja bukan hanya soal rohani saja tetapi harus secara holistik atau lahir dan batin sebagai perwujudan keselamatan oleh Yesus Kristus.
6. Sebagai wadah untuk mengarahkan hamba-hamba Tuhan bahwa pelayanan Gereja bukan hanya melalui mimbar Gereja tetapi juga pelayanan lanjutan
yaitu pelayanan meja Kisah Rasul 6:2-3. 7. CUM juga berperan untuk mencerdaskan jemaat dan masyarakat
melalui: a. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pengelolaan usaha, baik usaha industri,
dagang, pertanian, perikanan, kerajinan dan usaha-usaha rumah tangga yang menunjang ekonomi keluarga.
b. Ceramah-ceramah tentang kesehatan, gender, hukum dan politik- demokrasi politik yang benar.
c. Ceramah - ceramah peningkatan keimanan, dan lain-lain. Dari sejumlah program utama komunitas CUM sebagaimana dipaparkan tersebut
di atas, dengan segera kita bisa menangkap bahwa pendekatan yang dijalankan untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakannya tidak hanya melakukan pendekatan
kesejahteraan tetapi juga dengan pendekatan spiritual. Dengan kata lain, suatu komunitas CUM tidak hanya memberi layanan “intermediasi keuangan” tetapi juga
154
MP.Ambarita, 2007 Pedoman CUM kalangan sendiri,
96
memberi intermediasi layanan sosial, pelatihan dan pendidikan dan intermediasi layanan spiritual pastoral.
Dalam literatur keuangan mikro ada perdebatan klasik tentang mana cara yang paling jitu untuk membantu masyarakat miskin mendapatkan akses terhadap fasilitas
permodalan dari Lembaga Keuangan Mikro selanjutnya disebut: LKM. Perdebatannya adalah perdebatan antara yang memberi titik tekan pada aspek ekonomi dan aspek
sosial. Bagus Aryo, telah merumuskan perbedaan dari keduanya sebagai berikut: LKM yang memberi titik tekan pada aspek ekonomi pada umumnya
menjalankan pendekatan institusional atau Mazhab Ohio. Pendekatan institusional memberi penekanan yang kuat pada keberlanjutan finansial.
Maksudnya, keluasan jangkauan dalam arti jumlah nasabah lebih diutamakan daripada kedalaman jangkauan yang berarti tingkat kemiskinan yang
dijangkau, dan dampak positif nasabah diasumsikan ada”. LKM yang menggunakan pendekatan institusional ini mengukur kesuksesannya dari
kemajuan lembaga dalam mencapai swasembada finansial. Karena memberi penekanan pada keberlanjutan finansial, LKM jenis seperti ini menyingkirkan
subsidi dalam bentuk apapun. Contoh LKM yang mengusung pendekatan isntitusional adalah Bank Rakyat Indonesia BRI. Sementara itu, LKM yang
memberi titik tekan pada aspek sosial mengusung pendekatan kesejahteraan welfarist di mana cara membantu masyarakat untuk dapat mengakses fasilitas
permodalan seringkali diberikan bersamaan dengan pemberian layanan sosial sepeerti pelatihan keterampilan, pelatiha melek keuangan, kegiatan membangun
kesadaran,pelayanan kesehatan, gizi dan lain-lain. Contoh LKM yang menggunakan pendekatan kesejahteraan yang paling terkenal adalah Grameen
Bank di Bangladesh”.
155
Kedua perbedaan tersebut di atas, memberi penjelasan bahwa tujuan utama LKM yang menggunakan pendekatan institusional adalah memastikan keberlanjutan finansial
lembaga. Keberlanjutan lembagalah yang paling utama daripada kedalam jangkauan pelayanannya. Sedangkan, LKM yang mengusung pendekatan kesejahteraan welfarist
tujuan utama pelayanannya adalah menciptakan dampak ekonomi dan dampak sosial kepada masyarakat. LKM dengan pendekatan institusional meyakini bahwa dengan
155
Bagus Aryo, 2012 Op.cit, hlm, 23-24.
97
membuka akses faslitas permodalan yang luas kepada masyarakat marjinal maka kemiskinan dengan sendirinya dapat teratasi. Dengan begitu, karakter LKM dengan
pendekatan institusional bersifat pasif. Sementara LKM dengan pendekatan
kesejahteraan meyakini bahwa menjangkau sebanyak-banyaknya orang miskinlah yang penting dan dengan begitu karakternya aktif”.
156
Kalau merujuk pada sejumlah program utama yang diusung oleh suatu komunitas CUM sebagaimana yang dirumuskan MPA tersebut di atas, maka komunitas
CUM ini dapat dikategorikan sebagai lembaga keuangan mikro informal informal microfinance dengan pendekatan kesejahteraan, sebab ia tidak hanya memberi layanan
intrmediasi keuangan tetapi juga layanan sosial dan juga layanan spiritual. Jadi, kalaupun wacana CUM dikategorikan sebagai sebentuk informal microfinance, namun
ia jelas berbeda dengan sistem ekonomi kelompok sosial yang sudah dikenal di masyarakat seperti arisan, hutang warung, gadai maupun bank plecit rentenir. Dengan
kata lain, apa yang dilakukan dalam suatu komunitas CUM adalah apa yang sesungguhnya menjadi tugas dan panggilan universal gereja. Suatu komunitas CUM
adalah “gereja” dengan warna baju yang lain. Dalam pedoman umum anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ADART
CUM yang dirumuskan MPA, pada bagian “Pembukaan” dengan jelas dinyatakan:
kesejahteraan adalah hak asasi manusia. Untuk mencapai kesejahteraan itu kami sepakat menjadi komunitas kooperatif untuk menunjang usaha bersama dan tempat belajar
bersama dan komunitas ini kami sebut komunitas Credit Union Modifikasi”.
157
156
Ibid
157
MP.Ambarita 2007 Op.cit, hlm, 12
98
3.2.5. Pendidikan dan Pelatihan Calon Pengelola Manajer CUM