Tabel 5.27 Distribusi Responden Berdasarkan Pembantuan Penambahan Tabel 5.28 Distribusi Responden Berdasarkan Pembantuan Keterampilan Tabel 5.29 Distribusi Responden Berdasarkan Keterampilan Sebagai Tabel 5.30 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat

28. Tabel 5.27 Distribusi Responden Berdasarkan Pembantuan Penambahan

Pemasukan Responden ……………………………. 105

29. Tabel 5.28 Distribusi Responden Berdasarkan Pembantuan Keterampilan

Bagi Responden dan Orang Lain …..…………….. 106

30. Tabel 5.29 Distribusi Responden Berdasarkan Keterampilan Sebagai

Pekerjaan Pokok Responden ………………………. 108

31. Tabel 5.30 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kebosanan Dalam

Pelatihan Keterampilan …………………………… 109

32. Tabel 5.31 Distribusi Responden Berdasarkan Hasil Penerimaan

Pembelajaran Selama Pelatihan …………………… 111 Universitas Sumatera Utara DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Bagan Alir Pemikiran ……………………………….. 52 Bagan 4.1 Struktur Organisasi UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar …..…….. 62 Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Febrina Odelia M. S. NIM : 090902042 ABSTRAK Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar Salah satu masalah sosial yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat ini antara lain adalah masalah penyandang cacat. Penyandang cacat juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, diantaranya adalah berhak memperoleh pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan yang ada pada mereka. Penyandang cacat diharapkan mampu mengembangkan dan meningkatkan kemampuan fisik, mental dan sosialnya sehingga diharapkan yang bersangkutan mampu bekerja sesuai dengan tingkat kemampuan, pendidikan dan keterampilan yang dimiliki serta sesuai dengan minat dan pengalamannya, sehingga mencapai kemandirian di tengah kehidupan masyarakat. Salah satu upaya pemberdayaan penyandang cacat yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Sumatera Utara khususnya bagi tuna rungu wicara yaitu pemberian program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara yang dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknis UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar. Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif yang mengkaji masalah program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara Pematang Siantar. Sampel penelitian ini adalah warga binaan sosial tuna rungu wicara yang mengikuti pelatihan keterampilan terdiri dari 18 orang yang semuanya dijadikan populasi. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Indikator yang digunakan untuk mengukur efektivitas program pelatihan keterampilan tersebut adalah reaksi, proses belajar, perilaku dan dampak organisasi terhadap responden. Untuk mengetahui tingkat efektivitas program, pengukuran data dilakukan dengan menggunakan skala likert. Hasil penelitian menyimpulkan, efektivitas program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar yaitu efektif dengan nilai skala likert 0,63. Reaksi responden adalah efektif sebanyak 0,64. Proses belajar responden berjalan efektif sebanyak 0,62. Perubahan perilaku sebanyak 0,65. Dampak program pelatihan keterampilan bagi responden juga efektif sebanyak 0,62. Responden yang mengikuti pelatihan keterampilan kini telah memiliki keterampilan dan lebih percaya diri. Kata kunci : Efektivitas, Program Pelatihan Keterampilan, Penyandang Cacat, Tuna Rungu Wicara Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Name : Febrina Odelia M. S. NIM : 090902042 ABSTRACT The Effectiveness of Skills Training Program For Disabled Deaf Talk at UPT Social Services Speech and The Deaf Elderly People Pematang Siantar One of the social problems faced by Indonesia at this time include disability issues . Disabled people also have the same rights and obligations in all aspects of life and livelihood , which are entitled to work in accordance with the type and degree of disability that is on them . Disabled people should be able to develop and improve the physical, mental and social so it is expected that the relevant able to work in accordance with the level of skills , education and skills possessed and in accordance with the interests and experiences , so as to achieve self-reliance in public life . One effort to empower people with disabilities conducted by the North Sumatra provincial government particularly for hearing impaired speech is the provision of skills training programs for persons with disabilities who conducted the hearing impaired speech in the Technical Implementation Unit UPT Social Services Speech and Deaf Elderly Siantar. This form of descriptive research study that examines issues of skills training programs for persons with disabilities deaf mute . This study aims to determine the effectiveness of skills training programs for persons with disabilities in UPT deaf mute Deaf Social Services Speech Siantar . The sample was deaf inmates social skills training speech which consists of 18 people who all serve the population. Data were collected using a questionnaire and analyzed using descriptive statistics . Indicators used to measure the effectiveness of the skills training programs is a reaction, learning, behavior and organizational impact to the respondents. To determine the level of effectiveness of skills training programs , measurement data using a Likert scale . The results concluded that the effectiveness of skills training programs for persons with disabilities in UPT deaf mute Deaf Talk Social Services and Seniors Siantar been effective with a value of 0.63 Likert scale . Respondents reactions to the program is effective as much as 0.64 . Effective learning process as much as 0.62 respondents . Changes in respondent behavior as 0.65 . Impact of skills training programs for the respondents also effective as 0.62 . Respondents who follow vocational training and skills now have more confidence . Keywords : Effectiveness , Skills Training Program , Disabled , Deaf Talk . Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak. Kehilangan pendengaran yang ringan atau parsial saja dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk berbicara dan memahami bahasa. Bagi anak-anak, pendengaran dan kemampuan berbahasa adalah alat yang sangat penting untuk belajar, bermain dan membangun kemampuan sosial. Anak belajar untuk berkomunikasi dengan meniru suara yang mereka dengar. Jika mereka memiliki gangguan pendengaran yang tidak diketahui sebelumnya dan tidak ditangani, informasi untuk perkembangan bahasa dari lingkungan mereka akan terbuang sia-sia. Hal ini akan mengakibatkan lambatnya perkembangan kemampuan verbal serta menimbulkan masalah soaial dan akademik. Susunan pancaindra manusia, salah satunya telinga sebagai indera pendengaran merupakan organ untuk melengkapi informasi yang diperoleh melalui penglihatan. Bila kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan untuk mendengar berarti kehilangan kemampuan menyimak secara utuh peristiwa di sekitarnya. Akibatnya, semua peristiwa yang terekam oleh penglihatan anak dengan kecacatan rungu wicara, tampak seperti terjadi secara tiba-tiba tanpa dapat memahami gejala awalnya. Faktanya kebanyakan orang, mengalami gangguan pendengaran secara lambat sehingga mereka sendiri tidak menyadari tanda-tanda gangguan Universitas Sumatera Utara pendengaran pada dirinya sendiri. Tanda-tanda gangguan pendengaran yang dapat kita lihat pada orang-orang disekitar kita seperti jika seseorang tiba-tiba beralih mengubah volume TV atau radio tanpa alasan yang jelas, itu dapat menjadi salah satu indikator mereka berada pada beberapa level gangguan pendengaran. Orang yang mulai mengalami gangguan pendengaran juga mulai menghindari pertemuan-pertemuan sosial karena akan menjadi hal yang rumit bagi orang dengan gangguan pendengaran. Sering terjadinya kesalahpahaman di dalam percakapan juga dapat menunjukkan orang tersebut sedang berjuang untuk mendengarkan suara lawan bicaranya dengan jelas. Selain itu orang dengan gangguan pendengaran sering merasa letih atau stress. Hal ini disebabkan karena mendengarkan adalah kerja keras dan membutuhkan konsentrasi, sehingga membuat mereka gampang lelah dan juga stress. Gangguan pendengaran belum begitu mendapat perhatian serius dari masyarakat karena gejalanya tidak tampak dari luar. Gangguan ini sangat menganggu produktifitas dan membuat penderitanya terisolasi dari lingkungan. Pada anak-anak, dampaknya lebih berat lagi karena mempengaruhi perkembangannya hingga dewasa. Masih banyak orang yang beranggapan bahwa orang yang memiliki keterbatasan fisik tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan banyak yang menyangka disabilitas adalah sekelompok orang yang hanya membuat susah orang lain. Padahal, jika diperhatikan, penyandang disabilitas juga bisa berprestasi dan berkarya, dan bisa melebihi orang-orang normal lainnya, bahkan tak sedikit prestasi yang mereka peroleh dikancah internasional. Untuk itu perlu dukungan dari masyarakat, tapi bukan karena didasarkan pada belas kasihan, namun hak- Universitas Sumatera Utara hak yang terhormat bagi penyandang disabilitas. Harian Analisa, 5 Desember 2012:15. Anak dengan kecacatan rungu wicara merupakan realitas sosial yang tidak terelakkan keberadaannya. Mereka membutuhkan perhatian dan dukungan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Secara umum keberadaan anak dengan kecacatan rungu wicara terkadang dianggap beban, aib yang keberadaannya disembunyikan atau diisolasi dari kehidupan masyarakat. Kecacatan pada anak merupakan kondisi yang tidak diinginkan oleh siapapun. Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris ditemukan fakta bahwa tingkat penduduk yang mengalami gangguan pendengaran cukup tinggi. Di Amerika Serikat ada 36 juta orang dengan gangguan pendengaran atau satu dari setiap lima orang penduduk, sedangkan di Inggris ada lebih dari 10 juta penduduk yang mengalami gangguan pendengaran atau satu dari enam penduduk. Diketahui juga bahwa laki-laki lebih banyak yang mengalami gangguan pendengaran dibandingkan wanita. Gangguan pendengaran terjadi karena ada yang dibawa sejak lahir dan ada yang di dapat seperti akibat kecelakaan atau menerima paparan suara yang keras setiap hari secara teratur. Pada tahun 2011 jumlah penduduk Inggris dengan gangguan pendengaran ada 10 juta orang dan diperkirakan pada tahun 2031 jumlah penduduk dengan gangguan pendengaran akan meningkat menjadi 14,5 juta orang penduduk. http.actiononhearingloss.org.uk. Diakses pada 26 April 2013 pukul 13.28 Di Indonesia sampai saat ini belum ada data yang jelas dan up to date mengenai jumlah yang mengalami gangguan pendengaran, karena belum dilakukan program screening untuk pendengaran. Data survey Kesehatan Indera Universitas Sumatera Utara Pendengaran di tujuh propinsi tahun 1994-1996 menyebutkan prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia adalah 16,8 dan 0,4. Menurut data WHO tahun 2007, prevalensi gangguan pendengaran pada populasi Indonesia diperkirakan sebesar 4,2 sehingga berdasarkan tahun 2002 bila jumlah penduduk Indonesia sebesar 221.900.000 maka 9.319.800 penduduk Indonesia diperkirakan menderita gangguan pendengaran. http: eprints.undip.ac.id. Diakses pada 27 April 2013 pukul 09.25. Menurut data yang diperoleh Deputi Bidang Perlindungan Perempuan pada Seminar Hari Internasional Penyandang Cacat 2011 dikatakan bahwa penyandang tuna netra 1.749.981 jiwa, tuna rungu wicara 602.784 jiwa, tuna daksa 1.652.741 jiwa, tuna grahita 777.761 Jiwa. Kementerian Sosial RI memperkirakan populasi penyandang Cacat Indonesia sebesar 3,11, sementara WHO menyampaikan jumlah penyandang cacat dari negara - negara berkembang yaitu sebesar 10. http:rehsos.kemsos.go.id. Diakses pada tanggal 26 April 2013 pukul 20.45 Data statistik populasi anak berkelainan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial, populasi penyandang kelainan hingga tahun 1991 diketahui sebanyak 5.576.815 orang dengan penyandang kelainan tunarungu-wicara sebanyak 555.898 orang 9,97 Efendi,2006:12. Sampai saat ini belum ada data yang akurat tentang populasi anak dengan kecacatan rungu wicara di Indonesia. Namun, sebagai gambaran terdapat 295.795 anak dengan kecacatan adalah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial PMKS sebesar 295.763 anak. Sementara Departemen Pendidikan Nasional menyatakan baru sekitar 48.000 anak dengan kecacatan dari 1,3 juta anak penyandang cacat usia sekolah yang Universitas Sumatera Utara menikmati pendidikan. Sisanya lebih banyak tinggal di rumah. Dengan demikian anak dengan kecacatan termasuk anak dengan kecacatan rungu wicara masih mendapat perlakuan diskriminatif.Depsos RI.2008. Kondisi di atas dalam sudut pandang perkembangan anak dipandang kurang menguntungkan terutama pada pemenuhan hak-hak anak secara umumnya. Suatu asumsi terganggunya pemenuhan hak-hak anak dengan kecacatan rungu wicara juga akan berdampak pada keberadaan dan masa depan anak itu sendiri. Sehingga perlindungan terhadap anak dengan kecacatan rungu wicara menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya penanganan anak dan peningkatan kesejahteraannya. Terdapat beberapa dampak dari ketunarunguan yang dialami pada anak, diantaranya adalah mereka terlambat dalam memperoleh bahasa sehingga sulit dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Kurangnya pemahaman bahasa yang dimiliki anak tunarungu menyebabkan terdapatnya kesalahan penafsiran dalam memandang sesuatu yang dilihatnya dan di lingkungan masyarakat pada umumnya melihat anak penyandang cacat seperti tunarungu sebagai anak yang memiliki kekurangan sehingga sedikit tersisihkan dari masyarakat. Pada beberapa kasus anak dengan kecacatan, khususnya kecacatan rungu wicara, apabila diketahui dan ditanggulangi sedini mungkin akan membuat perkembangan anak menjadi semakin baik dan dapat mengurangi hambatan- hambatan yang terjadi. Sebagai contoh, anak balita yang tidak dapat mendengar dan bicara, apabila diketahui lebih dini, maka orang tua dapat menentukan sikap yang lebih positif terhadap kondisi kecacatan yang diderita anaknya sehingga dapat dicari altenatif pemecahan permasalahannya. Dalam hal ini dibutuhkan Universitas Sumatera Utara kesadaran, perhatian, dan keahlian khusus orang-orang disekitar anak seperti orang tua, keluarga, guru, dan masyarakat dimana anak tersebut tinggal. Berbagai keterbatasan yang ada pada keluarga yang memiliki anak dengan kecacatan rungu wicara menyebabkan terkendalanya keluarga dalam memberikan pelayanan dalam menangani anak tersebut. Demikian juga para petugas dan penyelenggara pelayanan anak dengan kecacatan rungu wicara, sering kali juga terkendala oleh keterbatasan kemampuan serta keterampilan yang menyebabkan tidak optimalnya pelayanan dan rehabilitasi sosial anak dengan kecacatan rungu wicara. Anak dengan kecacatan rungu wicara pada hakekatnya mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. Anak dengan kecacatan rungu wicara masih memiliki organ indera lain yang dapat berfungsi sebagai organ indra visual yang membuat memungkinkannya imajinasi visual yang diperoleh anak tunarungu dari lingkungannya berada. Upaya pengembangannya dengan adanya program yang terancang secara sistematis melalui upaya penanganan secara terarah, tepat guna dan berkesinambungan. Pelayanan dan rehabilitasi sosial merupakan upaya yang tidak dapat terpisahkan dengan sistem pelayanan secara umum. Pelayanan dan rehabilitasi sosial anak cacat rungu wicara merupakan rangkaian kegiatan pembinaan dan pelayanan kesejahteraan sosial dalam rangka menjamin tumbuh kembang anak, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosial secara wajar di segala aspek kehidupan di dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini perlu didukung oleh lingkungan khususnya wadah pelayanan dan rehabilitasi sosial seperti panti pelayanan sosial. Universitas Sumatera Utara Panti merupakan salah satu wadah yang dapat mengoptimalkan potensi, minat, bakat dan pendidikan anak dengan kecacatan rungu wicara. Panti diwajibkan memberikan kemampuan terbaik dalam menjalankan kinerjanya, salah satunya adalah ditunjang dengan fasilitas yang memadai. Fasilitas yang memadai tentunya diharapkan anak dapat terfasilitasi dalam mendapatkan pendidikan dan keterampilan yang mumpuni selama pendidikan formal. Diharapkan setelah mendapatkan pendidikan dari sekolah, anak dapat menjadi lebih mandiri dan dapat diterima dalam bekerja. Namun sayang, untuk dapat bekerja anak dengan kecacatan rungu wicara harus bersaing secara ketat dengan anak lain pada umumnya. Namun perbedaannya kualitas pendidikan yang didapat anak membuat anak dengan kecacatan rungu wicara menjadi korban dari ketidakpastian untuk bersaing di masyarakat. Keterampilan sangat dibutuhkan oleh setiap individu terutama pada saat ini. Keterampilan bagi sebagian orang adalah suatu kelebihan yang harus dimiliki karena dalam segala aspek kita sebagai individu dituntut untuk terampil menyikapi segala hal. Berbeda dengan anak dengan kecacatan rungu wicara, ada kecenderungan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan menjadi terhambat sehingga kurang optimal dalam mengekspresikan kemampuan yang mereka miliki. Bagi tunarungu pemberian pembelajaran keterampilan khususnya keterampilan kecakapan hidup harus dimulai dari hal-hal yang sifatnya sederhana. Kehadiran anak dengan kecacatan rungu wicara yang setiap tahunnya bertambah menjadikan mereka menjadi salah satu sasaran dari Departemen Sosial. Upaya Departemen Sosial untuk memberikan layanan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan anak dengan kecacatan rungu wicara adalah dengan Universitas Sumatera Utara menghadirkan Panti Sosial Tuna Rungu Wicara sebagai suatu pelayanan substitutive atau pengganti keluarga, terutama berupa pemberian layanan pendidikan dan perlindungan secara tepat dan maksimal. Melalui kehadiran panti sosial ini, segala program dan kegiatan pelayanan sosial bagi penyandang cacat tunarungu wicara diarahkan untuk meningkatkan kesempatan berusaha dan bekerja untuk meningkatkan kualitas hidup dan taraf kesejahteraan sosial penyandang cacat tuna rungu wicara, meningkatkan kepedulian sosial masyarakat, serta membangun budaya kewirausahaan bagi penyandang cacat. Panti sosial diharapkan mampu memenuhi kebutuhan fisik, psikis dan sosial anak yang tidak hanya terkait dengan kehidupan keluarga dan masyarakat tetapi sebagai manusia yang utuh dan unik. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan mengetahui bagaimana keefektifan pelayanan sosial yang diberikan oleh UPT. Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar terhadap penyandang cacat tuna rungu wicara dengan melihat kualitas kegiatan seperti reaksi warga binaan tuna rungu wicara terhadap program kegiatan, kuantitas kegiatan seperti seberapa jauh penguasaan konsep selama pelatihan dan dampak pelatihan. Penulis membatasi penelitian ini hanya pada ruang lingkup keefektifan pelayanan yang diberikan kepada penyandang cacat tuna rungu wicara. Penulis mengangkat permasalahan yang dirangkum dalam penelitian sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul: “Efektifitas Pelaksanaan Program Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar.” Universitas Sumatera Utara Adapun alasan peneliti tertarik meneliti permasalahan ini adalah karena mengetahui bahwa ternyata banyak anak dengan kecacatan tuna rungu wicara yang belum tertangani yang dampaknya akan mengganggu emosional dan hubungan sosialnya dan pada akhirnya mereka akan terdiskriminasikan. Selain itu peneliti tertarik untuk meneliti di Panti Tuna Rungu Wicara P. Siantar karna panti ini merupakan salah satu UPT yang khusus melayani penyandang cacat tuna rungu wicara di Provinsi Sumatera Utara dan memiliki wilayah kerjanya meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jambi Sumbagut. Sehingga peneliti ingin melihat bagaimana efektifitas dari pemberian pelayanan sosial berupa pemberian keterampilan terhadap penyandang cacat tuna rungu wicara yang selama ini telah diberikan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana efektifitas pelaksanaan program keterampilan terhadap penyandang cacat tuna rungu wicara di UPTD. Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar? Universitas Sumatera Utara

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui efektifitas Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar dalam menangani penyandang cacat tuna rungu wicara 2. Mengetahui sejauh mana program keterampilan di Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar dalam memberikan pendidikan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis sendiri adalah dapat mempertajam kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah dan menambah pengetahuan dibidang pelayanan sosial 2. Bagi fakultas, untuk memperbanyak referensi karya ilmiah yang menyangkut efektifitas lembaga dalam menangani penyandang cacat tuna rungu wicara 3. Memberikan kontribusi pemikiran dan masukan kepada pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat maupun instansi terkait dalam upaya meningkatkan kualitas penanganan penyandang cacat tuna rungu wicara. Universitas Sumatera Utara

1.4 Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disajikan dalam 6 bab dengan sistematika sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian serta Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini menguraikan secara teoritis variable-variabel yang diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian dimana penulis mengadakan penelitian

BAB V ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisanya

BAB VI PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian sehubungan dengan penelitian yang dilakukan Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia 1993:250 efektivitas diartikan sebagai sesuatu yang ada efeknya akibatnya,pengaruhnya, dapat membawa hasil, berhasil guna tindakan serta dapat pula berarti mulai berlaku tentang undang- undangperaturan. Selanjutnya Bahasa Inggris, kata efektif yaitu effective yang berarti berhasil, atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun program. Disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan. Menurut pendapat H. Emerson yang dikutip Soewarno Handayaningrat S. 1994:16 yang menyatakan bahwa “Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.” Efektivitas pada dasarnya mengacu pada sebuah keberhasilan atau pencapaian tujuan. Efektivitas merupakan salah satu dimensi dari produktivitas, yaitu mengarah kepada pencapaian untuk kerja yang maksimal, yaitu pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Efektivitas menurut Hidayat 1986 yang menjelaskan bahwa : “Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target kuantitas,kualitas dan waktu telah tercapai. Dimana makin besar persentase Universitas Sumatera Utara target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya.http:repository.unhas.ac.id diakses pada tanggal 06 maret 2013, pukul 22.45. Dilihat dari perspektif efektivitas organisasi, Gaertner dan Ramnarayan mengatakan, efektifitas dalam suatu organisasi bukan suatu benda, atau suatu tujuan, atau suatu karakteristik dari output atau perilaku organisasi, tetapi cukup suatu pernyataan dari relasi-relasi di dalam dan di antara jumlah yang relevan dari organisasi tersebut. Suatu organisasi yang efektif adalah yang dapat membuat laporan tentang dirinya dan aktivitas-aktivitasnya menurut cara-cara dalam mana jumlah-jumlah tersebut dapat diterima. Pandangan efektivitas sebagai suatu proses ini mencerminkan aspek politik ketimbang aspek ekonomi atas bidang produktivitas. Gerakan produktivitas tidak begitu disebabkan oleh dorongan ekonomi. Menjadi produktif adalah menjadi tanggap secara politik. Gomes,2003:163. Unsur yang penting dalam konsep efektivitas adalah; yang pertama adalah pencapaian tujuan yang sesuai dengan apa yang telah disepakati secara maksimal, tujuan merupakan harapan yang dicita-citakan atau suatu kondisi tertentu yang ingin dicapai oleh serangkaian proses. Diketahui bahwa efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasarannya atau dapat dikatakan bahwa efektivitas merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari aktivasi- aktivasi yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada beberapa literatur ilmiah mengemukakan bahwa efektivitas merupakan pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan Universitas Sumatera Utara dari beberapa pilihan lainnya. Efektivitas juga bisa diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Sebagai contoh jika sebuah tugas dapat selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah ditentukan, maka cara tersebut adalah benar atau efektif.

2.1.2 Pengukuran Terhadap Efektifitas

Pencapaian hasil efektivitas yang dilakukan oleh suatu organisasi menurut Jones 1994 terdiri dari tiga tahap, yakni input, conversion, dan output atau masukan, perubahan dan hasil. Input meliputi semua sumber daya yang dimiliki, informasi dan pengetahuan, bahan-bahan mentah serta modal. Pada tahap input, tingkat efisiensi sumber daya yang dimiliki sangat menentukan kemampuan yang dimiliki. Tahap conversion ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, manajemen dan penggunaan teknologi agar dapat menghasilkan nilai. Tahap ini, tingkat keahlian SDM dan daya tanggap organisasi terhadap perubahan lingkungan sangat menentukan tingkat produktifitasnya. Sedangkan dalam tahap output, pelayanan yang diberikan merupakan hasil dari penggunaan teknologi dan keahlian SDM. Organisasi yang dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara efisien dapat meningkatkan kemampuannya untuk meningkatkan pelayanan dengan memuaskan kebutuhan pelanggan. http:2frameit.blogspot.com diakses pada tanggal 08 maret 2013 pukul 09.50 Gomes 2003:209 memberi tipe-tipe kriteria efektivitas program pelatihan. Suatu program pelatihan bisa dievaluasi berdasarkan: 1 reactions, 2 learning, 3 behaviors, 4 organizational results. Melalui reactions reaksi Universitas Sumatera Utara dapat diketahui opini dari para peserta mengenai program pelatihan yang diberikan. Proses learning memberikan informasi yang ingin diperoleh melalui penguasaan konsep-konsep, pengetahuan, dan keterampilan-keterampilan yang diberikan selama pelatihan. Perilaku behaviors dari peserta pelatihan, sebelum dan sesudah pelatihan, dapat dibandingkan guna mengetahui tingkat pengaruh pelatihan terhadap peserta pelatihan. Dampak pelatihan organizational results untuk menguji dampak pelatihan terhadap peserta pelatihan secara keseluruhan.

2.2 Program Pelatihan Keterampilan Penyandang Cacat

Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggungjawabnya, atau satu pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Supaya efektif, pelatihan biasanya harus mencakup pengalaman belajar learning experience, aktivitas- aktivitas yang terencana be a planned organizational activity, dan didesain sebagai jawaban atas kebutuhan-kebutuhan yang berhasil diidentifikasikan. Secara ideal, pelatihan harus didesain untuk mewujudkan tujuan-tujuan organisasi, yang pada waktu yang bersamaan juga mewujudkan tujuan-tujuan dari para pekerja secara perorangan.Gomes,2003:197 Pelatihan sering dianggap sebagai aktivitas yang paling dapat dilihat dan paling umum dari semua aktivitas. Para penyelenggara menyokong pelatihan karena melalui pelatihan para peserta, dalam hal ini penyandang cacat, akan menjadi lebih terampil, dan karenanya lebih produktif. Pelatihan lebih sebagai sarana yang ditujukan pada upaya untuk lebih memberdayakan seseorang yang kurang berdaya dari sebelumnya, mengurangi dampak-dampak negatif yang Universitas Sumatera Utara dikarenakan kurangnya pendidikan, pengalaman yang terbatas, atau kurangnya kepercayaan diri dari penyandang cacat. Keterampilan ialah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot neuromuscular yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olahraga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya motorik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Dengan demikian, siswa yang melakukan gerakan motorik dengan koordinasi dan kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil. Sedangkan Reber dalam Syah,2005:121 mengatakan, keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Belajar keterampilan adalah belajar menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat syaraf dan otot-ototneuromuscular. Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmani tertentu. Dalam jenis ini latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan. Supaya efektif, pelatihan harus merupakan solusi yang tepat bagi permasalahan organisasi, yakni bahwa pelatihan tersebut harus dimaksudkan untuk memperbaiki kekurangan keterampilan. Syah, 2005:126 Menurut Sudjana 1996:17, keterampilan adalah pola kegiatan yang bertujuan, yang memerlukan manipulasi dan koordinasi informasi yang dipelajari. Keterampilan bergerak dari yang sangat sederhana ke yang sangat kompleks. Keterampilan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu psikomotor dan intelektual. Keterampilan psikomotor antara lain adalah menggergaji, mengecat tembok, menari, mengetik. Sedangkan keterampilan intelektual ialah Universitas Sumatera Utara memecahkan soal hitungan, melakukan penelitian, membuat kesimpulan dan sebagainya. Namun, sebenarnya hampir semua keterampilan terdiri atas kedua unsur tersebut. Hanya saja ada keterampilan yang lebih menonjol unsur psikomotornya sedangkan keterampilan yang lain lebih menonjol unsur intelektualnya. Keterampilan merupakan mata pelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak asuh untuk terlibat dalam berbagai pengalaman apresiasi maupun pengalaman berkreasi untuk menghasilkan suatu produk berupa benda nyata yang bermanfaat langsung bagi kehidupan mereka. Anak asuh melakukan interaksi dengan benda-benda produk kerajian dan teknologi yang ada di lingkungannya saat pelatihan keterampilan, kemudian berkreasi menciptakan berbagai produk kerajinan maupun produk teknologi, sehingga diperoleh pengalaman konseptual, pengalaman apresiatif dan pengalaman kreatif. Pembelajaran keterampilan dirancang sebagai proses komunikasi belajar untuk mengubah perilaku anak asuh cekat, cepat dan tepat melalui pembelajaran kerajinan, teknologi rekayasa dan teknologi pengolahan Sudjana, 1996:17 . Perilaku terampil ini dibutuhkan dalam keterampilan hidup manusia di masyarakat. Melihat uraian tersebut, secara substansi bidang keterampilan mengandung kinerja kerajinan dan teknologis. Istilah kerajinan berangkat dari kecakapan melaksanakan, mengolah dan menciptakan dengan dasar kinerja keterampilan psimotorik. Maka, keterampilan kerajinan berisi kerajinan tangan membuat benda pakai atau fungsional. Keterampilan teknologi terdiri dari teknologi rekayasa dan teknologi pengolahan. Universitas Sumatera Utara Metode pelatihan merupakan bentuk yang dipilih dalam pelatihan- pelatihan yang menyediakan langsug keterampilan-keterampilan untuk para peserta. Adapun prinsip umum bagi metode pelatihan harus memenuhi sebagai berikut: 1 memotivasi para peserta latihan untuk belajar keterampilan baru, 2 memperlihatkan keterampilan-keterampilan yang diinginkan untuk dipelajari, 3 harus konsisten dengan isi misalnya, dengan menggunakan pendekatan interaktif untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan interpersonal, 4 memungkinkan partisipasi aktif, 5 memberikan kesempatan berpraktek dan perluasan keterampilan, 6 memberikan feedback mengenai performansi selama pelatihan, 7 mendorong adanya pemindahan yang positif dari pelatihan ke pekerjaan, dan 8 harus efektif dari segi biaya. Gomes, 2003:208 Sehingga metode pelatihan tidak terlepas dari pelatihan-pelatihan yang menyediakan langsung keterampilan untuk peserta. Menjadikan peserta melakukan perilaku-perilaku yang terampil untuk kemandirian diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari dan dalam hidup bermasyarakat. 2.3 Penyandang Cacat 2.3.1 Pengertian Penyandang Cacat Pengertian penyandang cacat berdasarkan Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pada pasal 1 ayat 1 adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik danatau mental yang dapat menggangu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Lebih lanjut, menurut Undang-Undang No.4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, pada pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa jenis-jenis kecacatan Universitas Sumatera Utara terdiri dari 3 besar yaitu kecacatan fisik, kecacatan mental dan kecacatan fisik dan mental. Sementara itu, kecacatan fisik terdiri dari kecacatan tubuh, netra dan rungu wicara. Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisikmental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya melakukan kegiatan secara selayaknya. Menurut WHO tahun 1980 membagi pengertian penyandang cacat dalam 3 hal, yaitu : a. Impairment : diartikan sebagai suatu kehilangan atau ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. b. Disability : suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktivitaskegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan oleh kondisi impairment yang berhubungan dengan usia dan masyarakat dimana seseorang berada. c. Handicap : kesulitankesukaran dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat baik dibidang sosial ekonomi maupun psikologi yang dialami oleh seseorang yang disebabkan oleh ketidakabnormalan psikis, fisiologis maupun tubuh dan ketidak mampuannya melaksanakan kegiatan hidup secara normal. Singkatnya Impairment mencakup dimensi fisik, Disability mencakup dimensi aktivitas personal dalam aktivitas sehari-hari ADL sedangkan Handicap mencakup dimensi peranan sosial. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Penderita Cacat menyatakan bahwa penderita cacat adalah seseorang yang Universitas Sumatera Utara menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik atau mental yang oleh karenanya merupakan suatu rintangan atau hambatan baginya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan secara layak, terdiri dari : cacat tubuh, cacat netra, cacat mental, cacat rungu wicara, dan cacat bekas penyandang penyakit kronis.

2.3.2 Jenis-Jenis Penyandang Cacat Cacat TubuhKelainan Fisik

Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbu suatu keadaan pada fungsi fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya anggota fisik terjadi pada: a Alat fisik indra, misalnya kelainan pada indra pendengaran tunarungu, kelainan pada indra penglihatan tunanetra, kelainan pada fungsi organ bicara tunawicara b Alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang poliomyelitis, kelainan pada sistem saraf di otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik cerebral palsy, kelainan anggota badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna, misal lahir tanpa tangankaki. Untuk kelainan pada alat motorik tubuh ini dikenal dalam kelompok tunadaksa. Universitas Sumatera Utara Penyandang cacat tubuh secara umum memiliki kecenderungan dan karakteristik sosial psikologis sebagai berikut: a. Rasa ingin disayang yang berlebihan dan mengarah over protection b. Rasa rendah diri c. Kurang percaya diri d. Mengisolir diri e. Kehidupan emosional yang labil f. Berperilaku agresif g. Ada perasaan tidak aman h. Cepat menyerah i. Kekanak-kanakan Sumber: Rothman dalam Buku Bimbingan Sosial Bagi Penyandang Cacat dalam Panti Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik penyandang cacat tubuh, meliputi: a. Faktor bawaan b. Penyakit c. Waktu terjadinya kecacatan d. Perlakuan lingkunganmasyarakat setempat e. Perlakuan anggota keluarga f. Iklim dan keadaan alam g. Ekologi dan tradisi setempat Sumber: Rothman dalam Buku Bimbingan Sosial Bagi Penyandang Cacat dalam Panti Universitas Sumatera Utara Adapun permasalahan kecacatan yang dialami penyandang cacat dibagi menjadi masalah internal dan masalah eksternal, yaitu: a. Masalah Internal 1 Kondisi jasmani Kecacatan yang disandang seseorang dapat mengakibatkan gangguan kemampuan fisik untuk melakukan sesuatu perbuatan atau gerakan tertentu yang berhubungan dengan kegiatan hidup sehari-hari activity daily living. 2 Kondisi kejiwaan Kecacatan yang disandang dapat mengganggu kejiwaanmental seseorang, sehingga seseorang menjadi rendah diri atau sebaliknya, menghargai dirinya terlalu berlebihan, mudah tersinggung, kadang-kadang agresif, pesimistis labil, sulit untuk mengambil keputusan dan sebagainya. Keadaan seperti ini sangat merugikan, khususnya yang berkenaan dengan hubungan antar manusia yang ditandai oleh: a Ketidakmampuan hubungan antar perseorangan interpersonal relationship b Ketidakmampuan didalam mengambil peranan di dalam kegiatan sosialkelompok partisipasi sosial c Ketidakserasian hubungan antar manusia di masyarakat human relation d Ketidakmampuan di dalam mengambil peranan di dalam kegiatan sosialkelompok Universitas Sumatera Utara 3 Masalah pendidikan Karena kecacatan fisiknya, hal ini sering menimbulkan kesulitan khususnya pada anak usia sekolah. Mereka memerlukan perhatian khusus baik dari orang tua maupun guru di sekolah. Sebagian besar kesulitan ini juga menyangkut transportasi antara tempat tinggal ke sekolah, kesulitan mempergunakan alat-alat sekolah, maupun fasilitas umum lainnya. 4 Masalah ekonomi Kecacatan pada seseorang dapat menyebabkan hambatan dalam mobilitas fisik. Hal ini semakin sukar tatkala dunia kerja belum menyediakan lapangan pekerjaan sebagaimana mestinya untuk orang cacat. Hambatan dan rendahnya apresiasi dunia kerja ini dapat menimbulkan masalah pada penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan yang pada gilirannya berpengaruh pada kondisi sosial ekonomi mereka. b. Masalah Eksternal 1 Masalah keluarga Beberapa keluarga yang mempunyai anak yang menyandang kecacatan tubuh merasa malu, yang mengakibatkan penyandang cacat tersebut tidak dimasukkan sekolah, tidak boleh bergaul dan bermain dengan teman sebaya, kurang mendapatkan kasih sayang seperti yang diharapkan oleh anak-anak pada umumnya, sehingga tidak dapat berkembang kemampuan dan kepribadiannya. Pada akhirnya, penyandang cacat tubuh tersebut akan tetap menjadi beban bagi keluarganya. Universitas Sumatera Utara 2 Masalah masyarakat Masyarakat yang memiliki warga yang menyandang kecacatan tubuh akan turut terganggu kehidupannya, selama penyandang cacat tersebut belum dapat berdiri sendiri dan masih selalu menggantungkan dirinya pada orang lain. Dipandang dari segi ekonomi, sejak seseorang terutama yang telah dewasa menjadi cacat tubuh, masyarkat mengalami kerugian ganda, yaitu kehilangan anggota yang produktif dan bertambah anggota yang non produktif, ini berarti menambah berat beban bagi masyarakat. Perlu usaha- usaha rehabilitasi yang dapat merubah penyandang cacat tubuh dari kondisi non produktif menjadi produktif. Disamping itu masih ada sikap dan anggapan sebagian masyarakat yang kurang menguntungkan bagi penyandang cacat tubuh, antara lain: a Masih adanya sikap ragu-ragu terhadap kemampuan penyandang cacat tubuh, mengakibatkan kesulitan memperoleh pekerjaan. b Masih adanya sikap masa bodoh di sebagian lapisan masyarakat terhadap permasalahan penyandang cacat tubuh. c Belum meluasnya partisipasi masyarakat di dalam menangani permasalahan penyandang cacat tubuh d Masih lemahnya sebagian organisasi sosial yang bergerak dibidang kecacatan di dalam melaksanakan kegiatannya. e Pengguna jasa tenaga kerja penyandang cacat tubuh umumnya belum menyediakan kemudahansarana bantu yang diperlukan bagi tenaga kerja penyandang cacat tubuh. Universitas Sumatera Utara f Program pelayanan rehabilitasi medis, sosial dan vokasional yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat belum menjangkau seluruh populasi penyandang cacat tubuh. 3 Pelayanan umum Sarana umum seperti: sekolah, rumah sakit, perkantoran, tempat rekreasi, perhotelan, kantor pos, terminal, telepon umum, bank, dan tempat lainnya belum seluruhnya memiliki aksesibilitas bagi penyandang cacat tubuh. Cacat Mental Anak berkelainan mental adalah anak yang memiliki penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih supernormal dan kelainan mental dalam arti kurang subnormal. Kelainan mental dalam arti lebih atau anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi: a anak mampu belajar dengan cepat rapid learner, b anak berbakat gifted, dan c anak genius extremely gifted. Karakteristik anak yang termasuk dalam kategori mampu belajar dengan cepat jika hasil kecerdasan menunjukkan bahwa indeks kecerdasannya yang bersangkutan berada pada rentang 110-120, anak berbakat jika indeks kecerdasannya berada pada rentang 120-140, dan anak sangat berbakat atau genius jika indeks kecerdasannya berada pada rentang di atas 140. Secara umum Tirtonegoro dalam Efendi, 2006:8-9 membagi karakteristik anak dengan kemampuan mental lebih, di samping memiliki potensi Universitas Sumatera Utara kecerdasan yang tinggi dalam prestasi, juga memiliki kemampuan menonjol dalam bidang tertentu, antara lain 1 kemampuan intelektual umum, 2 kemampuan akademik khusus, 3 kemampuan berpikir kreatif produktif, 4 kemampuan dalam salah satu bidang kesenian, 5 kemampuan psikomotorik, dan 6 kemampuan psikososial dan kepemimpinan. Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang atau tunagrahita, yaitu anak yang diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya dibawah normal sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara khusus, termasuk di dalamnya kebutuhan program pendidikan dan bimbingannya. Kondisi ketunagrahitaan dalam praktik kehidupan sehari-hari di kalangan awam seringkali disalahpersepsikan, terutama bagi keluarga yang mempunyai anak tunagrahita, yakni berharap dengan memasukkan anak tunagrahita ke dalam lembaga pendidikan, kelak anaknya dapat berkembang sebagaimana anak normal lainnya. Harapan semacam ini wajar saja karena mereka tidak mengetahui karakteristik anak tunagrahita. Kirk menyatakan kondisi tunagrahita tidak dapat disamakan dengan penyakit, tetapi keadaan tunagrahita suatu kondisi sebagaimana yang ada, “Mental retarded is not disease but a condition” dalam Efendi,2006:9. Atas dasar itulah tunagrahita dalam gradasi manapun tidak bisa disembuhkan atau diobati dengan obat apa pun. Universitas Sumatera Utara Kelainan Perilaku Sosial Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib, norma sosial dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial ini, misalnya kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukumnorma maupun kesopanan. Mackie dalam Efendi,2006:10 mengemukakan, bahwa anak yang termasuk dalam kategori kelainan perilaku sosial adalah anak yang mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di rumah, di sekolah dan di masyarakat lingkungannya. Hal yang penting dari itu adalah akibat tindakan atau perbuatan yang dilakukan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain, Klasifikasi anak yang termasuk dalam kategori mengalami kelainan perilaku sosial di antaranya anak psychotic dan neurotic, anak dengan gangguan emosi dan anak nakal delinquent. Berdasarkan sumber terjadinya tindak kelainan perilaku sosial secara penggolongan dibedakan menjadi: 1 tunalaras emosi, yaitu penyimpangan perilaku sosial yang ekstrem sebagai bentuk gangguan emosi, 2 tunalaras sosial, yaitu penyimpangan perilaku sosial sebagai bentuk kelainan dalam penyesuaian sosial karena bersifat fungsional. 2.4 Tuna Rungu Wicara 2.4.1 Pengertian Tuna Rungu Wicara Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tuna rungu mempunyai arti tuli atau tidak dapat mendengar. Kata deaf dalam kamus bahasa inggris berarti Universitas Sumatera Utara kekurangan atau kehilangan sebagian atau seluruh pendengaran atau tidak mampu mendengarkan, sedangkan deafness berarti ketunarunguan yaitu cacat indera pendengaran bawaan atau kehilangan pendengaran. Mufti Salim dalam Depsos RI, 2008:14 mengatakan bahwa tuna rungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengarannya, sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak. Cacat rungu wicara adalah cacat bawaan atau cacat yang diperoleh karena berbagai sebab yang mengakibatkan gangguan indera pendengaran, disebabkan oleh a kerusakan bagian penghantar bunyi; b kerusakan organ kortil atau syaraf pendengaran; c kerusakan pada interpretasi bunyi di pusat syaraf otak. Depsos RI, 2008:6 Anak dengan kecacatan rungu wicara merupakan salah satu jenis kecacatan yang secara lahiriah tak nampak, karena kecacatannya terdapat di dalam indra pendengaran sehingga sering dianggap sebagai kecacatan yang lebih ringan dibandingkan dengan kecacatan lain. Padahal kecacatan ini mempunyai dampak yang serius bagi penyandang cacatnya. Anak berkelainan indra pendengaran atau tuna rungu secara medis dikatakan, jika dalam mekanisme pendengaran karena sesuatu dan lain sebab terdapat satu atau lebih organ mengalami gangguan atau rusak. Akibatnya, organ tersebut tidak mampu menjalankan fungsinya untuk menghantarkan dan mempersepsikan rangsang suara yang ditangkap untuk diubah menjadi tanggapan akustik. Secara pedagogis, seorang anak dapat dikategorikan berkelainan indera Universitas Sumatera Utara pendengaran atau tuna rungu, jika dampak dari disfungsinya organ-organ yang berfungsi sebagai penghantar dan persepsi pendengaran mengakibatkan ia tidak mampu mengikuti program pendidikan anak normal sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus untuk meniti tugas perkembangannya. Terminologi kelainan bicara atau tunawicara adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengkomunikasikan gagasanya kepada orang lain pendengar dengan memanfaatkan organ bicaranya, dikarenakan celah langit-langit, bibir sumbing, kerusakan otak, tunarungu, dan lain-lain Patton, dalam Efendi, 2006:7. Akibatnya pesan yang terlihat sederhana ketika disampaikan kepada lawan bicara menjadi tidak sederhana, sulit dipahami, dan membingungkan. Menilik dari kurun terjadinya ketunarunguan, Kirk dalam Efendi, 2006:58 mengemukakan bahwa anak yang lahir dengan kelainan pendengaran atau kehilangan pendengarannya pada masa kanak-kanak sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk, kondisi anak yang demikian disebut anak tuna rungu pre- lingual. Jenjang ketunarunguan yang dibawa sejak lahir, atau diperoleh pada masa kanak sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk, ada kecenderungan termasuk dalam kategori tuna rungu berat. Sedangkan anak lahir dengan pendengaran normal, namun setelah mencapai usia di mana anak sudah memahami suatu percakapan tiba-tiba mengalami kehilangan ketajaman pendengaran, kondisi anak yang demikian disebut anak tuna rungu post-lingual. Jenjang ketunarunguan yang diperoleh setelah anak memahami percakapan atau bahasa dan bicaranya sudah terbentuk, ada kecenderungan termasuk dalam kategori sedang atau ringan. Universitas Sumatera Utara

2.4.2 Jenis Tuna Rungu Wicara

Jenis Kecacatan Rungu Wicara pada Anak Jenis kecacatan rungu wicara berdasarkan hasil diteksi dapat dibedakan: 1. Menurut derajat kehilangan daya dengarnya: a. Ringan Kehilangan 15-30 desibel : Mild Hearing Losses atau ketunarunguan ringan: daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal. b. Sedang Kehilangan 31-60 desibel : Moderate Hearing Losses atau ketunarunguan sedang: daya tangkap terhadap suara cakapan manusia hanya sebagian c. Berat Kehilangan 61-90 desibel : Severe Hearing Losses atau ketunarunguan berat: daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada d. Amat berat  Kehilangan 91-120 desibel : Profound Hearing Losses atau ketunarunguan sangat berat: daya tangkap terhadap suara manusia tidak ada sama sekali  Kehilangan lebih dari 120 desibel : Total Hearing Losses atau ketunarunguan total: daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali. Universitas Sumatera Utara 2. Menurut kerusakan pada telinga a. Konduktif yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh kerusakan organ pendengaran yang terletak pada bagian penghantar gelombang suara kerusaka telinga bagian luar atau telinga bagian tengah. Misalnya jika terjadi penumpukan kotoran di liang telinga yang berlebihan atau jika terjadi radang di dalam telinga tengah. Ketunarunguan konduktif umumnya masih dapat disembunyikan secara medis. b. Perseptif yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh kerusakan organ pendengaran ditelinga bagian dalam, di dalam rumah siput atau bagian saraf kedelapan, saraf penerima rangsangan suara yang akan meneruskannya ke pusat saraf di otak. Ketunarunguan perseptif pada umumnya tidak dapat disembuhkan secara medis. 3. Menurut penyebabnya a. Genetik Cacat rungu bawaan merupakan cacat warisan orangtua karena factor pembawa sifat keturunan kromosom. Penyebab gangguan pendengaran pada anak, diperkirakan 50 kasus dari derajat sedang sampai berat, ditentukan secara genetik. Gangguan pendengaran genetic bawaan dapat disertai kelainan lain. Gangguan pendengaran dapat terjadi bersama kelainan bawaan telingan luar dan mata, gangguan metabolic, tulang dan otot, kulit, ginjal dan sistem saraf. Anak dengan orangtua menderita ketulian keturunan mempunyai kemungkinan menderita gangguan pendengaran. Universitas Sumatera Utara b. Non-Genetik 1 Sebelum kelahiran  Penyebab gangguan pendengaran sebelum lahir non-genetik terjadi pada masa kehamilan terutama pada 3 bulan pertama. Setiap ganguan kelahiran yang terjadi pada masa tersebut dapat menyebabkan ketulian pada anak, seperti kekurangan gizi, infeksi bakteri maupun bakteri, seperti: campak dan parotitis dapat menyebabkan ketulian  Kelahiran premature bila disebabkan oleh kekurangan oksigen, selain otak akan mengalami luka, pendengaranpun mengalami kerusakan. Dalam kondisi demikian, dapat disimpulkan bahwa kelahiran premature lebih mengakibatkan timbulnya penyakit telinga daripada penyakit lainnya.  Bila wanita yang sedang mengandung tiga bulan terserang penyakit campak atau cacar air, kemungkinan besar hal tersebut akan berdampak pada bayinya. Cacat yang ditimbulkan oleh penyakit campak kepada anak adalah 50 penyakit telinga, 20 penyakit mata dan 35 penyakit jantung. 2 Saat kelahiran Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran atau ketulian, seperti: lahir prematur umur kelahira kurang dari 37 minggu, berat badan lahir rendah kurang dari 1.500 gram, Universitas Sumatera Utara tindakan dengan alat pada proses kelahiran ekstrasi vakum, forsep, hiperbilirubinemia dan aksifia berat atau lahir tidak menangis. 3 Setelah kelahiran Radang selaput otak karena bakteri merupakan penyebab utama gangguan pendengaran yang didapat pada masa anak, hal lainnya juga dapat disebabkan oleh obat-obatan yang bersifat menggangu pendengaran ototoksik yang digunakan selama lebih dari 5 hari, trauma kepala dan infeksi telinga tengah. Cacat lainnya disebabkan oleh penggunaan obat-obatan, penyakit, kecelakaan, kerusakan tulang tengkorak temporal bagian belakang telinga, keracunan, kekurangan oksigen, kekurangan gizi, kelahiran tak normal, prematur, berat badan bayi yang lahir kurang dari 1,5 kg. 4. Menurut jumlah telinga yang mengalami ketunarunguan: a. Bilateral yaitu anak yang kehilangan fungsi pendengaran kedua telinga b. Unilateral yaitu anak yang kehilangan fungsi pendengaran satu telinga 5. Menurut umur saat terjadi ketunarunguan: a. Pralingual sebelum berbahasa b. Postlingual sesudah berbahasa Universitas Sumatera Utara

2.4.3 Dampak Kecacatan

Dampak rungu wicara pada anak dapat berdampak besar pada perkembangan pada anak itu sendiri, selain itu juga akan berdampak pada keluarga, masyarakat serta menimbulkan berbagai masalah. a. Pada anak Dampak kecacatan pada anak dapat mempengaruhi pada tingkat kecerdasan intelegensia, kejiwaan psikis, juga merugikan khususnya yang berkenaan dengan hubungan antara manusia, mempengaruhi pada pendidikan dan ekonomi. b. Pada Keluarga Rendahnya pengetahuan orangtuakeluarga tentang kecacatan rungu wicara merupakan salah satu faktor penyebab yang dapat memperberat kondisi anak. Selain itu, keluarga yang mempunyai anak dengan kecacatan rungu wicara akan mengalami beban ekonomi, orang tua merasa malu dan takut atau terlalu melindungi anak misalnya anaknya tidak dimasukkan sekolah, tidak boleh bergaul dan sebagainya. Akibat dari hal itu kembali dirasakan anak, seperti: anak mengalami rendah diri, dan mengalami hambatan untuk tumbuh kembang secara wajar dan optimal. c. Pada Masyarakat Keberadaan anak dengan kecacatan rungu wicara di dalam masyarakat membawa beban dan masalah bagi masyarakat. Dalam hal ini, anggota masyarakat yang memiliki anak dengan kecacatan rungu wicara akan turut Universitas Sumatera Utara terganggu kehidupannya, selama anak dengan kecacatan rungu wicara belum dapat berdiri sendiri dan selalu menggantungkan dirinya pada orang lain. Masih adanya sikap masa bodoh masyarakat terhadap permasalahan anak dengan kecacatan rungu wicara. Masih adanya sikap yang ragu-ragu terhadap kemampuan potensi anak dengan kecacatan rungu wicara. 2.5 Pelayanan Sosial 2.5.1 Pengertian Pelayanan Sosial Pelayanan sosial merupakan aksi atau tindakan untuk mengatasi masalah sosial. Pelayanan sosial dapat diartikan sebagai seperangkat program yang ditujukan untuk membantu individu atau kelompok yang mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika keadaan individu atau kelompok tersebut dibiarkan, maka akan menimbulkan masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, dan bahkan kriminalitas. Kategorisasi pelayanan sosial biasanya dikelompokkan berdasarkan sasaran pelayanannya misalnya: pelayanan atau perawatan anak, remaja, lanjut usia, setting atau tempatnya misalnya: pelayanan sosial di sekolah, tempat kerja, penjara, rumah sakit atau berdasarkan jenis atau sektor misalnya: pelayanan konseling, kesehatan mental, pendidikan khusus dan vokasional, jaminan sosial, perumahan. Pelayanan sosial adalah kegiatan terorganisir untuk meningkatkan kondisi orang-orang yang kurang beruntung dalam masyarakat. Pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Sosial dan sejumlah besar organisasi-organisasi non pemerintah telah memainkan peranan penting dalam bidang pelayanan sosial. Dana yang dipergunakan lembaga-lembaga pemerintah bagi pelayanan sosial Universitas Sumatera Utara biasanya diperoleh dari pajak. Sedangkan, pelayanan sosial yang diselenggarakan badan-badan non pemerintah seringkali didanai oleh sumbangan individu, pengusaha atau lembaga donor internasional. Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan- pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya selarah dengan kebutuhan keluarga dan masyarakatnya Friedlander, dalam Muhidin, 1992:1. Kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi dapat terlihat dari rumusan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Kesejahteraan Sosial pasal 1 ayat 1 : “Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.” Dalam kesejahteraan sosial juga terdapat usaha kesejahteraan sosial, dimana pelayanan sosial juga termasuk dari salah satu didalamnya. Pelayanan sosial diartikan dalam dua macam, yaitu: a. Pelayanan sosial dalam arti luas adalah pelayanan sosial yang mencakup fungsi pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, tenaga kerja dan sebagainya. b. Pelayanan sosial dalam arti sempit atau disebut juga pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan Universitas Sumatera Utara yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna sosial dan sebagainya Muhidin, 1992:41. Maka dapat diartikan bahwa efektivitas pelayanan sosial adalah tercapainya tujuan yang sudah ditetapkan berdasarkan makna dari pelayanan sosial itu sendiri. Dikatakan efektif apabila hasil yang dicapai dari pelayanan sosial yang diberikan telah sesuai dengan apa tujuan awal yang telah ditetapkan. Kebanyakan pengertian pelayanan sosial di negara-negara maju sama dengan point pertama, sedangkan di negara-negara berkembang umumnya sama dengan point kedua. Pada umumnya baik kualitas maupun kuantitas daripada pelayanan sosial akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemakmuran suatu negara dan juga sesuai dengan faktor sosiokultural dan politik yang juga menentukan masalah prioritas pelayanan. Semakin tersebarnya dan dipraktekkan secara universal pelayanan sosial, maka pelayanan sosial cenderung menjadi pelayanan yang ditujukan kepada golongan masyarakat yang membutuhkan pertolongan khusus. Sistem pelayanan sosial memiliki komponen-komponen yang saling berhubungan satu sama lain, yang merupakan satu kesatuan utuh dimana komponen disusun dan diatur untuk mencapai pelayanan sosial dan merupakan standar yang harus dipenuhi guna peningkatan kualitas pelayanan sosial. Komponen-komponen tersebut meliputi : 1. Saranan dan prasarana dengan fasilitas yang memadai. 2. Pekerjaan sosial yang profesional dengan tenaga administratif. Universitas Sumatera Utara 3. Tata laksanan kesejahteraan sosial anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, laporan keuangan, anggaran belanja dan statistik. 4. Dana yang memadai. 5. Pembuatan perencanaan program dan pelaksanaan.

2.5.2 Fungsi-Fungsi Pelayanan Sosial

Pelayanan sosial dapat dikategorikan dalam berbagai cara tergantung dari tujuan klasifikasi. PBB mengemukakan bahwa fungsi pelayanan sosial adalah: 1. Perbaikan secara progresif daripada kondisi kehidupan orang. 2. Pengembangan sumber-sumber daya manusia. 3. Berorientasi orang terhadap perubahan sosial dan penyesuaian diri. 4. Penggerakan dan penciptaan sumber-sumber komunitas untuk tujuan-tujuan pembangunan. 5. Penyediaan struktur-struktur institusional untuk pelayanan-pelayanan yang terorganisasi lainnya Fungsi pelayanan sosial ditinjau dari persfektif masyarakat menurut Richard M.Titmuss dalam Muhidin, 1992:43 adalah sebagai berikut: 1. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, dan masyarakat, untuk saat ini dan masa yang akan datang. 2. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai suatu investasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial. Universitas Sumatera Utara 3. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang untuk melindungi masyarakat. 4. Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai program kompensasi bagi orang-orang yang tidak mendapatkan pelayanan sosial. Alfred J. Khan Nurdin, 1990;50-51 mengatakan bahwa bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah: 1. Pelayanan akses, mencakup pelayanan informasi, pemberian nasihat dan partisipasi. Tujuannya untuk membantu orang agar dapat mencapai atau menggunakan fasilitas pelayanan yang tersedia. 2. Pelayanan terapi, mencakup pertolongan terapi dan rehabilitasi, termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya pelayanan yang diberikan oleh badan-badan yang menyediakan konseling, pelayanan kesejahteraan anak, pelayanan kesejahteraan sosial medis dan sekolah, serta perawatan bagi orang- orang jompo lanjut usia. 3. Pelayanan sosial dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi dan anak, keluarga berencana, pendidikan keluarga, pelayanan rekreasi bagi pemuda, dan kegiatan masyarakat yang dipusatkan community centre. Dari ketiga bentuk pelayanan sosial tersebut, maka pelayanan terapi adalah bentuk pelayanan yang dilihat lebih sesuaicocok digunakan untuk penanganan penyandang cacat tuna rungu wicara. Universitas Sumatera Utara

2.5.3 Pelayanan Panti Sosial Tuna Rungu Wicara

Panti sosial adalah lembaga pelayanan kesejahteran sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberdayakan penyandang masalah kesejahteraan ke arah kehidupan normatif secara fisik, mental dan sosial, standar panti sosial sebagaimana tercantum di dalam Permensos Nomor: 50HUK2005 tentang Standarisasi Panti Sosial dan Pedoman Akreditasi Panti Sosial. Pelayanan melalui sistem panti pada hakikatnya merupakan upaya-upaya yang bersifat pencegahan, penyembuhan, rehabilitasi, dan pengembangan potensi klien, menjadi penting peranannya. Panti sosial mempunyai fungsi utama sebagai tempat penyebaran layanan; pengembangan kesempatan kerja; pusat informasi kesejahteraan sosial; tempat rujukan bagi pelayanan rehabilitasi dari lembaga rehabilitasi tempat di bawahnya dalam sistem rujukan referral system dan tempat pelatihan keterampilan. Prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial lain yang sejenis adalah: 1 memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang membutuhkan untuk mendapatkan pelayanan; menghargai dan memberi perhatian kepada setiap klien dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga sebagai anggota masyarakat; 2 menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan yang bersifat pencegahan, perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi serta pengembangan; 3 menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara terpadu antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang berkesinambungan; 4 menyediakan pelayanan berdasarkan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi sosialnya; dan 5 memberikan Universitas Sumatera Utara kesempatan kepada klien untuk berpatisipasi secara aktif dalam usaha-usaha pertolongan yang diberikan. Balatbangsos, 2004. Panti Sosial Tuna Rungu Wicara adalah panti rehabilitasi sosial penyandang cacat tuna rungu wicara yang mempunyai tugas memberikan pelayanan rehabilitasi sosial yang meliputi pembinaan fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan dan resosialisasi serta pembinaan lanjut bagi orang dengan kecacatan rungu wicara agar mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Pada dasarnya tujuan program rehabilitasi sosial rungu wicara pada Panti Sosial Bina Rungu Wicara PSBRW adalah terbina dan terentasnya orang dengan kecacatan rungu wicara agar mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam tatanan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Proses pelayanan panti sosial meliputi 1 tahap pendekatan awal; 2 asesmen; 3 perencanaan program pelayanan; 4 pelaksanaan pelayanan; dan 5 pasca pelayanan. Tahap pasca pelayanan terdiri dari penghentian pelayanan, rujukan, pemulangan dan penyaluran dan pembinaan lanjut. Pada tahap akhir pelayanan adalah pembinaan lanjut yang merupakan rangkaian dari proses rehabilitasi sosial atau pemulihan, yang ditujukan agar eks klien dapat beradaptasi dan juga berperan serta di dalam lingkungan keluarga, kelompok, lingkungan kerja, dan masyarakat. Ada 2 dua macam standar panti sosial, yaitu standar umum dan standar khusus. Standar umum adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja tertentu yang perlu dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial jenis apapun. Mencakup aspek kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, pembiayaan, pelayanan sosial dasar, dan monitoring-evaluasi. Sedangkan standar Universitas Sumatera Utara khusus adalah ketentuan yang memuat hal-hal tertentu yang perlu dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial lainnya yang sejenis sesuai dengan karakteristik panti sosial. Adapun Standar Umum Panti Sosial terdiri dari: A. Kelembagaan, meliputi: 1. Legalitas Organisasi. Mencakup bukti legalitas dari instansi yang berwenang dalam rangka memperoleh perlindungan dan pembinaan profesionalnya. 2. Visi dan Misi. Memiliki landasan yang berpijak pada visi dan misi. 3. Organisasi dan Tata Kerja. Memiliki struktur organisasi dan tata kerja dalam rangka penyelenggaraan kegiatan. B. Sumber Daya Manusia, mencakup 2 dua aspek: 1. Aspek penyelenggara panti, terdiri 3 unsur: a. Unsur Pimpinan, yaitu kepala panti dan kepala-kepala unit yang ada dibawahnya. b. Unsur Operasional, meliputi pekerja sosial, instruktur, pembimbing rohani, dan pejabat fungsional lainnya. c. Unsur Penunjang, meliputi pembina asrama, pengasuh, juru masak, petugas kebersihan, satpam, dan sopir. 2. Pengembangan personil panti Panti Sosial perlu memiliki program pengembangan SDM bagi personil panti. Universitas Sumatera Utara C. Sarana Prasarana, mencakup: 1. Pelayanan Teknis. Mencakup peralatan asesmen, bimbingan sosial, ketrampilan fisik dan mental. 2. Perkantoran. Memiliki ruang kantor, ruang rapat, ruang tamu, kamar mandi, WC, peralatan kantor seperti: alat komunikasi, alat transportasi dan tempat penyimpanan dokumen. 3. Umum. Memiliki ruang makan, ruang tidur, mandi dan cuci, kerapihan diri, belajar, kesehatan dan peralatannya serta ruang perlengkapan. D. Pembiayaan Memiliki anggaran yang berasal dari sumber tetap maupun tidak tetap. E. Pelayanan Sosial Dasar Memiliki pelayanan sosial dasar untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari penerima manfaat, meliputi: makan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, dan kesehatan. F. Monitoring dan Evaluasi, meliputi: 1. Monev Proses, yakni penilaian terhadap proses pelayanan yang diberikan kepada penerima manfaat. 2. Monev Hasil, yakni monitoring dan evaluasi terhadap penerima manfaat, untuk melihat tingkat pencapaian dan keberhasilan penerima manfaat setelah memperoleh proses pelayanan. Universitas Sumatera Utara Adapun Standar Khusus Panti Sosial, berupa kegiatan pelayanan yang terdiri dari tahapan sebagai berikut: A. Tahap Pendekatan Awal, mencakup: 1. Sosialisasi program. 2. Penjaringanpenjangkauan calon penerima manfaat. 3. Seleksi calon penerima manfaat. 4. Penerimaan dan registrasi. 5. Konferensi kasus. B. Tahap Pengungkapan dan Pemahaman Masalah Assessment, mencakup: 1. Analisa kondisi penerima manfaat, keluarga dan lingkungan. 2. Karakteristik masalah, sebab dan implikasi masalah. 3. Kapasitas mengatasi masalah dan sumber daya. 4. Konferensi kasus. C. Tahap Perencanaan Pelayanan, meliputi: 1. Penetapan tujuan pelayanan. 2. Penetapan jenis pelayanan yang dibutuhkan penerima manfaat. 3. Sumber daya yang akan digunakan. D. Tahap Pelaksanaan Pelayanan, terdiri: 1. Bimbingan Individu. 2. Bimbingan Kelompok. 3. Bimbingan Sosial. Universitas Sumatera Utara 4. Penyiapan Lingkungan Sosial. 5. Bimbingan Mental Psikososial. 6. Bimbingan Pelatihan Ketrampilan. 7. Bimbingan Fisik Kesehatan. 8. Bimbingan Pendidikan. E. Tahap Pasca Pelayanan, terdiri dari: 1. Penghentian Pelayanan. Dilakukan setelah penerima manfaat selesai mengikuti proses pelayanan dan telah mencapai hasil pelayanan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. 2. Rujukan. Dilaksanakan apabila penerima manfaat membutuhkan pelayanan lain yang tidak tersedia dalam panti. 3. Pemulangan dan Penyaluran. Dilaksanakan setelah penerima manfaat dinyatakan berhenti atau selesai mengikuti proses pelayanan. 4. Pembinaan Lanjut. Kegiatan memonitor atau memantau penerima manfaat sesudah mereka bekerja atau kembali ke keluarga.

2.6 Kerangka Pemikiran

Anak dengan kecacatan rungu wicara merupakan realitas sosial yang tidak terelakkan keberadaannya. Dibutuhkan perhatian dan dukungan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Secara umum keberadaan anak dengan kecacatan rungu wicara terkadang dianggap beban, aib yang keberadaannya disembunyikan atau diisolasi dari kehidupan masyarakat. Universitas Sumatera Utara Sistem pelayanan dan rehabilitasi sosial anak dengan kecacatan rungu wicara adalah suatu bentuk perwujudan dari tanggungjawab dan kewajiban bersama; antara orang tuakeluarga, masyarakat, dan pemerintah. Selain itu dalam prosesnya, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan juga harus didukung oleh kemudahanaksesibilitas bagi penyandang cacat untuk membantu anak dalam menjalankan kehidupannya secara mandiri. Pemberian pelayanan sosial itu sendiri diselenggarakan untuk membantu keluargaorang tua dan anak dengan kecacatan. Pelayanan sosial, disamping ditujukan untuk memberi bantuan, pelayanan sosial juga dilakukan untuk memberikan upaya rehabilitasi sosial maupun memberikan perlindungan anak. Disisi lain, pelayanan dan rehabilitasi sosial diselenggarakan agar anak terpenuhi kebutuhan perlindungannya. Melalui perlindungan juga diharapkan akan terpeliharanya taraf kesejahteraan anak dan keluarganya, dan perlu adanya penyelenggaraan pelayanan sosial maupun rehabilitasi sosial. Sebagai kelompok rentan, anak dengan kecacatan rungu wicara juga membutuhkan serangkaian rehabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial dilakukan secara utuh dan terpadu dan berkesinambungan melalui pendekatan fisik, mental, dan sosial agar penyandang cacat dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal dalam hidup bermasyarakat. Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi sosial, maka perlu ada dilakukan rehabilitasi lain yang mencakup rehabilitasi medik, pendidikan dan pelatihan keterampilan. Sejak tahun 1987 berdiri Panti Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara yang merupakan salah satu UPT Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Sumatera Utara yang melayani Penyandang Cacat Tuna Rungu Universitas Sumatera Utara Wicara dengan memberikan bimbingan mental, bimbingan fisik, bimbingan sosial, bimbingan keterampilan, motivasi dan diagnose psikososial. Setiap bimbingan yang diberikan kepada warga binaan sosial Tuna Rungu Wicara diharapkan dapat memandirikan dan memaksimalkan fungsi sosialnya untuk dapat berinteraksi dan berperan sosial secara aktif dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat. 2.7 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional 2.7.1 Defenisi Konsep Defenisi konsep adalah batasan arti dan gambaran hubungan dari antara unsur-unsur yang ada di dalamnya Siagian, 2011:56. Konsep penelitian bertujuan untuk merumuskan istilah dan mendefenisikan istilah-istilah yang digunakan secara mendasarkan agar tercipta suatu persamaan persepsi dan tidak muncul salah pengertian pemakaian istilah yang dapat mengaburkan tujuan penelitian. Untuk memperjelas penelitian ini, maka peneliti membatasi konsep-konsep yang digunakan sebagai berikut : 1. Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target seperti reaksi, belajar, perilaku dan hasil organisasi yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Dengan demikian, suatu usaha atau kegiatan dikatakan efektif apabila tujuan atau sasaran dapat dicapai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sebelumnya dan dapat memberikan manfaat yang nyata sesuai dengan kebutuhan. Universitas Sumatera Utara 2. Penyandang cacat tuna rungu wicara adalah seseorang yang mempunyai kelainan pada alat pendengaran dan bicara sehingga tidak dapat melakukan fungsinya secara wajar. 3. Pelayanan Sosial disebut juga pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna sosial dan sebagainya. 4. Program pelatihan keterampilan adalah suatu program atau kumpulan proyek-proyek yang berhubungan dengan keterampilan telah dirancang untuk mengembangkan keterampilan penyandang cacat tuna rungu wicara agar bisa lebih mandiri dengan keterampilan yang telah dimilikinya.

2.7.2 Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah proses operasionalisasi konsep yaitu upaya transformasi konsep ke dunia nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat diobservasi Siagian, 2011:141. Dengan defenisi operasional dapat diketahui indikator-indikator apa saja yang akan diukur dan dianalisa dalam variabel yang ada. Untuk memudahkan dalam memahami variabel dalam penelitian ini, maka menurut Gomes 2003:209, program pelatihan bisa diukur melalui indikator- indikator sebagai berikut : 1. Reaksi reaction dari warga binaan tuna rungu wicara terhadap program pelatihan dari tingkat kepuasannya terhadap: Universitas Sumatera Utara a. Program pelatihan secara keseluruhan 1 Efektif, jika sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan keterampilan terpenuhi 2 Tidak efektif, jika sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan keterampilan tidak terpenuhi b. Pelatihinstruktur 1 Efektif, jika pelatihinstruktuf mampu menyampaikan materi pembelajaran dengan baik. 2 Tidak efektif, jika pelatihinstruktur tidak mampu menyampaikan materi pembelajaran dengan baik 2. Belajar Learning adalah untuk mengetahui seberapa jauh warga binaan tuna rungu wicara menguasai konsep-konsep dan keterampilan- keterampilan yang diberikan selama pelatihan. a. Penerimaan pembelajaran 1 Efektif, jika pembelajaran yang diberikan kepada setiap warga binaan merata. 2 Tidak efektif, jika pembelajaran yang diberikan kepada setiap warga binaan tidak merata. Universitas Sumatera Utara b. Peningkatan SDM yang diterima peserta dari pelaksanaan program keterampilan 1 Efektif, jika keahlian warga binaan bertambah setelah mengikuti kegiatan. 2 Tidak efektif, jika keahlian warga binaan tidak bertambah setelah mengikuti kegiatan. 3. Perilaku Behavior dari warga binaan, sebelum dan sesudah pelatihan, dapat dibandingkan guna mengetahui tingkat pengaruh pelatihan terhadap perubahan perilaku mereka. a. Perubahan perilaku warga binaan 1 Efektif, jika terjadi perubahan perilaku warga binaan sebelum dan sesudah pelatihan diberikan. 2 Tidak efektif, jika tidak terjadi perubahan perilaku warga sebelum dan sesudah pelatihan diberikan. 4. Dampak Organisasi Organizational results adalah untuk menguji dampak pelatihan terhadap organisasi secara keseluruhan. Data bisa dikumpulkan sebelum dan sesudah pelatihan atas dasar kriteria: a. Pemanfaatan Keterampilan 1 Efektif, jika keterampilan yang diajarkan dapat menjadi manfaat dan modal dalam bekerja. 2 Tidak efektif, jika keterampilan yang diajarkan tidak bermanfaat dan tidak dapat menjadi modal dalam bekerja. Universitas Sumatera Utara b. Waktu pelaksanaan program 1 Efektif, jika pelaksanaan program ini dapat meningkatkan keahlian serta keterampilan selama kurun waktu yang telah ditentukan 2 Tidak efektif, jika pelaksanaan program ini tidak dapat meningkatkan keahlian dan keterampilan selama kurun waktu yang telah ditentukan c. Kepuasan warga binaan 1 Efektif, jika warga binaan merasa puas terhadap program pelatihan keterampilan yang telah diberikan. 2 Tidak efektif, jika warga binaan tidak merasa puas terhadap program pelatihan keterampilan yang telah diberikan. Universitas Sumatera Utara Bagan Alir Pikir Bagan 2.1 UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara Pematang Siantar a. Keterampilan Menjahit b. Keterampilam Bordir c. Keterampilan Salon d. Keterampilan Pertukangan Kayu Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara Indikator efektivitas pelaksanaan program keterampilan menurut Gomes 2003: 1. Reaksi Reactions 2. Belajar Learning 3. Perilaku Behaviors 4. Hasil Organizational results Efektif Tidak Efektif Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Adapun penelitian ini tergolong penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu keadaan subjek atau objek. Penelitian deskriptif dalam pelaksanaannya lebih terstruktur, sistematis, dan terkontrol, peneliti memulai dengan subjek yang telah jelas dan mengadakan penelitian atas populasi dari subjek tersebut untuk menggambarkannya secara akurat Silalahi,2009:28. Melalui penelitian deskriptif, peneliti ingin membuat gambaran tentang bagaimana keefektifan pelayanan melalui program keterampilan yang diberikan di UPT. Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar dengan melakukan pengamatan terhadap gejala, peristiwa, kondisi dan fasilitas yang tersedia pada saat sekarang ini.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Tuna Rungu Wicara yang beralamat di Jalan Sisingamangaraja No. 68 Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Siantar Martoba Kodya Pematang Siantar Sumatera Utara Jl. Lintas menuju kota wisata Parapat. Alasan peneliti memilih lokasi di Panti Sosial yang merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis yang berada di bawah naungan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara yang wilayah kerjanya meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jambi Sumbagut. Alasan Universitas Sumatera Utara peneliti memilih lokasi ini adalah karena lembaga pemerintah ini berperan dalam memberikan pelayanan sosial kepada Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara dengan cara memberikan keterampilan menjahit, border, salon dan pertukangan kayu, yang berguna untuk menjadikan warga binaan sosial lebih mandiri, sehingga mereka dapat lebih berdaya di tengah masyarakat.

3.3 Populasi

Populasi dapat diartikan sekumpulan obyek, benda, peristiwa atau individu yang akan dikaji dalam suatu penelitian Siagian,20011:155. Adapun yang menjadi populasi dari penelitian ini adalah seluruh warga binaan sosial yang terlibat dalam program keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara yakni berjumlah 18 orang dan keseluruhannya akan dijadikan sumber data.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Guna memperoleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : 1. Studi Kepustakaan yaitu mengumpulkan dta melalui buku-buku, dokumentasi, dan sumber referensi yang menyangkut masalah yang diteliti. 2. Penelitian Lapangan yaitu mengadakan penelitian ke lokasi untuk mendapatkan data yang lengkap sesuai dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian lapangan ini digunakan beberapa metode, yakni: a. Observasi,, yaitu mengumpulkan data tentang gejala tertentu yang dilakukan dengan mengamati, mendengar, dan mencatat kejadian yang menjadi sasaran penelitian. Universitas Sumatera Utara b. Wawancara, yaitu mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara tatap muka dengan sumber yang bertujuan untuk melengkapi data yang diperoleh. c. Kuesioner, yaitu dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tambahan dan data yang relevan dari informasi yang telah penulis dapatkan dari wawancara, hal ini dilakukan melalui daftar pertanyaan yang akan diajukan.

3.5 Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data menggunakan teknik pendekatan deskriptif kuantitatif sehingga nantinya peneliti dapat mendeskripsikan atau menggambarkan informasi data yang diperoleh dalam penelitian, kemudian didistribusikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan kemudian dianalisis data- data yang diperoleh dari hasil penelitian dengan mentabulasi data yang didapat melalui keterangan responden, kemudian dicari frekuensi dan persentasenya. Setelah itu disusun dalam bentuk tabel tunggal dengan menggunakan skala likert. Untuk mengetahui apakah hasil dari efektivitas terhadap program tersebut, maka digunakan interval sebagai skala pengukuran. i = Nilai atas – Nilai bawah Variabel i = 1 – -1 3 i = 2 3 = 0.66 Universitas Sumatera Utara Untuk mengetahui hasil dari efektivitas pelaksanaan program, maka dapat dilihat dari ketentuan interval sebagai berikut: 1. Nilai 1 sampai dengan 0.33 = respon positif, yang artinya program tersebtu efektif. 2. Nilai 0.33 sampai dengan -0.33 = respon netral, yang artinya program tersebut netral. 3. Nilai -0.33 sampai dengan -1 = respon negative, yang artinya program tersebut tidak efektif. Universitas Sumatera Utara

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah berdirinya Lembaga

Pada tahun 1958 oleh Perkebunan Siantar Estate memberikan sebidang tanah kepada Dinas Sosial Provinsi Sumatera UtaraDinas Sosial Daerah Tingakat II Kabupaten Simalungun guna mendirikan Panti Sosial dengan tujuan dapat menampung para penyandang masalah social terutama para Lanjut Usia yang sudah pensiun dari perkebunan Siantar Estate.Luas arealnya 20.000 M2. Lokasinya di jalan Sisingamangaraja Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Siantar Martoba Kodya Pematang Siantar.Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 1987 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Sosial Tingkat I Sumatera Utara status Panti Karya Bah Kapul berubah menjadi Panti JompoLanjut Usia. Pada tahun 1987 berdiri Panti Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara Panghobopon Bani Nalongah yang berlokasi di Jalan Sisingamangaraja Nomor 68 Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Siantar Martoba Kota Madya Pematang SIantar. Luas areal 36.500 M2. Panti ini merupakan salah satu UPT Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Sumatera Utara yang melayani Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara. Wilayah kerjanya meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jambi Sumbagut. Berdasarkan Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2001 Tanggal 31 Juli 2001 kedua panti tersebut di atas digabung menjadi satu panti yaitu Unit Pelaksana Teknis Dinas UPTD Harapan Teratai Bah Kapul ini merupakan salah Universitas Sumatera Utara satu Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai tugas dan fungsi memberikan pelayanan terhadap : a. Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental-mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak. Penyandang Cacat Rungu Wicara adalah seseorang yang mempunyai kelainan pada alat pendengaran dan bicara sehingga tidak dapat melakukan fungsinya secara wajar. . b. Lanjut Usia Terlantar. Berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 33 Tahun 2010 tentang Struktur Organisasi, Tugas dan Fungsi UPT pada Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara UPTD Harapan teratai Bah Kapul Pematang Siantar berubah nama menjadi Unit Pelaksana Teknis UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar. Universitas Sumatera Utara

4.2 Visi dan Misi

Adapun yang menjadi visi dan misi dari Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sumatera Utara, yaitu : a. Meningkatkan Pelayanan Sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial PMKS. b. Meningkatkan sumber daya manusia yang profesional di bidang kesejahteraan sosial. c. Meningkatkan keterjangkauan dan mutu pelayanan sosial. d. Meningkatkan persan serta dan kepedulian masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan sosial dasar. e. Meningkatkan fasilitasi dan kordinasi pembangunan kesejahteraan sosial. f. Melestarikan nilai-nilai keperintisan, kepahlawanan dan kejuangan. g. Meningkatkan upaya pengurangan resiko bencana.

4.3 Gambaran umum Lembaga

UPT pelayanan sosial tuna rungu wicara dan lansia pematang siantar merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis UPT Dinas Kesejahteraan dan Sosial Propinsi Sumatera Utara, yang mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan pelayanansosial kepada Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara dan Lansia Werda,berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Utara No.33 Taahun 2010 tentangstruktur organisasi, tugass dan fungsi UPT Dinas Kesejahteraan dan SosialSumaatera Utara.UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia yang berdomisili di Jl.Sisingamaharaja No. 68 Pematang Siantar Sumatera Utara Jl. Lintas menuju kotawisata Parapat. Universitas Sumatera Utara

4.3.1 Dasar Hukum

1. UUD No.4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak 2. UUD No.4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat 3. UUD No.13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia 4. UUD No.43 Tahun 1998 tentang upaya peningkaatan kesejahteraan penyandang cacat 5. UUD No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah 6. UUD No.11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial 7. PP No.32 Tahun 2004 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat 8. PP No.43 tahun 2004 tentang pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia 9. KEMENSOS RI No.59HUK2003, tentang organisasi dan tata kerja pantisosial 10. PERDAPROVSU No.3 tahun 2001, tentang dinas-dinas daerah Sumatera Utara 11. KEP.GUBERNUR SUMATERA UTARA no.061.297K tahun 2002 tentang tugas, fungsi dan tata kerja dinas sosial serta organisasi dan tata kerja UPTD Sumatera Utara 12. Peraturan Gubernur no.33 tahun 2010 tentang struktur organisasi, tugas, fungsi UPT pada dinas kesejahteraan dan sosial Propinsi Sumatera Utara

4.3.2 Sasaran Garapan

A. Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara , dengan kriteria: 1. Usia 15-35 tahun Universitas Sumatera Utara 2. Tidak menderita cacat ganda dan penyakit menular 3. Belum menikah 4. Bersedia di asramakan dengan lama pembinaan maksimal 3 tahun 5. Membawa surat pengantar pemerintah setempat domisili B. Lanjut Usia, dengan kriteria: 1. Usia 60 tahun ke atas 2. Tidak menderita penyakit menular 3. Sehat jasmani dan rohani 4. Membawa surat pengantar pemerintah setempat domisili

4.3.3 Struktur Organisasi

Struktur organisasi diperlukan untuk membedakan batas-batas wewenang dan tanggung jawab secara sistematis yang menunjukkan adanya hubunganketerkaitan antara setiap bagian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Demi tercapainya tujuan umum suatu instansi diperlukan suatu wadah untuk mengatur aktivitas maupun kegiatan instansi. Pengaturan ini dihubungkan dengan pencapaian tujuan instansi yang telah ditetapkan sebelumnya. Wadah tersebut disusun dalam suatu struktur organisasi dalam instansi. Melalui struktur organisasi yang baik, pengaturan pelaksanaan pekerjaan dapat diterapkan, sehingga efisiensi dan efektivitas kerja dapat diwujudkan melalui kerja sama dengan koordinasi yang baik sehingga tujuan instansi dapat dicapai. Universitas Sumatera Utara Bagan 4.1 STRUKTUR ORGANISASI UPT PELAYANAN SOSIAL TUNA RUNGU WICARA LANSIA PEMATANG SIANTAR Kepala UPT Adapaun uraian tugas dari Kepala Unit Pelaksana Teknis, adalah : a Menyelenggarakan pembinaan, bimbingan, arahan dan penegakan disiplin pegawai di lingkungan dinas. b Menyelenggarakan pembinaan, sinkronisasi dan pengendalian pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dinas. c Menyelenggarakan penetapan perencanaan dan program kegiatan dinas, sesuai ketentuan yang berlaku. KEPALA UPT KASUB. BAG TATA USAHA KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL PEKERJA SOSIAL STAFF Universitas Sumatera Utara d Menyelenggarakan pengkajian dan menetapkan pemberian dukungan tugas atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah di bidang kesejahteraan dan sosial. e Menyelenggaraan fasilitasi penyelenggaraan program potensi sumber kesejahteraan sosial, pemberdayaan sosial, pelayanan dan rehabilitasi sosial, bantuan dan jaminan sosial. f Menyelenggarakan koordinasi dan kerjasama dengan instansilembaga terkait. g Menyelenggarakan pengkoordinasian penyusunan tugas-tugas teknis serta evaluasi pelaporan yang meliputi kesekretariatan, potensi sumber kesejahteraan sosial, pelayanan dan rehabilitasi sosial, bantuan dan jaminan sosial. h Menyelenggarakan penetapan penyusunan standar, norma-norma dan kriteria-kriteria sesuai ketentuan yang berlaku. i Menyelenggarakan koordinasi kegiatan teknis dalam rangka penyelenggaraan pelayanan di bidang kesejahteraan dan sosial. j Menyelenggarakan koordinasi kegiatan dengan dinaslembaga kesejahteraan dan sosial lintas KabupatenKota. k Menyelenggarakan tugas lain, yang diberikan Gubernur sesuai tugas dan fungsinya. Pekerja Sosial Fungsional Adapun yang menjadi tugas dari pekerja sosial fungsional adalah : a Membuat kurikulum pembelajaran warga binaan sosial Universitas Sumatera Utara b Menyusun jadwal pembelajaran warga binaan sosial c Menyusun rancangan dan istrumen asesmen d Menyusun rencana bimbingan fisik, keterampilan, sosial, psikososial, advokasi e Pendampingan bimbingan pengetahuan dasar, bahasa isyarat, dan bimbingan keterampilan f Melaksanakan bimbingan sosial, psikososial, dan advokasi g Pembahasan kasus h Supervise pelaksanaan tugas i Evaluasi dan pembuatan laporan kegiatan Sub Bag Tata Usaha Adapun yang menjadi tanggung jawab Sub bag tata usaha, meliputi : a. Melaksanakan surat menyurat b. Pengusulan kenaikan pangkat, gaji berkala, dan pensiunan c. Mutasi pegawai d. Melakukan pembayaran air, listrik, dan telepon e. Mengurus gaji pegawai, honor daerah, honor lepas f. Memelihara sarana dan prasarana g. Pembinaan pegawai apel pagi dan sore, upacara hari kesadaran nasional h. Menginventarisasi barang Universitas Sumatera Utara

4.3.4 Sarana dan Prasarana Panti

Tabel 4.1 Sarana dan Prasarana UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar No Nama bangunan Luas Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kantor Aula Mess Wisma I Wisma II,III Ruang keterampilan pertukangan kayu Ruang keterampilan menjahit, salon Ruang pendidikan I Ruang pendidikan II Ruang pendidikan III Dapur dan ruang makan GarasiGudang Asrama putra WBS Rungu Wicara Asrama Putri WBS Rungu Wicara Asrama WBS Lanjut Usia I,II,III 312 m 2 392 m 2 200 m 2 48 m 72 m 184 m 147 m 100 m 216 m 48 m 213 m 340 m 255 m 110 m 74 m 1 unit 1 unit 5 unit 1 unit 2 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 16 17 18 19 Rumah Dinas Kepala Ruang k esehatanpoliklinik Ruang perawatan Pos jaga 74 m 100 m 30 m 9 m 1 unit 1 unit 2 unit 1 unit UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar memiliki luas areal 56.500 m. Universitas Sumatera Utara

4.4 Tata Cara Penanganan Tuna Rungu Wicara

Warga binaan sosial tuna rungu wicara sejumlah 18 orang, terdiri dari 5 orang laki-laki dan 13 orang perempuan. Proses pelayanan dilakukan dengan beberapa tahap, yakni : 1. Pendekatan awal a. Sosialisasi program b. Registrasi pendaftaran calon wbs rungu wicara mengisi formulir c. Membuat kontrak kerja dengan keluarga dan calon wbs d. Menerima dan penempatan calon wbs ke asrama e. Orientasi calon wbs di UPT 2. Asesmen a. Menyusun instrument asesmen b. Mengisi formulir asesmen c. Analisa tingkat kemampuan fisik, vocational, sosial, mental dan psikososial d. Pembahasan kasus e. Menentukan focus masalah f. Penempatan warga binaan sosial wbs dalam kelas pembelajaran pengetahuan dasar dan keterampilan Universitas Sumatera Utara 3. Perencanaan Pelayanan Sosial a. Menetapkan tujuan pelayanan b. Pengelompokan wbs pada jenis program pelayanan berdasarkan rekomendasi asesmen c. Membuat jadwal pelayanan d. Menyusun materi pengetahuan dasar, bimbingan fisik, keterampilan, sosial, psikososial dan advokasi 4. Pelaksanaan Program Pelayanan Sosial a. Pemberian pengetahuan dasar dan bahasa isyarat kelas A1. Jumlah 8 orang b. Pemberian pengetahuan dasar dan bahasa isyarat wbs tuna rungu wicara kelas C. sejumlah 10 org c. Pemberian bimbingan fisik wbs tuna rungu wicara main volley, tenis meja, senam, jalan santai, bulu tangkis dan sepak bola d. Bimbingan mental agama Islam dan Kristen  Bimbingan agama Islam hari jumat  Bimbingan agama Kristen hari jumat  Ibadah dilaksanakan di dekat UPT. Mesjid Sibatu-batu, Gereja di Jl. Bali  Merayakan Natal bersama di Aula UPT  Mengikuti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha e. Bimbingan sosial Peksos dengan wbs tuna rungu wicara f. Bimbingan keterampilan menjahit dan bordir Universitas Sumatera Utara g. Bimbingan keterampilan salon h. Bimbingan keterampilan pertukangan kayu i. Kegiatan lain: melaksanakan perayaan HUT Kemerdekaan RI ke 66 j. Melaksanakan evaluasi pengetahuan dasar, bahasa isyarat, keterampilan dan mental wbs tuna rungu wicara k. Terminasi : Terminasi bagi wbs rungu wicara dilaksanakan setelah 3 tahun mengikuti pelayanan sosial di panti. Universitas Sumatera Utara

BAB V ANALISIS DATA

5.1 Pengantar

Analisis data adalah suatu proses menuntut penguasaan atas objek yang diteliti. Dalam bab ini penulis berusaha membahas objek yang diteliti dan selanjutnya melakukan analisa. Data yang diperoleh melalui observasi dan angket. Angket yang disebarkan berisi daftar pertanyaan yang sudah dibuat yang kemudian disebarkan kepada warga binaan UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar yang mengikuti program pelatihan keterampilan. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan tabel persentase. Masing-masing angket akan ditabulasi untuk membuktikan hipotesis yang telah ditetapkan. Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah teknik analisa data dengan pendekatan deskriptif kuantitatif dengan menggunakan skala likert. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan. Jumlah pertanyaan seluruhnya 37 butir yaitu 6 butir untuk karakteristik umum, 8 butir untuk reaksi, 7 butir untuk belajar, 7 butir untuk perilaku, dan 9 butir untuk dampak organisasi. Sebagaimana tujuan penelitian ini, daftar pertanyaan yang disebarkan kepada responden berisikan pertanyaan pelaksanaan program pelatihan keterampilan. Berdasarkan hasil penelitian melalui penyebaran angket diperoleh data mengenai identitas responden melalui nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa dan daerah asal. Selain itu diperoleh juga bagaimana efektivitas Universitas Sumatera Utara pelaksanaan program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pemata ng Siantar yang dilihat dari reaksi, kegiatan belajar, perilaku dan dampak organisasi. Agar pembahasan tersebut tersusun secara sistematis dan jelas, maka pembahasan data penelitian ini dilakukan dengan membagi dua subbab berikut ini: A. Analisis indentitas responden B. Efektivitas program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar.

5.2 Analisa Indentitas Responden

5.2.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Tabel 5.1

Distribusi Responden Berdasarkan Usia No Usia Frekuensi 1 15-21 18 100 Sumber : Data Primer, 2013 Berdasarkan data pada tabel 5.1 dapat diketahui bahwa peserta pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara seluruhnya adalah mereka yang berusia 15-21 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa keseluruhan responden adalah remaja dan tergolong ke usia produktif kerja. Dengan usia yang masih sangat produktif, mereka masih memiliki rasa ingin tahu, kemampuan berkarya Universitas Sumatera Utara dan semangat kerja yang tinggi dalam usaha mengembangkan usaha mereka nantinya.

5.2.2 Karakteristik Responden

Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin No Jenis Kelamin Frekuensi 1 Laki-laki 5 27.8 2 Perempuan 13 72.2 Jumlah 18 100 Sumber : Data Primer, 2013 Berdasarkan data pada tabel 5.2 dapat kita ketahui bahwa peserta pelatihan keterampilan yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 13 orang dan laki-laki berjumlah 5 orang. Adapun peserta perempuan mengikuti pelatihan keterampilan seperti keterampilan salon, menjahit dan membordir. Peserta laki-laki seluruhnya mengikuti pelatihan keterampilan pertukangan kayu. Universitas Sumatera Utara

5.2.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Agama Tabel 5.3

Distribusi Responden Berdasarkan Agama No Agama Frekuensi Islam 12 66.7 Kristen 6 33.3 Jumlah 18 100 Sumber : Data Primer, 2013 Indonesia menjamin kemerdekaan dari setiap penduduknya untuk dapat memeluk agama sesuai kepercayaannya masing-masing. Undang-Undang Dasar 1945 pasar 29 ayat 1 dan 2 menyebutkan secara jelas bahwa kebebasan untuk memeluk agama adalah mutlak. Data mengenai distribusi responden berdasarkan agama melalui angket yaitu terdiri dari dua klarifikasi. Adapun klarifikasi agama tersebut adalah Agama Islam dan Agama Kristen. Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.3 dapat diketahui bahwa mayoritas responden adalah beragama Islam sebanyak 12 orang 66.7 dan beragama Kristen 6 orang 33.3. Perbedaan agama diantara mereka tidak menjadi pemecah persaudaraan antara responden. Mereka tetap dapat saling bekerja sama satu sama lain, saling membantu, dan saling menghormati antara sesama umat beragama seperti pada saat hari-hari besar beragama dan saat beribadah menurut agamanya masing-masing. Universitas Sumatera Utara

5.2.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Suku Bangsa Tabel 5.4

Distribusi Responden Berdasarkan Suku Bangsa No Suku Bangsa Frekuensi 1 Minang 4 22.3 2 Melayu 2 11.1 3 Batak 8 44.5 4 Karo 1 5.5 5 Jawa 2 11.1 6 Lain-lain 1 5.5 Jumlah 18 100 Sumber : Data Primer, 2013 Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.4 dapat diketahui bahwa mayoritas responden adalah suku batak yang berjumlah 8 orang 44.5, suku minang 4 orang 22.3, suku melayu 2 orang 11.1, suku jawa 2 orang 11.1 serta suku karo dan dalimo masing-masing 1 orang 5.5. Meskipun memiliki suku-suku yang berbeda, responden tetap dapat hidup rukun dan tidak membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Hal ini terlihat dari ada rasa saling menghargai sehingga tercipta kehidupan bersama yang rukun. Universitas Sumatera Utara

5.2.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Daerah Asal Tabel 5.5

Distribusi Responden Berdasarkan Daerah Asal No Kategori Frekuensi F Persentase 1 Sumatera Barat 5 27.8 2 Pematang Siantar 5 27.8 3 Kisaran 2 11.1 4 Batu Bara 2 11.1 5 Lubuk Pakam 1 5.5 6 Bandar Kuala 1 5.5 7 Kabanjahe 1 5.5 Total 18 100 Sumber : Data Primer 2013 Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.5 dapat diketahui bahwa mayoritas daerah asal peserta pelatihan keterampilan adalah berasal dari Sumatera Barat dan Pematang Siantar yang masing-masing berjumlah 5 orang 27.8, Kisaran dan Baturaba masing-masing 2 orang 11.1 dan Lubuk Pakam, Bandar Kuala dan Kabanjahe masing-masing 1 orang 5.5. Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa keberadaan program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara ini sudah diketahui sampai ke Sumatera Barat. Hal ini dapat kita lihat dari peserta program pelatihan keterampilan ini sebagian besar berasal dari Sumatera Barat. Universitas Sumatera Utara

5.3 Efektivitas Program Pelatiha Keterampilan Bagi Penyandang Cacat

Tuna Rungu Wicara Di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar Uraian tentang efektivitas program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar disajikan dalam bentuk indikator meliputi reaksi, belajar dan perilaku warga binaan serta dampak organisasi dari program pelatihan keterampilan. Ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar.

5.3.1 Reaksi Warga Binaan 1.

Sumber Pengetahuan Lembaga Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Pengetahuan Lembaga No Kategori Frekuensi F Persentase 1 Keluarga 9 50 2 Teman 8 44.5 3 Kelurahan 1 5.5 Jumlah 18 100 Sumber : Data Primer 2013 Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.6 dapat diketahui bahwa keluarga responden merupakan sumber utama responden untuk mendapat Universitas Sumatera Utara informasi tentang program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara yakni sebanyak 9 orang 50. Sebanyak 8 orang 44.5 yang menyatakan mengetahui program pelatihan keterampilan penyandang cacat tuna rungu wicara dari temannya dan 1 orang 5.5 yang menyatakan mengetahui program pelatihan keterampilan dari kelurahan. Tabel 5.6 menggambarkan bahwa keluarga berperan aktif mencari informasi mengenai program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara. Sebagian lagi responden mengetahui adanya program pelatihan keterampilan tersebut dari mulut ke mulut antara teman yang satu ke teman yang lainnya. Kurangnya sosialisasi program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara yang dilakukan lembaga ke masyarakat luas maupun ke lembaga-lembaga pemerintah seperti ke kelurahan ditunjukkan dengan hanya 1 orang responden yang mengetahui tentang program pelatihan keterampilan dari kelurahannya. Kuantifikasi skala likert tentang sumber pengetahuan responden adalah dengan jumlah nilai dari jawaban responden yakni 8, nilai tersebut dibagi dengan jumlah responden yang berjumlah 18 orang. Nilai skala likert tentang sumber pengetahuan responden mengenai adanya program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar adalah 0,45. Universitas Sumatera Utara

2. Pihak Pengantar Responden

Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Pihak Pengantar Responden No Kategori Frekuensi F Persentase 1 Orangtua 17 94.5 2 KeluargaKerabat 1 5.5 Jumlah 18 100 Sumber : Data Primer 2013 Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.7 dapat diketahui bahwa orangtua responden sangat mendukung anaknya untuk mengikuti program pelatihan keterampilan dengan mengantarkan anaknya ke panti. Hal ini dapat dilihat berdasarkan pihak pengantar responden yakni sebanyak 17 orang 94,5. Responden yang diantar oleh keluarga atau kerabatnya yakni 1 orang 5,5. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara peneliti, diketahui bahwa pada awal mereka ingin mengikuti program pelatihan keterampilan yang ada di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara Pematang Siantar, semua responden diantar oleh orangtua maupun kerabatnya. Dimana orangtua responden harus terlebih dahulu melalukan registrasi pendaftaran calon warga binaan sosial tuna rungu wicara, kemudian menyetujui kontrak kerja yang telah dibuat oleh lembaga dengan keluarga dan calon warga binaan sosial. Setelah keluarga setuju dengan kontrak kerja yang dibuat lembaga, maka akan dilakukan penempatan calon warga binaan sosial ke asrama dan dilakukan orientasi di UPT. Hal ini dilakukan agar lembaga lebih transparan kepada keluarga sehingga keluarga lebih merasa aman meninggalkan anaknya di asrama. Universitas Sumatera Utara Kuantifikasi skala likert berdasarkan pihak yang menghantar responden ke UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar yakni 17, nilai tersebut dibagi dengan jumlah responden yang berjumlah 18 orang. Nilai skala likert berdasarkan pihak penghantar responden mengikuti program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tuna rungu wicara adalah 0,95.

3. Pengetahuan Terhadap Program

Dokumen yang terkait

Strategi Pekerja Sosial dalam Pelayanan Anak Tuna Rungu Wicara (Studi Kasus di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar)

3 95 103

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 8 151

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 0 15

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 0 2

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 0 8

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 1 30

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 0 2

Strategi Pekerja Sosial dalam Pelayanan Anak Tuna Rungu Wicara (Studi Kasus di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar)

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar

0 1 41

Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar

0 0 14