15
4. Audio-Visual
Perkembangan teknologi
dalam sejarah
kebudayaan manusia
menghasilkan penemuan di antaranya roda, abjad, percetakan, dan mesin uap mampu merubah sistem komunikasi manusia. Peradaban manusia mulai
dipengaruhi oleh penemuan serta membentuk manusia dalam proses kehidupanya. Mulai terjadi peradaban audio-visual sejak ditemukannya listrik. Dalam
peradaban ini manusia tidak hanya dibentuk melalui huruf melainkan menembus gambar dan suara. Manusia zaman sekarang menjadi berubah dalam konteks
manusia zaman sebelum peradaban audio-visual. Manusia zaman audio-visual telah diperkaya dengan suara dan musik
karena pengaruh gagasan-gagasan yang terbawa dalam penemuan listrik. Dapat dikatakan bahwa manusia zaman audio-visual merupakan perpanjangan dari diri
manusia yang menyangkut tubuh, sistem urat syaraf, dan perasaan yang membawa perubahan terhadap sikap manusia Ernestine Adisusanto, FX., 2001:2.
5. Kemungkinan dan Keterbatasan Audio-Visual
Situasi yang terjadi mulai abad ke-20 abad modern sama sekali berbeda dengan situasi yang terjadi pada zaman lampau. Pada zaman lampau orang
Kristiani memiliki keterikatan terhadap kata-kata, rumusan-rumusan yang seragam dan teliti, namun pada zaman sekarang mulai abad ke-20 hal semacam ini
tidak memiliki arti lagi. Rumusan yang seragam dan logis justru membuat orang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
kristiani berpikir dengan kaku, analistis dan logis sedangkan sekarang yang dibutuhkan justru menuntut iman yang hidup, intim, dan pribadi.
Tuntutan kebutuhan membuat bahasa audio-visual bermanfaat untuk memberikan kesempatan menyampaikan kata-kata yang teliti serta pengalaman
yang menyeluruh. Bahasa yang diungkapkan oleh media audio-visual tidak sama dengan bahasa yang diungkapkan oleh media cetak, bahkan dengan bahasa lisan
yang bermaksud menyampaikan inti pokok pembicaraan. Media audio-visual tidak menggunakan bahasa doktrin atau ide-ide,
melainkan merangsang perasaan seorang pribadi. Buku yang berjudul Katekese Audio-Visual Seri PUSKAT 378 Ernestine Adisusanto, FX., 2001:6
mengungkapkan bahwa: Suara yang disampaikan melalui mike dan amplifier yang baik akan
dapat mengungkapkan nafas dan isi hati pemilik suara. Hal ini membuat penyanyi dapat memesonakan orang banyak melalui suaranya. Tidak
hanya suara, tetapi gambar-gambar pun juga dapat mengungkapkan perasaan, isi hati, bahkan seluruh pribadi si pembuat, entah pelukis, juru
kamera, atau sutradara film. Jika demikian tidak mengherankan bahwa ada orang yang melihat film bukan untuk menikmati ceritera atau isi film
tersebut, tetapi untuk memahami atau menyelami pribadi sutradara film tersebut. Pendek kata: melalui bahasa audio-visual kita tidak mau
mengungkapkan suatu ide, tetapi mau menyampaikan pengalaman pribadi kepada orang lain.
Bahasa audio-visual memiliki keterbatasan dan risiko. Kreativitas, partisipasi, afektivitas, dan kesadaran kritis dituntut dalam bahasa audio-visual.
Unsur subyektivitas menjadi peranan yang pokok, unsur subyektivitas mengandung resiko tidak adanya kejelasan, ketelitian, struktur, dan sintese.
Meskipun resiko semacam ini selalu terjadi, bahasa audio-visual tidak berhenti PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
pada gambar atau suara saja sehinga dalam bahasa audio-visual kita juga dapat menjumpai pengetahuan meski tidak seteliti atau selengkap di dalam buku.
Sementara itu unsur berpikir juga tidak hilang dalam bahasa audio-visual. Buku yang berjudul Katekese Audio-Visual Seri PUSKAT 378 Ernestine Adisusanto,
FX., 2001:7 menjelaskan bahwa: Bahkan ada orang yang mengatakan bahwa sebuah film atau sound-slides
lebih banyak membuat dia berpikir daripada kotbah atau buku-buku. Hal ini menimbulkan pertanyaan pada diri kami: apakah pada dewasa ini
tidak sedang menghilang cara berpikir, yang menekankan gagasan- gagasan terlalu teliti, kata-kata seragam dan logika yang kaku?
6. Media Siaran