Pengantar Catatan R KUHP Final

15 Bagian Ke 2 Per o aa Ti dak Pida a da Per ulaa Pelaksa aa dala ‘ KUHP

3.1. Pengantar

Para penyusun RKUHP mencoba berupaya melakukan perubahan mengenai percobaan yang diatur dalam Pasal 53 KUHP. Dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP memberikan definisi mengenai percobaan yang selengkapnya dirumuskan sebagai berikut: Me o a elakuka kejahata dipida a, jika iat u tuk itu telah te ata da i ada a permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan ka e a kehe dak a se di i. 21 Rumusan tersebut di atas bermakna bahwa delik percobaan pada dasarnya mensyaratkan ada a tiga s a at uta a, aitu: Ada a niat , aka de ga de ikia pada dasa a delik pe o aa e upaka delik se gaja atau ti dak pida a a g e s a atka ada a kese gajaa . Me gi gat se gaja dala p aktek pe egaka huku e iliki tiga ak a, yaitu: a sengaja sebagai maksud opzet als oogmerk, b sengaja dengan kesadaran akan keharusan dan c sengaja dengan kesadaran akan kemungkinan, dalam kaitan ini perdebatan terjadi berkaitan dengan bentuk kesengajaan apa sajakah yang tercakup dalam pengertian iat se agai a a di aksud dala a at KUHP. Be kaita de ga hal i i, pe ge tia iat setidak a disepakati dala ujud a se agai kese gajaa se agai aksud atau kesengajaan dengan kesadaran sebagai suatu kehendak. Be kaita de ga s a at ada a permulaan pelaksanaan i i, KUHP tidak e e ika penjelasan lebih lanjut padahal merupakan unsur esensial dalam tindak pidana percobaandan karenanya maknapengertian dari permulaan pelaksanaan harus ditemukan dalam doktrin maupun praktek. Keadaan ini telah mempengaruhi praktek penegakan hukum terkait dengan delik percobaan di Belanda, yang pada pokoknya terjadi tarik-menarik antara dua teori percobaan yaitu ajaran percobaan subjekt if, a g a afsi ka pe ulaa pelaksa aa sebagai permulaan pelaksanaan dari niat sehingga bertolak dari sikap batin yang berbahaya dari pembuat dan ajaran percobaan objektif, yang menafsir sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan yang bertolak dari bahayanya perbuatan bagi tertib hukum. 22 Perdebatan ini sesunggguhnya sudah terjadi sejak sebelum terbentuknya Wetboek van Strafrechts WvS, namun demikian Menteri Modderman secara tegas menyerahkan pilihan antara ajaran objektif dengan subjektif kepada ilmu pengetahuan dan peradilan dengan alasan bahwa keduanya akan lebih berhasil dalam menemukan jawaban yang tepat dari pada dilakukan oleh pembuat undang-undang. 23 21 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana¸ Bumi Aksara, Jakarta, 2006, hlm. 24-25. 22 Schaffmeister dkk, Hukum Pidana, Editor J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 212. 23 Ibid, hal. 215. 16 Pe de ata e ge ai ak a pe ulaa pelaksa aa sesu gguh a e upaka pe soala yang sangat pelik. Hal ini diawali dari perdebatan mengenai apakah apakah yang dimaksud dari pelaksa aa itu e upaka pelaksa aa da i iat atau pelaksa aa da i kejahata . Jawaban mengenai persoalan inipun bisa menjadi relatif karena akan bergantung pada teori pe o aa a g ela dasi a. Pa a pe ga ut teo i pe o aa su jektif e a da g percobaan melakukan kejahatan perlu dipidana karena adanya niat jahat dari pelakunya akan e pe dapat ah a pelaksa aa e upaka pelaksa aa da i iat , sehi gga isa meliputi segala bentuk perbuatan persiapan untuk melakukan kejahatan. Sementara para penganut teori pe o aa o jektif e a da g pe o aa elakuka kejahata pe lu dipida a ka e a perbuatannya membahayakan suatu kepentingan hukum tertentu memandang pelaksanaan sebagai pelaksanaan dari kejahatan. Perdebatan tentunya belum berakhir, karena masih dipe luka ada a kejelasa atasa te ta g apa a g di aksud de ga pelaksa aa kejahata .

3.2. Percobaan dan permulaan pelaksanaan dalam R KUHP