BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.
Kehilangan pendengaran yang ringan atau parsial saja dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk berbicara dan memahami bahasa. Bagi anak-anak,
pendengaran dan kemampuan berbahasa adalah alat yang sangat penting untuk belajar, bermain dan membangun kemampuan sosial. Anak belajar untuk
berkomunikasi dengan meniru suara yang mereka dengar. Jika mereka memiliki gangguan pendengaran yang tidak diketahui sebelumnya dan
tidak ditangani, informasi untuk perkembangan bahasa dari lingkungan mereka akan terbuang sia-sia. Hal ini akan mengakibatkan lambatnya perkembangan
kemampuan verbal serta menimbulkan masalah soaial dan akademik. Susunan pancaindra manusia, salah satunya telinga sebagai indera
pendengaran merupakan organ untuk melengkapi informasi yang diperoleh melalui penglihatan. Bila kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan
untuk mendengar berarti kehilangan kemampuan menyimak secara utuh peristiwa di sekitarnya. Akibatnya, semua peristiwa yang terekam oleh penglihatan anak
dengan kecacatan rungu wicara, tampak seperti terjadi secara tiba-tiba tanpa dapat memahami gejala awalnya.
Faktanya kebanyakan orang, mengalami gangguan pendengaran secara lambat sehingga mereka sendiri tidak menyadari tanda-tanda gangguan
Universitas Sumatera Utara
pendengaran pada dirinya sendiri. Tanda-tanda gangguan pendengaran yang dapat kita lihat pada orang-orang disekitar kita seperti jika seseorang tiba-tiba
beralih mengubah volume TV atau radio tanpa alasan yang jelas, itu dapat menjadi salah satu indikator mereka berada pada beberapa level gangguan
pendengaran. Orang yang mulai mengalami gangguan pendengaran juga mulai menghindari pertemuan-pertemuan sosial karena akan menjadi hal yang rumit
bagi orang dengan gangguan pendengaran. Sering terjadinya kesalahpahaman di dalam percakapan juga dapat menunjukkan orang tersebut sedang berjuang untuk
mendengarkan suara lawan bicaranya dengan jelas. Selain itu orang dengan gangguan pendengaran sering merasa letih atau stress. Hal ini disebabkan karena
mendengarkan adalah kerja keras dan membutuhkan konsentrasi, sehingga membuat mereka gampang lelah dan juga stress.
Gangguan pendengaran belum begitu mendapat perhatian serius dari masyarakat karena gejalanya tidak tampak dari luar. Gangguan ini sangat
menganggu produktifitas dan membuat penderitanya terisolasi dari lingkungan. Pada anak-anak, dampaknya lebih berat lagi karena mempengaruhi
perkembangannya hingga dewasa. Masih banyak orang yang beranggapan bahwa orang yang memiliki
keterbatasan fisik tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan banyak yang menyangka disabilitas adalah sekelompok orang yang hanya membuat susah orang lain.
Padahal, jika diperhatikan, penyandang disabilitas juga bisa berprestasi dan berkarya, dan bisa melebihi orang-orang normal lainnya, bahkan tak sedikit
prestasi yang mereka peroleh dikancah internasional. Untuk itu perlu dukungan dari masyarakat, tapi bukan karena didasarkan pada belas kasihan, namun hak-
Universitas Sumatera Utara
hak yang terhormat bagi penyandang disabilitas. Harian Analisa, 5 Desember 2012:15.
Anak dengan kecacatan rungu wicara merupakan realitas sosial yang tidak terelakkan keberadaannya. Mereka membutuhkan perhatian dan dukungan baik
oleh pemerintah maupun masyarakat. Secara umum keberadaan anak dengan kecacatan rungu wicara terkadang dianggap beban, aib yang keberadaannya
disembunyikan atau diisolasi dari kehidupan masyarakat. Kecacatan pada anak merupakan kondisi yang tidak diinginkan oleh siapapun.
Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris ditemukan fakta bahwa tingkat penduduk yang mengalami gangguan pendengaran cukup tinggi. Di
Amerika Serikat ada 36 juta orang dengan gangguan pendengaran atau satu dari setiap lima orang penduduk, sedangkan di Inggris ada lebih dari 10 juta penduduk
yang mengalami gangguan pendengaran atau satu dari enam penduduk. Diketahui juga bahwa laki-laki lebih banyak yang mengalami gangguan pendengaran
dibandingkan wanita. Gangguan pendengaran terjadi karena ada yang dibawa sejak lahir dan ada yang di dapat seperti akibat kecelakaan atau menerima paparan
suara yang keras setiap hari secara teratur. Pada tahun 2011 jumlah penduduk Inggris dengan gangguan pendengaran ada 10 juta orang dan diperkirakan pada
tahun 2031 jumlah penduduk dengan gangguan pendengaran akan meningkat menjadi 14,5 juta orang penduduk. http.actiononhearingloss.org.uk. Diakses
pada 26 April 2013 pukul 13.28 Di Indonesia sampai saat ini belum ada data yang jelas dan up to date
mengenai jumlah yang mengalami gangguan pendengaran, karena belum dilakukan program screening untuk pendengaran. Data survey Kesehatan Indera
Universitas Sumatera Utara
Pendengaran di tujuh propinsi tahun 1994-1996 menyebutkan prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia adalah 16,8 dan 0,4.
Menurut data WHO tahun 2007, prevalensi gangguan pendengaran pada populasi Indonesia diperkirakan sebesar 4,2 sehingga berdasarkan tahun 2002 bila
jumlah penduduk Indonesia sebesar 221.900.000 maka 9.319.800 penduduk Indonesia diperkirakan menderita
gangguan pendengaran.
http:
eprints.undip.ac.id. Diakses pada 27 April 2013 pukul 09.25. Menurut data yang diperoleh Deputi Bidang Perlindungan Perempuan
pada Seminar Hari Internasional Penyandang Cacat 2011 dikatakan bahwa penyandang tuna netra 1.749.981 jiwa, tuna rungu wicara 602.784 jiwa, tuna
daksa 1.652.741 jiwa, tuna grahita 777.761 Jiwa. Kementerian Sosial RI memperkirakan populasi penyandang Cacat Indonesia sebesar 3,11, sementara
WHO menyampaikan jumlah penyandang cacat dari negara - negara berkembang yaitu sebesar 10. http:rehsos.kemsos.go.id. Diakses pada tanggal 26 April
2013 pukul 20.45 Data statistik populasi anak berkelainan yang dikeluarkan oleh
Departemen Sosial, populasi penyandang kelainan hingga tahun 1991 diketahui sebanyak 5.576.815 orang dengan penyandang kelainan tunarungu-wicara
sebanyak 555.898 orang 9,97 Efendi,2006:12. Sampai saat ini belum ada data yang akurat tentang populasi anak dengan kecacatan rungu wicara di
Indonesia. Namun, sebagai gambaran terdapat 295.795 anak dengan kecacatan adalah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial PMKS sebesar 295.763 anak.
Sementara Departemen Pendidikan Nasional menyatakan baru sekitar 48.000 anak dengan kecacatan dari 1,3 juta anak penyandang cacat usia sekolah yang
Universitas Sumatera Utara
menikmati pendidikan. Sisanya lebih banyak tinggal di rumah. Dengan demikian anak dengan kecacatan termasuk anak dengan kecacatan rungu wicara masih
mendapat perlakuan diskriminatif.Depsos RI.2008. Kondisi di atas dalam sudut pandang perkembangan anak dipandang
kurang menguntungkan terutama pada pemenuhan hak-hak anak secara umumnya. Suatu asumsi terganggunya pemenuhan hak-hak anak dengan kecacatan rungu
wicara juga akan berdampak pada keberadaan dan masa depan anak itu sendiri. Sehingga perlindungan terhadap anak dengan kecacatan rungu wicara menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya penanganan anak dan peningkatan kesejahteraannya.
Terdapat beberapa dampak dari ketunarunguan yang dialami pada anak, diantaranya adalah mereka terlambat dalam memperoleh bahasa sehingga sulit
dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Kurangnya pemahaman bahasa yang dimiliki anak tunarungu menyebabkan terdapatnya kesalahan penafsiran dalam
memandang sesuatu yang dilihatnya dan di lingkungan masyarakat pada umumnya melihat anak penyandang cacat seperti tunarungu sebagai anak yang
memiliki kekurangan sehingga sedikit tersisihkan dari masyarakat. Pada beberapa kasus anak dengan kecacatan, khususnya kecacatan rungu
wicara, apabila diketahui dan ditanggulangi sedini mungkin akan membuat perkembangan anak menjadi semakin baik dan dapat mengurangi hambatan-
hambatan yang terjadi. Sebagai contoh, anak balita yang tidak dapat mendengar dan bicara, apabila diketahui lebih dini, maka orang tua dapat menentukan sikap
yang lebih positif terhadap kondisi kecacatan yang diderita anaknya sehingga dapat dicari altenatif pemecahan permasalahannya. Dalam hal ini dibutuhkan
Universitas Sumatera Utara
kesadaran, perhatian, dan keahlian khusus orang-orang disekitar anak seperti orang tua, keluarga, guru, dan masyarakat dimana anak tersebut tinggal.
Berbagai keterbatasan yang ada pada keluarga yang memiliki anak dengan kecacatan rungu wicara menyebabkan terkendalanya keluarga dalam memberikan
pelayanan dalam menangani anak tersebut. Demikian juga para petugas dan penyelenggara pelayanan anak dengan kecacatan rungu wicara, sering kali juga
terkendala oleh keterbatasan kemampuan serta keterampilan yang menyebabkan tidak optimalnya pelayanan dan rehabilitasi sosial anak dengan kecacatan rungu
wicara. Anak dengan kecacatan rungu wicara pada hakekatnya mempunyai potensi
yang dapat dikembangkan. Anak dengan kecacatan rungu wicara masih memiliki organ indera lain yang dapat berfungsi sebagai organ indra visual yang membuat
memungkinkannya imajinasi visual yang diperoleh anak tunarungu dari lingkungannya berada. Upaya pengembangannya dengan adanya program yang
terancang secara sistematis melalui upaya penanganan secara terarah, tepat guna dan berkesinambungan. Pelayanan dan rehabilitasi sosial merupakan upaya yang
tidak dapat terpisahkan dengan sistem pelayanan secara umum. Pelayanan dan rehabilitasi sosial anak cacat rungu wicara merupakan
rangkaian kegiatan pembinaan dan pelayanan kesejahteraan sosial dalam rangka menjamin tumbuh kembang anak, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosial
secara wajar di segala aspek kehidupan di dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini perlu didukung oleh lingkungan khususnya wadah pelayanan dan rehabilitasi
sosial seperti panti pelayanan sosial.
Universitas Sumatera Utara
Panti merupakan salah satu wadah yang dapat mengoptimalkan potensi, minat, bakat dan pendidikan anak dengan kecacatan rungu wicara. Panti
diwajibkan memberikan kemampuan terbaik dalam menjalankan kinerjanya, salah satunya adalah ditunjang dengan fasilitas yang memadai. Fasilitas yang memadai
tentunya diharapkan anak dapat terfasilitasi dalam mendapatkan pendidikan dan keterampilan yang mumpuni selama pendidikan formal. Diharapkan setelah
mendapatkan pendidikan dari sekolah, anak dapat menjadi lebih mandiri dan dapat diterima dalam bekerja. Namun sayang, untuk dapat bekerja anak dengan
kecacatan rungu wicara harus bersaing secara ketat dengan anak lain pada umumnya. Namun perbedaannya kualitas pendidikan yang didapat anak membuat
anak dengan kecacatan rungu wicara menjadi korban dari ketidakpastian untuk bersaing di masyarakat.
Keterampilan sangat dibutuhkan oleh setiap individu terutama pada saat ini. Keterampilan bagi sebagian orang adalah suatu kelebihan yang harus dimiliki
karena dalam segala aspek kita sebagai individu dituntut untuk terampil menyikapi segala hal. Berbeda dengan anak dengan kecacatan rungu wicara, ada
kecenderungan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan menjadi terhambat sehingga kurang optimal dalam mengekspresikan kemampuan yang mereka
miliki. Bagi tunarungu pemberian pembelajaran keterampilan khususnya keterampilan kecakapan hidup harus dimulai dari hal-hal yang sifatnya sederhana.
Kehadiran anak dengan kecacatan rungu wicara yang setiap tahunnya bertambah menjadikan mereka menjadi salah satu sasaran dari Departemen Sosial.
Upaya Departemen Sosial untuk memberikan layanan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan anak dengan kecacatan rungu wicara adalah dengan
Universitas Sumatera Utara
menghadirkan Panti Sosial Tuna Rungu Wicara sebagai suatu pelayanan substitutive atau pengganti keluarga, terutama berupa pemberian layanan
pendidikan dan perlindungan secara tepat dan maksimal. Melalui kehadiran panti sosial ini, segala program dan kegiatan pelayanan sosial bagi penyandang cacat
tunarungu wicara diarahkan untuk meningkatkan kesempatan berusaha dan bekerja untuk meningkatkan kualitas hidup dan taraf kesejahteraan sosial
penyandang cacat tuna rungu wicara, meningkatkan kepedulian sosial masyarakat, serta membangun budaya kewirausahaan bagi penyandang cacat. Panti sosial
diharapkan mampu memenuhi kebutuhan fisik, psikis dan sosial anak yang tidak hanya terkait dengan kehidupan keluarga dan masyarakat tetapi sebagai manusia
yang utuh dan unik. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis tertarik untuk
meneliti dan mengetahui bagaimana keefektifan pelayanan sosial yang diberikan oleh UPT. Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar
terhadap penyandang cacat tuna rungu wicara dengan melihat kualitas kegiatan seperti reaksi warga binaan tuna rungu wicara terhadap program kegiatan,
kuantitas kegiatan seperti seberapa jauh penguasaan konsep selama pelatihan dan dampak pelatihan. Penulis membatasi penelitian ini hanya pada ruang lingkup
keefektifan pelayanan yang diberikan kepada penyandang cacat tuna rungu wicara. Penulis mengangkat permasalahan yang dirangkum dalam penelitian
sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul: “Efektifitas Pelaksanaan Program Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di
UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar.”
Universitas Sumatera Utara
Adapun alasan peneliti tertarik meneliti permasalahan ini adalah karena mengetahui bahwa ternyata banyak anak dengan kecacatan tuna rungu wicara
yang belum tertangani yang dampaknya akan mengganggu emosional dan hubungan sosialnya dan pada akhirnya mereka akan terdiskriminasikan. Selain itu
peneliti tertarik untuk meneliti di Panti Tuna Rungu Wicara P. Siantar karna panti ini merupakan salah satu UPT yang khusus melayani penyandang cacat tuna
rungu wicara di Provinsi Sumatera Utara dan memiliki wilayah kerjanya meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jambi Sumbagut.
Sehingga peneliti ingin melihat bagaimana efektifitas dari pemberian pelayanan sosial berupa pemberian keterampilan terhadap penyandang cacat tuna rungu
wicara yang selama ini telah diberikan.
1.2 Perumusan Masalah