34
3. Konsekuensi Penggunaan Media Audio-Visual dalam Berkatekese
Menurut buku yang berjudul Katekese Audio-Visual Seri PUSKAT 378 Ernestine Adisusanto, FX., 2001:9-10, jika kita ingin menggunakan medium
audio-visual dalam pewartaan, ada beberapa konsekuensi yang perlu dipikirkan di antaranya: Cara pertama yaitu penyampaian iman tidak dianggap sebagai
penyampaian doktrin, namun sebagai suatu pertemuan rohani dengan afektivitas yang otentik. Katekese audio-visual menyampaikan diri sendiri, bukan rumusan-
rumusan yang seragam. Dalam berkatekese audio-visual iman justru harus dikomunikasikan melalui perasaan dengan getaran pribadi, bukan melalui
kalimat-kalimat yang seragam. Berkatekese audio-visual dituntut adanya komunikasi iman timbal-balik antara katekis dan kelompok. Hal ini berarti bahwa
kita menghayati iman dalam hati. Mungkin hal ini untuk beberapa orang tidak begitu mudah. Konsekuensi kedua yaitu tempat. Perhitungan tempat dan saat yang
paling baik. Tempat yang paling baik adalah lingkungan yang sungguh-sungguh hidup, seperti keluarga, kring, stasi yang baik. Contoh katekese audio visual yang
baik salah satunya adalah keluarga, dimana ayah, ibu, dan anak-anak bersama- sama memanjatkan doa, yang diungkapkan otentik dan sederhana. Konsekuensi
ketiga yaitu bahanmateri katekese audio visual. Tindakan pertama dalam mempersiapkan katekese audio-visual dengan
membeli bahan-bahan, maka sikap tersebut tidak bijaksana. Bahaya yang ditimbulkan, kita mampu jatuh ke dalam anggapan bahwa katekese audio-visual
adalah suatu sistem atau metode. Hal yang terpenting adalah membentuk seorang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
katekis dari tipe baru, yang mampu bersikap nyaman dengan tubuhnya sendiri, terbiasa dengan simbol dan peradaban audio-visual Ernestine Adisusanto, FX.,
2001:10. Ketika kita hendak memilih bahan, pilihlah dengan baik, tujuannya bukan untuk memberikan peserta katekese audio-visual dengan bahan, melainkan
mengantarkan mereka untuk mencapai medium yang tepat. Dengan pertolongan medium tersebut, peserta sendiri dapat menciptakan bagi diri sendiri bahasa iman
mereka. Untuk mencapai tujuan semacam itu, katekis juga perlu memiliki gambar, slide, kaset, bahkan musik yang tepat Ernestine Adisusanto, FX., 2001:11.
BAB III PENELITIAN KEMUNGKINAN PENGGUNAAN
VIDEO SIARAN PENYEJUK IMANI KATOLIK INDOSIAR SEBAGAI MEDIA AUDIO-VISUAL DALAM KATEKESE UMAT
DI LINGKUNGAN SANTO IGNATIUS LOYOLA COKRODININGRATAN PAROKI SANTO ALBERTUS AGUNG JETIS
YOGYAKARTA
Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh Gereja dalam tugas perutusannya di dunia selalu bertitik tolak dari situasi umum yang dirasakan dan dihayati oleh
umat setempat. Pemenuhan kebutuhan secara kontekstual menjadi efisien dan tepat guna. Sejarah perkembangan iman yang terjadi di wilayah maupun
lingkungan dalam Gereja juga tidak lepas dari perumusan visi dan misi dalam seluruh usaha terciptanya Kerajaan Allah.
Usaha untuk mengenal situasi umum Gereja secara lebih mendalam mampu membantu kita untuk mengenal dan mengetahui perjalanan pertumbuhan
iman dalam sebuah kesatuan umat. Proses mengenal memungkinkan kita untuk mampu menemukan pokok-pokok keutamaan yang dapat semakin dikembangkan
di tengah hidup umat. Di dalam bab III ini penulis memaparkan penelitian kemungkinan
penggunaan video siaran Penyejuk Imani Katolik PIK Indosiar sebagai media audio-visual dalam katekese umat di Lingkungan Santo Ignatius Loyola
Cokrodiningratan Paroki Santo Albertus Agung Jetis Yogyakarta. Aspek-aspek yang diungkap yaitu: Situasi umum yang terjadi di Paroki Santo Albertus Agung
Jetis, situasi umum yang terjadi di lingkungan Santo Ignatius Loyola Cokrodiningratan sebagai tempat penelitian berlangsung, analisis kebutuhan dan
37
usulan tema-tema katekese umat, analisis video siaran PIK sebagai media audio- visual dalam kegiatan katekese umat, serta usulan progam katekese umat.
A.
Situasi Umum Paroki Santo Albertus Agung Jetis Yogyakarta 1.
Sejarah Singkat Paroki Santo Albertus Agung Jetis Yogyakarta
Paroki Santo Albertus Agung Jetis terbentuk dari perubahan status yang panjang. Berawal dari gagasan Pastor Sumaatmadja pada tahun 1952 dalam
tugasnya sebagai pastor pembantu di Paroki Kotabaru untuk mengajak umat membagi Kring I Bangirejo, Kring II Gondolayu, dan Kring III Jetis sebagai
bagian dari Paroki Kotabaru menjadi satu stasi. Kesepakatan untuk menjadikan Kring I Bangirejo, Kring II Gondolayu,
dan Kring III Jetis menjadi stasi mulai muncul pada tahun 1954. Melalui proses yang cukup panjang dan memakan waktu, akhirnya terbentuklah Stasi Jetis Paroki
Kotabaru. Reksa pastoral Stasi Jetis Paroki Kotabaru untuk pertama kalinya diberikan kepada Bapak L Soekarno Siswapranata.
Setelah terbentuknya stasi yang baru, dampak besar dirasakan dalam hidup beriman umat. Kehidupan terasa semakin hangat dan penuh kebersamaan.
Misa mingguan tetap diikuti di Gereja Santo Antonius Kotabaru, namun stasi yang telah terbentuk mendapatkan privilese untuk menyelenggarakan misa hari
raya Natal dan Paskah sendiri di daerah yang termasuk dalam stasi Jetis. Lambat laun misa mingguan mulai diserahkan juga kepada stasi Panitia 50th Gereja St.
Albertus Agung Jetis Yogyakarta, 2015: 2-3. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Semangat menggereja yang ditunjukkan oleh umat stasi Jetis didengar oleh Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, Uskup Agung Semarang. Bentuk perhatian
yang diberikan oleh Mgr. Albertus Soegijapranata SJ kepada umat yang terasa sangat bergelora dalam semangat menggereja ditunjukkan dengan menugaskan
Rm. Carlo Carri SJ untuk melayani reksa pastoral di stasi Jetis. Rm. Carlo hadir untuk menyiapkan rasul-rasul awam dan melakukan penjajagan untuk melihat
kemungkinan membangun paroki dan gereja di stasi Jetis Panitia 50th Gereja St. Albertus Agung Jetis Yogyakarta, 2015: 4-5.
Melalui proses yang panjang dalam berbagai pengalaman, harapan umat stasi Jetis rupanya didengar oleh Tuhan. Gambaran akan terbentuknya Paroki baru
mulai dapat terwujud. Pada tahun 1962 mulai dirintis peralihan stasi menjadi paroki dengan didampingi Rm. Carri, bapak Soeparman dan bapak
Dibyohardiatmodjo Panitia 50th Gereja St. Albertus Agung Jetis Yogyakarta, 2015: 8-9.
Pada tanggal 02 Agustus 1964 terjadi peristiwa yang penting bagi umat stasi Jetis. Menjelang akhir khotbah Rm. Heribertus Natasusila yang telah satu
tahun ditahbiskan untuk melayani stasi Jetis, beliau mengungkapkan bahwa Stasi Jetis telah berdiri sendiri menjadi Paroki Jetis. Mulai saat itu secara organisasi
Gereja sudah terpisah dari Paroki Kotabaru dan menjadi Paroki yang otonom, mandiri, dan harus dapat mencukupi kebutuhan diri sendiri Panitia 50th Gereja
St. Albertus Agung Jetis Yogyakarta, 2015:15-16. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Atas izin dari Keuskupan Agung Semarang, sebenarnya sejak bulan Januari 1965, status sebagai Paroki telah dipegang dan telah memiliki buku babtis
serta buku data perkawinan secara mandiri. Meskipun telah dinyatakan sebagai Paroki Jetis, hingga kini statuta atau surat keputusan sebagai dokumen resmi dari
Keuskupan Agung Semarang yang menyatakan pendirian paroki masih dicari dan belum ditemukan kembali guna mengetahui dengan jelas kapan paroki ini
terbentuk Panitia 50th Gereja St. Albertus Agung Jetis Yogyakarta, 2015:17.
2. Letak Geografis Paroki Santo Albertus Agung Jetis Yogyakarta