Kerangka Teori 1. Identitas Politik: Hegemoni, Antagonisme dan Pembentukan Subjek Dalam

25 GKPS di ruang publik sebagaimana direpresentasikan oleh Komunitas CUM “Talenta”, 3.Perjuangan-perjuangan demokratik baru yang dilakukan komunitas CUM “Talenta”di ruang publik pedesaan di Simalungun. 1.6. Kerangka Teori 1.6.1. Identitas Politik: Hegemoni, Antagonisme dan Pembentukan Subjek Dalam Perspektif Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe LM 1.6.1.1. Hegemoni-Artikulasi Sebelum memaparkan lebih jauh tentang teori hegemoni dengan tiga konsep yang mengiringinya yakni artikulasi, antagonisme dan subjek politik, penting untuk diketahui bahwa cara atau pendekatan yang digunakan Ernesto Laclau-Chantal Mouffe selanjutnya disingkat: LMuntuk memahami dan mengkaji fenomena sosial the social dilakukan dengan menggunakan pendekatan “bahasa”. Artinya, akses kita pada realitas sosial hanya bisa dicapai melalui bahasa. Lalu, apa yang dimaksud LM dengan bahasa? Jawabannya, “bahasa” yang dimaksud LM dalam hal ini bukan sistem umum bahasa atau gramatika struktur bahasa tetapi bahasa sebagaimana dimanifestasikan dalam wujudnya sebagai wacana, atau dalam omongan”. 28 LM adalah pasangan pemikir politik kiri sekaligus penggagas postmarxis yang menyandarkan paradigma teoritiknya pada tradisi linguistik strukturalis dan post- strukturalis. Kalaupun di kemudian hari, LM lebih cenderung menganut cara berpikir tradisi poststrukturalis, namun prinsip-prinsip dasar strukturalisme masih tetap mereka gunakan untuk memahami dan menggeledah fenomena sosial ataupun pembentukan masyarakat. Ada perbedaan yang cukup tajam antara tradisi linguistik srukturalisme dan poststrukturalisme. Boni Hargens mencatatkan perbedaan keduanya sebagai berikut: 28 St. Sunardi, Logika Demokrasi Plural Radikal, dalam Retorik, Jurnal Ilmu Humaniora Baru, vol.3 No. 1 Desember 2012, Program Studi Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, hlm, 5 26 Kaum strukturalis, sangat percaya bahwa makna diproduksi oleh proses penandaan signifikasi dalam suatu sistem bahasa yang mensyaratkan secara mutlak adanya penanda siginifier dan petanda signified. Hubungan stabil penanda imaji, akustik, kata dan petanda konsep_menentukan makna”. Sebaliknya, di tangan kaum poststrukuralis bahasa kehilangan kemutlakannya karena makna ternyata tidak diproduksi oleh struktur bahasa tetapi dipengaruhi oleh konteks”.Barthes bahkan secara radikal mengatakan bahwa subjek bebas memasuki teks dari berbagai sudut dan menemukan makna baru dalam setiap penelusurannya. Dengan kata lain, tidak ada makna mutlak, tidak ada konsep sentral dan tidak ada universalitas mutlak. Makna bersifat partikular dan kontekstual”. 29 Merujuk pada perbedaan dari kedua tradisi linguistik tersebut maka dapat disimpulkan bahwa di tangan kaum strukturalis “makna”dipahami sebagai sesuatu yang tetap fixed dan final. Itu artinya, kaum strukturalis memahami “makna”bersifat universal. Sedangkan kaum poststrukturalis memahami sebaliknya, “makna”adalah sesuatu yang tidak tetap unfixed. Dengan kata lain, “makna”bersifat partikular dan kontekstual bukan universal. Perlu juga ditambahkan, selain bersandar pada tradisi berpikir linguistik, LM juga memijakkan paradigma teoritiknya pada pemikiran Jacques Lacan, seorang filsuf psikoanalisa dari Perancis itu. Menurut Lacan tidak ada kata yang bebas dari metafora. Setiap upaya untuk memahami suatu penanda kata selalu memerlukan penanda yang lain dan penanda berikutnya juga memerlukan penanda yang lain sehingga membentuk suatu rantai penanda chain of signifier yang tidak terputus. Bagi Lacan, tidak ada kata yang tuntas dan tidak ada kalimat yang tertutup. Setiap kata atau kalimat selalu menuntut adanya kata atau kalimat yang lain sehingga makna juga tidak bersifat tertutup dan tetap. Baik penanda kata maupun petanda makna bersifat sementara”. 30 29 Boni Hargen 2006 Op.cit,hlm, 27 30 Ibid, hlm, 67 27 Karena bahasa makna pada dasarnya tidak bisa sepenuhnya stabil, maka bagi LM identitas juga tidakakan pernah bisa bersifat tetap dan final unfixed of all identities.All identity is relational, kata LM”. 31 Dengan status ontologis seperti itu maka setiap identitas menjadi terbuka contingent untuk segala pemaknaan dan reartikulasi”. 32 Identitas bukanlah sesuatu yang terberi given atau terbawa melainkan sesuatu yang dibentuk. Dibentuk melalui apa? LM mengatakan identitas adalah hasil dari konstruksi diskursif discursive construction. Dalam istilahnya yang lain, LM mengatakan bahwa identitas itu merupakan hasil dari artikulasi diskursif discursive articulation. Meskipun identitas adalah hasil dari artikulasi diskursif namunartikulasi diskursif itu tidak pernah bisa mencapai fiksasi makna yang utuh dan sempurna. Itu berarti identitas selalu merupakan hasil “kontestasi-sementara”. Dan, setiap reproduksi atau proses pembaharuan makna selalu merupakan tindakan politik sebab politik bagi LM melampaui dari sekedar lembaga-lembaga politik seperti partai politik, kelender pemilu dan sebagainya. Bagi LM, politik merupakan suatu konsep yang sangat luas sebab mengacu pada cara kita senantiasa menyusun fenomena sosial dengan cara-cara meniadakan cara-cara yang lain”. 33 Chantal Mouffe membedakan politik itu dalam dua kategori yakni “yang politis” the political dan “politik” politics. By “the political” I mean the dimension of antagonism which I take to be constitutive of human societies, while “politics” I mean the set of practices and institutions through which and order is created organizing of human coexistence in the context of conflictuality provided by the political”. 34 31 Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, 1985 Hegemony Socialist Strategy; Towards a Radical Democratic Politics, London-New York, Verso, hlm, 111 32 Boni Hargen, 2006, Op.cit, hlm, 22 33 Marianne W.Jorgensen dan Phillips.J. Louise, 2007 Analisis Wacana: Teori dan Metode, terj, Yogyakarta, Pustakan Pelajar, hlm, 68 34 Chantal Mouffe, 2005 On the Political: Thinking in Action, London-New York, Routledge, hlm, 9 28 Dalam perspektif seperti itulah, LM memahami pembentukan masyarakat atau realitas sosial. Masyarakat atau realitas sosial itu tidak pernah selesai atau tidak pernah sampai pada totalitasnya yang penuh dan sempurna. Dengan begitu maka masyarakat itu bersifat terbuka contingent dan tidak tetap unfixed. Itulah sebabnya dalam dictum- nya yang terkenal itu LM mengatakan: “Masyarakat itu tidak ada” Maksudnya, masyarakat atau realitas sosial secara objektif tidak pernah selesai atau tepatnya tidak pernah bisa bersifat penuh dan total”. 35 Masyarakat selalu merupakan hasil dari praktik diskursif yang beragam dan terus menerus. Masyarakat adalah cara subjek memberi makna padanya. Meskipun begitu harus diingat bahwa subjek dalam pandangan LM adalah subjek yang rentan, tidak pasti dan tidak otonom sebagaimana subjek cogitan cogito ergo sum: aku berpikir maka aku ada yang dipahami Descartes. Subjek dalam pandangan LM adalah subjek yang dikondisikan atau disituasikan. Karena itulah LM memahami masyarakat atau realitas sosial itu tidak memiliki pusat hegemonik, atau tidak memiliki semacam fondasi tetap yang tidak bisa berubah semacam penyangga permanen dalam dunia sosial sebagaimana dalam pandangan Gramsci ataupun Marxisme klasik. Karena masyarakat adalah wacanaatau tepatnya merupakan praktik wacana maka tidak ada elemen kelompok sosial yang lebih tinggi atau lebih unggul dalam ranah sosial. Karena itu, setiap unsur dalam realitas sosial memiliki potensi untuk menjadi wacana. Setiap elemen di dalam masyarakat yang dapat diartikulasikan ke dalam ruang sosial dengan sendirinya dapat diidentifikasi. Bertolak dari pemahaman seperti itu maka LM memahami bahwa hegemoni adalah hasil dari suatu praktik artikulasi yang 35 Boni Hargens, 206 Op.cit,hlm, 73 29 bersifat terus menerus. Artikulasi itu selalu memberi identitas dan identitas itu akan selalu menempati posisi struktural tertentu dalam ruang sosial”. 36 LM memahami bahwa munculnya hegemoni merupakan konsekuensi dari artikulasi diskursif dari elemen atau kelompok sosial tertentu yang mendominasi artikulasi elemen atau kekuatan sosial tertentu yang berlangsung secara terus menerus dalam ranah sosial. Sebaliknya, artikulasi diskursif yang dilakukan oleh elemen atau kekuatan sosial tertentu dalam masyarakat yang memandang dirinya lebih lemah dari kekuatan sosial yang mendominasi artikulasi diskursif dalam masyarakat dapat disebut sebagai hegemoni tandingan atau kontra hegemoni”. 37 Untuk memahami masyarakat sebagai hasil dari praktik artikulasi diskursif, LM merumuskan empat konsep penting yang saling terkait: We will call articulation any practice establishing a relation among elements such that their identity is modified as a result of articulatory practice. The structured totality resulting from articulate practice, we will call discourse. The differential positions, in sofar as they appear articulated within a discourse, we will call moments. By contrast, we will call element any difference that is not discursively articulated”. 38 Artikulasi dalam pemahaman LM adalah setiap praktik menghadirkan hubungan antar elemen sedemikian rupa sehingga identitas elemen-elemen tersebut berubah sebagai akibat dari praktik artikulatoris. Totalitas terstruktur sebagai hasil dari praktik artikulasi itulah yang disebut LM sebagai wacana. Posisi-posisi mereka yang berbeda selama terartikulasi ke dalam sebuah wacana disebut sebagai momen-momen. Dan secara kontras, setiap perbedaan yang tidak terartikulasikan secara diskursif disbeut dengan elemen . 36 Ibid, hlm, 65 37 Ibid 38 E.Laclau Ch.Mouffe 1985 Hegemony Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politics, London-New York, Verso, hlm, 105 30 Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya bahwa identitas adalah hasil dari artikulasi diskursif sehingga formasi hegemonik pada dasarnya adalah juga formasi diskursif. Formasi hegemonik tidak terjadi secara spontan melainkan hasil kerja kepemimpinan moral dan intelektual. Artinya, formasi hegemonik dengan sendirinya meliputi pengorganisasian kekuatan-kekuatan sosial yang berfungsi sebagai “penanda mengambang” floating signifier sehingga menghasilkan hubungan-hubungan diferensial dalam suatu totalitas struktural”. 39 Pengorganisasian itu dijalankan dengan menggunakan logika ekuivalensi atau logika persamaan logic of equivalence. Logika persamaan ini meliputi cara orang mengelompokkan unsur-unsur yang sama ekuivalen sehingga bisa menjadi sebuah totalitas trstruktur dengan identitas tertentu”. Singkat kata, logika ekuivalensi adalah logika yang digunakan dalam rangka menghadapi musuh bersama”. 40 Sementara itu, logika perbedaan logic of difference adalah logika yang digunakan untuk mengumpulkan dan mengelompokkan unsur-unsur dengan berbagai perbedaan. Logika perbedaan tidak menunjuk kepada perbedaan internal antar kekuatan sosial yang bersifat antagonistik tetapi justru merujuk kepada perbedaan dengan yang di luar constitutive out side. Jadi, baik logika ekuivalen the logic of equivalence maupun logika perbedaan the logic of difference, keduanya merupakan logika yang digunakan untuk menyatukan unsur-unsur yang bernilai sama dan juga menyatukan unsur-unsur yang berbeda dengan sesuatu yang di luar eksternal ke dalam apa yang disebut Gramsci dengan blok historis historical block yang merupakan manifestasi “kehendak bersama” collective will. Sehubungan hal ini, Boni Hargens memberi penjelasan: 39 St.Sunardi “Logika Demokrasi Plural-Radikal”, Opcit, hlm, 13 40 Ibid, hlm, 8 31 Di satu pihak para pelaku sosial social actors dalam masyarakat menempati posisi yang diferensial alias berbeda sama sama lain. Itu artinya, masing-masing aktor adalah partikularitas. Namun di pihak lain terdapat antagonisme sosial dalam masyarakat, antar kelompok sosial yang beragam. Antagonisme sosial inilah yang mendesak para pelaku sosial untuk membangun hubungan yang seimbang dan harmonis. Dengan kata lain, antagonisme mendorong terciptanya ekuivalensi sosial”. 41 Tapi harus diingat bahwa agar hubungan-hubungan yang berbeda itu dapat menyatu dibutuhkan “penanda utama” master signifier atau nodal point. LM mengambil konsep ini dari psikoanalisa Lacanian. Itulah sebabnya, LM mengatakan bahwa hegemoni itu pada dasarnya merupakan praktik artikulasi membangun nodal points point de capiton, yakni semacam titik temu dari sebuah rangkaian dalam suatu tenunan masyarakat yang terdiferensiasi”. 42 Dalam istilah lain, nodal point atau “penanda utama” master signifier ini adalah sebauh “penanda kosong” empty signifier yakni penanda tanpa petanda. Begitu dikosongkan, penanda ini bebas dimaknai oleh “penanda mengambang” floating signifier. Robertus Robet mengatakan bahwa semua pihak atau aktor yang bermanuver harus dipandang sebagai “penanda mengambang” floating signifier, yakni penanda yang bergerak dalam kontestasi tanpa akhir untuk mengisi penanda kosong itu”. 43 Perlu ditambahkan bahwa dalam rangka membangun hegemoni tersebut sebaiknya nodal point itu tidak berupa identitas konkret seperti buruh, gerakan perempuan, gerakan lingkungan melainkan penanda yang dikosongkan seperti tatanan, persatuan, reformasi atau nama lain sejauh bisa menyatukan dan membedakan dirinya 41 Boni Hargens 2006 Op.cit, hlm, 64 42 http:dyanuardy.wordpress.com20080116jalan-hegemoni-meraba-arah-bagi-gerakan-sosial Diakses, tgl.12-10.2011 43 Robertus Robet,2010 Manusia Politik:Subjek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme Global Menurut Slavoj ZIzek, Tangerang, Marjin Kiri, hlm, 11 32 dengan totalitas yang di luar sebagai kekuasaan yang represif”. 44 Dalam formasi hegemonik tersebut, “penanda utama” inilah yang berfungsi menjadi semacam “pusat hegemonik”, meskipun harus tetap diingat bahwa “pusat hegemonik” di ranah sosial dalam pandangan LM tidaklah tunggal melainkan plural. Karena tidak ada identitas yang bersifat tetap maka “penanda utama” master signifier dalam formasi hegemonik blok historis itu menurut LM, tidak harus dimainkan oleh “kelas pekerja” sebagaimana dalam pandangan Gramsci. Penanda utama master signifier dapat dimainkan oleh kelompok apa saja sejauh bisa mempersatukan kekuatan-kekuatan sosial yang ada sehingga memiliki common differentiation dengan kekuatan hegemonik tandingan yang dipandang eksploitatif dan otoritarian yang oleh karenanya dieksklusikan dari totalitas hegemonik”. 45 Praktik diskursif yang menyertakan “penanda utama” master signifier dengan sendirinya akan menghasilkan identitas kolektif dan bukan lagi identitas “kelas pekerja” sebagaimana dalam pemahaman Marxisme klasik dan Gramsci. Identitas itu, baik secara individu maupun kolektif menurut LM selalu merupakan hasil dari proses politik yang bersifat kewacanaan”. 46 Dalam ungkapan yang lebih padat Josep Lowndes mengatakan: Populist movements are thus successful to the degree that they can universalise their claims on behalf of the people, and yoke various social groups and discourses into one common identity. The success of this process is what political theorists Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, after Gramsci, call hegemony.Reigning political orders, they argue, present themselves as internally coherent, universal forms of truth and representation that transcend politics as such - this, in fact, is the source of their power. But any hegemonic order is actually a highly contingent product of dissimilar elements that get articulated together in political struggle. 47 44 St. Sunardi, Op.cit, hlm, 15 45 Ibid, hlm, 13 46 M.W.Jorgensen Louise J.Phillips 2008Op.cit, terj, hlm, 64 47 Josep Lowndes, “From Founding Violence to Political Hegemony: The Conservative Populism of George Wallace dalam Fransisco Panizza, ed, 2005 Populism and Mirror Democracy, London-New York, Verso,hlm,146 33 Jadi, identitas kolektif yang dihasilkan dari formasi hegemonik tersebut menghasilkan identitas yang terbuka sekaligus tertutup. Maksudnya, melalui praktik diskursif, kesatuan sosial memang dapat terbentuk namun kesatuan tersebut sekaligus bersifat mustahil sebab bagaimanapun juga hubungan yang berbeda dalam hubungan ekuivalensial yang terbangun tidak dapat diatasi secara tuntas. Selalu ada tegangan dalam hubungan diferensial antar unsur-unsur atau kekuatan-kekuatan sosial yang sudah terbentukitu meskipun mereka sudah masuk ke dalam suatu hubungan ekuivalensial tertentu. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka masyarakat sebagai praktik artikulatoris tidak hanya meliputi apa yang bisa diwacanakan tetapi juga meliputi apa yang tidak terwacanakan.Terjadi penyebaran wacana secara beraturan dispersionin regularity”. 48

1.6.1.2. Antagonisme

Sudah dijelaskanpada bagian sebelumnya bahwa formasi hegemonikitu meliputi pengorganisasian kekuatan-kekuatan sosial yang berfungsi sebagai floating signifier sehingga hubungan-hubungan yang berbeda dari setiap kelompok sosial menghasilkan suatu totalitas struktural. Di sini LM memberi catatan, walaupun unsur-unsur atau kekuatan-kekuatan sosial itu sudah disatukan ke dalam suatu totalitas struktural dengan identitas tertentu namun hal itu tidak dapat menghilangkan tegangan hubungan diferensial antar unsur-unsur yang ada dengan hubungan ekuivalensial yang sudah terbentuk. Dengan kata lain, dalam suatu formasi hegemoni yang terbentuk, antagonisme identitas dari setiap unsur secara internal tidak dapat dihilangkan. Antagonisme antar identitas dalam suatu formasi hegemonik selalu ada meskipun tidak 48 St.Sunardi, Op.cit, hlm, 12-13 34 dapat dikatakan. Antagonisme antar identitas yang pluralinilah yang menjadi titik tolak munculnya gerakan sosial baru LM lebih menyukai istilah perjuangan demokratik baru “new democratic strugles” yang kemudian dikembangkan secara lebih luas sebagai gerakan demokrasi kerakyatan. popular democratic. Dalam rangka membangun dan merayakan demokrasi plural radikal itulah,LM mendekonstruksi gagasan antagonisme dalam perspektif Marxisme klasik. Kalau Marxisme klasik memahami dan memaknai antagonisme tersebut bersifat eksternal maka LM justru memahami sebaliknya. LM melihat antagonisme itu sebagai sesuatu yang ada secara internaldan sekaligus yang menciptakan keterbatasan masyarakat. Antagonisme internal inilah yang membuat masyarakat itu tidak pernah stabil fixed atau tidak pernah bisa mencapai totalitasnya yang utuh dan sempurna secara objektif.Antagonisme memainkan peran penting dalam pembentukan identitas dan hegemoni lantaran antagonismemembuat setiap makna sosial selalu berkontestasi dan tidak akan pernah penuhtetap fixed. Keadaan inilah yang memunculkan antagonisme sosial yang kemudian membentuk “garis politik” political frontier. Dengan munculnya, political frontier itu maka akan terjadi pertarungan hegemonik dengan rejim opresif yang dipandang atau dijadikan sebagai “musuh bersama” common enemy. Keadaan seperti didorong oleh munculnya rantai ekuivalensi chain of equivalence di antara kelompok-kelompok sosial yang beragama yang melakukan resistensi terhadap rejim opresif. LM sebagaimana diungkapkan Daniel Hutagalung 49 mengatakan kalau perjuangan hegemonik ingin berhasil maka yang harus diperhatikan adalah tidak menempatkan logika yang diartikulasikan oleh semua bentuk eksternal ke dalam ruang 49 Daniel Hutagalung, ”Hegemoni dan Demokrasi Radikal Plural: Membaca Laclau dan Mouffe” dalam Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe 2008 Op.cit, terj, hlm, xxxvii-xxxix 35 partikular. LM memberi contohnya dari pengalaman Rosa Luxemburg, di mana dalam situasi penindasan yang ekstrim yang dilakukan rejim Tsar, kaum buruh memulai pemogokan dan menuntut kenaikan upah. Tuntutan kaum buruh ini sesungguhnya bersifat partikular, tetapi dalam perspektif rejim represif Tsar hal itu justru dilihat sebagai aktivitas menolak sistem rejim opresif anti sistem. Makna dari tuntutan tersebut terbagi menjadi dua, dari yang paling awal, antara partikularitasnya sendiri dan sebuah dimensi yang lebih universal yakni anti sistem. Untuk memahaminya dengan lebih mudah berikut ini dikutipkan saja diagram yang dibuat Ernesto Laclau tentang apa yang menjadi pengalaman Rosa Luxemburg pada masa rejim Tsar tersebut: 50 Ts D1 0 = 0 = 0 = 0 = 0…….. D1 D2 D3 D4 D5….dst Rejim opresif Tsarism Ts dipisahkan oleh batas politik political frontier dari tuntutan-tuntutan sebagaian besar sektor dalam masyarakat D1, D2, D3…dan seterusnya. Setiap tuntutan tersebut ada dalam partikularitasnya masing-masing sehingga masing-masing tuntutan itu berbeda dengan tuntutan-tuntutan lainnya. Meskipun demikian, semuanya memiliki kesamaan ekuivalen satu dengan lainnya yakni adanya kesamaan sikap beroposisi dengan rejim opresif, yakni rejim Tsar. Melalui pembangunan rantai ekuivalensi chain of equivalence, satu dari semua tuntutan 50 Ernesto Laclau 2005 On Populist Reason, London - New York, Verso, hlm, 130 36 partikular yang beragam itu kemudian dijadikan atau ditampilkan untuk memimpin atau mengambil tempat menjadi penanda signifier dari keseluruhan rantai tuntutan yang beragam – suatu tendensi empty signifier. Akhirnya, D1 di atas lingkaran ekuivalen mewakili tuntutan dari mereka yang anti sistem secara general. Dalam hal ini, LM memberi catatan penting bahwa keseluruhan model ini sangat tergantung pada kehadiran dichotomic frontier; tanpa hal ini relasi equivalential kesamaan tersebut akan runtuh dan identitas dari setiap tuntutan-tuntuan tersebut akan tergerus ke dalam keberbedaan dan partikularitasnya sendiri-sendiri. Harus diingat bahwa pada saat ada upaya untuk membentuk sebuah political frontier maka pada saat yang sama rejim opresif juga akan melakukan praktek mempertahankan proyek hegemoninya dengan cara mencoba menyerap dan meminjam istilah Gramsci mentransformasi beberapa dari tuntutan kaum oposisi tersebut. Dengan begitu, maka garis batas yang memisahkan rejim opresif dengan kelompok yang berseberangan sangatlah tidak stabil atau tidak permanen. Jika, rejim opresif mengakomodir sebagian dari tuntutan-tuntuan tersebut maka implikasinya, chain of equivalence yang sudah terbangun dengan sendirinya akan segera buyar. Dalam keadaan seperti itu, masing- masing tuntutan-tuntutan partikular itu akan dipaksa kembali ke kondisi semula atau yang disebut LM sebagai kondisi logic of difference, yakni kondisi seperti sebelum ada ikatan pemersatu.

1.6.1.3. Pembentukan Subjek

Selain mengadopsi sejumlah konsep dari tradisi linguistik strukturalispoststrukturalis LM juga mengambil sejumlah konsep dari psikoanalisa Lacanian dalam mengembangkan teorinya terutama terkait dengan pembentukan subjek. Menurut St. Sunardi: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37 Lacan memahami seseorang menjadi subjek hanya setelah ia berbahasa. Dengan berbahasa orang mengambil posisi sebagai subjek subject position dalam masyarakat karena dia menyerahkan subject dirinya pada sistem bahasa sebagai sistem perbedaan. Dia mengalami dirinya secara sosial dalam tatanan bahasa. Lacan memandang kesuluruhan bahasa itu sebagai liyan, karena bahasa yang ia pakai bukanlah bahasanya sendiri melainkan bahasa yang sudah ada di masyarakat, yaitu bahasa orang lain, nilai-nilai yang dalam bahasa itu bukanlah nilai-nilainya sendiri melainkan nilai-nilai orang lain. Dalam arti inilah liyan merupakan nama untuk totalitas bahasa yang dipakai seseorang saat dia memasuki masyarakat”. Dengan demikian orang mengalami dirinya saat berhubungan dengan Liyan. 51 Dengan berpijak pada perspektif psikonalisa Lacanian yang seperti itu, LM kemudian memahami bahwa identitas setara dengan identifikasi terhadap sesuatu, dan sesuatu itu merupakan posisi subjek yang ditawarkan wacana kepada individu”. 52 Subjek dalam pemikiran LM selalu berarti “posisi subjek”subject position.Perbincangan tentang proses pembentukan subjek pada dasarnya merupakan soal identifikasi diri. Dalam esainya The Minding Gap: The Subject Politics yang ditulis oleh Ernesto Laclau bersama dengan Lilian Zac dijelaskan bahwa pembentukan subjek politik itu start from the constitutive split of all political identity and try to ground, on that basis, both the notion of an original lack and that of identification as the central categories for politics”. 53 Cukup jelas bahwa, LM memandang bahwa “identifikasi” merupakan kategori utama dalam politikdan ihwal “identifikasi” ini sejajar dengan apa yang disebut Pierre Bordieu terma “mengambil posisi” taking position dalam suatu masyarakat. Robertus Robet, kemudian menegaskan bahwa “subjek” dalam pandangan LM muncul dari gerakan mensubversi realitas sosial yang nyata atau dalam istilah Lacan disebut sebagai “tatanan simbolik”. Dengan kata lain, subjek muncul dari struktur yang terdislokasi 51 Ibid, hlm, 9-10 52 M.W.Jorgensen Louise J.Phillips 2008Op.cit, hlm, 81 53 Ernesto Laclau, ed 1994 The Making of Political Identities, London-New York,Verso,hlm, 6 38 yang kemudian membentuk dari luar dirinya constitutive outside”. 54 Dan harus diingat, meskipun sudah mengambil posisi, namun subjek tidak akan pernah bisa menjadi subjek yang utuh. Subjek senantiasa selalu membawa original lack di dalam dirinya sehingga subjek dalam pandangan LM diidentifikasi sebagai subjek yang terdislokasi, split dan decentred. Subjek yang terdislokasi maksudnya adalah subjek yang mengidentifikasikan dirinya itu senantiasa merasa tidak berada di dalam totalitas terstruktur yang dimasukinya. Lebih lanjut LM menjelaskan bahwa dislokasi merupakan subversi diskursus hegemonik oleh peristiwa-peristiwa yang tidak berhasil didomestifikasi, disimbolisasi atau diintegrasikan ke dalam diskursus. Pada akhirnya, dislokasi-dislokasi itulah yang menjadi fondasi bagi terbentuknya identitas-identitas politik baru. Dengan kata lain, benturan-antagonisme pada dirinya merupakan jalan menuju suatu arah baru identifikasi identitas politik”. 55 Dalam teori pembentukan subjek Lacanian, sejak dari bayi hingga dewasa, seseorang anak senantiasa tidak pernah merasa cukup sesuai dengan citra-citra yang disematkan kepadanya. Itulah sebabnya, Lacan mengatakan subjek itu pada dasarnya adalah subjek yang split terbelah atau subject of lack. Subjek Lacanian adalah subjek yang senantiasa merasa tidak pernah cukup untuk bisa untuk menjadi dirinya sendiri. Jadi, subjek itu adalah subjek decentred. Kalau disebut bahwa subjek adalah subjek yang decentreditu artinya, subjek memperoleh identitasnya diwakili oleh wacana. Di dalam wacana discourse atau praktik kewacanaan tertentu itulah subjek atau posisi subjek ditentukan. Oleh karena itu, seorang individu dapat saja memiliki lebih dari satu kategori identitas yang melekat pada dirinya; tergantung kepada wacana apa yang mengonstruksi dirinya pada momen tertentu. Subjek dalam pandangan LM bukanlah 54 Robertus Robet,2010, Op.cit, hlm, 102-103 55 Ignasius Jaques Juru, Radikalisasi Pluralisme Sebagai Usaha Pengarusutamaan Politik Agonisme dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik JSP, Volume 14 No.2 Novemberi 2010, hlm, 189 39 subjek yang otonom dan mandiri yang ditentukan oleh pusat kesadarannya sebagaimana dipahami Descartes dengan subjekego cogitan-nya itu. Sebagaimana sudah disinggung pada bagian sebelumnya, formasi hegemonik menurut LM harus meliputi pengorganisasian kekuatan-kekuatan sosial yang mengalami bentuk-bentuk subordinasi baru dalam realitas sosial yang nyata tatanan simbolik. Dalam menghadapi berbagai bentuk subordinasi baru itulah, subjek akan mengalami transformasi. Di sana ideologi memiliki peran dalam membentuk subjek baru politik. Ideologi menurut LM berfungsi untuk menyatukan berbagai unsur-unsur atau antagonisme identitas yang plural itu ke dalam sebuah totalitas yang terstruktur walau sifatnya selalu sementara temporer. LM memberi peringatan bahwa selalu ada jarak antara subjek dan struktur. Subjek lantas mengalami apa yang disebut dengan dislokasi dislocation. Kalau Marxisme klasik atau Gramsci memahami adanya kelas utama kelas pekerja sebagai agen utama perubahan sosial maka LM melihat bahwa subjek baru politik atau agen perubahan itu dicirikan oleh adanya pluralitas identitas seperti kaum buruh, feminis, gay, lesbian. Pendek kata subjek politik dalam arti agen aktor perubahan dalam perjuangan demokrasi plural radikal bukan lagi “kelas-pekerja” tetapi agen-agen dengan pluralitas identitasatau semacam asosiasi-asosiasi bebas, seperti gerakan feminisme, LGBT, gerakan lingkungan hidup, gerakan masyarakat adat, gerakanmasyarakat sipil civil society dan lain sebagainya”. 56

1.6.1.4. Pengertian “Gereja Suku” dan “Ruang Publik”

Sebelum memperbincangkan lebih jauh tentang ruang publik tersebut, maka perlu mendefenisikan apa yang dimaksud dengan “gereja suku”. Secara etimologi, istilah “gereja” berasal dari Bahasa Portugis igreja. Istilah ini dipakai untuk menerjemahkan 56 Ignasius Jaques Juru, Radikalisasi Pluralisme Sebagai Usaha Pengarusutamaan Politik Agonisme dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik JSP, Volume 14 No.2 Novemberi 2010, hlm, 189 40 kata ekklêsiabahasa Yunani yang berarti dipanggil keluar ek=keluar; klesia dari kata kaleo=memanggil. Ekklesiaatau gereja igreja berarti kumpulan orang-orang yang dipanggil ke luar. Setidaknya ada tiga komponen yang terkandung dalam pengertian gereja tersebut yakni kumpulan orang-orang lembagakomunitas, ada subjek yang memanggil Tuhan dan transformasi atas kondisi orang-orang yang dipanggil atau dikumpulkan. “Gereja Suku” diartikan suatu komunitas orang kristen yang secara historis terbentuk sebagai buah dari pekerjaan penginjilan zending yang dilakukan terhadap etnis tertentu. Keanggotaaan komunitas kristen “gereja suku” merupakan jaringan yang saling mengenal dan merupakan bagian dari satu keluarga etnis tertentu.Etnis atau etnisitas, seperti kata Daniel Perret adalah “perasaan menjadi bagian dari” yang dibawa seolah-olah sejak lahir dan yang mendasari sebuah identitas budaya ”primordial”. 57 Dalam statusnya yang seperti itu, subjek “gereja suku” adalah subjek “yang lokal” atau “yang partikular”. Sebagai sebuah komunitas agama, komunitas kristen ”gereja suku” bagaimanapun juga memiliki apa yang disebut Habermas dengan tradisi “dunia-kehidupan” labenswelt, good life konsep solidaritas warga demi keadilan serta intuisi-moral weltanschuung. Sebagai komunitas agama, yang didirikan pada alas etnisitas maka dalam derajat tertentu ihwal labenswelt, good life dan weltanschuung yang ada di dalam dirinya, tentulah dihayati bersamaan dengan penghayatan pada nilai- nilai atau tradisi kebudayaan etnisnya. Persis dalam kerangka pemikiran seperti itulah keberadaan subjek komunitas “gereja suku” memiliki keterkaitan dengan pemikiran LM yang mana mereka memperkenalkan pertanyaan-pertanyaan seputar moralitas dan keadilan ke dalam politik 57 Daniel Perret 2010 Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu Sumatera Utara, Jakarta, Kepustakaan Popular Gramedia, hlm,4-6 41 untuk melawan konsepsi demokrasi yang disandarkan pada ekonomi dan partisipasi politik yang bersifat skeptis. Mereka mencari makna-makna baru dari gagasan demokrasi tradisional seperti otonomi, kedaulatan rakyat dan kesetaraan yang tujuannya tidak lain adalah untuk merumuskan ulang gagasan klasik mengenai ruang publik dan menjadikannya sebagai pusat proyek politik. Selengkapnya, Chantal Mouffe mengatakan: Against interest-based conception of democracy, inspired by economicsand skeptical about the virtues of political participation, they wantto introduce questions of morality and justice into politics. Theyare looking for new meanings of traditional democratic notionslike autonomy, popular sovereignty, and equality. Their aim is toreformulate the classical idea of the public sphere, giving it a central place in the democratic project”. 58 Apa yang dikemukakan Mouffe tersebut di atas memperlihatkan adanya pergeseran politik-demokrasi dari model ekonomi ke moral. Dalam perspektif seperti itulah LM mengembangkan konsepsi politik demokrasi deliberatif-nya deliberative democracy di mana konsep ruang publik akan dielaborasi secara penuh. Dengan begitu, maka cukup jelas sebagaimana Habermas tidak hanya memahami ruang publik sebagai locus artikulasi politik tetapi sekaligus juga merupakan tempat menicptakan ruang politis political space demi terwujudnya demokrasi radikal kewarganegaraan radical democratic citizenship. Memang, ada begitu banyak versi dari demokrasi deliberatif tersebut. Namun, Chantal Mouffe mencatat bahwa salah satu gagasan teoritik yang dirumuskan Habermas adalah salah satu yang paling jitu. Demokrasi deliberatif itu bertolak dari tesis yang berlaku umum tentang fungsi hukum sebagai mediator integrasi sosial. Sumber legitimasi hukum sebagai produk politik diperoleh dengan menjadikannya 58 Chantal Mouffe, Deliberative Democracy or Agonistic Pluralisme dalam Jurnal Social Research, Vol.66, No.33 fall1999. 42 terlebih dahulu sebagai diskursus publik. Di Indonesia, wujud material model demokrasi deliberatif ini dikenal sebagai demokrasi permusyawaratan di mana sumber legitimasinya tidak lagi disandarkan pada kumpulan kehendak individu atau “kehendak umum” rakyat tetapi melalui proses pencapaian keputusan-keputusan politik yang berlangsung secara diskursif, argumentatif dan deliberatif”. 59 Dengan kata lain, legitimasi hukum sebagai produk politik yang berfungsi sebagai mediator integrasi sosial dipahami tidak lagi sebagai sarana yang terpisah dari warga negara itu sendiri sebab diskursus hukum itu sendiri lahir melalui proses seleksi publik secara rasional. Singkat kata, demokrasi deliberatif itu sudah mengandaikan adanya ruang publik”. 60 Menurut Habermas, istilah “ruang publik” public sphere hadir untuk membedakan dirinya dengan ruang privat. Dalam perspektif kekuasaan Habermas membagi ruang publik tersebut menjadi dua bagian: Pertama, ruang publik yang tidak dikooptasi kekuasaan yaitu ruang publik yang tumbuh dari dunia-kehidupan dan kedua adalah ruang publik yang dikooptasi oleh kekuasaan. Masing-masing ruang publik ini dikuasai oleh aktor-aktor tertentu. Aktor dalam ruang publik yang tidak dikooptasi oleh kekuasaan adalah para pribumi, karena mereka berasal dari publik itu sendiri dan memiliki akar yang mendalam pada dunia-kehidupan labenswelt. Sementara aktor yang ada di dalam ruang publik yang dikooptasi oleh kekuasaan didominasi oleh aktor pemakai, yaitu aktor-aktor yang tidak tumbuh dalam publik melainkan hadir di depan publik dan menduduki ruang publik di mana mereka memanfaatkan medium uang serta kuasa untuk memperalat publik. Mereka biasanya memiliki identitas sosial yang mapan dan diakui dalam masyarakat Pemikiran Habermas mengenai ruang publik tersebut menyiratkan bahwa sifat dari ruang publik adalah eksklusif. Ia menempati posisi yang tunggal singular, yaitu borjuis”. 61 Berbeda dengan pemikirannya yang pertama, Habermas dalam bukunya Between Facts and Norms 1996 menempatkan ruang publik sebagai ruang yang plural. 59 Istilah Deliberatif berasal dari bahasa Latin deliberatio yang berarti menimbang-nimbang secara rasional, berkonsultasi, atau bermusyawarah secara terbuka. Selanjutnya lihat: Gusti A.B. Menoh 2015 Agama Dalam Ruang Publik, Yogyakarta, Kanisius,hlm,81 60 Ibid, hlm, 84 61 Obed Bima Wicandra, Merebut Kuasa Atas Ruang Publik: Pertarungan Ruang Komunitas Mural di Suarabaya, Program Studi Desain Komunikasi Visual, Universitas Kristen Petra Surbaya,hlm,2 43 Setiap komunitas dan kelompok masyarakat dapat membentuk ruang publiknya sendiri. Pemikiran ini sebagai reaksi atas kritik kaum posmodernisme yang melihat pemikiran ruang publik pertama borjuis sebagai ruang yang cenderung eksklusif. Sedangkan formula inti dari pemikiran ruang publik yang kedua ini adalah varian dari demokrasi yang memfokuskan dirinya pada isu legitimasi politik. Keputusan bisa bersifat legitim apabila keputusan tersebut memperoleh persetujuan rasional melalui partisipasi di dalam pertimbangan mendalam deliberation yang otentik oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap keputusan tersebut. Menurut Habermas, arena untuk berpartisipasi dalam deliberasi tersebut adalah ruang publik”. 62 Sementara itu, HannahArendt, sebagaimana diungkapkan Eddie S. Riyadi Langgut Teremendefenisikan “ruang publik” public sphere sebagai berikut: Sebagai “ruang penampakan” dan sebagai “ruang bersama”.Ruang publik sebagai “ruang penampakan” berarti ruang di mana saya sebagai manusia dikenali sebagai manusia oleh yang lain karena saya “berada di antara manusia” inter homines esse. Ruang publik sebagai ruang penampakan akan memisahkan apa-apa yang tidak relevan dengan kehidupan bersama itu sebagai “masalah privat”, dan karena itu “cahaya kepublikan”, itulah yang menyinari apa yang privat,tetapi bukan sebaliknya”.Sedangkan, ruang publik dalam pengertiannya sebagai “ruang bersama” adalah “dunia bersama” common world, dunia dalam arti dunia yang kita pahami bersama, hidupi bersama, adalah dunia “yang adalah umum atau sama bagi kita semua, yang berbeda dari tempat kita yang privat di dalamnya. Dunia tidaklah sama dengan bumi atau alam. Kalau bumi atau alam adalah ruang bagi seluruh makhluk hidup, maka dunia adalah sebuah kategori khas bagi manusia. Dunia menghubungkan dan sekaligus memisahkan manusia pada waktu yang sama.Ruang publik sebagai dunia bersama menyatukan kita bersama dan mencegah kita untuk saling menelikung. Ruang publik sebagai dunia bersama adalah ruang “di antara” in-between. Dunia bersama memungkinkan manusia untuk hidup bersama dalam arti bahwa “pada esensinya adalah sebuah dunia yang berada di antara mereka yang memilikinya sebagai milik bersama, sebagaimana halnya sebuah meja yang ditempatkan di antara mereka yang duduk mengitarinya. Jika meja itu hilang, maka hilanglah kebersamaan itu”. 63 Menurut Habermas, ruang publik merupakan arena diskursif yang berbeda dan terpisah dari ekonomi dan negara. Di sanalah para warga negara berpartisipasi dalam politik dengan bertindak melalui dialog dan debat. Habermas juga menambahkan bahwa 62 Ibid 63 Eddie S.Riyadi Langgut Tere, makalah Manusia Politis Menurut Hannah ArendtPertautan antara Tindakan dan Ruang Publik, Kebebasan dan Pluralitas, dan Upaya Memanusiawikan Kekuasaan”. Disampaikan pada Kuliah Umum Filsafat Salihara, Totalitarianisme Menurut Hannah Arendt, 20 April 2011. Komunitas Salihara Jakarta, hlm, 5 44 ruang publik merupakan ruang otonom yang berbeda dari negara dan pasar. Ia otonom karena tidak hidup dari kekuasaan administratif maupun ekonomi kapitalis melainkan dari labenswelt atau civil society”. 64 Di ruang publik itu, tidak ada satu tradisi atau budaya agama apapun yang boleh mengklaim komitmen etisnya sendiri sebagai satu-satunya norma bagi semua pihak. Yang dimungkinkan adalah masing-masing tradisiatau dunia-kehidupan labenswelt sebuah komunitas agama diperkenankan masuk ke sana dan diskursus labesnwelt-nya bisa hanya bisa diterima menjadi diskursus publik kalau diskursus keagamaan yang hendak diajukan itu memiliki argumentasi rasional-universal, mengandung good life dan intuisi moral weltanschuung yang bisa mendorong tumbuhnya solidaritas sosial diantara beragam elemen masyarakat sipil yang ada di dalamya. Tumbuhnya solidaritas sosial di ruang publik yang diekspresikan lewat perjuangan-perjuangan demokratik baru new democratic strugles merupakan momen penciptaan “ruang politis” political space atau pembentukan masyarakat. Pemahaman ruang publik ini, menjadi dasar untuk mendeskripsikan bagaimana subjek komunitas kristen “gereja suku” – GKPS - yang direpresentasikan oleh Komunitas CUM “Talenta” membentuk suatu masyarakat di ruang publiknya di pedesaan Simalungun. Adapun “ruang publik” public sphere yang dimaksud dalam konteks penelitian ini adalah ruang publik yang informal yakni dunia kehidupan masyarakat sipil yang tidak dikooptasi negara ataupun pasar. 64 Gusti A.B.Menoh 2015 Op.cit, hlm, 85 45 1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Posisi peneliti

Dokumen yang terkait

Studi Komparatif Peran Koperasi dan Credit Union (CU) Terhadap Pengembangan Usaha Mikro Kecil (UMK) di Kecamatan Medan Area

1 74 105

Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Credit Union (Studi deskriptif mengenai Kopdit/CU Cinta Kasih di Pulo Brayan, Medan)

3 99 107

Credit Union Sebagai Usaha Pemberdayaan Masyarakat ( Studi Deskriptif Usaha Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Tukka Kecamatan Pakkat Kabupaten Humbahas)

3 77 127

Evaluasi penyusunan laporan keuangan credit union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) : studi kasus di Credit Union Pancur Kasih tempat pelayanan pemangkat.

3 25 189

Evaluasi penyajian laporan keuangan Credit Union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) revisi tahun 2013. Studi kasus di Credit Union Barerod Gratia.

0 0 143

Analisis tingkat kesehatan keuangan credit union studi kasus pada credit union Lantang Tipo, Credit Union Bima dan Credit Union Keling Kumang di Kalimantan Barat.

3 21 233

Evaluasi penyusunan laporan keuangan credit union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) studi kasus di Credit Union Pancur Kasih tempat pelayanan pemangkat

2 25 187

Artikulasi kolektif masyarakat Dayak melawan perusahaan PT. Ledo Lestari (studi kasus tentang konflik agraria di Desa Semunying Jaya dalam perspektif Hegemoni Ernesto Laclau-chantal Mouffe).

4 16 126

Evaluasi penyajian laporan keuangan Credit Union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) revisi tahun 2013. Studi kasus di Credit Union Barerod Gratia

0 0 141

HEGEMONI SOSIAL DAN POLITIK IDENTITAS PUTRA DAERAH JAMBI

0 0 27