Identitas politik ``gereja suku`` di ruang publik (studi tentang komunitas credit union modifikasi (CUM) ``talenta`` berdasarkan perspektif hegemoni ernesto laclau dan chantal mouffe).

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini (Identitas Politik “Gereja Suku” di Ruang Publik) memaparKomunitas Credit

Union Modifikasi (CUM) “Talenta” dalam mengartikulasikan identitas politik GKPS sebagai sebuah “gereja suku” di ruang publiknya di pedesaan Simalungun.

Persoalan bermula dari ketidakmampuan GKPS untuk memberi respon etis terhadap krisis sosial ekonomi (solidaritas sosial jemaat di pedesaan yang mulai melorot dan kesulitan dalam mengakses fasilitas permodalan dari Lembaga Keuangan Mikro formal (seperti: BRI-UD, BPR, dan lain sebagainya) yang beroperasi di pedesaan Simalungun.

Tujuan penelitian dilakukan untuk mengetahui tiga persoalan utama yakni:1). Apa dan bagaimana latar belakang kemunculan wacana CUM sebagai sebuah sistem pemberdayaan ekonomi jemaat versi kristiani,2). Sejauhmana Komunitas CUM “Talenta”

mampu mengartikulasikan identitas politik GKPS di ruang publiknya di pedesaan Simalungun, 3). Perjuangan-perjuangan demokratik baru yang seperti apa yang dilakukan

Komunitas CUM “Talenta” sehingga tercipta “ruang politis” di ruang publiknya di

pedesaan Simalungun. Metode pengumpulan data dikerjakan dengan melakukan studi lapangan: mengumpulkan dokumen, observasi, wawancara, dan studi literatur, sedangkan metode analisis dikerjakan mengikuti kaidah hermeneutik-etnografis dengan menggunakan teori hegemoni yang dikembangkan Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe sebagai piranti analisisnya.

Penelitian ini telah mengungkap keberadaan UU Bank No. 10 tahun 1998 dan UU Perseroan Terbatas (PT) No. 1 tahun 1995, yang membuat institusi gereja secara legal formal tidak diijinkan mendirikan Bank serta ketidakfelksibelan wacana BPR untuk digunakan sebagai instrumen pelayanan pemberdayaan eknomi jemaat hingga pelosok pedesaan di mana gereja berada, telah mendorong kemunculan wacana CUM sebagai wacana alternatifnya. Meskipun secara legal formalKomunitas CUM “Talenta” tidak lahir

dari “rahim” institusi GKPS namun ia berhasil menciptakan “ruang politis” dengan

mengklaim diri sebagai “bidang diakonia” GKPS. Selain itu, “ruang politis” lain juga berhasil diciptakannya melalui pendirian perusahaan bersama (berbadan hukum:

CV.Talenta), padahal Komunitas CUM “Talenta” sendiri tidak atau belum berbadan

hukum. Godaan dari Rabo Bank untuk memberi suntikan dana (walau kemudian ditolak) serta keputusannya mengubah nama dirinya menjadi Komunitas“Credo Union Modifikasi”

(menghindarkan diri dari pungutan pajak) menunjukkan keberhasilannya menciptakan ruangpolitis di ruang publiknya di pedesaan Simalungun.

Kata-kata kunci: identitas, politik, hegemoni, antagonisme, subjek politik, ruang publik, wacana, titik nodal, penanda utama, penanda kosong, rantai persamaan, credit union modifikasi,


(2)

ABSTRACT

The research (Identitas Politik “Gereja Suku” di Ruang Publik, The Political Identity of "The Church of Etnic” in the Public Sphere) elaborates the “Talenta” Community of Credit Union Modification (CUM) on the articulating of political identity of GKPS as a "church rate" in the public sphere in the countryside of Simalungun.

The problem is start to emerge by the inability of GKPS to give ethically respond to the crisis of the socio-economic (social solidarity of the church in the countryside began to sag and there is a difficulty in accessing capital facilities of formal Microfinance Institutions (BRI-UD, BPR, etc.) operating in the countryside of Simalungun.

The aim of this research was conducted to determine three main issues namely: 1). What and how the background emergence of discourse CUM as a Christian church version of economic empowerment system. 2). The extent of Community CUM "Talenta" GKPS’s

ability to articulate a political identity in the public sphere in rural Simalungun, 3). What kind of new democratic struggles done by the Community CUM "Talenta", in order to create "political space" in the public space in the countryside Simalungun. Methods of data collection is done by conducting field studies: collecting documents, observation, interview, and literature study, whereas the method of analysis is done by following the rules of hermeneutics-ethnographic by using the theory of hegemony developed by Ernesto Laclau and Chantal Mouffe as a tool of analysis.

This study has revealed the existence of the Law of Bank No. 10 of 1998 and the Law of Perseroan Terbatas (P.T.) ( Limited Liability Company ) No. 1 of 1995, which made the church institutions are legally not allowed to establish a Bank and also the inflexibility of the BPR’s (Public Bank of Credit) discourse to be used as an instrument of economics empowerment services that reach to remote rural area in which a church is located. It has prompted the emergence of CUM’s discourse as an alternative discourse. Although formally and legally the Community CUM "Talenta" was not born from the “womb" of GKPS, it has managed to create a "political space" by a self-proclaimed act of being an "institution of diakonia" of GKPS. In addition, another "political space" is also successfully created through the establishment of joint companies (incorporated: CV.TALENTA), although the Community CUM “Talenta” itself is not yet a legal entity. The temptation of Rabo Bank to give an injection of funds (although being rejected later on) as well as the decision to rename itself into the Community of "Credo Union Modifications" (for avoiding the tax) showed a success of CUM “Talenta” in creating political space in public spaces in the rural of Simalungun.

Key words: identity, politics, hegemony, antagonism, the subject of politics, the public sphere, discourse, nodal point, master signifier, empty signifier, chain of equivalence, modification of credit union.


(3)

IDENTITAS POLITIK “GEREJA SUKU” DI RUANG PUBLIK

(Studi Tentang Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) ”Talenta”

Berdasarkan Perspektif Hegemoni Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe)

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum)

Oleh:

Mardison SM Simanjorang NIM: 106322005

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

TESIS

IDENTITAS POLITIK “GEREJA SUKU” DI RUANG PUBLIK

(Studi Tentang Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) ”Talenta”

Berdasarkan Perspektif Hegemoni Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe)

Oleh:

Mardison SM Simanjorang NIM: 106322005

Telah disetujui oleh:

Dr. St. Sunardi ……….………

Pembimbing I 27 Agustus 2015

Dr. Gregorius Budi Subanar.SJ ………


(5)

TESIS

IDENTITAS POLITIK “GEREJA SUKU” DI RUANG PUBLIK

(Studi Tentang Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) ”Talenta”

Berdasarkan Perspektif Hegemoni Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe)

Oleh:

Mardison SM Simanjorang NIM: 106322005

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis Pada tanggal, 27 Agustus 2015

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Tim Penguji:

Ketua :Dr. Gregorius Budi Subanar.SJ .……….

Sekretaris/Moderator :Dr. des. Vissia Ita Yulianto .…...………….

Anggota : 1. Dr. St.Sunardi ……….…

2. Dr. Gregorius Budi Subanar.SJ .………

3. Y.Tri Subagya.MA ……….

Yogyakarta, 27 Agustus 2015 Direktur Porgram Pasca Sarjana


(6)

PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Maridison SM Simanjorang

NIM : 106322005

Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya

Universitas : Sanata Dharma

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis ini:

Judul : Identitas Politik Gereja Suku di Ruang Publik (Studi Tentang Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) “Talenta” Berdasarkan Perspektif Politik Hegemoni Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe

Pembimbing : 1. Dr. St. Sunardi

: 2. Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J Tanggal diuji : 27 Agustus 2015

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam tesis ini, tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya. Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.

Yogyakarta, 27 Agustus 2015 Yang memberikan pernyataan


(7)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Nama : Mardison SM Simanjorang

NIM : 106322005

Program : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul:

IDENTITAS POLITIK “GEREJA SUKU” DI RUANG PUBLIK (Studi Tentang Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) ”Talenta” Berdasarkan Perspektif Hegemoni Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe)

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di: Yogyakarta

Pada tanggal: 27 Agustus 2015 Yang menyatakan


(8)

Daftar Singkatan

BMT-PAS :Baitul Maal wat TamwilProjo Artha Sejahtera

BRI-UD : Bank Rakyat Indonesia Unit Desa

BPR-PPK : Bank Perkreditan Rakyat Indonesia-Pijer Podi Kekelengen

CU : Credit Union

CUM : Credit Union Modifikasi

DGD : Dewan Gereja Dunia

GB :Grameen Bank

GBKP : Gereja Batak Karo Protestan

GKPI : Gereja Kristen Protestan Indonesia

GKPPD : Gereja Kristen Pak-pak Dairi

GKPS : Gereja Kristen Protestan Simalungun

HKI : Huria Kristen Indonesia

HKBP : Huria Kristen Batak Protestan

JWS : Jaulung Wismar Saragih

LGBT : Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender

LKM : Lembaga Keuangan Mikro

LM : Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe

PB : Perjanjian Baru

PGI : Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia

PL : Perjanjian Lama

PELPEM : Pelayanan Pembangunan

PT : Perseroan Terbatas

RAT : Rapat Anggota Tahunan

RMG :Rheische Mission Gesselschaft

SB :Sinode Bolon


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Tiga jenis Lembaga Keuangan Mikro

Tabel 2: Tiga Jenis Lembaga Keuangan Mikro: Persamaan dan Perbedaannya Tabel 3: Perbedaan CU dengan Bank Komersial dan BPR

Tabel 4: Materi Pendidikan dan Pelatihan CUM

Tabel 5: Gambaran Umum Pertumbuhan unit, calon unit dan bakal calon unit Komunitas CUM “Talenta”hingga tahun 2011

Tabel 6: Jumlah anggota Komunitas CUM “Talenta” per 31 Desember 2011

Tabel 7: Pertumbuhan dan Perkembangan Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) Talenta 2007-2011

Tabel 8: Tuntutan dan Konstruksi Rantai Ekuivalensi (chain Of equivalence)


(10)

KATA PENGANTAR

Tesis Identitas Politik “Gereja Suku” di Ruang Publik, yang memaparkan bagaimana sebuah Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) “Talenta” merepresentasikan kedirian

subjek “Gereja Suku” yakni Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di ruang publik ini ditulis untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.

Proses penelitian dan penulisan tesis ini telah melibatkan banyak pihak lewat serangkaian diskusi di ruang Palma maupun di berbagai tempat lainnya di seputar kota

Yogyakarta, Semarang, Klaten. “Cepat ada yang dituju, lambat ada yang ditunggu”.

Pepatah ini mewakili keseluruhan persaan saya dalam melakukan proses penyelesaian penulisan tesis ini. Tanpa kehadiran dan bantuan dari berbagai pihak, tentu penelitian ini tidaklah mungkin dapat diselesaikan. Karena itulah saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana IRB Universitas Sanata Dharma Yogyakarta angkatan 2010; Mas Benny Setiawan, Irfan, Zuhdi, Nelly, Lisis, Gintani, Pongkot, Mando, Alwi, Windarto, Amsa Saefuddin.

2. Mas Jun, (Junior Hafij Hery) untuk diskusi postmarxis LM, Lacan dan Zizek yang kita lakukan berdua dan berkali-kali di rumah yang tenang di Klaten itu.

3. Pak St. Sunardi (Pembimbing), Romo. G. Budi Subanar (Penguji sekaligus Ka.Prodi IRB Universitas Sanata Dharma), Pak Y.Tri Subagya (Penguji) dan ibu Des Vissia Ita Yulianto yang menjadi moderator dalam pengujian tesis ini.

4. Rekan-rekan Pendeta (muda) GKPS pendiri dan manajer Komunitas CUM

“Talenta”:

• Pdt. Liharson Sigiro, Pdt. Syahrudin Sinaga, Pdt. Kelurenca Rumahorbo dari mereka saya telah memperoleh data (awal) primer tambahan dan data-data sekunder.


(11)

• Bapak Damanik (Bandar Purba), ibu LS (Saribudolok), bapak RP (Buah Bolon), bapak Sianipar (Saribudolok), bapak Sutrisno beserta ibu, semuanya

adalah anggota Komunitas CUM “Talenta” yang telah bersedia

diwawancarai terutama untuk mengetahui manfaat kehadiran Komunitas

CUM “Talenta”.

5. Bapak MP.Ambarita, meski telah berusia lanjut tetapi tampak masih bertenaga dan bersemangat dalam mendidik dan melatih para pelayan gereja (Pendeta dan Diakones).

6. Sekretariat IRB (mbak Desy), atas kesabarannya setiap waktu mengingatkan penyelesaian tesis ini.

7. Pimpinan Pusat GKPS di Pamatang Siantar yang telah sudi memberi rekomendasi untuk studi lanjutan ini.

8. Martin Lukito Sinaga, saudara dan juga teman berdiskusi di seputarcultural studies

dan kaitannya dengan pergulatan gereja.

9. Orang tuaku, T.Simanjorang/N br Saragih di Berastagi, yang senantiasa memberi dorongan dan doa untuk penyelesaian tesis ini.

10. Istriku (Melly Damanik) dan anak-anakku (Pauline Mard Manjorang dan adiknya Palma Ernesto Laclau Simanjorang) atas dukungannya.

11. Setiap orang yang terlibat dalam membantu penulisan tesis ini yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Tentu, tidak ada gading yang tak retak. Demikian juga tesis ini mengandung sejumlah kelemahan. Meskipun disadari, tesis ini memiliki kelemahan dan tidak sempurna, kiranya pembaca dapat memperoleh manfaat dari isinya. Keseluruhan isi tesis (penulisan teknis, maupun substansi) sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis. Terima kasih. Selamat membaca.

Yogyakarta,


(12)

ABSTRAK

Penelitian ini (Identitas Politik “Gereja Suku” di Ruang Publik) memaparKomunitas Credit

Union Modifikasi (CUM) “Talenta” dalam mengartikulasikan identitas politik GKPS sebagai sebuah “gereja suku” di ruang publiknya di pedesaan Simalungun.

Persoalan bermula dari ketidakmampuan GKPS untuk memberi respon etis terhadap krisis sosial ekonomi (solidaritas sosial jemaat di pedesaan yang mulai melorot dan kesulitan dalam mengakses fasilitas permodalan dari Lembaga Keuangan Mikro formal (seperti: BRI-UD, BPR, dan lain sebagainya) yang beroperasi di pedesaan Simalungun.

Tujuan penelitian dilakukan untuk mengetahui tiga persoalan utama yakni:1). Apa dan bagaimana latar belakang kemunculan wacana CUM sebagai sebuah sistem pemberdayaan ekonomi jemaat versi kristiani,2). Sejauhmana Komunitas CUM “Talenta”

mampu mengartikulasikan identitas politik GKPS di ruang publiknya di pedesaan Simalungun, 3). Perjuangan-perjuangan demokratik baru yang seperti apa yang dilakukan

Komunitas CUM “Talenta” sehingga tercipta “ruang politis” di ruang publiknya di

pedesaan Simalungun. Metode pengumpulan data dikerjakan dengan melakukan studi lapangan: mengumpulkan dokumen, observasi, wawancara, dan studi literatur, sedangkan metode analisis dikerjakan mengikuti kaidah hermeneutik-etnografis dengan menggunakan teori hegemoni yang dikembangkan Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe sebagai piranti analisisnya.

Penelitian ini telah mengungkap keberadaan UU Bank No. 10 tahun 1998 dan UU Perseroan Terbatas (PT) No. 1 tahun 1995, yang membuat institusi gereja secara legal formal tidak diijinkan mendirikan Bank serta ketidakfelksibelan wacana BPR untuk digunakan sebagai instrumen pelayanan pemberdayaan eknomi jemaat hingga pelosok pedesaan di mana gereja berada, telah mendorong kemunculan wacana CUM sebagai wacana alternatifnya. Meskipun secara legal formalKomunitas CUM “Talenta” tidak lahir

dari “rahim” institusi GKPS namun ia berhasil menciptakan “ruang politis” dengan

mengklaim diri sebagai “bidang diakonia” GKPS. Selain itu, “ruang politis” lain juga berhasil diciptakannya melalui pendirian perusahaan bersama (berbadan hukum:

CV.Talenta), padahal Komunitas CUM “Talenta” sendiri tidak atau belum berbadan

hukum. Godaan dari Rabo Bank untuk memberi suntikan dana (walau kemudian ditolak) serta keputusannya mengubah nama dirinya menjadi Komunitas“Credo Union Modifikasi”

(menghindarkan diri dari pungutan pajak) menunjukkan keberhasilannya menciptakan ruangpolitis di ruang publiknya di pedesaan Simalungun.

Kata-kata kunci: identitas, politik, hegemoni, antagonisme, subjek politik, ruang publik, wacana, titik nodal, penanda utama, penanda kosong, rantai persamaan, credit union modifikasi,


(13)

ABSTRACT

The research (Identitas Politik “Gereja Suku” di Ruang Publik, The Political Identity of "The Church of Etnic” in the Public Sphere) elaborates the “Talenta” Community of Credit Union Modification (CUM) on the articulating of political identity of GKPS as a "church rate" in the public sphere in the countryside of Simalungun.

The problem is start to emerge by the inability of GKPS to give ethically respond to the crisis of the socio-economic (social solidarity of the church in the countryside began to sag and there is a difficulty in accessing capital facilities of formal Microfinance Institutions (BRI-UD, BPR, etc.) operating in the countryside of Simalungun.

The aim of this research was conducted to determine three main issues namely: 1). What and how the background emergence of discourse CUM as a Christian church version of economic empowerment system. 2). The extent of Community CUM "Talenta" GKPS’s

ability to articulate a political identity in the public sphere in rural Simalungun, 3). What kind of new democratic struggles done by the Community CUM "Talenta", in order to create "political space" in the public space in the countryside Simalungun. Methods of data collection is done by conducting field studies: collecting documents, observation, interview, and literature study, whereas the method of analysis is done by following the rules of hermeneutics-ethnographic by using the theory of hegemony developed by Ernesto Laclau and Chantal Mouffe as a tool of analysis.

This study has revealed the existence of the Law of Bank No. 10 of 1998 and the Law of Perseroan Terbatas (P.T.) ( Limited Liability Company ) No. 1 of 1995, which made the church institutions are legally not allowed to establish a Bank and also the inflexibility of the BPR’s (Public Bank of Credit) discourse to be used as an instrument of economics empowerment services that reach to remote rural area in which a church is located. It has prompted the emergence of CUM’s discourse as an alternative discourse. Although formally and legally the Community CUM "Talenta" was not born from the “womb" of GKPS, it has managed to create a "political space" by a self-proclaimed act of being an "institution of diakonia" of GKPS. In addition, another "political space" is also successfully created through the establishment of joint companies (incorporated: CV.TALENTA), although the Community CUM “Talenta” itself is not yet a legal entity. The temptation of Rabo Bank to give an injection of funds (although being rejected later on) as well as the decision to rename itself into the Community of "Credo Union Modifications" (for avoiding the tax) showed a success of CUM “Talenta” in creating political space in public spaces in the rural of Simalungun.

Key words: identity, politics, hegemony, antagonism, the subject of politics, the public sphere, discourse, nodal point, master signifier, empty signifier, chain of equivalence, modification of credit union.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman Judul……… ……..………..………...i

Lembar Persetujuan…..………..………..ii

Lembar Pengesahan….……….………....iii

Pernyataan Keaslian ……….………...iv

Pernyataan Persetujuan Publikasi………..……….…v

Daftar Singkatan………..……….…vi

Daftar Tabel……….vii

Kata Pengantar ………...viii

Abstrak………......x

Daftar Isi..……….….xi

BAB I: PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan………..………….…....1

1.2. Rumusan Permasalahan………..……….…..………....…...18

1.3. Tujuan Penelitian…..………..………...19

1.4. Manfaat Penelitian.….……….…...19

1.5. Tinjauan Pustaka………..…...19

1.6. Kerangka Teori…..……….……….….……...25

1.6.1. Identitas Politik: Hegemoni, Antagonisme, dan Pembentukan Subjek Dalam Pemikiran Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe…..……….25

1.6.1.1. Hegemon-Artikulasi……….….25

1.6.1.2. Antagonisme………..………..….33

1.6.1.3. Pembentukan Subjek….……….….………36

1.6.1.4. Pengertian “Gereja Suku” dan “Ruang Publik”………...39

1.7. Metode Penelitian………...45

1.7.1. Posisi Peneliti.………..…...45

1.7.2. Sumber Data dan Teknik Memperoleh Data..………....46

1.7.3. Pengolahan Data/Analisis………..………...49


(15)

BAB II : Gereja di Era Kapitalisme Neoliberal: Urgensi Menghadirkan Sistem Ekonomi Mikro Alternatif

2.1. Pengantar………51

2.2. Gereja di Era Globalisasi Kapitalisme Neoliberal: Urgensi Menghadirkan Sistem Ekonomi Mikro Alternatif………..………...51

2.2.1. Konteks Oikumenis.………51

2.2.2. Sejarah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia: Pengertian, Perkembangan, Peta Persoalan dan Jenis-jenisnya………..……...59

2.2.2.1. Pengertian LKM……..………..………..…….59

2.2.2.2. Perkembangan dan Peta Persoalannya….………..………..60

2.2.2.3. Jenis-Jenisnya...……….………70

2.3. Perdebatan Seputar Credit Union (CU): Antara Gerakan Ekonomi atau Gerakan Sosial………...73

BAB III. Gereja Suku di Ruang Publik: Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS)Dalam Diri Komunitas CUM “Talenta” 3.1.Pengantar………..………..82 3.2. Mengenal Wacana CUM Sebagai Sistem Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan Alternatif……… ……….…..…………..83

3.2.1. MP. Ambarita dan Kisah Awal Munculnya Wacana CUM...………...…….83

3.2.2. Posisi wacana CUM di antara LKM yang ada di Indonesia.………..…..…88

3.2.3. Pola Hubungan Komunitas CUM dengan Gereja.……….91

3.2.4. Ideologi dan Masyarakat Yang Dicita-citakan……....………...……...94

3.2.5. Pendidikan dan Pelatihan Calon Pengelola (Manajer) CUM…..……….….98

3.3. Konkretisasi Wacana CUM ke Dalam Konteks GKPS..………...102

3.3.1. Sekilas Tentang GKPS………..….………...102

3.3.2. GKPS: Kisah Awal GKPS Mengenal Wacana CUM…....………....104


(16)

3.3.4. Memperluas Keanggotaan Komunitas CUM “Talenta”: Membangun Kelompok

(unit) di Basis Jemaat...………...…….……….112

3.4.Hubungan Komunitas CUM “Talenta”Dengan GKPS………118

3.4.1. Klaim Sebagai Bidang Pelayanan GKPS....………...118

3.4.2. Program Dan Aktivitas Yang Dilakukan..………..121

3.4.2.1. Menciptakan Modal Bersama: Melawan Bank Dan Rentenir..………..…...121

3.4.2.2. Memaknai (ulang)Haroan BolonSimalungun……….….…….122

3.4.2.3. MemotongroutePemasaran Kopi: Mendirikan Perusahaan (CV.Talenta)....124

3.5. Perkembangan Komunitas CUM Talenta dan Manfaat yang Dirasakan Anggota.…..125

3.5.1. Dinamika Organisasi….……….………...…..128

3.5.1.1. Internal……….………...128

3.5.1.2. Eksternal……….…………..………….…..130

3.6. Keterbatasan Dana Pinjaman dan Godaan Rabo Bank.………….……..…….…….131

BAB IV: Identitas Politik “Gereja Suku”: Dari Gerakan Ekonomi Ke Gerakan Politik 4.1. Pengantar.……….…133

4.2. Hegemoni, Antagonisme dan Persoalan Identitas Subjek Dalam Konteks Kemunculan Wacana CUM....………..…….135

4.2.1. Identitas (posisi subjek) MP.Ambarita Sebagai Penemu Gagasan CUM....…..135

4.2.2. Pendidikan dan Pelatihan Calon Pengelola (Manajer) CUM: Strategi Diskursif Membangun Formasi Hegemoni Tandingan..………..….148

4.3. Artikulasi IdentitasPolitik “Gereja Suku”(GKPS) dan Representasinya Oleh Komunitas CUM “Talenta”………..153

4.3.1. Tuntutannya (demands).……….………...155

4.3.2. “Diakonia”Sebagai “Penanda Kosong” ………..…..…………..161

4.3.3. Logika Persamaan Dan Logika Perbedaan Dalam Formasi Hegemonik Komunitas CUM “Talenta”………..…………..……...164

4.3.4. Identitas Politik dan Representasinya…..….……….……167


(17)

4.3.4.2. Memaknai (ulang)Haroan BolonSimalungun: Siasat Melawan

Individualisme………....168

4.3.4.3. Menolak Rayuan Agen Neolib (Rabo Bank)…..……….…..170 4.3.4.4. Mendirikan Perusahaan (CV.Talenta): Memotong Jalur Pemasaran Kopi...172 4.3.4.5. Mengubah Tanda Pengenal Diri: Dari komunitas“Credit” ke Komunitas

“Credo”: Siasat melawan intervensi Pemerintah…………..……….174

BAB V: Penutup: Kesimpulan dan Refleksi

5.1. Kesimpulan……….……….…………176

5.2. Refleksi ....……..………..……...178

Daftar Pustaka………..……….………180


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Dalam sebuah laporan dan analisisnya (tahun 2006) mengenai identitas gereja-gereja di Indonesia, John A. Titaley menyimpulkan bahwa gereja-gereja di Indonesia pada umumnya merupakan gereja pada tataran identitas primordial saja. Akibatnya, gereja lalu menjadi introvert, tidak partisipatif dan reaktif seperti tampak dalam sikapnya terhadap Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas)”.1 Masih dalam keprihatinan yang hampir sama, Martin Lukito Sinaga melihat bahwa di masa reformasi ini, kita orang Kristen seolah gagap dan gugup melihat perkembangan Islam. Kerepotan kita saat ini melulu pada upaya membela hak-hak mendirikan rumah ibadah, sehingga energi kita habis untuk membela diri, walaupun memang ada soal yang genting di situ, yakni soal masa depan dan eksistensi kekristenan di Indonesia”.2

Apa yang dikatakan John A. Titaley dan Martin Lukito tersebut di atas menunjukkan bahwa pada umumnya gereja-gereja di Indonesia masih cenderung

1

John A Titaley,”Dekonstruksi dan Rekonstruksi Teologi Menuju Teologi Indonesia yang Kontekstual” (dalam),Jeffrie A.A.Lempas, eds (2006),Format Rekonstruksi Kekristenan:“Menggagas TeologiMisiologi, dan Ekklesiologi Kontekstual di Indonesia”,Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hlm, 192. Undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003,Pasal 12 ayat (1) RUU Sisdiknas menyebutkan bahwa setiap peserta didik pada satuan pendidikan merupakan subyek dalam proses pendidikan yang berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.Item dalam UU Sisdiknas tersebut tentu saja mendapatkan resistensi dari umat Kristen. Mereka keberatan dengan item tersebut yang dipandang merusak ciri khas sekolah dan berbagai persoalan administrasi sebagai konsekuensinya. Kalangan Kristen, terutama dari sekolah-sekolah Kristen, melakukan demonstrasi untuk menolak Sisdiknas. Alasan yang dikemukakan oleh kalangan Kristen, seperti B.S. Mardiatmaja, adalah bahwa negara tidak berhak untuk memberikan pendidikan agama dan pendidikan suara hati model tertentu. Ia juga menilai bahwa Sisdiknas tidak mengatur pendidikan secara utuh, melainkan terbatas mengenai pendidikan formal (sekolah).( http://wmc-iainws.com/artikel/12-konflik-islam-kristen-di-era-reformasi, diakses, 5 Februari 2015).

2

Martin Lukito Sinaga, “Kata Pengantar: Iman yang membangun struktur rahmat” (dalam), Albert Nolan 2011) Harapan di Tengah Kesesakan Masa Kini: Mewujudkan Injil Pembebasan, terj, Jakarta, BPK-Gunung Mulia, hlm, ix


(19)

bertahan dan berkutat hanya pada tataran identitas primordialnya sebagai“gereja suku”.

Dengan kata lain, banyak gereja-gereja di Indonesia belum mampu mengekspresikan identitasnya ke dalam konteks sosial yang lebih luas sehingga pergulatan identitasnya juga tampak baru bisa memperlihatkan sisi “defensif”-nya saja. Kenyataan seperti ini telah ikut memberi kesan bahwa identitas primordial sebagai “gereja suku” hanya

menjadi tanda pengenal diri suatu komunitas agama yang terisolir dari lingkungan sekitarnya. Apa yang menjadi permasalahan kontekstual yang sedang dihadapi publiknya tampaknya belum dijadikan sebagai bagian dari kehidupan bergereja. Bahkan, kalau mempertimbangkan apa yang disebut Martin Lukito tersebut di atas, maka secara tersirat memunculkan kesan bahwa kristianitas tampaknya masih cenderung dimaknai dalam kerangka “aspirasi” komunitas daripada sebagai “inspirasi”

yang dapat mendorong hadirnya“kebaikan bersama” (the common good)3di masyarakat baik dalam konteks partikular maupun konteks yang universal di mana gereja berada.

Memang, secara psikologis, sikap bertahan dan berkutat hanya pada identitas primordial sebagai “gereja suku” sepertinya bisa memberikan rasa aman dan

menumbuhkan “solidaritas” atau perasaan satu keluarga di antara anggotanya. Namun kalau ditelisik secara lebih mendalam, sikap bertahan dan berkutat hanya pada identitas primordial sebagai “gereja suku”, sesungguhnya bisa jadi hanya merupakan selubung dari sektarianisme, atau dalam istilah religious studiesdisebut sebagai fundamentalisme atau ultra konservatisme agama yang memahami “makna” ataupun identitas bersifat

3

Common Goods diartikan sebagai sesuatu yang hendak dicapai oleh seluruh warga seluas-luasnya melalui sarana-sarana politik dan aksi kolektif dari warga Negara yang berpartisipasi dalam tata pemerintahan mereka sendiri (self government). Dengan kata lain, kesejahteraan, kesetaraan, kebebasan dsb, merupakan hasrat publik yang bisa dicapai melalui politik kewargaan (citizenship), aksi kolektif dan partisipasi aktif dalam praksis politik dan pelayanan publik. Selanjutnya lihat: Hasrul Hanif, (dalam)Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Volume 11 No. 1 Juli 2007


(20)

tunggal dan statis (fixed). Menurut Leonardus Samosir, kalau fundamentalisme ataupun ultra-konservatisme dalam agama menjadi mayoritas dalam realitas sosial yang nyata maka cita-citanya yang terdalam adalah menjadi penguasa, tentunya dengan cara

menyingkirkan “yang lain” (the other). Perlu juga ditambahkan bahwa menjadi kelompok mayoritas atau minoritas, identitas statis akan membuntungi gerak kelompok sehingga tinggal di masalalu”.4

Kehidupan bergereja yang seperti ini tentu saja sangat memprihatinkan. Sebabnya, bukan saja karena disitu kristianitas dihayati tanpa memiliki relevansi dengan problematika sosial yang terjadi di masyarakat tetapi juga karena sikap bertahan dan berkutat hanya pada tataran identitas primordial itu sesungguhnya hanya akan menyuburkan isolasi dirinya dari lingkungan sekitarnya. Jauh-jauh hari sebelumnya teolog politik J.B. Metz sebenarnya, pernah mengingatkan bahwa Kristianitas yang dihayati tanpa relevansi merupakan Kristianitas tanpa identitas. Identitas kristianitas itu, seperti kata J.B. Metz akan tampak kalau kristianitas (baca: orang kristen: pen) tidak

menarik diri dari wilayah publik”.5 Itu artinya, persoalan menemukan identitas

komunitas kristen “gereja suku” dalam konteks sosial yang lebih luas merupakan persoalan bagaimana subjek komunitas kristen “gereja suku”itu keluar dari penjara identitas primordialnya dan membentuk ulang perspektif etisnya dalam terang tantangan dan pergulatan yang dihadapi masyarakatnya serta pada saat yang sama ia juga harus masuk ke ruang publik”.6

4

Leonardus Samosir (2010)Agama dengan Dua Wajah “ Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks”, Jakarta, Obor,hlm, 74

5

Ibid

6

Martin Lukito Sinaga (2004)Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil: Studi Tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun, Yogyakarta, LKiS,hlm,129


(21)

Kalau memang dalam rangka menemukan identitas politiknya tersebut, subjek

komunitas kristen “gereja suku” harus masuk ke ruang publik, pertanyaan selanjutnya adalah mekanisme apa atau jalur apa yang harus ditempuhnya agar ia dapat menembus tataran publiknya tersebut? Pertanyaan ini penting untuk dijawab sebab dari pengalaman empiris gereja-gereja di Indonesia di masa lalu yang memilih jalur ideologi– Pancasila-sebagai pintu masuk dan strategi kerja untuk melakukan pembelaan terhadap publiknya - bukan hanya telah membuat gereja-gereja di Indonesia menjadi kehilangan kemampuan untuk menangkap permasalahan kontekstual yang sedang dihadapi masyarakatnya tetapi juga telah membuat identitasnya menjadi mangkir dalam konteks yang lebih luas..

Di masa lalu (masa orde baru), pilihan gereja-gereja di Indonesia yang menjangkarkan diri pada ideologi-Pancasila sebagai strategi kerja untuk melakukan pembelaan atas publiknya justru telah membuat identitas subjek komunitas kristen

“gereja suku” sebagaisalah satu representasi subjek“yang lokal”atau“yang partikular”

menjadi terserap ke dalam “apa yang nasional” yang telah dikonstruksi secara hegemonik oleh penguasa (Pemerintah). Hal inilah yang telah membuat identitas

komunitas kristen “gereja suku” menjadi mangkir dalam pentas nasional. Untuk

mengatasi persoalan itu maka apa yang ditawarkan Martin Lukito Sinaga berikut ini tampaknya bisa menjadi strategi alternatif.

Kalau komunitas kristen “gereja suku” berniat menembus tataran publiknya

maka ia harus bertranformasi menjadi sebentuk komunitas etis (moral community). Di samping itu, komunitas kristen “gereja suku” juga harus melanjutkan dan meluaskan identitas barunya tadi secara radikal dengan hadir membela ruang publiknya, dengan memanfaatkan mekanisme masyarakat sipil lainnya, yaitu lewat gerakan-gerakan sosial baru”.7

7


(22)

Dengan melakukan transformasi (peralihan) jati dirinya menjadi sebentuk komunitas etis (moral community) dan pemanfaatan gerakan-gerakan sosial baru sebagai strategi kerja untuk menembus tataran publik sekaligus sebagai cara untuk melakukan pembelaan atas kehidupan publiknya maka (meminjam istilah Haryatmoko:2006) akan menciptakan perubahan orientasi politik gereja dari politik yang selama ini sangat bias pada Negara menjadi politik yang memihak warga negara. Haryatmoko menambahkan bahwa tolak ukur keberhasilan politik semacam ini ialah pemenuhan hak-hak sipil,

politik, ekonomi, sosial dan budaya warga negara”.8 Selain itu, kualifikasi utama tindakan politis semacam ini juga cukup jelas yakni perubahan sosial dan perluasan kebebasan yang hendak diwujudkan di ruang publik,tidak diartikulasi dengan menggunakan cara-cara revolusioner yang menggemparkan sebagaimana dalam pandangan gerakan sosial lama yang diasuh oleh Marxisme klasik. Tetapi perubahan sosial dan perluasan kebebasan di ruang publik itu dilakukan justru dengan cara memanfaatkan daya persuasi rasional dan moral yang dimilikinya selaku komunitas agama untuk mempengaruhi opini masyarakat umum”.9

Politik semacam inilah, dalam istilah Martin Lukito Sinaga disebut sebagai arah baru atau jalan baru politik kristen di Indonesia yaitu sebentuk politik memompakan pengaruh (politic of influence) atau politics of the commons di mana kekristenan tidak lagi dilihat sebagai sumber kuasa di kotak suara tetapi justru melihat dan memaknai

kekristenan sebagai “inspirasi” yang dapat mendorong terwujudnyathe common (“yang

baik untuk publik”). Kalau politik viamasyarakat ini yang ditempuh gereja sebagai cara untuk mengekspresikan identitas atau tindakan politiknya maka jati diri komunitas

kristen “gereja suku” sebagai komunitas etis akan tampak dalam aktualitas respons dan

8

Haryatmoko, “Peran Gereja di Indonesia Ketika Neo-Liberalisme Semakin Mendikte”, (dalam) Jeffrie A. A.Lempas, eds (2006),Op.cit, hlm, 110.

9


(23)

sikap kritisnya terhadap problematika sosial politik dan ekonomi yang terjadi di

masyarakatnya”.10

Secara ideal, ruang publik itu dapat diartikan sebagai ruang diskursif. Dengan begitu, ruang publik bukan saja merupakan tempat atau arena di mana antar individu dapat bertemu, berkomunikasi dan berinteraksi tetapi juga merupakan tempat di mana

terjadi upaya hegemonisasi antar wacana”.11 Di situ, wacana (si)apa saja berhak untuk masuk dan berkontestasi, termasuk wacana agama.Jurgen Habermas, sebagaimana dikemukakan A.Sunarko mengatakan:

Dalam ruang publik informal/umum (diluar parlemen misalnya) pihak beragama menurut Habermas harus tetap diperkenankan mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam bahasa religius masing-masing yang khas. Mereka juga harus diperkenankan untuk mengungkapkan keyakinan-keyakinan mereka serta berargumentasi dengan bahasa religiusnya bila mereka tidak mampu

mengungkapkannya dalam bahasa sekular”.12

Dengan berpijak pada perspektif Habermas, Martin Lukito Sinaga menegaskan, bahwa

komunitas agama (baca:”gereja suku”) sepenuhnya berhakmemasuki ruang publik dan berhak mengajukan traditional-life-world-nya ke tengah-tengah konteks sosial”.13 Hal yang sama juga ditegaskan oleh Muhammad A.S. Hikam bahwa wacana agama di ruang publik dirasa begitu penting bahkan mendesak lantaran wacana agama dapat hadir sebagai“diskursus tandingan” atau “kontra hegemoni”terhadap segala bentuk ideologi atau tindakan-tindakan dominatif yang terjadi.Muhammad A.S. Hikam menambahkan bahwa sebagai seperangkat struktur makna khusus, agama memiliki kemampuan untuk

10

Martin Lukito Sinaga, “Kristiani dan Agama Publik: Peta Persoalan dan Prospeknya di Indonesia”, (dalam)Majalah Tatap, 25 Mei 2010

11

Boni Hargens (2006) Demokrasi Radikal: Memahami Paradoks Demokrasi Modern dalam Perspektif Postmarxis-Postmodernis Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Jakarta, Parhesia, hlm, 62

12

A.Sunarko, “Ruang Publik dan Agama Menurut Habermas” (dalam) F.Budi Hardiman, ed, (2010)Ruang Publik: Melacak “partisipasiDemokrastis” dari Polis sampai Cyberspace, Yogyakarta, Kanisius, hlm, 231

13


(24)

menjelaskan dan mengkonstruksi kenyataan sosial di dalam waktu dan tempat yang

berbeda”.14

Agar pergulatan identitas komunitas kristen “gereja suku” dapat memperlihatkan sisi “ofensif”-nya maka ia perlu bertindak politis. Dengan bertindak politis, komunitas

kristen “gereja suku” dapat terlibat (engaging) dalam mengelola kerangka hidup bersama sehingga kehidupan di ruang publik di mana ia berada dapat ditata menjadi lebih adil dan mendatangkan kesejahteraan dan kebaikan bagi semua. Politik dapat memberi keleluasaan untuk memproses konflik kepentingan menjadi proses saling memperhitungkan dan saling memberi ruang satu kelompok dengan kelompok lain. Politik adalah komunikasi demi mengarahkan dan mentransformasikan kekuasaan (power) menjadi pemberdayaan (empowerment) dan hanya dengan politiklah kehadiran orang lain dapat terus menerus diperhitungkan sebagai kehadiran yang menuntut namun

juga berkontribusi”.15

Dalam konteks pergulatan dan perspektif urgensi permasalahan seperti itu, penelitian ini berniat memperbincangkan bagaimana subjek komunitas kristen “gereja

suku” menghadirkan dirinya di ruang publik di mana hegemonisasi nilai-nilai kapitalisme neoliberal di ruang publik sudah menjadi kenyataan tak terbantahkan. Di sana ideologi kapitalisme neoliberal tidak hanya telah mengonstruksi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan masyarakat di perkotaan tetapi juga masyarakat tradisional di pedesaan di mana ekonomi-uang tampak kokoh menjadi struktur pemaknaan yang utama. Uang bahkan telah menjelma menjadi berhala (fetish). Akibatnya, tidak jarang upaya untuk mengejar kemakmuran dilakukan dengan

14

Muhammad A.S.Hikam (1996)Demokrasi dan Civil Society, Jakarta, LP3ES, hlm, 133

15

Martin Lukito Sinaga, (makalah) ”Hidup yang Dibangun di atas Batu (Matius :2:24-27) Refleksi Teologis Memperkuat Masyarakat Sipil”, disampaikan pada Rapat Umum Anggota (RUA) Perhimpunan Kelompok Studi Pengembangan Masyarakat (PKSPPM), Parapat, 21-23 Februari 2014


(25)

menghalalkan segala cara,termasuk penguasaan atas (si)apa saja yang dianggap “liyan”

(the other) baik manusia maupun alam. Uang yang tadinya dimaksudkan sebagai agen netral (baca: sarana,pen) perdagangan, kini sudah menjadi majikan neurotik”.16“Hepeng do mangatur Negara on!” (Uanglah yang mengatur Negara-segalanya), begitulah ungkapan orang Batak menggambarkan status hegemonik uang saat ini. Uang tidak hanya mendominasi sistem ekonomi produksi, kepemilikan, tenaga kerja, dan konsumsi tetapi juga mempunyai pengaruh besar nyaris pada semua aspek kehidupan pribadi”.17

Hasrat, selera, cita-cita, relasi sosial bahkan pelaksanaan ritus-ritus keagamaan (gereja) juga tidak luput dari determinasi uang. Uang telah mengubah apa saja yang ada di masyarakat. Di Bali misalnya:

Posisi uang telah menjadi kesadaran hidup mereka. Kenyataan itu mengakibatkan terjadinya pasarisasi atau monoterisasi hampir segala bidang, terutama pertanian. Bahkan, banyak tradisi yang berlawanan dengan asas pasarisasi perlahan mulai tergusur. Tradisi pelayanan kredit sosial lewat resiprositas (matulungan, ngopin, maselisi dan lain-lain) mulai semakin langka, karena tergantikan oleh sistem upah. Pergantian ini dilandasi oleh pemikiran bahwa kredit sosial dianggap tidak praktis dan tidak ekonomis, baik dari pihak pengguna tenaga maupun penyedia tenaga. Begitu pula asuransi ekonomi, misalnya meminjam uang-nyilih pipis- tanpa bunga - semakin langka dan tergantikan oleh sistem kredit informal (rentenir) dan formal (bank, LPD)”.18 Hegemonisasi nilai-nilai kapitalisme neoliberal itu tentu tidak hanya terjadi di Bali tetapi juga terjadi di berbagai tempat di berbagai wilayah lainnya di Indonesia. Di tanah Simalungun misalnya, hegemonisasi nilai-nilai kapitalisme neoliberal itu, ditandai dengan mulai menghilangnya kosa kata marharoan dalam percakapan sehari-hari masyarakatnya bahkan di warung-warung kopi sekalipun. Ajakanmarharoan nyaris tak terdengar. Budaya mar-haroan yang tadinya akrab sebagai sistem kerjasama timbal

16

Jack Weatherford (2005)Sejarah Uang“Dari zaman Batu hingga era Cyberspace”, terj, Yogyakarta, Bentang Pustaka, hlm, 374

17

Ibid.

18

Nengah Bawa Atmadja,(2010),Ajeg Bali: “Gerakan,Identitas Kultural dan Globalisasi”,Yogyakarta, LKiS, hlm, 17


(26)

balik (reciprocity) dalam dunia pertanian masyarakat Simalungun kini tergantikan oleh sistem kerja upahan yang disandarkan pada prinsip pertukaran tenaga dengan uang. Tidak hanya itu, mar-haroan juga kini terdesak oleh gempuran penemuan dan penggunaan teknologi dalam dunia pertanian. Hal ini tidak hanya membuat budaya masyarakat Simalungun berubah menjadi individualistik tetapi jugatelah membuat kebutuhan akan uang juga menjadi sangat tinggi.

Malangnya, dalam keadaan seperti itu akses masyarakat marjinal di pedesaan Simalungun terhadap fasilitas permodalan (finansial) dari Lembaga Keuangan Mikro formal (LKM) seperti BRI-UD, BPR, Bank Sumut yang ada di daerah pedesaan Simalungun, malah tidak dapat diperoleh dengan mudah. Selain harus menyertakan jaminan (agunan) serta memenuhi tuntutan persyaratan administratif yang rumit, masyarakat marjinal di pedesaan di Simalungun juga masih harus menghadapi birokrasi yang panjang dan berbelit-belit.Akses Usaha Kecil Mikro (UKM), Koperasi terhadap lembaga perbankan, termasuk BRI Unit Desa dan BPR tampak masih belum memihak kaum marjinal. Hal itu terjadi, karena lembaga perbankan yang menerapkan manajemen bank secara ketat dalam kenyataannya justru telah membuat masyarakat pemilik Usaha Kecil Mikro (UKM) bahkan keluarga miskin mengalami kesulitan mengembangkan usahanya karena ketiadaan modal. Salah satu persoalan yang paling menyulitkan adalah keharusan menyerahkan agunan bagi semua masyarakat untuk memperoleh kredit dari bank.Fenomena seperti tampaknya merupakan fenomena umum yang juga terjadi di tempat lain di Indonesia. Tidak heran kalau Didik J.Rachbini kemudian menyimpulkan


(27)

representasi kepentingan mereka bahkan cenderung mempersulit kedudukannya yang

sudah inferior dan subordinatif”.19

Persoalan kesulitan permodalan yang dialami masyarakat marjinal di pedesaan menjadi semakin parah lantaran nilai jual hasil produksi pertanian mereka seringkali tidak mampu mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Mubyarto mengungkapkan bahwa selalu ada kecenderungan menurunnya nilai tukar sektor pertanian terhadap sektor non-pertanian. Perkembangan komoditi pertanian secara relatif, lebih kecil dibandingkan dengan perkembangan harga komoditi di luar pertanian. Kenyataan ini menimbulkan rasa “frustasi”di dalam diri petani terutama petani kecil dan petani tak bertanah yang bekerja keras memproduksi berbagai komoditi. Komoditas yang dihasilkan petani secara relatif makin rendah nilainya sehingga pendapatan petani dari hari ke harisecara relatif juga lebih rendah”,20.

Selain telah memposisikan ekonomi-uang sebagai struktur makna yang utama, ideologi sistem kapitalisme neoliberal juga tampak telah mengokohkan “kompetisi”

sebagai satu-satunya etos dominan demi meraih martabat (dignity) dan kemakmuran manusia. Dengan semata-mata “kompetisi”, tentu tidak sulit untuk memprediksi apa yang menjadi konsekuensinya di dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari. Moral Darwinisme (survival of the fittest) menjadi satu-satunya norma yang mengatur relasi sosial masyarakat di mana hanya yang kuat atau yang punya akses pada kekuasaan sajalah yang bisa survive. Selebihnya, individu atau kelompok sosial yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan segera saja menerima penderitaannya sebagai takdir yang sudah ditentukan.

19

Didik J.Rachbini, “Dimensi Ekonomi dan Politik Pada Sektor Informal”, (dalam) Hadi Soesatro, dkk, peny, (2005), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia Dalam Setengah Abad Terakhir, Yogyakarta, Kanisius, hlm, 209

20


(28)

Pengalaman tragis yang dialami keluarga Sumarsih di Bantul Yogyakarta misalnya, memperlihatkan bagaimana masyarakat miskin terpaksa menempuh jalan berhutang untuk mengatasi himpitan kesulitan ekonomi yang dialami keluarganya. Berhutang yang pada awalnya dibayangkan sebagai “jalan ke kehidupan”, dalam kenyataannya justru telah membuat Sumarsih harus kehilangan Pardiyu suami yang dikasihinya untuk selamanya. Ketidakmampuan keluarganya untuk membayar hutang (kredit) kepada Baitul Maal wat-Tamwil Projo Artha Sejahtera (selanjutnya disingkat:BMT-PAS),21 telah membuat Pardiyu mengalami tekanan psikologis sangat berat yang akhirnya telah membuatnya memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan

cara gantung diri di pohon yang ada di sawah di depan rumah mereka”.22

Keadaan hidup seperti yang dialami keluarga Sumarsih ini, telah membuat banyak masyarakat marjinal di pelosok pedesaan menjadi terjebak ke dalam jerat praktik bank plecit (rentenir). Ironisnya, meskipun Negara memandang praktik bank plecit atau rentenir ini sebagai sebentuk illegal banking namun dalam kenyataannya, praktik bank plecit (rentenir) ini justru surivive karena turut dikondisikan oleh adanya persekongkolan (konspirasi) yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan (Mikro) formal (formal microfinance) dengan para rentenir. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Heru Nugroho terhadap masyarakat marjinal di Bantul Yogyakarta misalnya terungkap

21

Baitul Maal wat-Tamsil (BMT) adalah sebentuk lembaga keuangan mikro (semi formal) yang memadukan prinsip-prinsip keuangan syariah dan keuangan mikro. BMT berfungsi mengumpulkan tabungan dari masyarakat dan menyediakan berbagai skema investasi, kredit, serta modal kerja berdasarkan prinsip syariah kepada perorangan dan usaha mikro di sektor informal dengan target fakir miskin. Selanjutnya lihat: Bagus Aryo (2012)Tenggelam dalam Neoliberalisme?Penetrasi Ideologi Pasar Dalam Penanganan Kemiskinan”,Depok-Jawa Barat, Kepik, khususnya hlm, 59-61

22

Tentang Kisah tragis yang dialami keluarga Sumarsih selengkapnya lihat: Litbang Kompas, (15/2/2010], (dalam), T.Handono eko Prabowo, (2010), Pengembangan Kekuatan-kekuatan Transformatif untuk Kedaulatan Sosial Ekonomi (sebuah refleksi sosial ekonomi), Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, hlm,10


(29)

adanya kompetisi antara bank dan rentenir dalam hal nasabah dan ada juga kerjasama

dalam hal distribusi kredit di dalam masyarakat Bantul”.23

Keadaan ini kemudian diperparah lagi oleh kenyataan banyaknya koperasi berbadan hukum tetapi justru melakukan praktik rentenir. Suroto, ketua koalisi Organisasi non Pemerintah (Ornop) untuk Demokratisasi Ekonomi (pemohon uji materi UU Perkoperasian) mengatakan: 70% dari 200.000 unit koperasi berbadan hukum melakukan praktik rentenir”.24 Artinya, “Badan Hukum” (koperasi) itu, ternyata hanya kedok dan untuk mengecoh sebab dalam kenyataannya koperasi ber “Badan Hukum”

itu, justru tidak sedikit yang digunakan sebagai selubung bagi penyelenggaraan praktik rentenir secara legal dan melembaga. Itu artinya, di era globalisasi kapitalisme neoliberal saat ini, praktik (ber)koperasi tidak lagi berpijak dan bersandar pada prinsip atau nilai-nilai kekeluargaan dan kegotongroyongan. Semangatnya bukan lagi semangat saling membantu, saling berbagi dan bekerjasama (kolektifitas). Pantas saja, istilah

“koperasi”dewasa ini seringkali diplesetkanmenjadi “kuperasi”. Logika koperasi tidak lagi berpijak pada logika sosial tetapi kini justru memusat pada logika ekonomi (uang). Menurut Haryatmoko, logika ekonomi selalu didasarkan pada logika persaingan sebagai pendorong efektivitas. Logika ini dipisahkan dari logika sosial yang justru sangat menekankan aturan keadilan. Selain itu, logika ekonomi juga tertutup terhadap wacana lain. Padahal wacana lain sering memberi pemecahan atas permasalahan ekonomi, meski dalam skala kecil”.25

Gambaran tersebut di atas, merupakan potret buram kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat pedesaan di era globalisasi kapitalisme neoliberal saat ini.

23

Heru Nugroho (2001)Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm, 183

24

Sumber:Harian Nasional, A6, Opini, Sabtu, 23 Agustus 2014

25

Haryatmoko, “Peran Gereja di Indonesia Ketika Neo-LIberalisme Semakin Mendikte”, (dalam) Jeffrie A. A.Lempas, eds (2006),Op.cit,hlm, 112.


(30)

Tantangan ini, bagaimanapun juga membutuhkan jawaban etis dari siapa saja, baik oleh negara maupun lembaga sosial keagamaan seperti gereja sebab ada aspek etis di dalam dirinya yang mesti diartikulasikan ke dalam konteks sosialnya yang lebih luas. Upaya gereja untuk menghentikan praktik “penjagalan” di bidang ekonomi di era kapitalisme

neoliberal saat ini tidak cukup hanya dilakukan dengan mempraktikkan “cara hidup

alternatif” tetapi juga harus dibarengi dengan menghadirkan “sistem ekonomi alternatif”. Pendirian “Grameen Bank” di Bangladesh misalnya menjadi salah satu contoh bagaimana menghadirkan gagasan (sistem ekonomi) alternatif yang lebih dari sekedar logika ekonomi-uang. Kelompok masyarakat marjinal yang miskin yang tidak memiliki kekuasaan untuk mengakses fasilitas permodalan bisa memperoleh modal berkat pemikiran Muhammad Yunus yang memperhitungkan aspek budaya”.26

Bagaimanapun juga, sebagai lembaga sosial keagamaan, tentunya institusi gereja

(termasuk komunitas kristen “gereja suku”) memiliki tugas dan tanggungjawab untuk memberi respons etis terhadap kesulitan yang dialami warga jemaat dan juga masyarakat marjinal dalam mengakses fasilitas permodalan. Di tengah harapan dan tuntutan terhadap gereja-gereja di Indonesia yang seperti itu, justru ada hal yang sering luput dari perhatian sehingga respon etis tersebut tidak dapat diartikulasikan. Banyak institusi gereja mengalami kesulitan bahkan tidak mampu memberi respon etis tersebut justru karena gereja-gereja di Indonesia justru tidak memiliki instrumen untuk mengartikulasikan aspek etisnya tersebut.

Beberapa gereja-gereja di Indonesia, memang berniat untuk menggunakan wacana BPR sebagai instrumen untuk mengartikulasi aspek etis gereja.Namun kalau dilihat dari aspek yuridis (legal formal) keinginan gereja untuk mendirikan dan

26


(31)

menggunakan wacana BPR tersebut seolah-olah seperti sesuatu yang terlarang. Hal itu paling tidak dapat dilihat dari pengalaman empiris MP. Ambarita yang terlibat dalam proses perencanaan dan pendirian PT.BPR-PPK (sebuah bank milik GBKP) namun dibalik kesuksesannya tersebut, MP. Ambarita justru berpendapat bahwa sesungguhnya berdasarkan Undang-Undang Bank (UU No.7 tahun 1992) dan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU No.1 tahun 1985) secara yuridis formal gereja tidak diijinkan mendirikan bank”.27

Berdasarkan pengalaman empirisnya mengelola, mengoperasikan dan mengembangkan pelayanan PT. BPR-PPK sejak tahun 199-2010, MPA sampai pada kesimpulan bahwa wacana BPR itu sebenarnya tidak cocok digunakan sebagai instrumen untuk mengartikulasi aspek etis gereja di bidang pemberdayaan ekonomi jemaat dan masyarakat. Sebab sebagai sebuah Lembaga Keuangan Mikro formal, pemaknaan wacana BPR bagaimanapun juga sudah ditentukan dan hanya bisa direartikulasi dalam kerangka yuridis yang legal-formal berdasarkan regulasi yang sedang berlaku yang justru sering sekali tidak sejalan dengan tuntutan jemaat dan masyarakat. Kenyataan seperti itulah yang membuat sehingga wacana BPR (milik gereja) itu tidak dapat diartikulasi secara fleksibel demi pemberdayaan ekonomi jemaat di seluruh wilayah administratif pelayanan gereja.

Bertolak dari pengalaman empirisnya serta keprihatinannya atas kesulitan yang dialami gereja-gereja di Indonesia dalam memberi respons etis terhadap kesulitan warga jemaat dan masyarakat marjinal karena ketiadaan instrumen untuk mengartikulasikannya, MP. Ambarita lantas mengajukan wacana Credit Union Modifikasi (CUM) sebagai wacana alternatif untuk mengisi ketiadaan instrumen

27

E.P. Ginting dan MP.Ambarita (2001), PT. Bank Perkreditan Rakyat Pijer Podi Kekelengen Desa Simalem, Jakarta, BPK-Gunung Mulia, hlm, 148


(32)

artikulasi tersebut. MP.Ambarita mengklaim bahwa wacana CUM ini merupakan sebentuk sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan alternatif (versi kristiani) sebab berpijak pada nilai-nilai etik kristiani yang bersifat universal.Secara teknis, sistem manajemennya merupakan perpaduan dari sistem manajemen CU konvensional dan sistem manajemen BPR. Jadi, kalau gereja-gereja di Indonesia menggunakan wacana CUM sebagai instrumen untuk mengartikulasi aspek etisnya di bidang pemberdayaan ekonomi jemaat dan masyarakat maka keinginannya untuk menggunakan wacana BPR (dalam arti hanya menginginkan sistem manajemennya) sesungguhnya otomatis dapat diwujudkan.

Memang, gairah yang dirasakan mungkin tidak sama sebab dalam wacana CUM tersebut, sistem manajemen wacana BPR dialihkan status dan identitasnya menjadi bersifat informal (informal microfinance). Dalam status ontologisnya yang seperti itu, praktik pengartikulasian wacana CUM itu menjadi menarik untuk dikaji. Disebut menarik, bukan saja karena di dalam wacana CUM identitas sistem manajemen BPR ditransformasi menjadi bersifat informal tetapi karena dalam statusnya sebagai sebentuk

informal microfinance seperti itu, wacana CUM tampak diterima dan berkembang secara masif sebagai sebuah sistem pemberdayaan ekonomi kerakayatan versi kristiani. Hal itu tampak dari berkembangnya Komunitas CUM di berbagai denominasi gereja

khususnya “gereja suku” yang ada di Sumatera Utara. Tercatat institusi gereja-gereja yang telah menggunakan dan mengembangkan wacana CUM dalam konteks partikularitas di wilayah pelayanannya masing-masing antara lain:“Huria Kristen Batak Protestan”(HKBP), “Gereja Batak Karo Protestan”(GBKP), “Gereja Kristen Protestan Indonesia” (GKPI) dan “Gereja Kristen Protestan Simalungun” (GKPS) dan berbagai


(33)

Dalam konteks GKPS, wacana CUM ini tampak telah mewujud menjadi sebentuk kesatuan sosial yang disebut dengan Komunitas Credit Union Modifikasi (CUM) “Talenta”. Pembentukan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” ini tergolong unik sebab secara legal formal, komunitas ini justru tidak lahir dari “rahim”

institusi GKPS sendiri. Komunitas CUM “Talenta” justru lahir melalui mekanisme formal melainkan dibentuk oleh para Pendeta (muda) GKPS (di Distrik III Saribudolok) yang didahului dengan sejumlah pertemuan-pertemuan (diskusi) informal yang memperbincangkan tentang berbagai problem sposial ekonomi yang dialami oleh jemaat di wilayah partikular pelayanannya masing-masing. Meskipunkomunitas CUM

“Talenta” tidak lahir dari “rahim” institusi GKPS tetapi komunitas ini tampak mengklaim bahwa dirinya merupakan perpanjangan tangan institusiGKPS di bidang pelayanan (diakonia) ekonomi. (Lihat:foto papan nama yang dipajang di depan kantor pusatnya di Jl. Sutomo 15 di Saribudolok, Kecamatan Silimakuta Simalungun dibawah ini):

(Sumber foto: dok. pribadi).

Klaimnya berbunyi: Kantor Pusat Credit Union Modifikasi (CUM) “Talenta”.“Bidang Pelayanan GKPS”.Pengakuan Pemerintah RI. Dep.Agama No. 28 Tgl 12 Oktober 1972


(34)

dan No.149 tgl 10 Juli 1989. Pengakuan pemerintah RI yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pengakuan Pemerintah terhadap GKPS sebagai lembaga sosial keagamaan yang dikeluarkan Departemen Agama. Singkat kata, Badan Hukum Komunitas CUM

“Talenta”berlindung dibawah payung Badan Hukum GKPS sebagai lembaga sosial keagamaan.

Kehadiran komunitas CUM “Talenta” yang senyatanya bukan lahir dari “rahim”

institusi GKPS secara legal formal menarik untuk dikaji sebab Pimpinan Pusat GKPS dikemudian hari telah memberi “pengakuan” atas keberadaan komunitas CUM

“Talenta” ini. Hal itu terlihat misalnya dari diberinya ruang kepada komunitas CUM

“Talenta” untuk menggunakan struktur kelembagaan GKPS sebagai media pengorganisasian untuk merekrut anggota dan pengembangan wilayah pelayanannya. Selain itu, Pimpinan pusat GKPS juga tampak memberi pengakuan melalui kesediaannya menugaskan tenaga pelayannya yakni para pendeta yang memiliki sertifikat (lulus) sebagai manajer CUM, (melalui suatu Surat Keputusan (SK) penugasan dan penempatan) di komunitas CUM “Talenta”. Meskipun dengan “pengakuan” seperti

itu, tidak berartikomunitas CUM “Talenta” menjadi lembaga pelayanan in-subordinasi dalam struktur kelembagaan GKPS. Kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” dan GKPS adalah dua entitas sosial yang berbeda meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan secara dikotomis. Anggota Komunitas CUM “Talenta”, melalui Rapat Anggota Tahunan (RAT)merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di dalam komunitas

CUM “Talenta”. Seluruh harta kekayaannya adalah milik anggota. Dengan kata lain, GKPS secara kelembagaan bukanlahpemilik komunitas CUM “Talenta”.

Dengan latar belakang permasalahan dan perspektif relasi komunitas CUM


(35)

memperbincangkan pengartikulasian identitas politik GKPS sebagai “gereja suku” di

ruang publik, yang direpresentasikan oleh Komunitas CUM “Talenta”. Politik tentulah punya arti dan defenisi yang sangat luas sehingga pengertian politik tidak mungkin dibatasi dan hanya terkait dengan lembaga politik, partai politik, pemilu, kampanye, caleg dan lain-lain. Dalam konteks penelitian ini, politik adalah ihwal menata hidup bersama agar menjadi lebih baik dan lebih adil. Bertolak dari hal tersebut, maka mempertanyakan identitas politik seseorang atau kelompok sosial (agama) tertentu, itu sama artinya dengan mempertanyakan tindakan apa yang dilakukannya dalam memberi respons terhadap kondisi krisis yang sedang dihadapinya publiknya. Dengan pengertian politik yang seperti itu maka perbincangan tentang identitas politik “gereja suku” di

ruang publik merupakan perbincangan tentangihwal pembentukan masyarakat. Karena itulah, penelitian ini menggunakan perspektif politik hegemoni sebagaimana dikembangkan oleh duet pemikir postmarxis Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (1985).

1.2. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana yang sudah digambarkan di atas, maka permasalahan pokok yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. Apa dan bagaimana latar belakang munculnya wacana CUM sebagai sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan alternatif- versi kristiani?

2. Sejauhmana Komunitas CUM “Talenta” mampu mengartikulasi identitas politik“gerejasuku”(GKPS) di ruang publiknya di Simalungun?

3. Perjuangan-perjuangan demokratik baru(new democratic struggles) yang seperti apa yang dilakukan“komunitas CUM Talenta” di ruang publik sehingga tercipta


(36)

1.3. Tujuan Penelitian

Bertolak dari rumusan permasalahan tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: pertama, apa dan bagaimana latar belakang munculnya wacana CUM sebagai sistem ekonomi kerakyatan alternatif (versi kristiani), kedua sejauhmana komunitas CUM Talenta mampu mengartikulasi identitas politik“gerejasuku”di ruang publik di pedesaan Simalungun, dan ketiga perjuangan-perjuangan demokratik baru (new democratic struggles)yang seperti apa yang dilakukan “komunitas CUM Talenta”

di ruang publiksehingga tercipta political space di ruang publik pedesaandi Simalungun.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini, secara khusus disandarkan pada displin religious and cultural studies

yang dikenal dengan pendekatannya yang interdispliner. Oleh karena itu penelitian ini sebenarnya dapat bermanfaat kepada siapa saja yang berniat untuk menjadikannya sebagai referensi untuk penelitian-penelitian lanjutan dalam berbagai perspektif keilmuan yang lain.

Karena tema penelitian ini terkait dengan identitaspolitik “gereja suku”, maka penelitian ini diharapkan bermanfaat bagikomunitas kristen “gereja suku” diIndonesia yang berniat merepresentasikan dirinya di tengah-tengah “permasalahan kontekstual”

yang sedang dihadapi masyarakat di wilayah partikular dimana gereja berada. Selain itu, bagi para pengambil keputusan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan bagi pembuatan kebijakan politik ekonomi yang lebih baik, lebih adil, manusiawi dan memihak kaum marjinal.

1.5. Tinjauan Pustaka

Sebelum melakukan penelitian ini lebih jauh, rasanya perlu untuk memaparkan penelitian-penelitian sebelumnya dengan tema yang (hampir) sama sehingga posisi dan


(37)

perbedaan pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat terlihat dengan jelas. Sejauh ini, ada beberapa penelitian dengan tema yang hampir sama,dapat disebutkan antara lain:pertama, penelitian yang dilakukan oleh Saut Sirait (2001),

“Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan etis”, yang diterbitkan oleh BPK-Gunung Mulia Jakarta. Kedua, Leonardus Samosir (2010), Agama dengan Dua Wajah, “

Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks, diterbitkan oleh Obor-Jakarta. Ketiga, Martin Lukito Sinaga (2004), Identitas Poskolonial “gereja suku” dalam Masyarakat

Sipil, Studi tentang Jaulung wismar Saragih dan komunitas Kristen Simalungun, diterbitkan oleh LKiS-Yogyakarta.

1.5.1. Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis

Penelitian ini semula merupakan tesis penulis (Saut Sirait) yang diajukan pada program studi Magister Teologi di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta tahun 1999 dengan judul:

Menuju Kota yang Setia. Penelitian ini merupakan kajian teologi dengan pendekatan analisis kritis-praktis berdasarkan kritik-historis; biblika-etika. Studi yang dilakukan Saut Sirait, menyimpulkan bahwa perhatian gereja-gereja di Indonesia terhadap realitas sosial tampak begitu tipis, kecuali pada hal-hal yang bersifat karitatif, insidental dan sporadis. Saut Sirait mengatakan bahwa model perhatian gereja terhadap realitas sosial masih berorientasi kepada latreia yakni yang berkaitan dengan “pelayanan Allah”, “ibadah Allah” dan belum dalam arti diakonia yakni yang berhubungan dengan pelayanan kepada sesama manusia. Dengan kata lain, Saut melihat bahwa praksis hidup menggereja masih berkutatpada aspek kultisatau latreiasemata dan kurang menyentuh dunia etis atau diakonia”. Hal ini menurut Saut Sirait telah membuat ekspresi politik Kristen di Indonesia cenderung berorientasi kepada kekuasaan (“istana sentris”) seperti tampak dalam sikapnya ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi pada tahun 1997 di


(38)

mana saat itu pemimpin gereja di Indonesia (PGI) justru pergi ke istana Negara membawa emas sebagai tanda solidaritas dan keprihatinan komunitas kristen di Indonesia atas krisis ekonomi yang sedang terjadi.

Catatan penting lainnya yang diangkat Saut Sirait adalah pengalaman empiris gereja-gereja di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga runtuhnya rezim Orde Baru, dianggap belum mampu memberikan pencerahan dan pengaruh nilai-nilai etis-kristiani dalam dunia perpolitikan Indonesia. Keterlibatan masyarakat agama dalam dunia politik telah secara jelas dirumuskan dalam ketetapan MPR tahun 1993, bahwa fungsi agama untuk memberikan sumbangan etis, moral dan spiritual dalam pembangunan nasional merupakan hak dan kewajiban konstitusional agama-agama di Indonesia.

1.5.2. Agama dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi Dalam Konteks

Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari penulisnya (Leonardus Samosir) di mana terdapat satu bab yang khusus membahas tentang identitas kristianitas, tepatnya “Identitas Kristiani: Tegangan antara Tradisi dan Relevansi”.Dengan melacak mundur

ke belakang, Leonardus Samosir menemukan apa yang menjadi “biang kerok” yang menjadi penyebab terjadinya “privatisasi iman” dalam kehidupan bergereja. Leonardus

Samosir menyimpulkan bahwa sikap bertahan hanya pada wilayah privat gereja dan menolak masuk ke wilayah publik merupakan dampak dari masih begitu bertenaganya

“subjek pencerahan” yang membanjiri kehidupan spiritual komunitas Kristen dengan

kata “aku” (me). Hal itu telah membuat adanya penolakan terhadap “gerak di luar” diri

dan persentuhan dengan “yang lain” (the other). Keadaan seperti ini membuat gereja menjadi terdesak ke pinggir dan akhirnya menjadi sektarian.

Bagaimanapun juga, gereja adalah bagian dari masyarakat demikian pula sebaliknya, masyarakat adalah bagian dari gereja. Meskipun begitu, Leonardus Samosir


(39)

mengingatkan bahwa pertemuan gereja dengan lingkungan jangan menyerap pesan Kristiani menjadi jawaban atas kebutuhan sosiologis. Sebaliknya, memegang tradisi tidak boleh pula menjadi hambatan untuk bertemu dengan realitas sosial yang aktual. Posisi seimbang hanya mungkin kalau identitas kristianitas tidak dilihat secara statis demikian pula halnya dengan tradisi agar tidak dilihat sebagai sesuatu yang statis.

1.5.3. Identitas Poskolonial “Gereja Suku” Dalam Masyarakat Sipil: Studi Tentang Jaulung Wismar Saragih Dan Komunitas Kristen Simalungun

Penelitian ini merupakan penelitian yang dianggap “lebih dekat” atau bahkan dapat dikatakan merupakan titik tolak dari penelitian yang hendak saya dilakukan. Penelitian

ini mengambil tema “identitas poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil”

Sebagaimana tampak dari judulnya, penelitian ini menggunakan tafsir poskolonial sebagai alat analisis atas hidup seorang perintis kekristenan di Simalungun bernama Jaulung Wismar Saragih (selanjutnya disingkat JWS). Sementara unit analisisnya adalah: 1). Teks-teks teologis dan 2). Gerakan-gerakan sosial alternatif yang diajukan JWS dalam menghadapi penetrasi wacana dan institusi modern misi/zending yakni

Rheische Missions Gessellschaft(RMG) dan pengecer lokalnya orang Toba lewat

institusinya “Huria Kristen Batak Protestan” (selanjutnya disingkat: HKBP).Secara lugas Martin Lukito Sinaga menyingkap bagaimana seorang JWS sebagai representasi

dari liyan “yang lokal” dan juga sebagai representasi dari komunitas orang Kristen Simalungun yang subaltern (tersubordinasi) berhasil menjadi subjek politik baru di mana JWS berhasil menegosiasikan identitas kelokalannya.

Proses negosiasi itu ditempuh JWS dengan pertama-tama melakukan retakan (rupture) terhadap (1). wacana (teks) kekristenan yang diterimanya sudah dalam ritme pietisme. Pietisme adalah corak rohani yang menekankan kesalehan pribadi dan


(40)

penghayatan iman dan sebagai segi-segi iman Kristen disamping ajaran yang benar. Upaya melakukan retakan (rupture) itu dilakukan JWS dengan membawa setiap hal baru yang diterimanya ke dalam konteks pergulatan suku dan konteks manfaatnya bagi kehidupan etnik dan dirinya sendiri. Setiap penerimaan keyakinan baru akan dihadapkan pada tuntutan nyata dalam persoalan sehari-hari dalam lokasi sosial kulturalnya”.

Dengan basis kedirian seperti itulah JWS juga melakukan retakan (rupture)

terhadap (2) “sosial agency” yang melakukan hegemonisasi dan dominasi struktural dan

kultural atas dirinya dan komunitasnya (orang Kristen Simalungun) yakni RMG dan HKBP. Hal itu ditempuhnya dengan pertama-tama menerjemahkan “Allah” dalam

Alkitab setara dengan “Naibata” dalam konsep (bahasa) orang Simalungun. Dengan

cara seperti itu, JWS sekaligus menegaskan bahwa konsep “Naibata” berbeda dengan konsep “Debata” yang dikenal dalam istilah orang Toba. Perjuangan yang dilakukan

JWS dengan menggunakan “politik bahasa” (menerjemahkan Alkitab) ke dalam bahasa

ibunya itulah yang membuat ia dan komunitasnya, orang kristen Simalungun berhasil

meraih identitas poskolonial “gereja suku”-nya yang mewujud dalam bentuknya sebagai Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

Selanjutnya (di Bab III) Martin Lukito Sinaga memperbincangkan tentang sosok

baru identitas poskolonial “gereja suku” sebagai hasil perjumpaannya dengan

problematika yang dihadapi oleh masyarakat sipil. Maksudnya,“ruang publik” merupakan konteks baru identitas poskolonial ”gereja suku”. Kalau komunitas kristen

“gereja suku” berniat meluaskan (makna) identitas poskolonialnya ke dalam konteks barunya di ruang publik tersebut maka jalur atau mekanisme yang paling tepat yang harus digunakannya adalah dengan bertransformasi menjadi sebentuk komunitas etis (moral community) sebagaimana sudah disinggung sebelumnya. Selanjutnya, di sana ia


(41)

juga harus meluaskan identitasnya tersebut secara radikal dengan hadir membela publiknya melalui mekanisme masyarakat sipil lainnya yakni lewat gerakan-gerakan sosial baru. Dengan peralihan identitas poskolonial “gereja suku” menjadi sebentuk komunitas etis dan memanfaatkan mekanisme masyarakat sipil sebagai carauntuk membela publiknya maka hal itu akan membuat komunitas kristen “gereja suku”

memperoleh sebentuk identitas baru dalam kategori politik.

Bagaimanakahkomunitas kristen “gereja suku” (GKPS) hasil bentukan JWS itu

kemudian menghadirkan dirinya di tengah-tengah konteks barunya di ruang publik? Ke arah itulah penelitian ini saya kerjakan. Dengan kata lain, penelitian yang hendak saya lakukan ini merupakan kelanjutan dari penelitian yang sudah dilakukan Martin Lukito Sinaga. Perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan Martin Lukito Sinaga tidak hanya terletak pada kerangka teori atau alat analisis yang digunakan tetapi juga pada jenis data dan unit analisisnya. Martin Lukito Sinaga menggunakan tafsir poskolonial sebagai alat analisis untuk membaca dua unit analisis yang diajukannya yakni: teks-teks teologis dan gerakan-gerakan sosial alternatif yang diajukannya untuk menghadapi penetrasi wacana dan institusi modern misi/zending sebagaimana terdapat dalam biografi Jaulung Wismar Saragih. Sedangkan penelitian ini, menggunakan teori politik hegemoni sebagaimanadikembangkan Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe,dengan tiga konsep lain yang mengiringinya yakni:artikulasi, antagonisme dan subjek politik.Teori hegemoni sebagaimana yang dikembangkan LM tersebut akan digunakan untuk membaca tiga unit analisis dalam penelitian ini yakni:1). Teks atau dokumen yang bisa menggambarkan latar belakang sosio historis dan politis yang mendasari munculnya wacana Credit Union Modifikasi sebagai sebuah sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan alternatif versi kristiani, 2). Bentuk-bentuk pengartikulasian identitas politik


(42)

GKPS di ruang publik sebagaimana direpresentasikan olehKomunitas CUM “Talenta”, 3).Perjuangan-perjuangan demokratik baru yang dilakukankomunitas CUM “Talenta”di ruang publik pedesaan di Simalungun.

1.6. Kerangka Teori

1.6.1. Identitas Politik: Hegemoni, Antagonisme dan Pembentukan Subjek Dalam Perspektif Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (LM)

1.6.1.1.Hegemoni-Artikulasi

Sebelum memaparkan lebih jauh tentang teori hegemoni dengan tiga konsep yang mengiringinya yakni artikulasi, antagonisme dan subjek politik, penting untuk diketahui bahwa cara atau pendekatan yang digunakan Ernesto Laclau-Chantal Mouffe (selanjutnya disingkat: LM)untuk memahami dan mengkaji fenomena sosial (the social) dilakukan dengan menggunakan pendekatan “bahasa”. Artinya, akses kita pada realitas sosial hanya bisa dicapai melalui bahasa. Lalu, apa yang dimaksud LM dengan bahasa? Jawabannya, “bahasa” yang dimaksud LM dalam hal ini bukan sistem umum bahasa atau gramatika (struktur bahasa) tetapi bahasa sebagaimana dimanifestasikan dalam wujudnya sebagai wacana, atau dalam omongan”.28

LM adalah pasangan pemikir politik kiri sekaligus penggagas postmarxis yang menyandarkan paradigma teoritiknya pada tradisi linguistik strukturalis dan post-strukturalis. Kalaupun di kemudian hari, LM lebih cenderung menganut cara berpikir tradisi poststrukturalis, namun prinsip-prinsip dasar strukturalisme masih tetap mereka gunakan untuk memahami dan menggeledah fenomena sosial ataupun (pembentukan) masyarakat. Ada perbedaan yang cukup tajam antara tradisi linguistik srukturalisme dan poststrukturalisme. Boni Hargens mencatatkan perbedaan keduanya sebagai berikut:

28

St. Sunardi, Logika Demokrasi Plural Radikal, (dalam)Retorik,Jurnal Ilmu HumanioraBaru, vol.3 No. 1 Desember 2012, Program Studi Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, hlm, 5


(43)

Kaum strukturalis, sangat percaya bahwa makna diproduksi oleh proses penandaan (signifikasi) dalam suatu sistem bahasa yang mensyaratkan secara mutlak adanya penanda (siginifier) dan petanda (signified). Hubungan stabil penanda (imaji, akustik, kata) dan petanda (konsep)_menentukan makna”.

Sebaliknya, di tangan kaum poststrukuralis bahasa kehilangan kemutlakannya karena makna ternyata tidak diproduksi oleh struktur bahasa tetapi dipengaruhi

oleh konteks”.Barthes bahkan secara radikal mengatakan bahwa subjek bebas memasuki teks dari berbagai sudut dan menemukan makna baru dalam setiap penelusurannya. Dengan kata lain, tidak ada makna mutlak, tidak ada konsep sentral dan tidak ada universalitas mutlak. Makna bersifat partikular dan kontekstual”.29

Merujuk pada perbedaan dari kedua tradisi linguistik tersebut maka dapat disimpulkan bahwa di tangan kaum strukturalis“makna”dipahami sebagai sesuatu yang tetap (fixed) dan final. Itu artinya, kaum strukturalis memahami “makna”bersifat universal. Sedangkan kaum poststrukturalis memahami sebaliknya, “makna”adalah sesuatu yang tidak tetap (unfixed). Dengan kata lain, “makna”bersifat partikular dan kontekstual bukan universal.

Perlu juga ditambahkan, selain bersandar pada tradisi berpikir linguistik, LM juga memijakkan paradigma teoritiknya pada pemikiran Jacques Lacan, seorang filsuf psikoanalisa dari Perancis itu. Menurut Lacan tidak ada kata yang bebas dari metafora. Setiap upaya untuk memahami suatu penanda (kata) selalu memerlukan penanda yang lain dan penanda berikutnya juga memerlukan penanda yang lain sehingga membentuk suatu rantai penanda (chain of signifier) yang tidak terputus. Bagi Lacan, tidak ada kata yang tuntas dan tidak ada kalimat yang tertutup. Setiap kata atau kalimat selalu menuntut adanya kata atau kalimat yang lain sehingga makna juga tidak bersifat tertutup dan tetap. Baik penanda (kata) maupun petanda (makna) bersifat sementara”.30

29

Boni Hargen ((2006) Op.cit,hlm, 27

30


(44)

Karena bahasa (makna) pada dasarnya tidak bisa sepenuhnya stabil, maka bagi LM identitas juga tidakakan pernah bisa bersifat tetap dan final (unfixed of all identities).All identity is relational, kata LM”.31 Dengan status ontologis seperti itu maka setiap identitas menjadi terbuka (contingent) untuk segala pemaknaan dan

reartikulasi”.32 Identitas bukanlah sesuatu yang terberi (given) atau terbawa melainkan sesuatu yang dibentuk. Dibentuk melalui apa? LM mengatakan identitas adalah hasil dari konstruksi diskursif (discursive construction). Dalam istilahnya yang lain, LM mengatakan bahwa identitas itu merupakan hasil dari artikulasi diskursif (discursive articulation). Meskipun identitas adalah hasil dari artikulasi diskursif namunartikulasi diskursif itu tidak pernah bisa mencapai fiksasi makna yang utuh dan sempurna. Itu berarti identitas selalu merupakan hasil “kontestasi-sementara”. Dan, setiap reproduksi atau proses pembaharuan makna selalu merupakan tindakan politik sebab politik bagi LM melampaui dari sekedar lembaga-lembaga politik seperti partai politik, kelender pemilu dan sebagainya. Bagi LM, politik merupakan suatu konsep yang sangat luas sebab mengacu pada cara kita senantiasa menyusun fenomena sosial dengan cara-cara meniadakan cara-cara yang lain”.33Chantal Mouffe membedakan politik itu dalam dua

kategori yakni “yang politis” (the political) dan“politik” (politics). By “the political” I

mean the dimension of antagonism which I take to be constitutive of human societies,

while “politics” I mean the set of practices and institutions through which and order is

created organizing of human coexistence in the context of conflictuality provided by the political”.34

31

Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, (1985) Hegemony& Socialist Strategy; Towards a Radical Democratic Politics, London-New York, Verso, hlm, 111

32

Boni Hargen, (2006), Op.cit, hlm, 22

33

Marianne W.Jorgensen dan Phillips.J. Louise, (2007) Analisis Wacana: Teori dan Metode, terj, Yogyakarta, Pustakan Pelajar, hlm, 68

34


(45)

Dalam perspektif seperti itulah, LM memahami (pembentukan) masyarakat atau realitas sosial. Masyarakat atau realitas sosial itu tidak pernah selesai atau tidak pernah sampai pada totalitasnya yang penuh dan sempurna. Dengan begitu maka masyarakat itu bersifat terbuka (contingent) dan tidak tetap (unfixed). Itulah sebabnya dalam dictum -nya yang terkenal itu LM mengatakan: “Masyarakat itu tidak ada!” Maksudnya, masyarakat atau realitas sosial secara objektif tidak pernah selesai atau tepatnya tidak pernah bisa bersifat penuh dan total”.35 Masyarakat selalu merupakan hasil dari praktik diskursif yang beragam dan terus menerus. Masyarakat adalah cara subjek memberi makna padanya. Meskipun begitu harus diingat bahwa subjek dalam pandangan LM adalah subjek yang rentan, tidak pasti dan tidak otonom sebagaimana subjek cogitan

(cogito ergo sum: aku berpikir maka aku ada) yang dipahami Descartes. Subjek dalam pandangan LM adalah subjek yang dikondisikan atau disituasikan. Karena itulah LM memahami masyarakat atau realitas sosial itu tidak memiliki pusat hegemonik, atau tidak memiliki semacam fondasi tetap yang tidak bisa berubah (semacam penyangga permanen dalam dunia sosial) sebagaimana dalam pandangan Gramsci ataupun Marxisme klasik.

Karena masyarakat adalah wacanaatau tepatnya merupakan praktik wacana maka tidak ada elemen (kelompok sosial) yang lebih tinggi atau lebih unggul dalam ranah sosial. Karena itu, setiap unsur dalam realitas sosial memiliki potensi untuk menjadi wacana. Setiap elemen di dalam masyarakat yang dapat diartikulasikan ke dalam ruang sosial dengan sendirinya dapat diidentifikasi. Bertolak dari pemahaman seperti itu maka LM memahami bahwa hegemoni adalah hasil dari suatu praktik artikulasi yang

35


(46)

bersifat terus menerus. Artikulasi itu selalu memberi identitas dan identitas itu akan selalu menempati posisi struktural tertentu dalam ruang sosial”.36

LM memahami bahwa munculnya hegemoni merupakan konsekuensi dari artikulasi diskursif dari elemen atau kelompok sosial tertentu yang mendominasi artikulasi elemen atau kekuatan sosial tertentu yang berlangsung secara terus menerus dalam ranah sosial. Sebaliknya, artikulasi diskursif yang dilakukan oleh elemen atau kekuatan sosial tertentu dalam masyarakat yang memandang dirinya lebih lemah dari kekuatan sosial yang mendominasi artikulasi diskursif dalam masyarakat dapat disebut sebagai hegemoni tandingan atau kontra hegemoni”.37

Untuk memahami masyarakat sebagai hasil dari praktik artikulasi diskursif, LM merumuskan empat konsep penting yang saling terkait:

We will call articulation any practice establishing a relation among elements such that their identity is modified as a result of articulatory practice. The structured totality resulting from articulate practice, we will call discourse. The differential positions, in sofar as they appear articulated within a discourse, we will call moments. By contrast, we will call element any difference that is not discursively articulated”.38

Artikulasidalam pemahaman LM adalah setiap praktik menghadirkan hubungan antar elemen sedemikian rupa sehingga identitas elemen-elemen tersebut berubah sebagai akibat dari praktik artikulatoris. Totalitas terstruktur sebagai hasil dari praktik artikulasi itulah yang disebut LM sebagai wacana. Posisi-posisi mereka yang berbeda selama terartikulasi ke dalam sebuah wacana disebut sebagai momen-momen. Dan secara kontras, setiap perbedaan yang tidak terartikulasikan secara diskursif disbeut denganelemen.

36

Ibid, hlm, 65

37

Ibid

38

E.Laclau & Ch.Mouffe (1985)Hegemony & Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politics, London-New York, Verso,hlm, 105


(47)

Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya bahwa identitas adalah hasil dari artikulasi diskursif sehingga formasi hegemonik pada dasarnya adalah juga formasi diskursif. Formasi hegemonik tidak terjadi secara spontan melainkan hasil kerja kepemimpinan moral dan intelektual. Artinya, formasi hegemonik dengan sendirinya meliputi pengorganisasian kekuatan-kekuatan sosial yang berfungsi sebagai “penanda

mengambang” (floating signifier) sehingga menghasilkan hubungan-hubungan

diferensial dalam suatu totalitas struktural”.39

Pengorganisasian itu dijalankan dengan menggunakan logika ekuivalensi atau logika persamaan (logic of equivalence). Logika persamaan ini meliputi cara orang mengelompokkan unsur-unsur yang sama (ekuivalen) sehingga bisa menjadi sebuah totalitas trstruktur dengan identitas tertentu”. Singkat kata, logika ekuivalensi adalah logika yang digunakan dalam rangka menghadapi musuh bersama”.40 Sementara itu, logika perbedaan (logic of difference) adalah logika yang digunakan untuk mengumpulkan dan mengelompokkan unsur-unsur dengan berbagai perbedaan. Logika perbedaan tidak menunjuk kepada perbedaan internal antar kekuatan sosial yang bersifat antagonistik tetapi justru merujuk kepada perbedaan dengan yang di luar (constitutive out side). Jadi, baik logika ekuivalen (the logic of equivalence) maupun logika perbedaan (the logic of difference), keduanya merupakan logika yang digunakan untuk menyatukan unsur-unsur yang bernilai sama dan juga menyatukan unsur-unsur yang berbeda dengan sesuatu yang di luar (eksternal) ke dalam apa yang disebut Gramsci dengan blok historis (historical block) yang merupakan manifestasi

“kehendak bersama” (collective will). Sehubungan hal ini, Boni Hargens memberi penjelasan:

39

St.Sunardi “Logika Demokrasi Plural-Radikal”, Opcit, hlm, 13

40


(1)

(http://wmc-iainws.com/artikel/12-konflik-islam-kristen-di-era-reformasi,diakses,5Februari 2016).


(2)

Lampiran-Lampiran (dokumen foto penelitian):

komunitas CUM “Talenta: Kelompok Usaha Bersama Haroan Bolon “Talenta” Desa Bandar Purba Kec.Purba Simalungun

(sumber foto: dok.CUM “talenta” Saribudolok)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

Pelantikan Komisaris dalam sebuah Kebaktian Minggu (Sumber: Foto Dok. Komunitas CUM “Talenta”)

Sumber: foto DokKomunitas CUM “Talenta”


(4)

Sebagaian Peserta Pendidikan dan Pelatihan Pembuatan pupuk Bokasi (Sumber Foto Dok;komunitas CUM”TAlenta”)

Sumber Foto.Dok: Komunitas CUM “Talenta”

Pendidikan dan Pelatihan Manajemen ekonomi Rumah Tangga di Pelpem GKPS Pematang Siantar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

Pdt. Liharson Sigiro ketika melakukan sosialisasi di salah satu jemaat GKPSdi distrik III Saribudolok (sumber foto: dok. komunitas CUM “Talenta”)

Pengurus , Pegawai dan Anggota komunitas CUM “Talenta” Cabang Pematang Raya pada saat pembukaan Kantor Cabang Pematang Raya


(6)

Manajer Komunitas CUM “Talenta” Saribudolok berfotobersama bapak Dosman Damanik (pemimpin kelompok Haroan Bolon nagori (desa) Bandar Purba

(Sumber foto:dok pribadi)


Dokumen yang terkait

Studi Komparatif Peran Koperasi dan Credit Union (CU) Terhadap Pengembangan Usaha Mikro Kecil (UMK) di Kecamatan Medan Area

1 74 105

Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Credit Union (Studi deskriptif mengenai Kopdit/CU Cinta Kasih di Pulo Brayan, Medan)

3 99 107

Credit Union Sebagai Usaha Pemberdayaan Masyarakat ( Studi Deskriptif Usaha Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Tukka Kecamatan Pakkat Kabupaten Humbahas)

3 77 127

Evaluasi penyusunan laporan keuangan credit union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) : studi kasus di Credit Union Pancur Kasih tempat pelayanan pemangkat.

3 25 189

Evaluasi penyajian laporan keuangan Credit Union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) revisi tahun 2013. Studi kasus di Credit Union Barerod Gratia.

0 0 143

Analisis tingkat kesehatan keuangan credit union studi kasus pada credit union Lantang Tipo, Credit Union Bima dan Credit Union Keling Kumang di Kalimantan Barat.

3 21 233

Evaluasi penyusunan laporan keuangan credit union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) studi kasus di Credit Union Pancur Kasih tempat pelayanan pemangkat

2 25 187

Artikulasi kolektif masyarakat Dayak melawan perusahaan PT. Ledo Lestari (studi kasus tentang konflik agraria di Desa Semunying Jaya dalam perspektif Hegemoni Ernesto Laclau-chantal Mouffe).

4 16 126

Evaluasi penyajian laporan keuangan Credit Union berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) revisi tahun 2013. Studi kasus di Credit Union Barerod Gratia

0 0 141

HEGEMONI SOSIAL DAN POLITIK IDENTITAS PUTRA DAERAH JAMBI

0 0 27