108
3.3.3. Pembentukan Komunitas CUM “Talenta”
Sebagaimana sudah diutarakan pada bab sebelumnya secara teknis sistem manajemen CUM merupakan perpaduan atau sintesa dari sistem manajemen CU konvensional dan
sistem manajemen BPR. Sebagai seorang yang sudah pernah mengikuti pernah mengikuti orientasi tentang tata cara pengelolaan, pengoperasian dan pengembangan
BPR milik gereja yang diselenggarakan oleh PT.BPR-PPK pada tahun 2001, maka wajar saja LG memiliki pengetahuan tentang pengelolaan dan pengoperasian credit
union. Meskipun GKPS “gagal” mendirikan BPR hingga LG selesai mengikuti orientasi di PT.BPR-PPK tersebut, namun di tempat pelayanannya, sebagai Pendeta
GKPS di GKPS Resort Batam, persisnya di GKPS Batu Aji Batam Kepulauan Riau, LG mencoba mendirikan komunitas “credit union” CU berbasis gereja. Sayangnya,
komunitas CU yang didirikan LG tersebut belum sempat mekar dan berkembang, LG kembali harus pindah tugas pelayanan menjadi Pendeta Resort Gajapokki, sebuah
wilayah pelayanan partikular GKPS Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun Sumatera Utara.
Perpindahan tugas pelayanannya dari daerah kota industri ke daerah pedesaan agraris di Simalungun tidak membuat semangat dan gairah LG untuk mengkonkretkan
wacana CUM itu ke dalam konteks gerejanya di GKPS menjadi surut. Sebaliknya, LG justru tampak semakin bersemangat. Di daerah pelayanannya yang baru di distrik III,
upayanya untuk mengongkritkan wacana CUM tersebut dilakukannya dengan cara menyosialisasikan wacana CUM itu kepada para Pendeta, Penginjil maupun para
Penetua gereja baik secara informal maupun secara formal. Sosialisasi wacana CUM secara formal, dilakukan LG pertama sekali pada saat penyelenggaraan rapat kordinasi
GKPS distrik III yang diselenggarakan di Zentrum GBKP Kabanjahe,tanggal, 16-18 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
November 2006”.
170
Sayangnya, wacana CUM yang diperkenalkan LG pada forum rapat kordinasi distrik III ini ternyata tidak dapat begitu saja diterima sebab di situ
muncul sejumlah tanggapan dan perdebatan tentang status wacana CUM. Singkat kata, sosialisasi wacana CUM di forum rapat distrik III tersebut berujung pada munculnya
penolakan resistensi. Menurut LG, setidaknya ada tiga hal yang membuat wacana CUM tidak dapat
diterima sebagai instrumen artikulasi aspek etis gereja di bidang pemberdayaan ekonomi jemaatrakyat. Pertama, secara legal formal wacana CUM tidak lahir dari “rahim”
institusi GKPS. Maksudnya, wacana CUM bukan merupakan wacana yang diproduksi GKPS sehingga dianggap bukan merupakan “bahasa resmi” GKPS. Kedua, status
wacana CUM sebagai sebentuk informal microfinancememberi kesan bahwa praktik diskursif CUM dianggap merupakan semacam praktik bank gelap illegal banking
sehingga dianggap bertentangan dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, masih adanya polarisasi pemahaman teologi dari kalangan para
pelayan GKPS Pendeta, Penginjil, Sintua tentang keterlibatan gereja dalam melakukan pelayanan pemberdayaan ekonomi terhadap jemaat dan masyarakat. Pada satu pihak,
ada yang memahami bahwa gereja memiliki tanggung jawab dalam melakukan pelayanan pemberdayaan ekonomi rakyat sedangkan pada pihak yang lain adapula yang
memahami bahwa fokus pelayanan gereja atau Pendeta adalah pelayanan kerohanian sehingga para Pendeta tidak perlu terlibat dalam pelayanan ekonomi.
170
Rapat kordinasi distrik di GKPS adalah sebuah pertemuan antara para Pendeta, Penginjil dan Pimpinan Majelis Jemaat di suatu wilayah pelayanan GKPS yang disebut Distrik. Rapat kordinasi distrik biasanya
diselenggarakan sekali setahun biasanya bulan November. Tugas dan fungsi rapat kordinasi distrik GKPS adalah untuk mengevaluasi, dan merumuskan program pelayanan GKPS di tingkat distrik. Selain
itu, Rapat Kordinasi Distrik juga merupakan wadah bagi Pimpinan Pusat GKPS untuk menyampaikan rencana Anggaran Belanja tahunan GKPS untuk satu tahun pelayanan berikutnya.
110
Munculnya resistensi terhadap wacana CUM dari peserta rapat kordinasi distrik III itu, tidak membuat semangat dan gairah LG untuk mengongkritkan “unsur baru”
pelayanan diakonia itu ke dalam konteks gerejanya menjadi surut. LG lantas “putar haluan”. Kali ini fokus sosialisasi wacana CUM itu, diarahkannya kepada kalangan
Pendeta muda GKPS yang ada di distrik III. LG tampak cukup jeli melihat adanya kebiasaan beberapa orang Pendeta muda GKPS yang selalu berkumpul di setiap hari
Rabu pasca pelaksanaan sermon hadomuan 8 resort,
171
di GKPS Saribudolok. Biasanya dilakukan sambil makan siang atau minum kopi. Di situ, selalu ada perbincangan
diskusi informal tentang berbagai hal isu mulai dari isu sosial, politik, ekonomi skala nasional dan lokal. Tidak ketinggalan, di situ para Pendeta muda GKPS ini juga
memperbincangkan hal ihwal yang menyangkut kesulitan dan hambatan pelayanan di resort wilayah nya masing-masing.
Dari beragam isu yang sering diperbincangkan, fenomena menurunnya tingkat partisipasi dan kehadiran warga gereja GKPS dalam mengikuti kegiatan-kegiatan gereja
selalu menjadi isu yang hangat diperbincangkan. Selain itu, perbincangan tentang kesulitan finansial yang dihadapi oleh masing-masing Pendeta dan Penginjil GKPS,
turut juga mewarnai perbincangan di setiap “pertemuan informal hari Rabu” itu. Hal ini memang dapat dimaklumi, sebab perolehan gaji yang diterima para Pendeta dan
Penginjil GKPS setiap bulan masih tergolong minim sementara biaya kebutuhan hidup dari waktu ke waktu terus meningkat. Dalam kondisi seperti itu, para Pendeta atau
171
Sermon hadomuan 8 resort adalah pertemuan para Pendeta, Penginjil, dan anggota majelis jemaat dari 8 resort GKPS yang ada di sekitar Kecamatan Silimakuta Saribudolok. Pertemuan ini, adalah
pertemuan yang dilakukan untuk membahas dan mempersiapkan bahan khotbah kebaktian Minggu dan juga partonggoan persekutuan doa antar keluarga. Dilaksanakan sekali seminggu bertempat di GKPS
Saribudolok. Pertemuan ini bertigas untuk mendiskusikan bahan khotbah kebaktian Minggu dan Partonggoan persekutuan do antar keluarga. Pesertanyaadalah para Pendeta, Penginjil, Sintua dan
anggota Majelis jemaat GKPS lainnya khususnya yang akan bertugas sebagai pengkhotbah pada kebaktian hari Minggu digerejanya masing-masing dan Partonggoan persekutuan doa antar keluarga.
111
Penginjil GKPS khususnya yang melayani di daerah pedesaan, masih harus menyediakan sendiri juga sarana dan prasarana pelayanan seperti sepeda motor,
komputer laptop dan lain sebagainya. Itulah sebabnya sehingga masih ada Pendeta dan Penginjil GKPS yang masih meminta bantuan finansial setiap bulan kepada orang
tua atau keluarganya. Bagi para orang tua atau keluarga Pendeta dan Penginjil GKPS yang memiliki kemampuan finansial yang cukup, tentu kesulitan itu dengan segera
dapat diatasi. Namun, bagi para Pendeta atau Penginjil GKPS yang orang tua atau keluarganya tidak mampu, hal ini tentulah menjadi persoalan yang cukup serius dan
menyesakkan. Maka, tidak sedikit pula dari antara para Pendeta yang terpaksa harus menempuh jalan berhutang kredit untuk mengatasi kesulitan ekonominya.
Dalam konteks keprihatinan dan urgensi permasalahan seperti itu, LG kembali mengajukan wacana CUM sebagai wacana alternatif untuk mengatasi kesulitan finansial
yang dialami oleh para Pendeta dan Penginjil GKPS itu. LG mengatakan bahwa melalui praktik diskursif CUM, para Pendeta dan Penginjil GKPS sebagai pemimpin umat dan
pemimpin spiritual tidak hanya dapat mempraktikkan sikap saling membantu, tetapi sekaligus juga dapat memberi contoh dan teladan bagi upaya memaknai persekutuan
koinonia gereja. Menurut LG, salah satu ciri utama persekutuan koinonia gereja adalah adanya sikap hidup yang mau saling berbagi dan bertolong-tolongan
sebagaimana tertulis dalam Alkitab Galatia 6:2: “Bertolong-tolonganlah kamu menanggung bebanmu Demikianlah, kamu memenuhi hukum Kristus”..
Langkah “putar haluan” dengan fokus kepada Pendeta muda GKPS yang ditempuh LG itu, tampaknya merupakan langkah yang cukup jitu sebab setelah
melakukan serangkaian sosialisasi secara informal di setiap “pertemuan hari Rabu” itu, kesadaran para Pendeta muda GKPS tampak mulai merekah. Pada tanggal, 27
112
Desember 2006, sembilan orang Pendeta muda GKPS yang ada di Distrik III menyatakan kesediaannya untuk mendirikan komunitas CUM sebagai wadah bagi para
Pendeta dan Penginjil GKPS di distrik III untuk mempraktikkan sikap hidup saling membantu dan berbagi di bidang keuangan. Pada tanggal 16 Januari 2007, bersamaan
dengan penyelenggaraan acara “Refleksi dan Syukuran Tahun Baru 2007 Pendeta dan Penginjil GKPS distrik III” di rumah Praeses GKPS distrik III di Saribudolok, 16 orang
Pendeta GKPS menyatakan komitmennya untuk mendirikan suatu komunitas CUM dalam konteks GKPS. Dan, pada hari yang sama, enam belas orang Pendeta muda
GKPS itu mendeklarasikan berdirinya kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta”.
172
Deklarasi berdirinya komunitas CUM “Talenta” tersebut ditandai dengan membuat kesepakatan bahwa setiap anggota yang ingin menjadi anggota komunitas,
diwajibkan membayar sebesar Rp.15.000,- sebagai uang pangkal, Rp.100.000,- sebagai simpanan pokok serta Rp. 20.000 sebagai simpanan wajib per bulan. Selain itu, setiap
anggota juga diperkenankan untuk menyimpankan uangnya di komunitas CUM “Talenta” sebagai simpanan sukarela. LG kemudian ditunjuk menjadi kordinator
sementara komunitas, utuk mengelola aktivitas awal, pembukuan serta pengembangan keanggotaan komunitas.
3.3.4. Memperluas Keanggotaan Komunitas CUM “Talenta”: Membangun Kelompok unit di Basis Jemaat