91
informal microfinance yang tidak mengharuskan adanya badan hukum tersendiri untuk penyelenggaraannya, namun MPA tetap terbuka peluang atau kemungkinan untuk
melembagakan wacana CUM itu secara yuridis formal sehingga bisa memiliki badan hukum tersendiri. Menurut MPA hal itu dapat dilakukan kalau suatu komunitas CUM
yang terbentuk sudah bisa berkembang dan mandiri. Permohonan badan hukumnya dapat diajukan ke Departemen Kehakiman”.
145
Mengapa ke departemen kehakiman? Menurut MPA, hal itu dilakukan karena di dalam CUM diwujudkan perserikatan
kooperatif gessellschaft dan prinsip komunitaspersekutuan gemeinschaft sehingga tidak tepat untuk menyebut CUM sebagai bagian dari usaha koperasi atau
sejenisnya”.
146
MPA menambahkan, dalam hal suatu komunitas CUM belum berbadan hukum tersendiri maka kesepakatan subyek-subyek hukum untuk menggabungkan diri dalam
suatu ikatan yang berkaitan dengan kebutuhan perikatannya, mengacu kepada KUH Perdata pasal 1338. Kesepakatan itulah yang menjadi undang-undang bagi masing-
masing subyek dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak”.
147
3.2.3. Pola Hubungan Komunitas CUM Dengan Gereja
Untuk melihat secara bagaimana pola hubungan suatu komunitas CUM dengan Gereja dikonstruksi secara ideal maka pola hubungan atau relasi diantara keduanya lebih baik
dilihat dari perspektif Pedoman Umum Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ADART CUM tahun 2007 yang dirumuskan MPA.
145
MP.Ambarita 2007, Op.cit, hlm, 30
146
Ibid, hlm, 6.Gemeinschaft merupakan ikatan sosial karena adanya factor unity of will. Bisa berupa ikatan kekerabatan termasuk di dalamnya ikatan kinship, klan, marga dan lain-lain sementara
Gesselschaft lebih diikat oleh adanya kesamaan self interest. Realitasnya di dalam masyarakat, komunitas bisa dibangun atas campuran antara dua ciri ikatan di atas.
147
Ibid
92
Dalam Pedoman Umum Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ADART CUM yang mengatur tentang mekanisme internal dan struktur kelembagaan
komunitas CUM terlihat dengan sangat jelas bahwa dalam struktur kelembagaannya, Gereja dalam arti “Pimpinan Gereja” yang menaunginya diposisikan sebagai Pembina.
Sebagai Pembina, Gereja bertugas mengawal, mengawasi dan sekaligus mengarahkan komunitas CUM agar senantiasa berjalan pada visi dan misi gereja. Maksud dan tujuan
memosisikan Gereja sebagai Pembina dimaksudkan agar aktivitas CUM senantiasa berjalan sesuai dengan program Gereja yaitu sebagai pemberdayaan jemaat”.
148
Sebagai Pembina, Gereja memiliki kekuasaan atau otoritas untuk membubarkan suatu komunitas CUM yang diselenggarakan dalam struktur kelembagaan gereja yang
mewadahinya. Dalam rumusan pedoman umum anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ADART CUM pada bab XIV pasal 27 tentang “Pembubaran” komunitas
CUM disebutkan bahwa: Pembubaran credit union modifikasi dapat dilakukan oleh Pembina Gereja… dengan alasan sebagai berikut:
a. Credit union modifikasi tidak lagi menjalankan ADART yang disepakati. b. Dalam penilaian Pembina Gereja… Credit Union Modifikasi tidak dapat
lagi melangsungkan hidupnya”.
149
Selain itu, pola hubungan suatu komunitas CUM dengan Gereja juga tampak dikonstruksi dalam kaitannya dengan harta kekayaan komunitas CUM. MPA
mengatakan bahwa: Kekayaan CUM adalah berdiri sendiri, tidak termasuk kekayaan gereja.
Kekayaan CUM adalah milik anggota CUM, namun dari hasil usahakegiatan CUM maka sebagian dapat diserahkan untuk menunjang pelayanan gereja tetapi
tidak boleh dianggap sebagai sumber Kas Umum Gereja. Gereja yang hidup adalah bila seluruh kegiatan Gereja yang dibiayai dari Kas Umum menjadi
148
Selanjutnya lihat: Pedoman umum Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ADART CUM, pasal 16 dalam MP.Ambarita 2007 Op.cit, hlm,17
149
Ibid, hlm, 19
93
tanggungjawab jemaat, atau dengan kata lain jemaat harus bertanggungjawab atas kecukupan Kas Umum Gereja”.
150
Bertolak dari penjelasan tersebut di atas, terlihat dengan jelas gereja tidak memiliki hak dan wewenang untuk memiliki dan mempergunakan harta kekayaan suatu
komunitas CUM. Jadi, kedaulatan dalam hal kepemilikan dan penggunaan harta kekayaan suatu komunitas CUM hanya ada pada anggota.
Namun, sesuatu yang kontradiktif bahkan ambigu dalam pola relasi suatu komunitas CUM dengan Gereja terlihat dalam konstruksi struktur kelembagaannya di
mana kedaulatan anggota tampak direduksi ketika Pimpinan Gereja, diberi otoritas diberi kuasa untuk mensahkan siapa yang akan menjadi Penasehat Komunitas CUM
yang diusulkan oleh anggota melalui rapat anggota. Dalam buku Pedoman Umum ADART CUM, bab VIII pasal 17 ayat 1 dictum-nya menyebutkan: bagi kepentingan
CUM, rapat anggota dapat mengusulkan Penasehat yang disahkan oleh Majelis Gereja. Sementara itu, pada bagian lain dalam pedoman umum ADART CUM, bab XIII
tentang “Rapat-rapat” Rapat anggota pasal 23, disebutkan bahwa: rapat anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di dalam Credit Union Modifikasi maka
setiap anggota berhak dan berkewajiban menghadirinya”.
151
Pola hubungan antara CUM dan Gereja sebagaimana yang sudah diceritakan di atas, menjelaskan bahwa pada satu sisi anggota melalui Rapat Anggota Tahunan RAT
disebut merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu komunitas CUM namun pada sisi yang lain, institusi Gereja melalui pimpinannya tampak memiliki hak atau
otoritas yang justru melampaui kekuasaan kedaulatan anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sebab berdasarkan pasal 27 tersebut Gereja memiliki otoritas
150
Ibid, hlm, 6
151
Ibid
94
kekuasaan untuk membubarkan suatu komunitas CUM. Dalam pedoman umum ADART komunitas CUM, pasal 25 tentang fungsi “Rapat anggota Tahunan”
disebutkan bahwa instansi yang memiliki hak untuk menilai dan mensahkan laporan Pengurus dan Badan Pengawas adalah Rapat Anggota Tahunan RAT.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pola hubungan atau relasi suatu komunitas CUM yang tidak berbadan hukum tersendiri dengan Gereja
yang menaunginya tampak dikonstruksi secara ambigu dua wajah. Pada satu sisi, posisi institusi Gereja menjadi semacam “struktur mediasi” bagi penyelenggaraan
praktik diskursif CUM di mana suatu komunitas CUM merupakan entitas yang otonom dan mandiri. Pada sisi yang lain, relasi di antara keduanya tampak dikonstruksi secara
hirarkis-struktural patron-client di mana suatu komunitas CUM yang tidak atau belum berbadan hukum tersendiri merupakan komunitas yang berada dalam in-subordinasi
institusi Gereja.
3.2.4. Ideologi dan Masyarakat yang Dicita-citakan