Membangun Kepercayaan Antara Nasabah Dengan BCA

72 Keempat asas diatas menjadi tolak ukur bagi BCA khususnya Cabang Katamso Medan dalam memberikan pelayanan terhadap nasabahnya. Mulai dari pra penjualan produk hingga paska penjualan produk tetap didasarkan oleh budaya organisasinya BCA yaitu SMART dalam melayani nasabah. Sepanjang proses pelayanan nasabah jika dilihat dari empat asas di atas, BCA Cabang Katamso Medan tidak pernah melakukan perbedaan- perbedaan pelayanan terhadap nasabah. Perbedaan-perbedaan itu secara kecil memang terlihat tetapi sifatnya hanya pribadi antara karyawan dengan nasabah. Hal itu terbentuk karena adanya kedekatan antara nasabah dan karyawan sebelumnya. Walaupun begitu, segala bentuk kinerja pelayanan kepada nasabah tidak terlihat secara jelas di BCA Katamso.

5.3 Membangun Kepercayaan Antara Nasabah Dengan BCA

Sudah tidak asing lagi bahwa antara Etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi pernah mengalami pengalaman yang buruk. Seperti kasus yang terjadi pada tahun 1998 bahwa orang-orang pribumi melakukan penjarahan terhadap Etnis Tionghoa bahkan sampai pemerkosaan. Pengalaman ini tampaknya masih meninggalkan bekas luka bagi orang-orang Etnis Tionghoa walaupun sebagian mereka tidak terlibat langsung dalam kejadian sebelumnya. Seiring berjalannya waktu, proses interaksi antara Etnis Tionghoa tetap berlangsung hingga saat ini. Hal itu ditunjukkan dari berbagai aktivitas-aktivitas masyarakat mulai dari perdagangan, sosial, karena bertetangga, birokrasi, dan lain-lain. Pola interaksi yang paling banyak terjadi diantara keduanya terjadi di sektor perdagangan. Di Kota Medan khususnya lokasi penelitian ini terjadi, orang-orang yang beretnis Tionghoa banyak berkecimpung di dunia perdagangan. Hampir 90 mereka terjun ke perdagangan dan kondisi tersebut sedikit Universitas Sumatera Utara 73 menggambarkan bagaimana sejarah mereka pertama sekali berada di Indonesia yaitu dengan berdagang. Dari jumlah populasi mereka, tidak semuanya menjadi pedagang melainkan masih ada persebarannya di luar sektor perdagangan yaitu berprofesi sebagai guru, karyawan kantoran, dokter, pengacara, bahkan mencalonkan diri sebagai caleg. Seperti yang kita ketahui bahwa jaringan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa sangatlah kuat antar sesama in-groupnya. Kondisi ini terjadi dimana saja tanpa terkecuali di institusi perbankan sendiri. Hadirnya budaya korporat yang sudah dijelaskan diatas, juga tidak mampu memaksimalkan kinerja budaya korporat secara keseluruhan. Sebagai contoh, ketika salah satu nasabah yang beretnis Tionghoa tidak membawa KTP untuk bertransaksi dan pada saat itu dia berhadapan dengan teller yang beretnis Tionghoa juga, maka transaksi tersebut dapat dilaksanakan. Contoh diatas menggambarkan bahwa jaringan yang saya sebutkan diatas berlaku pada kondisi tersebut. Dengan rasa kedekatan emosional yang tinggi kepada in-groupnya maka hal itu bisa terjadi. Kekuatan jaringan tersebut bisa muncul pada institusi manapun, padahal mereka tidak dalam satu ikatan keluarga. Rasa kekeluargaan tersebut muncul ketika pandangan minoritas melekat kepada mereka sehingga siapa saja yang beretnis Tionghoa di luar daerah asalnya China, akan dianggap dalam ikatan saudara kandung. Nilai seperti ini tersirat dalam budaya masyarakat Jepang yang menerima keberadaan orang luar di dalam keluarganya. Praktik pengadopsian orang-orang luar yang tidak memliki hubungan biologis dilakukan secara luas dan relative mudah Fukuyama, 2002: 254. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut menandakan bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang bisa dikatakan masyarakat high trust. High trust disini Universitas Sumatera Utara 74 justru terjadi pada satu kelompok masyarakat saja yaitu kelompok masyarakat etnis Tionghoa yang ada di Kota Medan. Konsep high trust ini juga tidak terjadi pada satu kelompok masyarakat saja melainkan dapat terjadi pada kelompok masyarakat lainnya khususnya kepada pada institusi perbankan. Masyarakat yang high trust dicirikan dengan adanya kepercayaan dalam tim yang tinggi. Pengertian tim menurut peneliti dalam hal ini adalah kumpulan masyarakat yang ada di institusi perbankan yaitu pimpinan dan para karyawannya serta para nasabah. Kepercayaan dalam tim sangat terkait erat dengan keberadaan budaya korporat dari BCA yaitu SMART bagi pelayanan. Peraturan ataupun budaya korporat BCA berfungsi sebagai pembentuk nilai-nilai kepercayaan bagi masyarakat perbankan. Ada 3 tahapan dalam pembentukan budaya SMART BCA : Gambar 1. Bagan Budaya SMART BCA Bagan diatas merupakan alur pembentukan budaya korporat di BCA. Bagan pertama menjelaskan bahwa penanaman nilai-nilai SMART harus ada tindakan memaksa TINDAKAN Acts BUDAYA Culture KEBIASAAN Habits Universitas Sumatera Utara 75 yang bertujuan untuk menginternalisasikan nilai-nilai tersebut. Penginternalisasasian nilai- nilai secara berulang, maka akan memunculkan suatu kebiasaan dalam penerapan nilai- nilai SMART. Nilai-nilai SMART yang sudah diinternalisasikan dan menjadi kebiasaan, maka nilai-nilai SMART akan membudaya di setiap lini anggota organisasi BCA. Penginternalisasian nilai-nilai SMART diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap pelayanan bagi nasabah BCA. Peneliti melihat bahwa keberadaan nilai-nilai SMART akan membentuk masyarakat perbankan yang high trust. Adanya kerjasama tim dalam melayani nasabah, baik dari bagian teller, CSO, back office, dan pimpinan menjadi bagian pembentuk masyarakat high trust tersebut. Nilai-nilai SMART tersebut mendegradasikan perbedaan-perbedaan khususnya etnisitas. Nilai SMART sendiri menerapkan tidak adanya pembedaan pelayanan bagi nasabah yang tidak didasarkan pada etnisitas. Nilai-nilai SMART ini yang dipakai BCA sebagai strategi untuk melayani nasabah.

5.4 Peran Kelembagaan Dalam Membangun Hubungan Sosial Antar Etnis