236
asal 2
Pasal 761 Pasal 4
Penyembunyian dan menyamarkan hasil tindak pidana
3 Pasal 762
Pasal 5 Menerima atau menguasai hasil tindak
pidana
Masalah utama perumusan dalam R KUHP dalam Pasal 760, 761 dan 762 tersebut ialah tidak seluruh pengertian atau ruang lingkup penting diuraikan atau di terangkan lebih jelas, berbeda dengan UU
TPPU yang memberikan penjelasan yang lebih memadai atas elemen-elemen kejatahan TPPU. lihat Tabel 2. Disamping itu perumus RKUHP melupakan sifat atau prinsip utama yang menjadi landasan
lahirnya undang-undang TPPU tersebut. TPPU yang merupakan jenis tindak pidana yang memiliki paradigma in rem, hendak dipaksa mengikuti pola im personal dari RKUHP. Ambil contoh misalnya
dalam rumusan Buku I RKHUP tentang gugurnya kewenangan penuntutan. Dalam ketentuan Pasal 152 huruf b RKUHP diatur bahwa salah-satu sebab gugurnya hak penuntutan adalah karena
terdakwa meninggal dunia. Padahal dalam rezim TPPU, walaupun terdakwa meninggal dunia, namun perkara tetap bisa dilanjutkan melalui penuntutan terhadap harta kekayaan yang patut diduga
berasal dari tindak pidana.
288
Pasal a at UU No. Tahu
e e utka ah a: Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah
melakukan tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas tuntutan penuntut umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita
. Da i kete tua i i, p oses pe a pasa aset tetap dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang menangani perkara TPPU. Pemahaman ini berbeda jika
dibandingkan dengan pelaksanaan pidana perampasan, yang tetap dapat dilakukan walaupun terpidana meninggal dunia vide Pasal 161 RKHUP. Pidana perampasan pada dasarnya diputuskan
oleh putusan pengadilan bersamaan dengan putusan bersalah dari terdakwa. Namun, jika mengikuti logika Pasal 152 huruf b RKUHP tersebut, maka perampasan tersebut tidak pernah akan bisa
dilakukan, apabila pelaku meninggal dunia pada saat proses peradilan sedang berjalan, kecuali menggunakan mekanisme gugatan perdata melalui Jaksa Pengacara Negara.
289
18.5. Problem Kodifikasi Pasal TPPU dalam RKUHP
Salah satu isu substansial yang mengemuka adalah, terkait masukknya seluruh Pasal-Pasal tindak pidana yang tersebar diluar KUHP
290
saat ini kedalam buku II RKUHP. Sekilas tampak bahwa, politik hukum yang hendak dicapai perumus RKHUP adalah hendak memperluas cakupan kodifikasi hukum
pidana. Perluasan dimaksud adalah, tidak saja sebatas tindak pidana yang memang sudah diatur sebelumnya dalam KUHP warisan pemerintah kolonial Belanda, namun juga terhadap tindak pidana
yang muncul setelah berlakunya KUHP, yang mana tindak pidana tersebut walaupun tidak semua berbeda dengan tindak pidana yang ada dalam KUHP.
288
Lihat Rifky, TPPU dalam KUHP, artikel di www.reformasikuhp.org, 2015
289
Ibid.
290
Tindak pidana diluar KUHP merupakan jenis tindak pidana yang diatur dengan undang-undang tersendiri, seperti undang-undang tentang tindak pidana korupsi, undang-undang pencucian uang, undang-undang terorisme, dan lain
sebagainya, yang memang merupakan undang-undang yang berisikan pengaturan tentang tindak pidana. Hal ini berbeda dengan undang-undang administratif yang berisi ketentuan sanksi pidana administratif penal law, seperti undang-undang
tentang Agraria, undang-undang Hak Kekayaan Intelektual, undang-undang Kearsipan dan lain sebagainya.
237
Adapun model yang hendak ditawarkan oleh tim perumus adalah bentuk kodifikasi secara total, dengan menempatkan seluruh norma hukum pidana yang berlaku secara nasional dalam satu kitab
hukum pidana.
291
Pada dasarnya, kebijakan tersebut baik adanya. Tujuannya, agar seluruh warga negara dapat secara mudah menemukan dan sekaligus memahami rumusan tindak pidana, karena
diatur dalam satu wadah yang tersistematisasi. Tidak seperti saat ini, yang mana tatkala kita hendak menemukan rumusan tindak pidana diluar KUHP, maka yang harus dilakukan pertama kali adalah
mencari undang-undang yang mengaturnya. Kemudian, untuk memahaminya secara keseluruhan harus membandingkannya dengan KUHP, karena ada asas-asas umum yang masih berlaku sepanjang
tidak ditentukan lain dalam undang-undang tersebut. Selain itu, sebagaimana manfaat kodifikasi dalam tataran yang lebih praktis, yakni mempermudah penuntut umum dalam merumuskan bentuk
dakwaan.
Namun, kodifikasi total yang hendak diwujudkan dalam RKUHP tersebut, bukan tanpa persoalan. Tim perumus, hendak memaksakan aturan tindak pidana yang berada diluar KUHP untuk masuk
kedalam buku II RKHUP dan harus mengikuti sistem yang ada adalam RKUHP. Hal ini dapat dilihat dalam Ketentuan Peralihan, Pasal 782 ayat 2 RKUHP, yang menyebutkan dalam jangka waktu 5
lima tahun, seluruh ketentuan pidana diluar KUHP yang dimasukkan dalam buku II KUHP, harus disesuaikan dengan buku I dengan melakukan perubahan undang-undangnya masing-masing.
Padahal, beberapa ketentuan materil tindak pidana diluar KUHP, memiliki sejumlah perbedaan yang mendasar, seperti tindak pidana pencucian uang. Jenis tindak pidana yang lahir sejak dirumuskannya
Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau Konvensi Wina tahun 1988 dan baru berlaku di Indonesia pada tahun 2002, melalui UU No. 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki sejumlah karakter atau paradigma yang berbeda dengan tindak pidana pada umumnya.
Melalui sistem kodifikasi, Pasal-Pasal tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dimasukkan dalam BAB XXXVI RKUHP bersama-sama dengan tindak pidana penadahan dan penerbitan dan pencetakan.
Adapun Pasal-Pasal tindak pidana pencucian uang dalam bab tersebut pada dasarnya berasal dari UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucain Uang UU TPPU.
292
Hampir tidak ada rumusan delik yang berubah, hanya beberapa sanksi pidana yang mengalami sedikit peningkatan.
Yakni, sanksi denda yang sebelumnya diatur dalam UU TPPU paling banyak Rp. 10 milyar, sementara dala ‘KUHP e jadi pali g a ak ‘p. il a katego i VI . “elai itu, u usa ti dak hasil
ti dak pida a a g se elu a e upaka agia da i ata g tu uh di UU TPPU Pasal 2 ayat 1,
kemudian dijadikan muatan penjelasan dalam RKHUP. Walaupun secara konseptual, sistem kodifikasi tidak serta-merta menjadikan suatu tindak pidana
yang sebelumnya berada diluar KUHP, menjadi tindak pidana umum yang berakibat sifat-sifat khusus yang melekat menjadi hilang dan kehilangan dayaguna. Bukan pula lembaga-lembaga penegak
hukum yang melakukan penegakan hukum atas dasar undang-undang diluar KUHP, kemudian menjadi hilang kewenangannya apabila muatan Pasal tersebut masuk kedalam KUHP. Materi hukum
pidana materil dalam KUHP sejatinya tetap dapat digunakan oleh siapapun penegak hukum, asalkan dia bewenang melakukan proses penegakan hukum. Hal ini dikarenakan, kodifikasi yang dimaksud
hendak membuat rumah yang lebih besar dari sistem hukum pidana yang dapat memayungi sistem
291
Bernhard Ruben Fritz Sumingar, 2015, Kodifikasi dalam R KUHP dan Implikasi terhadap Tatanan Hukum Pidana Indonesia Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2015, hlm. 7.
292
Naskah Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, hlm. 257
238
pemidanaan secara nasional. Dimana sebelumnya, aturan berkenaan dengan tindak pidana kita menurut Prof. Barda Nawawi berupa rumah besar KUHP dan ada rumah-rumah kecil
disekelilingnya.
293
Rumah yang lebih besar maksudnya adalah KUHP yang sanggup menyerap semua karakteristik tindak pidana yang sebelumnya berada diluar KUHP. Artinya, walaupun mengalami
beberapa penyesuaian, namun prinsip-prinsip fundamental dari tindak pidana tersebut tetap dipertahankan dalam KUHP.
Namun yang terjadi saat ini, perumus RKUHP hendak memaksakan tindak pidana diluar KUHP masuk menjadi bagian RKHUP tanpa memandang sifat atau prinsip utama yang menjadi landasan lahirnya
undang-undang tersebut. TPPU yang merupakan jenis tindak pidana yang memiliki paradigma in rem, hendak dipaksa mengikuti pola im personal dari RKUHP.
18.6. Penutup