60
terorganisir, dalam hal ini terkait dengan kepentingan masyarakat maupun negara untuk mengatasi kesulitan keuangan finansial. Dengan kata lain, LKM yang hendak
dbicarakan dalam penelitian ini terkait juga dengan LKM dalam perspektif norma ataupun sistem yang menghasilkan dan membentuk perilaku seseorang maupun
organisasi. A. Budisusila mengatakan bahwa sistem ekonomi adalah keseluruhan lembaga
formal maupun informal yang hidup di tengah masyarakat yang dijadikan tuntutan masyarakat untuk berpikir, berasa dan bertindak untuk mencapai tujuan memenuhi
kebeutuhan dan tujuan hidup mendasar lainya. Dalam konteks Indonesia, dinamailah sebagai sistem ekonomi kerakyatan yang tercermin dalam UUD 1945 pasal 33 dan pasal
27”.
86
Munculnya, sistem ekonomi kerakyatan sebagaimana yang digariskan dalam konstitusi Indonesia tersebut dimaksudkan bukan hanya untuk mengoreksi sistem dan
struktur ekonomi yang bercorak kolonial tetapi merupakan jalan baru penyelenggaraan perekonomian Indonesia”.
87
2.2.2.2. Perkembangan dan Peta Persoalannya
Sejarah kehadiran lembaga keuangan mikro LKM di Indonesia, bagaimanapun juga memiliki akar historis yang cukup panjang di masa lalu yakni pada praktik sosial
ekonomi yang dilakukan berbagai suku-bangsa yang ada di nusantara jauh sebelum Indonesia lahir sebagai sebuah Negara bangsa nation-state. Sebutlah misalnya, praktik
lumbung beras desa, arisan, jimpitan pengumpulan beras secara sukarela untuk kegiatan sosial yang dilakukan berdasarkan tradisi yang sudah ada secara turun
86
Antonius Budisusila, “Ekonomi, Garis Massa, dan Pendidikan: Perspektif Ekonomi Institusional” dalam, Antonius Budisusila, ed 2009, Rakyat, Pendidikan dan Ekonomi:Menuju Pendidikan Ekonomi
Kerakyatan, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hlm, 49
87
Revrisond Baswir 2010 Manifesto Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm, 22, 44
61
temurun. Praktik-praktik sosial ekonomi seperti ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kohesi sosial sehingga motifnya tidak didasarkan semata-mata pada
pengembangan ekonomi uang tetapi justru pada ekonomi sosial”.
88
Jadi, pada mulanya atau secara tradisional praktik keuangan mikro itu dikelola pada basis keluarga dan
komunitas sehingga cirinya bersifat informal di mana kesepakatan bersama merupakan norma tertinggi yang mengatur dan mengikat keseluruhan praktik-praktik sosial
ekonomi yang dilakukan. Secara formal, kehadiran lembaga keuangan mikro di Indonesia diawali dengan
berdirinya Hulp en Spaar Bank Der Inlandesch Bestuurs Ambtenaren pada awal abad ke-19 1895 yang sering juga disebut sebagai Bank Bantuan dan Tabungan Pegawai”.
89
Bank Ambtenaren ini didirikan oleh seorang patih di Purwokerto Jawa Tengah bernama Raden Wiriaatmadja Desember 1895”.
90
Menurut Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani tujuan utama pendirian lembaga kredit formal ini adalah untuk
membebaskan para pegawai pemerintahan dari rentenir dan pengijon. Bank Purwokerto inilah yang dianggap sebagai cikal bakal perkembangan bank di Indonesia. Bank ini
memberikan pelayanan kredit bagi pegawai negeri pribumi, tukang, dan petani. Catatan yang menarik pada fase ini adalah bank menetapkan persyaratan penggunaan uang
kepada para nasabahnya. Syaratnya, kredit tidak boleh dipinjamkan lagi kepada orang lain untuk mencaribunga yang lebih tinggi, tidak boleh digunakan untuk membiayai
pesta yang tidak perlu, dan tidak boleh digunakan untuk membeli perhiasan. Kredit harus digunakan untuk kegiatan produktif. Dengan kata lain, pada tahapan ini lembaga
keuangan sudah mulai “memisahkan” kredit untuk kebutuhan produktif dan kebutuhan
88
Bagus Aryo 2012 Op.cit, hlm, 19-20
89
I Gde Kajeng Baskara, “Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia” dalam Jurnal Buletin Studi Ekonomi, Vol. 18, No. 2, Agustus 2013, hlm, 116
90
Bagus Aryo 2012 Op.cit, hlm, 47
62
konsumtif. Sayangnya tidak ada informasi yang menjelaskan bagaimana membangun mekanisme untuk memastikan pengguna kredit menggunakan kreditnya sesuai
ketentuan bank dan respons-respons apa yang muncul dari pengguna akibat pemisahan kebutuhan tersebut”.
91
Lalu, pada tahun 1896, gagasan atau ide Raden Wiriaatmadja ini dikembangkan oleh seorang administrator kolonial Belanda bernama Sieburgh yang kemudian
mengembangkannya menjadi sebentuk koperasi kredit desa. Selanjutnya, seorang administrator kolonial lainnya yakni Wolf van Westerrode, kemudian mengembangkan
koperasi kredit desa ini menjadi Bank Perkreditan Umum”.
92
Pada periode sekitar tahun 1898, desa-desa di pulau Jawa terutama desa-desa yang menjadi sentra penghasil beras
mulai mendirikan Lumbung Desa. Lumbung Desa merupakan lembaga simpan pinjam yang menggunakan komoditas padi sebagai instrumen simpan-pinjam-nya. Lalu, seiring
dengan berkembangnya wilayah pedesaan serta peredaran uang yang semakin meluas dan semakin dikenal masyarakat desa, pada tahun 1904 didirikanlah Bank Desa, yang
kemudian dikenal sebagai BadanKredit Desa BKD”.
93
Sejak saat itu, di berbagai daerah mulai bermunculanberbagai bentuk bank perkreditan rakyat. Implikasinya, subsidi pemerintah terhadap perbankan menjadi
meningkat. Keadaan ini, membuat pemerintah harus mengontrol bank-bank tersebut. Upaya pemerintah kolonial untuk mengendalikan bank-bank tersebut dilakukan dengan
cara mendirikan Central Kas pada tahun 1934 di mana semua bank-bank perkreditan rakyat umum itu kemudian disatukan ke dalam Algemene Volkscredietbank AVB atau
91
Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani, “LKM: Beberapa Catatan Sejarah”. dalam Jurnal Analisis Sosial, Volume 6, No.3 Desember 2001, Akatiga-Bandung,
92
Bagus Aryo 2012 Op.cit, hlm, 48
93
I Gde Kajeng Baskara, Op.cit, hlm, 116
63
Bank Rakyat Umum. Algemene Volkscredietbank AVB inilah yang menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia BRI yang dikenal saat ini”.
94
Meskipun bank-bank perkreditan umum yang bermunculan itu sudah disatukan ke dalam AVB atau Bank Rakyat Umum, namun penggabungan itu tidak lantas
membuat Badan Kredit Desa menghentikanusahanya. Badan Kredit Desa tetap berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Dalam perkembangan selanjutnya,
Badan Kredit Desa yang terdiri dari Bank Desa dan Lumbung Desa bertransformasi menjadi lembaga-lembaga perkreditan rakyat sepertiLembaga Perkreditan Kecamatan
LPK dan Bank KaryaProduksi Desa LKPD di Jawa Barat, Badan KreditKecamatan BKK di Jawa Tengah, Kredit Usaha RakyatKecil KURK di Jawa Timur. Lalu,
beberapa lembaga kemudian
bertransformasimenjadi lembaga keuangan yang berdasarkan ikatanadat seperti Lembaga Perkreditan Desa di Bali danLumbung Pitih
Nagari di Sumatera Barat”.
95
Di era kemerdekaan 1945-1966, dapat dikatakan merupakan era kemunduran Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. I Gde Kajeng Baskara mencatat, pada kurun
periode 1957 sampai 1965, sistem keuangan formal sangat dikekang. Hal ini terutama dipengaruhi oleh adanya kebijakan untuk menghapus segala kepemilikan atau
keterlibatan orang asing dalam sistem perbankan dan nasonalisasi bank-bank yang dulu menjadi milik Belanda”.
96
Selain karena alasan itu, kemunduran lembaga keuangan mikro juga dipengaruhi oleh situasi sosial, politik-ekonomi nasional yang mulai
dikaitkan dengan beberapa persoalan seperti munculnya desakan untuk membuat kebijakan afirmatif bagi pemberdayaan pengusaha pribumi. Keadaan ini telah membuat
94
Bagus Aryo 2012 Op.cit, hlm, 48
95
I Gde Kajeng Baskara, Op.cit, hlm 116
96
Ibid
64
sistem keuangan nasional menjadi tertekan depresi sebab untuk menopang kebijakan afirmasi tersebut Pemerintah lantas menjadi sangat tergantung kepada Bank Central.
Akibatnya, terjadi hiperinflasi yang cukup tinggi sehingga merusak kepercayaan masyarakat terhadap mata uang yang sekaligus juga menurunkan nilai mata uang yang
sedang beredar. Pada tahun 1966 sistem keuangan Indonesia secara finansial runtuh bahkan tidak ada karena krisis ekonomi dan politik yang parah selama periode
tersebut”.
97
Masa Orde Baru, dapat dikatakan merupakan masa keemasan sistem keuangan mikro di Indonesia. Di era Orde Baru, lembaga keuangan mikro mampu menyediakan
layanan tabungan dan kredit dengan prinsip berkelanjutan dan dapat diakses oleh sebagian besar penduduk Indonesia di pedesaan. Upaya pemerintahan Orde Baru
dibawah kepemimpinan Suharto untuk memulihkan krisis ekonomi dan moneter di Indonesia yang terjadi pada tahun 1967, dilakukan dengan cara mendirikan Bank
Pembangunan Daerah BPD di setiap provinsi sehingga dapat mendorong pertumbuhan jasa keuangan, terutama di sektor perbankan”.
98
Pada tahun 1970, pemerintahan Orde Baru menciptakan program kredit “Binmas dan Inmas”,
99
melalui BRI cabang pedesaan untuk meningkatkan pembangunan pertanian dengan tujuan mewujudkan swasembada beras. Menurut Erna Ermawati
Chotim dan A. Diana Handayani, program inilah yang menjadi cikal bakal BRI-Unit Desa yang kemudian menjadi lembaga keuangan yang cukup dominan di pedesaan di
Indonesia. Dalam hal ini, unit desa dimaknai sebagai keadaan agro ekonomi
97
Bagus Aryo 2012, Op.cit, hlm, 48
98
Ibid, hlm, 49
99
Binmas Bimbingan massa merupakan rencana penyetujuan paket kredit, di mana Inmas intensifikasi pertanian merupakan program intensifikasi pertanian. Selanjutnya lihat: ibid
65
masyarakat desa yang memiliki fungsi penyuluhan, perkreditan, penyaluran sarana produksi, pengelolaan, dan pemasaran hasil pertanian.Pada
awalnya, BRI-UD ini hanya menjadi penyalur kredit Bimas. Seluruh dana BRI-UD berasal dari
pemerintah. Namun pada tahun 1974, BRI-UD diberi tugas tambahan unutk menyalurkan paket kredit mini dan paket kredit midi. Penambahan tugas ini secara
perlahan kemudian menggiring BRI-UD menjadi lebih mirip BPR.Kemiripan ini setidaknya terlihat dari dua sisi. Pertama, paket kredit mini dan midi yang diberikan BRI
jelas menyasar kelompok-kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Plafon kredit yang diberikan dalam kedua paket tersebut antara Rp.200.000 sd.
Rp.500.000 dengan tingkat suku bunga rata-rata 12 per tahun. Kedua, BRI menyederhanakan prosedur pelayanannya menjadi lebih fleksibel sehingga menjadi
lebih mudah untuk diakses nasabahnya”.
100
Hasilnya, hingga tahun 1984, BRI telah berhasil mendirikan lebih dari 3600 BRI-Unit Desa di tingkat kecamatan di seluruh penjuru negeri yang dirancang untuk
menyalurkan pinjaman secara langsung kepada para petani yang berpartisipasi dengan program kredit yang terkait. Tetapi malangnya, pada tahun itu juga program kredit
Binmas dan Inmas itu terpaksa harus dihentikan sebab sejumlah kredit Binmas mengalami kegagalan. Setelah meninjau ulang kinerja BRI dan pelaksanaan program
kredit Binmas dan Inmas tersebut, Pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem BRI Unit Desa menjadi sistem perbankan komersial berkelanjutan di tingkat lokal.
Implikasinya, BRI dimungkinkan menerapkan bunga deposito dengan tingkat bunga yang cukup tinggi supaya orang-orang tertarik untuk menabung dan membebankan suku
bunga pinjaman yang cukup tinggi untuk menutupi biaya pendanaan dan operasional.
100
Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani,”LKM: Beberapa Catatan Sejarah” dalam, Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6, No.3, Desember 2001, AkatigaBandung,
66
Dalam perspektif seperti itu, BRI kemudian menawarkan program baru ke seluruh unit jaringannya yaitu kredit untuk berbagai tujuan, KUPEDES Kredit Umum Pedesaan,
tabungan pedesaan, SIMPEDES Simpanan Pedesaan, tabungan perkotaan, SIMASKOT Simpanan Masyarakat Kota”.
101
Lalu, pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan reformasi sektor perbankan dan keuangan yang dikenal dengan sebutan Pakto 88 paket oktober
1988. Pakto 88 ini, menandai lahirnya satu jenis lembaga keuangan mikro yang baru yakni Bank Perkreditan Rakyat BPR. Melalui kebijakan Pakto 88 ini, Pemerintah
memberi kesempatan selama dua tahun kepada lembaga keuangan non bank yang tumbuh subur di banyak daerah seperti Bank Kredit Desa BKD, Bank Kredit
Kecamatan BKK di Jawa Tengah, Lembaga Perkreditan Kecamatan LPK, Lumbung Pitih Nagari LPN di Sumatera Barat, Kredit Usaha Rakyat Kecil KURK di Jawa
Timur, dan Lembaga Perkreditan Desa LPD di Bali untuk bertransformasi menjadi BPR. Tetapi, peraturan ini dianggap cukup menyulitkan lembaga kredit di pedesaan.
Merespon, kesulitan yang dialami lembaga kredit pedesaan tersebut, Pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan Maret 1989 atau yang dikenal dengan sebutan
“pakmar 89”, yang menghapus aturan tersebut untuk mengurangi kesulitan yang dihadapi lembaga kredit pedesaan dan BPR yang berasal dari transformasi lembaga
tersebut”.
102
Salah satu Lembaga
Dana Kredit Pedesaan LDKP yang bersedia bertransformasi menjadi BPR adalah Lembaga Pitih Nagari LPN di Sumatera Barat.
Tetapi, tidak semua LKM yang dikategorikan sebagai LDKP bersedia bertransformasi
101
Bagus Aryo 2012 Op.cit, hlm, 49
102
I Gde Kajeng Baskara, Op.cit, hlm, 117
67
menjadi BPR. LPD di Bali misalnya, mereka menyatakan keberatannya atas kebijakan tersebut. Alasan penolakannya sebab perubahan itu juga akan mengakibatkan terjadinya
perubahan prosedur dan mekanisme yang khas wilayah ke prosedur dan mekanisme yang sesuai dengan ketentuan Pemerintah. Dari sisi pemerintah, perubahan tersebut
tentu akan memudahkan pengawasan. Namun, dari sisi masyarakat perubahan ini menyebabkan mereka harus berhadapan dengan prosedur perbankan yang kerap
menjauhkan mereka dari sumber kredit yang dibutuhkan”.
103
Merespon keberatan masyarakat Bali tersebut, Bank Indonesi BI akhirnya, memberikan persetujuan dengan membuat keputusan bahwa LPD merupakan lembaga
keuangan non bank yang khusus beroperasi di wilayah Bali. Dalam Undang-undang No.1 tahun 2013 tentang LKM, keberadaan LPD kemudian diakui sebagai sebuah
lembaga keuangan berbasis adat, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai LKM yang paling sukses di Indonesia. Regulasi yang mengatur keberadaan LPD di Bali kemudian
diatur secara tersendiri oleh Peraturan Daerah Perda Propinsi Bali No.8 tahun 2002, yang kemudian mengalami perubahan melalui Perda Nomor 3 tahun 2007”.
104
Alasan penolakan Lembaga Dana Kredit Pedesaan LDKP untuk
bertransformasi menjadi BPR pada umumnya adalah karena perubahan itu akan berdampak pada perubahan prosedur dan mekanisme pencairan kredit yang sebelumnya
didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal atau adat istiadat masyarakat di suatu daerah menjadi berubah ke prosedur dan mekanisme sesuai dengan ketentuan pemerintah
perbankan yang justru mendasarkan pengelolaan dan pengembangannya pada prinsip manajemen kehati-hatian. Dalam hal ini, memang ada perbedaan kepentingan antara
103
Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani,”LKM: Beberapa Catatan Sejarah” dalam, Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6, No.3, Desember 2001, AkatigaBandung,
104
I Gde Kajeng Baskara, Op.cit, hlm, 121
68
Pemerintah dan Masyarakat dalam memahami keberadaan LKM di Indonesia. Bagi masyarakat adat, perubahan itu akan membuat mereka harus berhadapan dengan
prosedur birokrasi perbankan yang justru kerap menjauhkan mereka dari sumber kredit yang dibutuhkan. Sementara itu, bagi Pemerintah perubahan tersebut dimaksudkan
untuk memudahkan mereka untuk melakukan pengawasan”.
105
Menurut I Gde Kajeng Baskara, institusi yang terlibat dalamkeuangan mikro di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yakni: institusi Bank, Koperasi, serta Non
BankNon Koperasi. Institusi bank termasuk di dalamnya bank umum, yang menyalurkan kredit mikro atau mempunyai unit mikro serta bank syariah dan unit
syariah”.
106
Sementara itu, kalau mengacu pada undang-undang No. 7 tahun 1992 atau undang-undang hasil amandemen No.10 tahun 1998 maka ada dua kategori bank yang
ada di Indonesia yakni: bank komersial bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat BPR yang sering juga disebut sebagai bank pedesaan”.
107
Perlu juga ditambahkan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, lembaga keuangan mikro di Indonesia juga ikut diramaikan dengan hadirnya Baitul Maal wat
Tamwil BMT. Secara etimologis, Baitul Maal yang berarti “rumah uang” dan Baitul Tamwil dengan pengertian “rumah pembiayaan”. Rumah uang dalam artian ini adalah
pengumpulan dana yang berasal dari infaq, zakat,ataupun shodaqah, dan pembiayaan yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip bagi hasil, yang berbeda dengan sistem
perbankan konvensional yang mendasarkan pada sistem bunga”.
108
Sejarah keberadaan BMT di Indonesia diinisiasi oleh Majelis Ulama Indonesia MUI dan Bank Muamalat
105
Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani, “LKM: Beberapa Catatan Sejarah”. dalam Jurnal Analisis Sosial, Volume 6, No.3 Desember 2001, Akatiga-Bandung,
106
I Gde Kajeng Baskara, Op.cit, hlm, 115
107
Bagus Aryo 2012 Op.cit, hlm, 50
108
I Gde Kanjeng Baskara, Op.cit, hlm, 122
69
Indonesia yang mendirikan Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil YINBUK yang kemudian membentuk juga Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil PINBUK. Pada bulan
Desember tahun 1995, secara legal formal Presiden Suharto mendeklarasikan BMT sebagai sebuah gerakan nasional untuk pemberdayaan usaha kecil, dan pada tahun yang
sama BI memberi ijin atau mengakui BMT sebagai lembaga keuangan yang dapat diberikan bantuan pendanaan dan masuk dalam program linkage dengan bank umum.
Sejak disahkannya UU No. 1 tahun 2013, BMT kemudian diklasifikasi sebagai sebuah LKM yang memang sudah lama dinantikannya”.
109
Berdasarkan data Bank Indonesia tahun 2000, setidaknya terdapat 53.644 LKM di Indonesia mulai dari varian bank, koperasi, lembaga kredit, BMT, dan pegadaian
sedangkan LKM non bank berjumlah 42.186 unit. LKM tersebut mampu
memberikan pelayanan kredit terhadap lebih kurang 27.000.000 nasabah dengan total jumlah pinjaman Rp. 24.443.594.000. Namun demikian, masih banyak kelompok
usaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang belum terlayani. Kenyataan ini pada satu sisi memperlihatkan betapa sangat kecilnya akses dan
pelayanan bagi usaha kecil tetapi di sisi lain kondisi ini juga menjadi peluang bagi LKM untuk berkembang apalagi keberadaannya sangat dekat dengan masyarakat
sehingga bisa dengan mudah direplikasi apalagi cenderung juga mendapat dukungan dari berbagai lembaga keuangan baik di dalam maupun di luar negeri. Seharusnya
dengan jumlah sebesar itu permasalahan yang dihadapi pelaku ekonomi kecil dan mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah bisa memenuhi kebutuhannya dan
109
Ibid
70
memiliki akses terhadap sumber-sumber kredit bagi kelangsungan hidup maupun usahanya”.
110
2.2.2.3. Jenis-jenisnya